Angga menghabiskan sisa malamnya di Cafe Lofa
hanya dengan mengawasi Lofa bolak-bolik melayani para pengunjungnya. Yah, itu
tugasnya yang kelima. Memastikan Lofa
baik-baik saja. Sebenarnya, Angga yang merasa dirinya tidak baik-baik saja. Selain untuk pertama kalinya gagal, Lofa juga
selalu menatapnya dengan tatapan curiga berlebihan. Memangnya Angga terlihat
sejahat itu?
“Kau tidak bilang dia cantik,” kata Angga saat
berhasil menyusul Agi yang berlari pelan di depannya.
Agi langsung melepas satu earphone-nya saat menyadari kehadiran Angga.
“Apa?”
“Kau tidak bilang dia cantik. Lofa.”
Agi hanya tersenyum sekilas, “Kalau kau
berpikir macam-macam, kau harus melangkahi mayatku dulu.”
“Sebenarnya, dia yang berpikir macam-macam.”
Agi langsung menoleh. Tangan kanannya terulur untuk menunjuk
bangku besi yang ada di taman komplek. Tanpa komando mereka berdua langsung
berlari mendekati bangku itu, kemudian duduk. Angga meluruskan kakinya. Sensasi
dingin langsung merayapi tubuhnya saat bangku besi itu menyentuh betisnya.
“Ceritakan padaku,” perintah Agi sambil melepas earphone-nya.
Angga memang belum menceritakan apa pun pada Agi tentang tugas-nya semalam. Dia merasa tidak enak
jika mengganggu kencan pertama Agi dengan Adriana. Sejak SMA Agi tergila-gila
pada gadis itu, akhirnya Agi berhasil juga mendapatkannya.
“Kenapa sih kau tidak mengijinkanku memberitahunya? Aku rasa
akan jauh lebih mudah jika Lofa tahu aku ini temanmu.”
Agi menggeleng sambil tersenyum sekilas, “Aku punya alasan
sendiri untuk itu.”
“Aku harap alasanmu cukup bagus.” Angga diam sejenak, mengingat
cara Lofa menatapnya tadi malam. Angga cukup yakin gadis itu menganggapnya
psikopat atau mungkin penguntit. “Reputasiku hancur karena alasanmu itu.”
Agi tidak menjawab apa pun.
“Kau menyukainya ya?” Tanya Angga tiba-tiba saat berhasil
menghubungkan semua benang merah dalam pikirannya.
“Kami...sahabat.”
Angga memicingkan matanya, “Bukan itu pertanyaanku. Dia itu
cantik sekali, imut-imut, dan sangat sigap. Tidak mungkin kau tidak
menyukainya. Bukannya sejak dulu kau menyukai perempuan yang seperti itu?”
Agi tersenyum sekilas, “Akan sulit menyukai seseorang yang sudah
kau kenal dengan sangat baik.” Kata Agi pelan, seperti sedang bicara dengan
dirinya sendiri.
Angga mencibir, “Mana ada pendapat seperti itu? Justru semakin
mengenal akan semakin menyukai.”
Agi hanya diam. Membiarkan Angga mengoceh tentang teorinya itu.
Alasannya mengatakan teori itu adalah karena selama ini Angga selalu menyimpan
perasaan untuk sahabatnya semasa SMP, meskipun pada akhirnya Angga harus sering
gonta-ganti pacar untuk menutupi perasaannya itu. Yah, perempuan yang selalu
membuatmu penasaran memang menarik. Tapi lebih menarik lagi perempuan yang
sudah kau kenal dengan baik. Tapi sepertinya Agi tidak berpikiran seperti itu.
“Jadi, kau tidak akan mengenalkanku sebagai temanmu?”
“Cepat atau lambat dia pasti akan tahu,” kata Agi sambil
memutar-mutar kabel earphone-nya.
“Lebih baik dia tahu sendiri.”
***
Dengan bermodal sebuah buku sketsa dan pensil, Angga berniat
kembali ke Cafe Lofa. Dia memiliki dua alasan yang membuatnya yakin untuk
datang ke cafe itu sekarang juga. Pertama, Angga merasa mendapat inspirasi yang
sesuai untuk gambar-nya. Kedua, Angga berniat untuk memperbaiki reputasinya di
mata Lofa.
Untuk kesekian kalinya Angga berusaha menghafal menu yang
tertulis di papan besar yang bertengger di dekat pintu masuk. Dia memilih satu
menu yang berhasil diingatnya. Lofa sepertinya cukup terkejut saat melihat
Angga melangkah masuk.
“Aku mau cake strawberry
ice,” kata Angga sebelum Lofa bertanya dan sebelum dia lupa nama makanannya.
“Strawberry ice cake?”
Tanya Lofa memastikan.
Angga cukup yakin ingatannya benar, tapi pemuda itu hanya
mengangguk, “Iya, apa pun namanya itu.”
Lofa tersenyum sekilas sebelum masuk ke dapur.
Angga langsung mengeluarkan buku sketsanya. Matanya menyapu
seluruh ruangan untuk mencari objek gambar yang menarik. Cafe ini benar-benar
sepi saat siang. Hanya ada satu-dua orang yang terlihat sangat nyaman menikmati
suasana yang sepi dan ditemani alunan musik piano romantis.
Angga menegakkan tubuhnya. Membuka buku sketsanya dan menatap
lembaran yang masih putih bersih. Pemuda itu mendongak demi mendapati Lofa yang
sedang membuatkan pesanannya dengan sangat telaten.
Tangannya mulai bergerak, menggoreskan garis-garis tipis di atas
lembaran putih. Sesekali Angga mendongak untuk merekam detail wajah Lofa dan
memindahkannya pada gambar sketsa. Goresan pensilnya terlihat tipis dan lembut,
tapi menggambarkan detail yang sempurna.
Pemuda itu berhenti menggoreskan pensilnya saat menyadari
kehadiran Lofa. Gadis itu terpaku pada gambar sketsa yang dibuat Angga.
Tangannya meletakkan pesanan Angga di meja bar, tapi matanya tidak berkedip
sama sekali.
“Kau yang menggambar ini?” Tanya Lofa terkejut.
Oke, sekarang Angga benar-benar terlihat seperti seorang
penguntit.
Angga memperhatikan hasil sketsanya sekali lagi. Tidak ada yang
aneh. Dia hanya menggambar Lofa yang sedang menyiapkan pesanan. Angga yakin
gambar itu cukup wajar. Bukan gambar yang dibuat oleh seorang penguntit. Tapi
cara Lofa memandangi gambar itu membuatnya takut.
Lofa mengulurkan tangannya dan menyentuh gambar itu. Mengusapnya
pada bagian yang lebih gelap.
“Bagaimana bisa seperti ini?” Tanya Lofa. Suaranya menunjukkan
gadis itu sedang penasaran, bukan takut. Baguslah.
“Ini teknik chiaroscuro,”
Angga menjelaskan dengan bangga.
Lofa mendongak, dahinya berkerut saat mendengar istilah yang
baru saja diucapkan Angga.
“Teknik melukis gelap terang yang mencolok. Teknik ini pertama
kali digunakan oleh Caravaggio.” Angga selalu bersemangat menjelaskan teknik
melukis favoritnya.
“Kau tidak perlu repot-repot menjelaskannya padaku. Aku tidak
mengerti,” kata Lofa. Tatapannya masih tertuju pada sketsa buatan Angga.
“Ini boleh untukku?” Tanya Lofa dengan mata berbinar-binar.
Seperti anak kecil yang berharap diberi gula-gula di pasar malam.
Angga memandangi gadis itu untuk beberapa detik. Mencari makna
lain dari permintaannya barusan. Mungkin saja itu bentuk halus dari aku tidak akan membiarkan orang asing
memiliki gambarku, atau semacamnya. Tapi Lofa terlihat tulus.
“Tentu saja. Tapi aku belum selesai.” Kata Angga akhirnya.
“Kalau begitu cepat selesaikan,” Lofa menyorongkan buku sketsa
itu. Gadis itu menyangga kepalanya dengan kedua tangan.
“Kau semangat sekali,”
“Belum pernah ada yang membuat sketsa gambar untukku,” katanya
dengan cengiran lebar di wajahnya. Matanya yang agak sipit nyaris terlihat
seperti garis lurus saat dia nyengir seperti itu.
Sketsa
gambar untuknya? Aku kan hanya iseng.
Angga mulai menggoreskan pensilnya lagi. Menyelesaikan detail-detail
kecil dengan lebih sempurna. Wajah Lofa jadi terlihat lebih nyata saat sedang
membuat pesanan. Dengan pencahayaan dari sisi kanannnya, mempertegas
garis-garis wajah Lofa di sisi sebelah kiri. Ini yang Angga sebut dengan teknik
chiaroscuro. Sumber penerangan yang
tidak diketahui asalnya tapi mempertegas sisi gelap terang objek utama dalam
gambar.
Tangan Angga berhenti saat tiba-tiba Lofa tersentak. “Aku punya
ide hebat!”
Kenapa sekarang Angga merasa begitu akrab dengan gadis itu? Semalam
Lofa memandanginya dengan kecurigaan yang mematikan, sekarang gadis itu malah
mau berbagi ide hebat.
“Kau bisa membuat sketsa para pengunjung cafe-ku!”
Itu ide hebatnya?
Lofa mengangkat kedua alisnya berkali-kali saat meminta pendapat
Angga. Oke, gadis itu baru saja memberinya sebuah pekerjaan. Tapi itu impulsif
sekali.
“Memangnya ada pengunjung yang mau?”
Tanpa menjawab Lofa langsung mendekati salah satu pengunjungnya
yang sedang sibuk mengerjakan sesuatu dengan laptop. Angga tetap duduk di
tempatnya, di dekat meja bar. Hanya tubuhnya yang berputar untuk melihat apa
yang Lofa lakukan. Gadis itu terlihat sangat mahir merayu pengunjung. Angga
pura-pura sedang melihat objek lain saat Lofa menunjuknya sekilas. Setelah
mengangguk beberapa kali, Lofa berlari kecil kembali pada Angga.
“Kau siap?” Tanya gadis itu.
“Dia mau?” Tanya Angga tidak percaya. “Apa yang kau katakan
padanya?”
Lofa melambaikan sebelah tangannya sekilas, “Kau hanya perlu
menggambar sketsanya.”
Lofa menarik tangan Angga dan menyuruhnya turun dari kursi
tinggi. Pemuda itu merasa Lofa mendorong punggungnya untuk mendekati pengunjung
itu. Seorang wanita paruh baya yang sepertinya sedang sangat sibuk dengan
pekerjaannya.
“Kau yakin dia tidak akan merasa terganggu?” Angga mencoba
mencari alasan yang bisa membuat Lofa mengurungkan niatnya.
“Dia sangat senang,” kata Lofa bersemangat.
Angga belum pernah diminta menggambar seseorang secara langsung.
Dia biasanya menggambar secara diam-diam.
Angga menarik sebuah kursi di sudut ruangan. Berbeda satu meja
dengan pengunjung itu. Dia tidak ingin mengganggu kegiatannya. Lagipula Angga
lebih nyaman menggambar objek dari jauh.
Tangannya bergerak lincah saat menggoreskan pensilnya pada
lembaran baru buku sketsanya. Sesekali Angga mendongak untuk mengamati detail
yang menjadi khas dari objeknya. Wanita itu memiliki detail yang lebih banyak
dibanding Lofa. Ada garis-garis tipis di sekitar matanya. Angga harus berusaha
ekstra untuk membuat garis-garis itu terlihat nyata tapi tidak terlalu
mencolok. Angga menjauhkan hasil gambarnya untuk memastikan gambar yang dibuat
sudah sempurna. Setelah cukup yakin, Angga mendekati wanita itu untuk
menunjukkan hasilnya.
***
Lofa memandanginya dengan mata berbinar-binar tidak sabaran.
Angga berusaha menjaga sikapnya tetap tenang dan kalem seperti biasa. Setelah
duduk di salah satu kursi tinggi, Angga baru menyadari pesanannya yang sudah
meleleh. Es krim strawberry warna
pink membanjiri mangkuk kecil, menenggelamkan kue warna pink yang ada di tengah
mangkuk.
“Pesananku meleleh,” adalah kalimat pertama yang Angga ucapkan.
Membuat Lofa tambah tidak sabar.
“Nanti aku ganti,” kata Lofa cepat.
Setelah mendengar itu Angga langsung menunjukkan selembar uang
lima puluh ribuan, “Aku dibayar.” Katanya.
Angga tidak tahu pasti berapa harga gambar sketsa sebenarnya,
tapi dia jelas kaget saat wanita itu memberinya uang lima puluh ribu. Angga
sempat menolak, tapi wanita itu bilang gambarnya terlalu bagus untuk tidak
dihargai sepeser pun.
“Kau lihat? Mudah sekali mendapat pekerjaan dengan bakat seperti
itu.” Lofa terlihat sangat puas.
Angga menyodorkan uang itu pada Lofa. Gadis itu menggeleng, “Itu
hakmu.” Katanya singkat kemudian membawa pesanan Angga yang sudah meleleh.
“Kau tidak perlu menggantinya,” kata Angga cepat sebelum Lofa
masuk ke dapur. Gadis itu berbalik.
“Cake strawberry ice
yang meleleh lebih enak. Aku rasa.”
“Strawberry ice cake,”
kata Lofa sambil meletakkan pesanan Angga kembali ke meja bar.
“Yah, apa pun namanya.” Angga mulai menyuapkan lelehan es krim
ke dalam mulutnya. Sudah tidak terlalu dingin, tapi masih tetap enak. “Kau
harus membuat daftar menu di dalam cafe.” Kata Angga di sela-sela makannya.
Lofa hanya menatapnya bingung.
“Aku tidak bisa menghafal nama-nama menu di depan sana,” Angga
menelengkan kepalanya ke arah pintu.
Lofa tertawa ringan, “Itu nama makanan dan minuman yang cukup
familiar, kan?”
Angga mengangkat bahunya sekilas, “Tidak bagiku.”
“Baiklah, aku akan membuatkan buku menu khusus untukmu jika kau
mau menggambar sketsa para pengunjungku.”
“Aku rasa tidak bisa,”
Angga mendongak sekilas demi mendapati Lofa yang terlihat
kecewa. Gadis itu hanya menyuarakan pertanyaan kenapa melalui tatapan matanya.
“Aku harus bekerja. Senin sampai Sabtu. Pagi sampai malam.”
“Desainer grafis?” Tanya gadis itu polos.
“Aku harap begitu,” kata Angga pelan. Dia teringat pada
keinginannya menjadi desainer grafis saat SMA dulu. Tapi ayah dengan tegas
menolak keinginan itu. “Kontraktor.” Jawab Angga akhirnya.
Mata Lofa yang agak sipit melebar saat mendengar jawaban Angga.
Gadis itu mengangkat bahunya sekilas, “Tidak berbeda jauh kan?”
“Yah, kalau kau menganggap merancang gambar-gambar menarik dan
rumus-rumus beban bangunan itu sangat mirip, maka ya, tidak berbeda jauh.”
Lofa hanya tertawa ringan mendengar sarkasme Angga barusan, “Aku
pikir kontraktor juga membuat gambar rancangan. Maaf, aku hanya tahu tentang
makanan.”
Angga hanya tersenyum saat melihat kepolosan Lofa. Bagaimana bisa
Agi memiliki sahabat seperti ini dan tidak menyukainya? Mustahil.
0 komentar:
Post a Comment