Rss Feed
  1. Cafe Lofa : Teman Lama

    Tuesday, January 21, 2014


    BAGIAN 4


    Angga menghela nafas panjang. Pemuda itu meregangkan tubuhnya, untuk menghilangkan pegal-pegal karena hanya duduk sejak tadi pagi. Dia mulai penat. Bosan dengan rutinitas yang itu-itu saja. Selalu berkutat dengan angka-angka yang mulai membuatnya mual.
    Sudah hampir satu tahun Angga bekerja di salah satu perusahaan kontraktor yang terkenal di ibu kota. Tim-nya sedang mendapat proyek fly over di Jogja sekarang. Kesempatan untuk pulang dan liburan. Itu rencananya. Tapi harapannya pupus sudah. Pimpinan tim-nya sangat tegas dan disiplin. Selalu pulang kantor tidak kurang dari jam tujuh malam. Hanya hari Sabtu yang mengijinkannya pulang lebih cepat.
    Sudah empat tahun Angga memaksa otaknya bersahabat dengan angka-angka yang membuatnya pusing. Memaksa dirinya untuk berdamai dengan keadaan. Angga menempuh pendidikan S1 teknik sipil di salah satu institut di Bandung. Bukan hal mudah. Itu bukan pilihannya. Hatinya tidak pernah memilih profesi itu. Tapi ayah ngotot sekali meminta Angga masuk jurusan itu. Mau jadi apa kau jika hanya bisa menggambar, itu kata ayah dulu saat musim pendaftaran universitas dibuka. Bukan keputusan yang salah. Angga tahu ayah akan selalu memberikan saran-saran terbaik. Pemuda itu hanya butuh waktu untuk beradaptasi dengan dunia yang belum disukainya itu. Dan sampai sekarang kemampuan adaptasinya masih sangat payah.
    Jam istirahat siang. Seorang bocah, umurnya mungkin sekitar lima belas tahun Angga tidak tahu pasti, mengantarkan jatah makan siang para staff. Angga hanya mengintip sekilas menu makan siangnya. Mendesah palan setelah mengintipnya. Dia bosan dengan menu yang itu-itu saja.
    “Jang!” Angga memanggil bocah itu. Semua orang memanggil bocah itu Ujang. Mungkin itu memang namanya, mungkin juga bukan. Bocah itu menoleh kemudian melangkah pelan mendekati Angga.
    “Ada apa, Mas?” Tanya bocah itu takut-takut.
    Angga menyodorkan nasi kotak itu, “Ini untukmu saja. Aku makan di luar siang ini.”
    Meski bingung, Ujang menerima nasi kotak itu juga. Meletakkannya di atas nampan kemudian mengangguk pelan sebelum keluar dari kantor sementara. Angga meraih jaketnya kemudian berjalan keluar. Menyapa beberapa teman satu tim-nya saat berpapasan di luar kantor sementara yang terbuat dari triplek.
    Angga memacu motor butut kesayangannya melewati area proyek. Mengangguk beberapa kali setiap melewati staff atau tukang proyek tersebut. Motor bututnya meraung protes saat Angga menambah kecepatannya. Meskipun sudah sangat butut, Angga tidak berniat untuk mengganti motornya. Motor butut itu adalah satu-satunya teman setia yang dia miliki sampai saat ini. Itu motor pertama yang dibelikan ayah saat kelas satu SMA. Dengan modal seadanya, ayah bahkan sampai menjual si bandot demi membelikan Angga motor. Anak SMA yang masih labil itu tidak pernah berhenti menyinggung masalah motor setiap kali berbincang dengan ayah. Jadilah ayah menjual si bandot dan membawa pulang motor butut itu esok paginya.
    Angga berhenti di salah satu warung gudeg di dekat lokasi proyek. Bukan menu istimewa, tapi setidaknya bisa jadi selingan daripada menu makan siang proyek yang sama setiap hari. Setelah menata rambutnya dengan tangan, Angga turun dari motor. Warung gudeg itu lumayan ramai. Ada pabrik di dekat sini. Kebanyakan pengunjung warung adalah pegawai pabrik yang sedang beristirahat. Angga menyingkir sejenak saat ada serombongan pegawai pabrik yang keluar warung. Sibuk bercakap-cakap sampai tidak menyadari Angga yang memasang ekspresi kesal dan tidak sabaran. Matanya menyipit saat terkena pantulan cahaya matahari. Pemuda itu berpindah posisi agar tidak terkena pantulan cahaya itu lagi. Cahaya matahari yang memantul pada kaca mobil di depan warung menyorot tepat ke arahnya. Angga buru-buru masuk setelah tidak ada lagi rombongan yang keluar warung.
    ***
    Angga mengetuk-ngetukkan ujung jemarinya pada meja selama menunggu pesanannya. Pandangannya menyapu seluruh warung. Kerupuk, pisang, tempe goreng, pernak-pernik umum yang selalu ada di warung mana pun. Matanya terhenti pada orang yang duduk di sudut warung, dua meja jaraknya. Angga menelengkan kepalanya untuk memastikan pandangannya. Setelah cukup yakin, Angga bangkit dan menghampiri orang itu dengan penuh semangat.
    “Kau jadi pagawai pabrik sekarang?” Tanya Angga penuh antusias sambil menepuk lengan orang itu, kemudian duduk di hadapannya.
    Setelah kaget untuk beberapa detik, orang itu tertawa. “Kau juga?” Pemuda itu tertawa ringan.
    Angga ikut tertawa, “Apa kabar?” Angga mengulurkan tangannya, yang disambut dengan tepukan keras.
    “Baik,” jawab pemuda itu singkat. “Gaji di pabrik sini lumayan besar,” lanjutnya sambil tertawa.
    “Aku serius, Gi. Kau jadi pegawai pabrik?”
    Itu Agi, sahabat lamanya. Rumah mereka bahkan berdekatan, hanya berbeda beberapa blok. Mereka selalu satu sekolah, sejak TK sampai SMA. Kecuali saat kuliah. Angga melanjutkan pendidikannya di Bandung dan Agi menetap di Jogja. Mereka berdua benar-benar seperti roda sepeda, selalu bersama.  Apa yang orang bilang? Best bro atau apalah istilah para remaja jaman sekarang. Mereka sudah seperti saudara sendiri. Semua yang terjadi dalam hidup Angga, Agi pasti tahu. Begitu juga sebaliknya.
    Agi menggeleng, “Aku ada wawancara kerja.”
    Angga mengangguk. Dia sudah tahu. Agi tidak mungkin berakhir sebagai pegawai pabrik. Sahabatnya itu tidak akan menyerah sebelum mendapatkan apa yang dia inginkan. Dan daftar keinginannya sungguh panjang. Angga tidak berani menginginkan bahkan satu dari daftar keinginan Agi. Terlalu mustahil untuk dicapai.
    “Bagaimana denganmu? Masih senang melukis?” Tanya Agi.
    “Itu satu-satunya hal yang tidak akan aku tinggalkan bahkan jika tanganku lumpuh.” Kata Angga dengan kemantapan luar biasa. Dia suka melukis. Melukis selalu mengingatkannya pada ibu.
    Agi hanya mengangguk.
    Pesanan Angga datang satu detik berikutnya. Pelayan warung itu sempat memasang ekspresi protes karena Angga pindah tempat duduk begitu saja. Untung saja pelayan itu mengenali wajah Angga.
    “Apa kau ada acara besok malam?” Tanya Agi saat Angga baru saja membuka mulutnya untuk suapan pertama.
    “Aku ada acara.” Jawab Angga singkat.
    Dia memang ada acara. Angga berniat menghabiskan waktu kosongnya besok malam untuk melukis sepuasnya. Dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya akhir-akhir ini. Tidak sempat menyentuh buku sketsa dan pensilnya sama sekali.
    “Benarkah?” Tanya Agi dengan tatapan menyelidik.
    “Kau mau apa? Sebegitu rindunya kau padaku sampai mau mengajak kencan atau apa?” Angga bertanya sekenanya sambil melahap makan siangnya. Waktu istirahatnya tidak lama.
    “Aku ada kencan dengan Adriana besok malam.” Jawab Agi enteng.
    Angga hampir saja tersedak gudeg-nya. “Adriana yang itu? Hubungan kalian masih berlanjut?”
    Agi menggeleng, “Baru akhir-akhir ini.”
    “Lalu kau mau aku melakukan apa besok malam?”
    Agi diam sebentar, “Kau belum pernah datang ke cafe temanku.”
    Angga mengerutkan dahinya, “Apa semua pembicaraan ini ada hubungannya?” Angga mulai bingung dengan arah pembicaraan Agi.
    “Aku biasa membantunya setiap malam. Cafe-nya sangat ramai saat malam. Tapi besok malam aku tidak bisa.”
    Angga mulai menangkap maksud pembicaraan Agi yang berputar-putar, “Dan kau pikir aku bisa menggantikanmu untuk membantunya?”
    Agi hanya mengangguk.
    “Kita baru bertemu setelah sekian lama dan kau sudah merepotkanku lagi,” kata Angga, bercanda.
    Agi hanya tertawa.
    Angga mendesah pelan, “Kau pikir akan seaneh apa jika ada orang asing yang tiba-tiba menawarkan bantuan?”
    Agi menyandarkan tubuhnya pada kursi. Duduk lebih santai, kemudian menggeleng. “Tidak akan terlalu aneh jika kau yang melakukannya. Kau sangat ahli memanipulasi jalan pikiran orang kan?”
    Angga hanya tertawa mendengar kata-kata Agi barusan. Pemuda itu teringat pada masa-masa SMA. Dulu dia tidak kenal malu dan selalu bertindak tanpa pertimbangan. Anehnya, orang-orang selalu menganggap apa yang dilakukannya itu benar hanya karena Angga memasang ekspresi “orang baik-baik”.
    “Entahlah, Gi. Aku sudah merencanakan acara besok malam sejak lama.”
    Agi mengangguk pelan, “Baiklah. Beritahu aku jika ada perubahan rencana.”
    Mereka berpisah di pintu warung. Angga pamit lebih dulu. Memacu motor bututnya kembali ke proyek. Kembali ke rutinitasnya yang mulai membosankan.
    ***
    Jam tujuh tepat. Angga meluncur ke rumahnya. Pemuda itu memacu motornya dengan kecepatan penuh. Sudah tidak sabar bertemu dengan kasurnya. Angga berguling di atas kasurnya. Menatap langit-langit yang dipenuhi gambar-gambar sketsa wajah ibu. Angga menempelnya saat SMP, sejak ibu meninggal. Tiga hari penuh Angga menuangkan semua memorinya tentang ibu ke dalam gambar. Saat ibu tersenyum, saat ibu diam, saat ibu marah, Angga berusaha mengabadikan semua emosi ibu yang bisa diingatnya ke dalam gambar-gambar sketsa. Ibu yang mengajarinya menggambar pertama kali. Ketertarikannya berkembang, dari sekedar gambar sketsa menjadi lukisan.
    Angga merogoh ke dalam tas ranselnya, meraih sebuah buku sketsa yang selalu dibawanya kemana-mana. Membuka halaman demi halaman. Hanya tiga lembar pertama yang terisi, sisanya kosong. Rasanya sudah sangat lama dia tidak menggambar. Pemuda itu melihat ke sekeliling kamarnya. Dia butuh suasana baru untuk mendapat inspirasi.
    Angga meraih ponselnya di saku celana. Mencari nomor Agi dengan cepat kemudian mengirim pesan
    Sepertinya rencanaku batal besok malam.
    Mungkin saja cafe teman Agi itu bisa memberinya inspirasi lebih untuk membuat gambar-gambar baru yang lebih segar. Dia lelah selalu membuat gambar-gambar sendu karena selalu teringat pada ibu. Tidak lama, ponselnya berdenting. Itu pesan dari Agi.
    Baiklah, aku akan memberitahu tugasmu nanti.
    Tugas? Macam misi rahasia saja. Angga hanya akan membantu seseorang di cafe, bukan jadi mata-mata. Angga mendesah pelan. Perlahan mulai menutup matanya, terlalu lelah.
    ***
    Angga membaca lagi pesan yang dikirim Agi semalam. Tugas-tugas yang harus dilakukan Angga di cafe nanti. Daftar yang cukup panjang. Tugas yang paling mencolok bagi Angga adalah lakukan senormal mungkin dan jangan sampai dia tahu kau temanku. Angga merasa sedikit tersinggung sebenarnya. Agi sudah membuatnya membantu seseorang yang tidak dia kenal dan Angga bahkan tidak diperbolehkan untuk mengaku sebagai teman Agi? Pemuda itu hanya tersenyum saat membaca ulang tugas-tugasnya, semakin penasaran dengan sosok ‘teman’ Agi yang sepertinya sangat spesial ini.
    Angga memarkir motor bututnya di depan sebuah cafe. Mengamati sekilas penampilan luar cafe sebelum masuk. Cafe Lofa. Tulisan hijau yang berkedip-kedip di jendela kaca besar menarik perhatiannya. Setelah mematut diri di spion motor cukup lama, akhirnya Angga turun dari motor. Berhenti sebentar di depan papan hitam besar yang terlihat ganjil di dekat pintu. Setelah membaca tulisan yang ada pada papan itu, Angga baru tahu itu papan menu. Pantas saja papan tulisnya besar sekali. Pemuda itu mengerutkan dahi saat membaca menu makanan dan minuman yang ada. Aneh. Tidak ada nama yang dia kenali selain kopi.
    Dengan modal ingatan seadanya, Angga melangkah masuk. Berniat memesan apa pun yang pertama kali melintas di ingatannya. Nama-nama makanan dan minumannya terlalu aneh untuk diingat. Keadaan di dalam cafe ramai sekali. Hampir semua kursi penuh, hanya tersisa deretan kursi tinggi di dekat meja bar. Angga melangkah masuk, duduk di salah satu kursi tinggi. Celingukan mencari pelayan cafe. Tidak ada seorang pun. Dia hanya duduk diam, memperhatikan keadaan sekelilingnya. Pemuda itu duduk diam cukup lama sampai akhirnya ada seorang perempuan yang memakai celemek mendekati meja bar. Terengah-engah. Angga melihat pin nama yang disematkan pada celemeknya. Lofa. Dia teman Agi?
    “Sepertinya kau sibuk sekali,” Angga mulai bersuara.
    Gadis di hadapannya hanya tersenyum, kemudian tersentak seperti teringat sesuatu.
    “Oh, kau mau pesan sesuatu?” Tanya gadis itu.
    Sial! Terlalu lama diam membuat Angga melupakan semua nama makanan dan minuman yang tertulis di papan besar itu. Dia hanya ingat kopi. Tapi Angga sedang tidak ingin kopi sekarang.
    “Aku sudah membaca itu tadi,” Angga menelengkan kepalanya ke arah papan besar di luar cafe. “Tapi aku lupa apa yang mau aku pesan.”
    “Kau bisa pesan menu spesial cafe ini,” gadis itu menunjuk papan hitam lain yang berukuran lebih kecil, menggantung di dekat meja bar. Minuman kebahagiaan. Nama aneh lagi.
    “Namanya...unik.” Angga tidak melihat menu itu di luar tadi. “Itu menu spesial?”
    Gadis itu mengangguk mantap, “Sangat spesial.”
    “Baiklah. Aku pesan satu.” Akan seburuk apa sih minuman kebahagiaan itu? Meskipun Angga tidak yakin minuman itu benar-benar bisa membuatnya bahagia.
    Hanya butuh waktu sebentar, minuman kebahagiaan itu sudah ada di mejanya. Warnanya jingga dan biru. Seperti langit siang dan senja yang menempel menjadi satu. Angga mengaduk minumannya, warnanya berubah menjadi hijau. Setelah yakin minumannya sudah tercampur sempurna, Angga mulai menyesapnya. Sensasi dingin dan rasa asam langsung menjalar ke otaknya. Membekukan sel-sel syaraf berpikirnya. Secara otomatis mata kanannya menyipit sebagai reaksi dari rasa asam yang mengontrol otaknya.
     “Asam,” kata Angga setelah mampu meraih kembali suaranya.
    Gadis itu hanya tertawa renyah.
    “Tapi enak.” Angga menambahkan.
    “Sudah aku bilang itu minuman spesial.” Kata gadis itu dengan sangat bangga. Terlihat dari senyumnya yang merekah.
    Angga baru akan mengatakan sesuatu saat gadis itu mengambil secarik kertas dari balik meja bar. Kertas bill.
     “Aku permisi dulu,” katanya.
    Angga hanya memperhatikan gadis itu yang sibuk mengurus para pengunjung yang silih berganti. Keluar satu, masuk lagi yang lain. Laris sekali cafe ini. Sekarang saatnya Angga beraksi.
     “Kau butuh bantuan?” Tanya pemuda itu dengan memasang ekspresi malaikat yang jadi andalannya.
    Gadis itu hanya tersenyum kemudian menggeleng.
    “Sepertinya kau sangat kerepotan.” Angga menambahkan.
    Gadis itu menggeleng lagi, “Ini sudah tugasku.”
    “Kau yakin?”
    Angga bisa melihat raut curiga di wajah gadis itu saat dia mengangguk.
     “Aku bosan hanya duduk diam di sini. Ayolah, pasti ada sesuatu yang bisa aku lakukan.” Ini alasan yang tidak masuk akal! Tentu saja tugasnya hanya duduk diam. Dia pengunjung!
     “Kau pengunjung. Sudah seharusnya kau duduk diam di situ dan menikmati pesananmu.” Gadis itu mengatakan hal yang persis sama dengan yang Angga pikirkan. Ternyata alasannya memang payah.
     “Tidak perlu. Terima kasih.”
    Angga hanya mengangkat bahunya sekilas. Mengalah. Tiba-tiba saja pemuda itu teringat sesuatu.
    “Kita belum berkenalan.” Kata Angga sambil mengulurkan tangannya.
    Gadis itu menatap tangan Angga untuk beberapa saat, kemudian menjabatnya.
    “Angga.” Pemuda itu mengucapkan namanya.
    “Lofa,” jawab gadis itu ragu.
    “Aku tahu,” kata Angga sambil tertawa ringan. Dia sudah tahu nama gadis itu bahkan sebelum bertemu dengannya. Perkenalan itu hanya basa-basi. Angga menunjuk pin nama yang melekat pada celemek Lofa untuk memberitahu bahwa semua orang bisa tahu namanya.
    Lofa sepertinya tidak menyadari keberadaan pin nama itu sama sekali. Lofa diam menatap pin itu cukup lama.
     “Kita sudah saling kenal,” kata Angga.
    Lofa langsung mendongak dengan ekspresi kaget.
    “Sekarang aku boleh membantumu?”
    Lofa mengangkat sebelah alisnya. Menatap penuh curiga. Angga hanya tertawa melihat ekspresi gadis itu, “Aku tidak berniat jahat.”
    Kecurigaan di wajah Lofa tidak berkurang sedikit pun.
    “Dengar, aku bisa membantumu mencatat pesanan dan mengantarkan pesanan. Kau terlihat sangat kerepotan. Aku hanya ingin membantu.” Angga teringat sesuatu, kemudian menambahkan, “Dan aku tidak minta bayaran.”
    Angga sedang memainkan peran “orang baik-baik” itu. Biasanya itu berhasil. Benar kata Agi, sejak dulu Angga sangat ahli memanipulasi jalan pikiran orang. Dia menjadi salah satu orang yang dianggap tidak akan pernah berbuat jahat hanya karena dia terlihat seperti “orang baik-baik”. Padahal, siapa yang tahu pikiran orang.
    Lofa tersenyum. Pertanda bagus. Dia akan menerima bantuannya.
    “Aku bisa melakukannya sendiri. Terima kasih. Kau baik sekali.”
    Senyum di wajah Angga luntur. Dia gagal. Untuk pertama kalinya, Angga gagal.


  2. 1 komentar:

    1. Unknown said...

      wah, ini, siapa lagi yg dateng? misterius guest lagi?
      ice, ngga sabar baca lanjutannya ;)

    Post a Comment