BAGIAN 4
Angga menghela nafas panjang. Pemuda itu
meregangkan tubuhnya, untuk menghilangkan pegal-pegal karena hanya duduk sejak
tadi pagi. Dia mulai penat. Bosan dengan rutinitas yang itu-itu saja. Selalu
berkutat dengan angka-angka yang mulai membuatnya mual.
Sudah hampir satu tahun Angga bekerja di salah
satu perusahaan kontraktor yang terkenal di ibu kota. Tim-nya sedang mendapat
proyek fly over di Jogja sekarang. Kesempatan
untuk pulang dan liburan. Itu rencananya. Tapi harapannya pupus sudah. Pimpinan
tim-nya sangat tegas dan disiplin. Selalu pulang kantor tidak kurang dari jam
tujuh malam. Hanya hari Sabtu yang mengijinkannya pulang lebih cepat.
Sudah empat tahun Angga memaksa otaknya
bersahabat dengan angka-angka yang membuatnya pusing. Memaksa dirinya untuk
berdamai dengan keadaan. Angga menempuh pendidikan S1 teknik sipil di salah
satu institut di Bandung. Bukan hal mudah. Itu bukan pilihannya. Hatinya tidak
pernah memilih profesi itu. Tapi ayah ngotot sekali meminta Angga masuk jurusan
itu. Mau jadi apa kau jika hanya bisa
menggambar, itu kata ayah dulu saat musim pendaftaran universitas dibuka. Bukan
keputusan yang salah. Angga tahu ayah akan selalu memberikan saran-saran
terbaik. Pemuda itu hanya butuh waktu untuk beradaptasi dengan dunia yang belum
disukainya itu. Dan sampai sekarang kemampuan adaptasinya masih sangat payah.
Jam istirahat siang. Seorang bocah, umurnya
mungkin sekitar lima belas tahun Angga tidak tahu pasti, mengantarkan jatah
makan siang para staff. Angga hanya mengintip sekilas menu makan siangnya. Mendesah
palan setelah mengintipnya. Dia bosan dengan menu yang itu-itu saja.
“Jang!” Angga memanggil bocah itu. Semua orang
memanggil bocah itu Ujang. Mungkin itu memang namanya, mungkin juga bukan. Bocah
itu menoleh kemudian melangkah pelan mendekati Angga.
“Ada apa, Mas?” Tanya bocah itu takut-takut.
Angga menyodorkan nasi kotak itu, “Ini untukmu
saja. Aku makan di luar siang ini.”
Meski bingung, Ujang menerima nasi kotak itu
juga. Meletakkannya di atas nampan kemudian mengangguk pelan sebelum keluar
dari kantor sementara. Angga meraih jaketnya kemudian berjalan keluar. Menyapa
beberapa teman satu tim-nya saat berpapasan di luar kantor sementara yang
terbuat dari triplek.
Angga memacu motor butut kesayangannya melewati
area proyek. Mengangguk beberapa kali setiap melewati staff atau tukang proyek
tersebut. Motor bututnya meraung protes saat Angga menambah kecepatannya. Meskipun
sudah sangat butut, Angga tidak berniat untuk mengganti motornya. Motor butut
itu adalah satu-satunya teman setia yang dia miliki sampai saat ini. Itu motor
pertama yang dibelikan ayah saat kelas satu SMA. Dengan modal seadanya, ayah
bahkan sampai menjual si bandot demi membelikan Angga motor. Anak SMA yang
masih labil itu tidak pernah berhenti menyinggung masalah motor setiap kali berbincang
dengan ayah. Jadilah ayah menjual si bandot dan membawa pulang motor butut itu
esok paginya.
Angga berhenti di salah satu warung gudeg di
dekat lokasi proyek. Bukan menu istimewa, tapi setidaknya bisa jadi selingan
daripada menu makan siang proyek yang sama setiap hari. Setelah menata
rambutnya dengan tangan, Angga turun dari motor. Warung gudeg itu lumayan
ramai. Ada pabrik di dekat sini. Kebanyakan pengunjung warung adalah pegawai
pabrik yang sedang beristirahat. Angga menyingkir sejenak saat ada serombongan
pegawai pabrik yang keluar warung. Sibuk bercakap-cakap sampai tidak menyadari
Angga yang memasang ekspresi kesal dan tidak sabaran. Matanya menyipit saat terkena
pantulan cahaya matahari. Pemuda itu berpindah posisi agar tidak terkena
pantulan cahaya itu lagi. Cahaya matahari yang memantul pada kaca mobil di
depan warung menyorot tepat ke arahnya. Angga buru-buru masuk setelah tidak ada
lagi rombongan yang keluar warung.
***
Angga mengetuk-ngetukkan ujung jemarinya pada
meja selama menunggu pesanannya. Pandangannya menyapu seluruh warung. Kerupuk,
pisang, tempe goreng, pernak-pernik umum yang selalu ada di warung mana pun. Matanya
terhenti pada orang yang duduk di sudut warung, dua meja jaraknya. Angga
menelengkan kepalanya untuk memastikan pandangannya. Setelah cukup yakin, Angga
bangkit dan menghampiri orang itu dengan penuh semangat.
“Kau jadi pagawai pabrik sekarang?” Tanya Angga
penuh antusias sambil menepuk lengan orang itu, kemudian duduk di hadapannya.
Setelah kaget untuk beberapa detik, orang itu
tertawa. “Kau juga?” Pemuda itu tertawa ringan.
Angga ikut tertawa, “Apa kabar?” Angga mengulurkan
tangannya, yang disambut dengan tepukan keras.
“Baik,” jawab pemuda itu singkat. “Gaji di
pabrik sini lumayan besar,” lanjutnya sambil tertawa.
“Aku serius, Gi. Kau jadi pegawai pabrik?”
Itu Agi, sahabat lamanya. Rumah mereka bahkan
berdekatan, hanya berbeda beberapa blok. Mereka selalu satu sekolah, sejak TK
sampai SMA. Kecuali saat kuliah. Angga melanjutkan pendidikannya di Bandung dan
Agi menetap di Jogja. Mereka berdua benar-benar seperti roda sepeda, selalu
bersama. Apa yang orang bilang? Best bro atau apalah istilah para remaja
jaman sekarang. Mereka sudah seperti saudara sendiri. Semua yang terjadi dalam
hidup Angga, Agi pasti tahu. Begitu juga sebaliknya.
Agi menggeleng, “Aku ada wawancara kerja.”
Angga mengangguk. Dia sudah tahu. Agi tidak
mungkin berakhir sebagai pegawai pabrik. Sahabatnya itu tidak akan menyerah
sebelum mendapatkan apa yang dia inginkan. Dan daftar keinginannya sungguh
panjang. Angga tidak berani menginginkan bahkan satu dari daftar keinginan Agi.
Terlalu mustahil untuk dicapai.
“Bagaimana denganmu? Masih senang melukis?”
Tanya Agi.
“Itu satu-satunya hal yang tidak akan aku
tinggalkan bahkan jika tanganku lumpuh.” Kata Angga dengan kemantapan luar
biasa. Dia suka melukis. Melukis selalu mengingatkannya pada ibu.
Agi hanya mengangguk.
Pesanan Angga datang satu detik berikutnya. Pelayan
warung itu sempat memasang ekspresi protes karena Angga pindah tempat duduk
begitu saja. Untung saja pelayan itu mengenali wajah Angga.
“Apa kau ada acara besok malam?” Tanya Agi saat
Angga baru saja membuka mulutnya untuk suapan pertama.
“Aku ada acara.” Jawab Angga singkat.
Dia memang ada acara. Angga berniat
menghabiskan waktu kosongnya besok malam untuk melukis sepuasnya. Dia terlalu
sibuk dengan pekerjaannya akhir-akhir ini. Tidak sempat menyentuh buku sketsa
dan pensilnya sama sekali.
“Benarkah?” Tanya Agi dengan tatapan
menyelidik.
“Kau mau apa? Sebegitu rindunya kau padaku
sampai mau mengajak kencan atau apa?” Angga bertanya sekenanya sambil melahap
makan siangnya. Waktu istirahatnya tidak lama.
“Aku ada kencan dengan Adriana besok malam.” Jawab
Agi enteng.
Angga hampir saja tersedak gudeg-nya. “Adriana
yang itu? Hubungan kalian masih
berlanjut?”
Agi menggeleng, “Baru akhir-akhir ini.”
“Lalu kau mau aku melakukan apa besok malam?”
Agi diam sebentar, “Kau belum pernah datang ke
cafe temanku.”
Angga mengerutkan dahinya, “Apa semua pembicaraan
ini ada hubungannya?” Angga mulai bingung dengan arah pembicaraan Agi.
“Aku biasa membantunya setiap malam. Cafe-nya
sangat ramai saat malam. Tapi besok malam aku tidak bisa.”
Angga mulai menangkap maksud pembicaraan Agi
yang berputar-putar, “Dan kau pikir aku bisa menggantikanmu untuk membantunya?”
Agi hanya mengangguk.
“Kita baru bertemu setelah sekian lama dan kau
sudah merepotkanku lagi,” kata Angga, bercanda.
Agi hanya tertawa.
Angga mendesah pelan, “Kau pikir akan seaneh
apa jika ada orang asing yang tiba-tiba menawarkan bantuan?”
Agi menyandarkan tubuhnya pada kursi. Duduk
lebih santai, kemudian menggeleng. “Tidak akan terlalu aneh jika kau yang
melakukannya. Kau sangat ahli memanipulasi jalan pikiran orang kan?”
Angga hanya tertawa mendengar kata-kata Agi
barusan. Pemuda itu teringat pada masa-masa SMA. Dulu dia tidak kenal malu dan
selalu bertindak tanpa pertimbangan. Anehnya, orang-orang selalu menganggap apa
yang dilakukannya itu benar hanya karena Angga memasang ekspresi “orang
baik-baik”.
“Entahlah, Gi. Aku sudah merencanakan acara
besok malam sejak lama.”
Agi mengangguk pelan, “Baiklah. Beritahu aku
jika ada perubahan rencana.”
Mereka berpisah di pintu warung. Angga pamit
lebih dulu. Memacu motor bututnya kembali ke proyek. Kembali ke rutinitasnya
yang mulai membosankan.
***
Jam tujuh tepat. Angga meluncur ke rumahnya. Pemuda
itu memacu motornya dengan kecepatan penuh. Sudah tidak sabar bertemu dengan
kasurnya. Angga berguling di atas kasurnya. Menatap langit-langit yang dipenuhi
gambar-gambar sketsa wajah ibu. Angga menempelnya saat SMP, sejak ibu
meninggal. Tiga hari penuh Angga menuangkan semua memorinya tentang ibu ke
dalam gambar. Saat ibu tersenyum, saat ibu diam, saat ibu marah, Angga berusaha
mengabadikan semua emosi ibu yang bisa diingatnya ke dalam gambar-gambar
sketsa. Ibu yang mengajarinya menggambar pertama kali. Ketertarikannya
berkembang, dari sekedar gambar sketsa menjadi lukisan.
Angga merogoh ke dalam tas ranselnya, meraih
sebuah buku sketsa yang selalu dibawanya kemana-mana. Membuka halaman demi
halaman. Hanya tiga lembar pertama yang terisi, sisanya kosong. Rasanya sudah
sangat lama dia tidak menggambar. Pemuda itu melihat ke sekeliling kamarnya. Dia
butuh suasana baru untuk mendapat inspirasi.
Angga meraih ponselnya di saku celana. Mencari
nomor Agi dengan cepat kemudian mengirim pesan
Sepertinya
rencanaku batal besok malam.
Mungkin saja cafe teman Agi itu bisa memberinya inspirasi lebih
untuk membuat gambar-gambar baru yang lebih segar. Dia lelah selalu membuat
gambar-gambar sendu karena selalu teringat pada ibu. Tidak lama, ponselnya
berdenting. Itu pesan dari Agi.
Baiklah,
aku akan memberitahu tugasmu nanti.
Tugas? Macam misi rahasia saja. Angga hanya akan membantu
seseorang di cafe, bukan jadi mata-mata. Angga mendesah pelan. Perlahan mulai
menutup matanya, terlalu lelah.
***
Angga membaca lagi pesan yang dikirim Agi semalam. Tugas-tugas yang harus dilakukan Angga
di cafe nanti. Daftar yang cukup panjang. Tugas yang paling mencolok bagi Angga
adalah lakukan senormal mungkin dan jangan sampai dia tahu kau temanku. Angga
merasa sedikit tersinggung sebenarnya. Agi sudah membuatnya membantu seseorang
yang tidak dia kenal dan Angga bahkan tidak diperbolehkan untuk mengaku sebagai
teman Agi? Pemuda itu hanya tersenyum saat membaca ulang tugas-tugasnya,
semakin penasaran dengan sosok ‘teman’ Agi yang sepertinya sangat spesial ini.
Angga memarkir motor bututnya di depan sebuah cafe. Mengamati
sekilas penampilan luar cafe sebelum masuk. Cafe Lofa. Tulisan hijau yang
berkedip-kedip di jendela kaca besar menarik perhatiannya. Setelah mematut diri
di spion motor cukup lama, akhirnya Angga turun dari motor. Berhenti sebentar
di depan papan hitam besar yang terlihat ganjil di dekat pintu. Setelah membaca
tulisan yang ada pada papan itu, Angga baru tahu itu papan menu. Pantas saja
papan tulisnya besar sekali. Pemuda itu mengerutkan dahi saat membaca menu
makanan dan minuman yang ada. Aneh. Tidak ada nama yang dia kenali selain kopi.
Dengan modal ingatan seadanya, Angga melangkah masuk. Berniat
memesan apa pun yang pertama kali melintas di ingatannya. Nama-nama makanan dan
minumannya terlalu aneh untuk diingat. Keadaan di dalam cafe ramai sekali. Hampir
semua kursi penuh, hanya tersisa deretan kursi tinggi di dekat meja bar. Angga
melangkah masuk, duduk di salah satu kursi tinggi. Celingukan mencari pelayan
cafe. Tidak ada seorang pun. Dia hanya duduk diam, memperhatikan keadaan
sekelilingnya. Pemuda itu duduk diam cukup lama sampai akhirnya ada seorang
perempuan yang memakai celemek mendekati meja bar. Terengah-engah. Angga
melihat pin nama yang disematkan pada celemeknya. Lofa. Dia teman Agi?
“Sepertinya kau sibuk sekali,” Angga mulai
bersuara.
Gadis di hadapannya hanya tersenyum, kemudian
tersentak seperti teringat sesuatu.
“Oh, kau mau pesan sesuatu?” Tanya gadis itu.
Sial! Terlalu lama diam membuat Angga melupakan
semua nama makanan dan minuman yang tertulis di papan besar itu. Dia hanya
ingat kopi. Tapi Angga sedang tidak ingin kopi sekarang.
“Aku sudah membaca itu tadi,” Angga menelengkan
kepalanya ke arah papan besar di luar cafe. “Tapi aku lupa apa yang mau aku
pesan.”
“Kau bisa pesan menu spesial cafe ini,” gadis
itu menunjuk papan hitam lain yang berukuran lebih kecil, menggantung di dekat
meja bar. Minuman kebahagiaan. Nama aneh lagi.
“Namanya...unik.” Angga tidak melihat menu itu
di luar tadi. “Itu menu spesial?”
Gadis itu mengangguk mantap, “Sangat spesial.”
“Baiklah. Aku pesan satu.” Akan seburuk apa sih
minuman kebahagiaan itu? Meskipun Angga tidak yakin minuman itu benar-benar
bisa membuatnya bahagia.
Hanya butuh waktu sebentar, minuman kebahagiaan
itu sudah ada di mejanya. Warnanya jingga dan biru. Seperti langit siang dan
senja yang menempel menjadi satu. Angga mengaduk minumannya, warnanya berubah
menjadi hijau. Setelah yakin minumannya sudah tercampur sempurna, Angga mulai
menyesapnya. Sensasi dingin dan rasa asam langsung menjalar ke otaknya. Membekukan
sel-sel syaraf berpikirnya. Secara otomatis mata kanannya menyipit sebagai
reaksi dari rasa asam yang mengontrol otaknya.
“Asam,” kata
Angga setelah mampu meraih kembali suaranya.
Gadis itu hanya tertawa renyah.
“Tapi enak.” Angga menambahkan.
“Sudah aku bilang itu minuman spesial.” Kata gadis
itu dengan sangat bangga. Terlihat dari senyumnya yang merekah.
Angga baru akan mengatakan sesuatu saat gadis
itu mengambil secarik kertas dari balik meja bar. Kertas bill.
“Aku
permisi dulu,” katanya.
Angga hanya memperhatikan gadis itu yang sibuk
mengurus para pengunjung yang silih berganti. Keluar satu, masuk lagi yang
lain. Laris sekali cafe ini. Sekarang saatnya Angga beraksi.
“Kau
butuh bantuan?” Tanya pemuda itu dengan memasang ekspresi malaikat yang jadi andalannya.
Gadis itu hanya tersenyum kemudian menggeleng.
“Sepertinya kau sangat kerepotan.” Angga
menambahkan.
Gadis itu menggeleng lagi, “Ini sudah tugasku.”
“Kau yakin?”
Angga bisa melihat raut curiga di wajah gadis
itu saat dia mengangguk.
“Aku
bosan hanya duduk diam di sini. Ayolah, pasti ada sesuatu yang bisa aku
lakukan.” Ini alasan yang tidak masuk akal! Tentu saja tugasnya hanya duduk
diam. Dia pengunjung!
“Kau
pengunjung. Sudah seharusnya kau duduk diam di situ dan menikmati pesananmu.” Gadis
itu mengatakan hal yang persis sama dengan yang Angga pikirkan. Ternyata
alasannya memang payah.
“Tidak
perlu. Terima kasih.”
Angga hanya mengangkat bahunya sekilas.
Mengalah. Tiba-tiba saja pemuda itu teringat sesuatu.
“Kita belum berkenalan.” Kata Angga sambil
mengulurkan tangannya.
Gadis itu menatap tangan Angga untuk beberapa
saat, kemudian menjabatnya.
“Angga.” Pemuda itu mengucapkan namanya.
“Lofa,” jawab gadis itu ragu.
“Aku tahu,” kata Angga sambil tertawa ringan.
Dia sudah tahu nama gadis itu bahkan sebelum bertemu dengannya. Perkenalan itu
hanya basa-basi. Angga menunjuk pin nama yang melekat pada celemek Lofa untuk
memberitahu bahwa semua orang bisa tahu namanya.
Lofa sepertinya tidak menyadari keberadaan pin
nama itu sama sekali. Lofa diam menatap pin itu cukup lama.
“Kita sudah
saling kenal,” kata Angga.
Lofa langsung mendongak dengan ekspresi kaget.
“Sekarang aku boleh membantumu?”
Lofa mengangkat sebelah alisnya. Menatap penuh
curiga. Angga hanya tertawa melihat ekspresi gadis itu, “Aku tidak berniat
jahat.”
Kecurigaan di wajah Lofa tidak berkurang
sedikit pun.
“Dengar, aku bisa membantumu mencatat pesanan
dan mengantarkan pesanan. Kau terlihat sangat kerepotan. Aku hanya ingin
membantu.” Angga teringat sesuatu, kemudian menambahkan, “Dan aku tidak minta
bayaran.”
Angga sedang memainkan peran “orang baik-baik”
itu. Biasanya itu berhasil. Benar kata Agi, sejak dulu Angga sangat ahli
memanipulasi jalan pikiran orang. Dia menjadi salah satu orang yang dianggap
tidak akan pernah berbuat jahat hanya karena dia terlihat seperti “orang
baik-baik”. Padahal, siapa yang tahu pikiran orang.
Lofa tersenyum. Pertanda bagus. Dia akan
menerima bantuannya.
“Aku bisa melakukannya sendiri. Terima kasih.
Kau baik sekali.”
Senyum di wajah Angga luntur. Dia gagal. Untuk
pertama kalinya, Angga gagal.
wah, ini, siapa lagi yg dateng? misterius guest lagi?
ice, ngga sabar baca lanjutannya ;)