Rss Feed
  1. Cafe Lofa : Mak Comblang

    Tuesday, January 14, 2014


    BAGIAN 3


    Adriana datang. Dan hari ini tidak ada Agi. Pemuda itu sedang sibuk melamar pekerjaan lain sejak ditolak oleh perusahaan yang mewawancarainya beberapa hari yang lalu. Mau tidak mau Lofa yang harus mengobrol dengan Adriana. Ya, Adriana. Gadis yang selalu membuat Lofa merasa jadi gadis paling jelek sedunia.  Suara langkah kakinya yang berirama memenuhi cafe yang sepi. Sudah hampir satu minggu sejak pembukaan Cafe Lofa, pengunjung cafe itu masih kurang dari yang diharapkan Lofa. Kecuali saat malam hari, memang ada cukup banyak pengunjung. Tapi saat siang, Lofa menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bersih-bersih.
    Lofa sedang berusaha bersikap senatural mungkin. Memikirkan kata-kata apa yang sebaiknya dia ucapkan. Merilekskan tubuhnya agar terlihat biasa-biasa saja. Terlambat. Adriana sudah mencapai meja bar saat Lofa sedang menggerak-gerakkan bahunya.
    “Hai!” Sapa Adriana ringan seolah-olah mereka adalah teman lama yang sudah sangat akrab.
    “Hai.” Lofa berusaha mengimbangi ketenangan Adriana. Tapi gagal. Suaranya serak karena terlalu lama diam. Dia selalu gugup jika berhadapan langsung dengan Adriana.
    “Agi tidak datang?” Tanya Adriana sambil duduk di sebuah kursi tinggi.
    Lofa menggeleng pelan, “Dia sedang sibuk menyiapkan berkas-berkas untuk melamar pekerjaan lagi.”
    “Lagi? Bukankah dia ditawari pekerjaan di sebuah rumah sakit?”
    Agi? Ditawari pekerjaan di rumah sakit? Kenapa Adriana bisa tahu informasi sepenting itu sedangkan Lofa tidak?
    Adriana mendesah frustasi, “Kenapa sih dia itu pemilih sekali? Selalu seperti itu.”
    Lofa hanya memberikan setengah perhatiannya untuk mendengar pembicaraan Adriana. Setengah pikirannya yang lain sibuk memikirkan berbagai macam alasan kenapa Agi tidak memberitahunya, malah memberitahu Adriana. Itu kesempatan besar. Jika Agi memberitahunya, Lofa pasti akan berusaha mati-matian untuk meyakinkan Agi agar menerima tawaran itu.
    “....dan akhirnya dia malah tidak mendapatkan apa pun karena terlalu perfeksionis tentang pilihannya.” Adriana mengakhiri ceritanya.
    “Bagaimana saat kuliah? Apa sifatnya tidak berubah? Kalian teman dekat kan?” Adriana menodong Lofa dengan begitu banyak pertanyaan sejak pertama kali datang dan semuanya memiliki satu tema utama. Agi. Lofa bahkan belum sempat bertanya apa yang ingin dipesan Adriana.
    “Kau mau pesan sesuatu?” Tanya Lofa tanpa menjawab pertanyaan-pertanyaan Adriana.
    “Kopi saja.” Katanya singkat. “Kau belum menjawab pertanyaanku.”
    Lofa mengenal Agi sejak kuliah. Dan dia tidak begitu mendengarkan paparan Adriana tentang sifat Agi semasa SMA. Bagaimana dia bisa tahu ada yang berubah atau tidak dari sifat Agi?
    “Dia baik.” Jawaban netral. Lofa tidak menjelaskannya secara spesifik. Hanya satu sifat yang dia tahu pasti tentang Agi. Dia baik.
    Lofa mengambil sebuah cangkir kemudian menuangkan kopi dari mesin pembuat kopi. Asap putih mengepul dari permukaan cairan hitam yang ada di dalam cangkir. Seolah-olah baru saja mendapat kebebasan, asap-asap itu membumbung tinggi sampai ke langit-langit kemudian lenyap.
    Gadis itu menyodorkan secangkir kopi pada Adriana, kemudian pura-pura mengelap meja. Lofa sudah mengelap meja itu berkali-kali hari ini. Dia tidak tahu harus bagaimana. Lofa sudah pasti akan salah tingkah jika tidak melakukan sesuatu.
    “Sejak kapan kau dekat dengan Agi?” Tanya Adriana setelah menyesap kopinya sekali. Dia beralih profesi menjadi wartawan atau apa?
    “Semester tiga,” Lofa masih berusaha memusatkan perhatiannya pada kain lap yang ada di tangannya. “Kami satu kelompok kulinari. Kami dekat sejak itu.” Lofa berusaha mengatur suaranya agar terdengar tenang dan berwibawa. Bukan cempreng dan manja seperti biasanya.
    “Kalian sangat dekat ya?” Adriana memutar-mutar cangkirnya di atas tatakan.
    Kali ini Lofa benar-benar berharap ada pengunjung lain yang datang agar dia bisa terbebas dari obrolan ini. Siapa pun. Pemuda rapi, Dhanny, yang waktu itu meminta sarannya juga tidak masalah. Diam-diam Lofa ingin tahu kelanjutan masalah Dhanny dengan pacarnya itu. Jadi dia benar-benar berharap pemuda itu datang lagi hari ini. Setidaknya akan ada orang lain yang bisa Lofa ajak bicara selain Adriana.
    “Cukup dekat untuk tahu semua tentangnya.” Lofa sudah melipat lap-nya. Dia berusaha nampak sekeren mungkin. Angkuh dan berwibawa. Seperti sosok tuan Darcy saat sedang berhadapan dengan Lizzy.
    Adriana menyingkirkan cangkir kopinya kemudian mencondongkan tubuhnya. “Kau mau membantuku?”
    Tidak akan. Aku tidak mau ada yang dekat dengan Agi selain aku!
    “Tentu saja.”
    Bodoh! Lofa benci mulutnya yang tidak pernah bisa mengutarakan isi pikirannya dengan benar. Satu detik kemudian Lofa teringat pada tips bisnis yang dibacanya di salah satu buku motivasi koleksi ayah. Tips itu mengatakan, jadikan musuh terbesarmu sebagai teman terbaik. Ya, mungkin itu yang sedang dilakukan Lofa sekarang. Menjadikan Adriana, saingannya yang paling potensial, teman baik.
    Adriana tersenyum lebar. Dia memundurkan tubuhnya kemudian kembali memainkan cangkir kopinya. Seperti sedang memikirkan rencana-rencana jahat yang hebat, Adriana tersenyum sendiri saat jemarinya menyusuri bibir cangkir. Lofa sibuk berdebat dengan dirinya sendiri selama memandangi tingkah Adriana. Kenapa dia harus menyetujui permintaan itu? Lofa menggeleng. Mungkin saja bantuan yang diharapkan Adriana berbeda dengan yang dia pikirkan. Mungkin itu tidak ada hubungannya dengan Agi. Lofa perlu tahu sebenarnya bantuan macam apa yang Adriana inginkan. Pertanyaan Adriana berikutnya mengonfirmasi ketakutan Lofa.
    “Menurutmu ke mana sebaiknya aku mengajak Agi makan malam besok?”
    Lofa menciut, bukan secara harfiah. Tapi segala sesuatu dalam dirinya terasa menciut. Adriana bukan tandingannya. Secara fisik Adriana jelas akan menang. Lelaki mana sih yang tidak menyukai perempuan macam Adriana? Badan tinggi langsing bak model dan sikap percaya diri yang memesona?
    “Bagaimana kalau aku mengajaknya ke Super Choco?”
    Kenapa tidak mengajaknya ke sini saja agar aku bisa memata-matai kalian? Pikir Lofa kesal.
    Lofa buru-buru menggeleng, “Terlalu manis. Agi takut diabetes.”
    Adriana mengangguk kemudian menyangga kepalanya dengan sebelah tangan sementara tangan lainnya masih memutar-mutar cangkir kopi di atas tatakannya.
    “Agi suka makanan apa?”
    “Pedas.” Jawab Lofa cepat.
    Bohong! Agi benci makanan pedas. Terakhir kali Lofa mengajaknya ke rumah makan padang, Agi langsung diare.
    “Dia suka membuat makanan pedas.” Untuk yang satu ini Lofa tidak berbohong. Agi memang suka sekali membuat makanan pedas. Itu karena Lofa yang memintanya. Agi tidak pernah menyentuh makanan itu sedikit pun.
    Seperti baru saja mendapat ide cemerlang, Adriana langsung mengangkat kepalanya sambil tersenyum lebar. “Aku tahu akan membawanya ke mana.”
    Belum sempat Lofa menanyakan tempat yang dimaksud, Adriana sudah panik melihat jam tangannya. Gadis berambut pendek itu melompat turun dari kursi tinggi kemudian merapikan pakaian kerjanya.
    “Jam makan siangku sudah habis. Aku pergi dulu.” Adriana menyodorkan selembar uang untuk membayar kopinya kemudian tersenyum lagi, “Terima kasih.” Setelah mengucapkan itu Adriana langsung berjalan cepat keluar cafe.
    Lofa merasa sangat bersalah. Ada sebagian dalam dirinya yang mengutuki kebohongannya. Tapi sebagian dirinya yang lain benar-benar ingin membuat Adriana terlihat buruk di hadapan Agi. Lofa hanya mendesah frustasi. Dia sudah berbohong. Sekarang Lofa hanya perlu menunggu hasil dari kebohongannya.

  2. 0 komentar:

    Post a Comment