BAGIAN 3
Adriana datang. Dan hari ini tidak ada Agi. Pemuda
itu sedang sibuk melamar pekerjaan lain sejak ditolak oleh perusahaan yang
mewawancarainya beberapa hari yang lalu. Mau tidak mau Lofa yang harus
mengobrol dengan Adriana. Ya, Adriana. Gadis yang selalu membuat Lofa merasa
jadi gadis paling jelek sedunia. Suara
langkah kakinya yang berirama memenuhi cafe yang sepi. Sudah hampir satu minggu
sejak pembukaan Cafe Lofa, pengunjung cafe itu masih kurang dari yang
diharapkan Lofa. Kecuali saat malam hari, memang ada cukup banyak pengunjung. Tapi
saat siang, Lofa menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bersih-bersih.
Lofa sedang berusaha bersikap senatural
mungkin. Memikirkan kata-kata apa yang sebaiknya dia ucapkan. Merilekskan
tubuhnya agar terlihat biasa-biasa saja. Terlambat. Adriana sudah mencapai meja
bar saat Lofa sedang menggerak-gerakkan bahunya.
“Hai!” Sapa Adriana ringan seolah-olah mereka
adalah teman lama yang sudah sangat akrab.
“Hai.” Lofa berusaha mengimbangi ketenangan
Adriana. Tapi gagal. Suaranya serak karena terlalu lama diam. Dia selalu gugup
jika berhadapan langsung dengan Adriana.
“Agi tidak datang?” Tanya Adriana sambil duduk
di sebuah kursi tinggi.
Lofa menggeleng pelan, “Dia sedang sibuk
menyiapkan berkas-berkas untuk melamar pekerjaan lagi.”
“Lagi? Bukankah dia ditawari pekerjaan di
sebuah rumah sakit?”
Agi? Ditawari pekerjaan di rumah sakit? Kenapa
Adriana bisa tahu informasi sepenting itu sedangkan Lofa tidak?
Adriana mendesah frustasi, “Kenapa sih dia itu
pemilih sekali? Selalu seperti itu.”
Lofa hanya memberikan setengah perhatiannya
untuk mendengar pembicaraan Adriana. Setengah pikirannya yang lain sibuk
memikirkan berbagai macam alasan kenapa Agi tidak memberitahunya, malah
memberitahu Adriana. Itu kesempatan besar. Jika Agi memberitahunya, Lofa pasti
akan berusaha mati-matian untuk meyakinkan Agi agar menerima tawaran itu.
“....dan akhirnya dia malah tidak mendapatkan
apa pun karena terlalu perfeksionis tentang pilihannya.” Adriana mengakhiri ceritanya.
“Bagaimana saat kuliah? Apa sifatnya tidak
berubah? Kalian teman dekat kan?” Adriana menodong Lofa dengan begitu banyak
pertanyaan sejak pertama kali datang dan semuanya memiliki satu tema utama.
Agi. Lofa bahkan belum sempat bertanya apa yang ingin dipesan Adriana.
“Kau mau pesan sesuatu?” Tanya Lofa tanpa
menjawab pertanyaan-pertanyaan Adriana.
“Kopi saja.” Katanya singkat. “Kau belum
menjawab pertanyaanku.”
Lofa mengenal Agi sejak kuliah. Dan dia tidak begitu
mendengarkan paparan Adriana tentang sifat Agi semasa SMA. Bagaimana dia bisa
tahu ada yang berubah atau tidak dari sifat Agi?
“Dia baik.” Jawaban netral. Lofa tidak menjelaskannya
secara spesifik. Hanya satu sifat yang dia tahu pasti tentang Agi. Dia baik.
Lofa mengambil sebuah cangkir kemudian menuangkan
kopi dari mesin pembuat kopi. Asap putih mengepul dari permukaan cairan hitam
yang ada di dalam cangkir. Seolah-olah baru saja mendapat kebebasan, asap-asap
itu membumbung tinggi sampai ke langit-langit kemudian lenyap.
Gadis itu menyodorkan secangkir kopi pada
Adriana, kemudian pura-pura mengelap meja. Lofa sudah mengelap meja itu berkali-kali
hari ini. Dia tidak tahu harus bagaimana. Lofa sudah pasti akan salah tingkah
jika tidak melakukan sesuatu.
“Sejak kapan kau dekat dengan Agi?” Tanya
Adriana setelah menyesap kopinya sekali. Dia beralih profesi menjadi wartawan
atau apa?
“Semester tiga,” Lofa masih berusaha memusatkan
perhatiannya pada kain lap yang ada di tangannya. “Kami satu kelompok kulinari. Kami dekat sejak
itu.” Lofa berusaha mengatur suaranya agar terdengar tenang dan berwibawa. Bukan
cempreng dan manja seperti biasanya.
“Kalian sangat dekat ya?” Adriana memutar-mutar
cangkirnya di atas tatakan.
Kali ini Lofa benar-benar berharap ada
pengunjung lain yang datang agar dia bisa terbebas dari obrolan ini. Siapa pun.
Pemuda rapi, Dhanny, yang waktu itu meminta sarannya juga tidak masalah. Diam-diam
Lofa ingin tahu kelanjutan masalah Dhanny dengan pacarnya itu. Jadi dia
benar-benar berharap pemuda itu datang lagi hari ini. Setidaknya akan ada orang
lain yang bisa Lofa ajak bicara selain Adriana.
“Cukup dekat untuk tahu semua tentangnya.” Lofa
sudah melipat lap-nya. Dia berusaha nampak sekeren mungkin. Angkuh dan
berwibawa. Seperti sosok tuan Darcy saat sedang berhadapan dengan Lizzy.
Adriana menyingkirkan cangkir kopinya kemudian
mencondongkan tubuhnya. “Kau mau membantuku?”
Tidak akan. Aku tidak mau ada yang dekat dengan Agi selain
aku!
“Tentu saja.”
Bodoh! Lofa benci mulutnya yang tidak pernah
bisa mengutarakan isi pikirannya dengan benar. Satu detik kemudian Lofa teringat
pada tips bisnis yang dibacanya di salah satu buku motivasi koleksi ayah. Tips
itu mengatakan, jadikan musuh terbesarmu
sebagai teman terbaik. Ya, mungkin itu yang sedang dilakukan Lofa sekarang.
Menjadikan Adriana, saingannya yang paling potensial, teman baik.
Adriana tersenyum lebar. Dia memundurkan
tubuhnya kemudian kembali memainkan cangkir kopinya. Seperti sedang memikirkan
rencana-rencana jahat yang hebat, Adriana tersenyum sendiri saat jemarinya
menyusuri bibir cangkir. Lofa sibuk berdebat dengan dirinya sendiri selama
memandangi tingkah Adriana. Kenapa dia harus menyetujui permintaan itu? Lofa
menggeleng. Mungkin saja bantuan yang diharapkan Adriana berbeda dengan yang
dia pikirkan. Mungkin itu tidak ada hubungannya dengan Agi. Lofa perlu tahu
sebenarnya bantuan macam apa yang Adriana inginkan. Pertanyaan Adriana
berikutnya mengonfirmasi ketakutan Lofa.
“Menurutmu ke mana sebaiknya aku mengajak Agi
makan malam besok?”
Lofa menciut, bukan secara harfiah. Tapi segala
sesuatu dalam dirinya terasa menciut. Adriana bukan tandingannya. Secara fisik
Adriana jelas akan menang. Lelaki mana sih yang tidak menyukai perempuan macam
Adriana? Badan tinggi langsing bak model dan sikap percaya diri yang memesona?
“Bagaimana kalau aku mengajaknya ke Super Choco?”
Kenapa tidak mengajaknya ke sini saja agar aku bisa
memata-matai kalian? Pikir Lofa kesal.
Lofa buru-buru menggeleng, “Terlalu manis. Agi
takut diabetes.”
Adriana mengangguk kemudian menyangga kepalanya
dengan sebelah tangan sementara tangan lainnya masih memutar-mutar cangkir kopi
di atas tatakannya.
“Agi suka makanan apa?”
“Pedas.” Jawab Lofa cepat.
Bohong! Agi
benci makanan pedas. Terakhir kali Lofa mengajaknya ke rumah makan padang, Agi
langsung diare.
“Dia suka membuat makanan pedas.” Untuk yang
satu ini Lofa tidak berbohong. Agi memang suka sekali membuat makanan pedas. Itu
karena Lofa yang memintanya. Agi tidak pernah menyentuh makanan itu sedikit
pun.
Seperti baru saja mendapat ide cemerlang,
Adriana langsung mengangkat kepalanya sambil tersenyum lebar. “Aku tahu akan
membawanya ke mana.”
Belum sempat Lofa menanyakan tempat yang
dimaksud, Adriana sudah panik melihat jam tangannya. Gadis berambut pendek itu
melompat turun dari kursi tinggi kemudian merapikan pakaian kerjanya.
“Jam makan siangku sudah habis. Aku pergi dulu.”
Adriana menyodorkan selembar uang untuk membayar kopinya kemudian tersenyum
lagi, “Terima kasih.” Setelah mengucapkan itu Adriana langsung berjalan cepat
keluar cafe.
Lofa merasa sangat bersalah. Ada sebagian dalam
dirinya yang mengutuki kebohongannya. Tapi sebagian dirinya yang lain
benar-benar ingin membuat Adriana terlihat buruk di hadapan Agi. Lofa hanya
mendesah frustasi. Dia sudah berbohong. Sekarang Lofa hanya perlu menunggu
hasil dari kebohongannya.
0 komentar:
Post a Comment