Ada jeda beberapa menit setelah Dhanny menekan
bel yang ada di dekat pintu. Rasanya sudah ratusan kali Dhanny mengunjungi
rumah ini. Tidak ada perbedaan yang terlalu signifikan. Hanya warna cat pintunya
yang sering berubah-ubah. Pintunya berukuran besar dengan dua daun pintu yang
diukir dengan pola-pola bunga. Nura bilang pintu itu dipesan langsung dari
seorang pengrajin ukiran kenalan ayahnya di Jepara. Warna ukirannya hitam pekat
dua bulan yang lalu. Sekarang warna ukirannya sudah berubah menjadi coklat
muda. Anehnya, meskipun warnanya berubah-ubah, komposisi warna yang dipilih selalu
saja sempurna dan menarik. Mungkin itu adalah salah satu keahlian desainer
interior, bisa menyihir warna apa saja menjadi sangat indah.
Dhanny mengetuk-ngetukkan ujung sepatunya
selama menunggu pintu di hadapannya terbuka. Setelah beberapa menit, terdengar
suara klik pelan saat kenop pintu diputar. Kepala Nura melongok ke luar saat
daun pintu terbuka. Gadis itu langsung membuka pintunya lebar-lebar untuk menyambut
Dhanny. Rambut panjangnya bergerak-gerak ringan saat tertiup angin malam. Nura
memiringkan kepalanya, memberi isyarat pada Dhanny untuk masuk ke dalam.
Dhanny melepas sepatunya kemudian masuk. Sensasi
dingin langsung merayapi kakinya saat telapak kaki Dhanny yang tanpa alas
menyentuh lantai marmer di dalam rumah. Rupanya suhu di dalam tidak kalah
dingin dengan di luar.
“Warnanya berubah lagi?” Tanya Dhanny saat
berjalan melewati pintu.
Nura menoleh dan menatap pintu yang ditunjuk
Dhanny, kemudian menggerakkan bahunya sekilas, “Papa sedang bereksperimen
dengan warna baru.”
“Aku heran, bagaimana bisa papamu menemukan
komposisi warna yang selalu cocok untuk pintu itu.”
Nura tertawa ringan saat mendengar pujian
Dhanny, “Papa itu desainer interior yang sangat hebat, tahu.”
Nura membimbing Dhanny ke ruang tamu. Rupanya
Nura sedang mengerjakan sesuatu dengan laptopnya di sana sebelum Dhanny datang.
Ada satu set sofa super besar berwarna hijau lumut di tengah ruangan. Ada
bantal-bantal kotak besar di setiap pinggiran sofa. Dhanny hampir saja
menduduki gumpalan bulu berwarna abu-abu pudar yang meringkuk nyaman di salah
satu bantal besar.
“Hai, Felis...” Sapa Dhanny setelah menyadari
benda apa itu.
“Alexis.” Lagi-lagi Nura mengoreksi nama
kucingnya.
“Kenapa harus memanggilnya dengan nama lain
kalau nama aslinya sudah cukup bagus?”
Dhanny menepuk kepala kucing itu beberapa kali
untuk mengusirnya dari sofa. Kucing itu hanya menguap lebar-lebar dengan
ekspresi jengkel kemudian mengeong sekali sebelum akhirnya melompat turun dari
sofa dan melenggang pergi. Kucing abu-abu gendut itu mengeong-ngeong pelan
selama perjalanannya ke ruang tengah, seolah-olah sedang menggerutu karena
Dhanny mengusirnya.
“Makan malamnya hampir siap. Mama sedang
memasak rendang paling enak sedunia,” kata Nura saat duduk dan menghadap laptop
yang ada di atas meja.
Dhanny hanya memandangi Nura dari samping. Wajahnya
terlihat sangat terang karena terkena pancaran cahaya dari layar laptop. Gadis
itu terlihat sangat serius dengan pekerjaannya. Dhanny mengubah posisi duduknya
agar bisa melihat apa yang sedang dikerjakan Nura.
“Lalu apa yang kau lakukan di sini?”
Nura menoleh sekilas kemudian kembali menatap
layar laptopnya, “Menyelesaikan laporanku.”
“Kau seharusnya membantu mamamu.”
“Hem.”
“Kau mau memberiku makan apa kalau tidak
belajar masak dari sekarang?”
Lagi-lagi Nura hanya menoleh sekilas kemudian
kembali mengabaikan Dhanny.
“Kau tidak pernah dengar peribahasa, ‘cinta itu
tumbuh dari perut naik ke hati’?”
“Mana ada peribahasa seperti itu?”
“Tentu saja ada.”
Nura menghela nafas panjang kemudian bangkit, “Baiklah.”
Dhanny tersenyum sekilas saat melihat Nura
berjalan ke dalam. Dhanny menyandarkan tubuhnya, menatap langit-langit ruang
tamu yang tinggi. Ada lampu kristal besar yang menjuntai, memancarkan cahaya
terang yang berkilauan. Pandangan Dhanny beralih pada layar laptop Nura saat
matanya menangkap ada sesuatu yang bergerak di sana. Ternyata screen saver. Nura memasang foto-foto
yang terus berganti-ganti sebagai screen
saver laptopnya.
Foto pertama yang muncul di layarnya adalah
foto keluarga. Berdasarkan cerita Nura, foto itu diambil dua hari setelah kakak
perempuannya menikah. Itu sebabnya ada tambahan satu orang dalam foto itu. Nura
berdiri di antara ayah dan ibunya, sedangkan kakak perempuannya berdiri di
samping suaminya. Kakak perempuan Nura terlihat sangat mirip dengannya. Dhanny
cukup yakin orang yang tidak mengenal mereka cukup dekat akan salah mengira
Nura memiliki saudara kembar. Screen
saver itu beralih pada foto Nura dan Dhanny. Dhanny hanya tersenyum saat
melihat foto yang diambil saat mereka masih kuliah itu. Kalau tidak salah itu
tepat tiga bulan setelah Dhanny dan Nura resmi pacaran. Penampilan mereka dalam
foto itu masih terlihat sangat lugu. Nura bahkan masih memiliki poni yang
menutupi dahinya.
Foto berikutnya membuat Dhanny agak tercengang.
Dhanny mencondongkan tubuhnya untuk melihat foto itu lebih dekat. Dhanny yakin
itu gadis berambut pendek yang dilihatnya di Cafe Lofa siang tadi. Nura
terlihat sangat dekat dengan gadis itu. Mereka berdua sedang berfoto di pantai.
Tangan Nura merangkul bahu gadis itu dengan erat, dan ekspresi mereka
memancarkan kebahagiaan. Rambut gadis itu belum sependek sekarang, tapi Dhanny
sangat yakin dia tidak salah lihat.
“Kau sedang apa?”
Dhanny tersentak kaget saat mendengar suara
Nura di dekatnya. Dhanny mendongak demi mendapati Nura sedang membungkuk di
dekatnya untuk melihat layar laptopnya.
“Dia siapa?” Tanya Dhanny sambil menunjuk layar
laptop Nura.
“Sepupuku. Kenapa?”
“Aku rasa aku bertemu dengannya tadi siang.”
Nura mengangkat sebelah alisnya saat menuntut
penjelasan. Dhanny selalu penasaran bagaimana Nura melakukannya. Dia sudah
mencoba beberapa kali, tapi hasilnya malah kedua alisnya terangkat bersamaan. Mengecewakan.
“Di mana?” Tanya Nura sambil mematikan
laptopnya. Foto Nura dan sepupunya itu hilang saat Nura menyentuh touchpad laptopnya.
“Di Cafe Lofa. Aku ke sana saat istirahat
tadi.”
Dhanny baru menyesali jawabannya saat melihat
Nura menoleh dan menatapnya dengan tatapan curiga. Tatapan itu pasti akan
berbuntut pertanyaan panjang yang mau tidak mau harus Dhanny jawab.
“Cafe Lofa?” Pertanyaan yang diajukan Nura
berbeda dengan yang dibayangkan Dhanny sebelumnya. Kali ini Dhanny hanya perlu
mengangguk untuk menjawab.
Nura menangkupkan kedua tangannya, “Itu kan
cafe yang dikerjakan Adriana bersama Agi akhir-akhir ini!” Nura terlihat sangat
sumringah. “Apa kau melihat Adriana bersama seseorang?” Kali ini Nura sudah
berubah menjadi sosok yang terlalu ingin tahu urusan orang lain. Sebenarnya
Dhanny merasa sedikit kecewa karena ternyata Nura lebih penasaran pada kegiatan
sepupunya dibanding alasan Dhanny datang ke Cafe Lofa siang tadi.
Dhanny mengangguk lagi, “Seorang cowok berambut
ikal.”
“Agi! Itu pasti Agi!” Dhanny mengkerut saat
melihat Nura terlalu bersemangat.
“Kau ini kenapa sih?” Tanya Dhanny khawatir. Dia
takut Nura salah obat.
“Uh, ceritanya panjang sekali.” Saat Nura
mengatakan ini biasanya dia tidak berniat untuk berhenti di situ, sebaliknya
dia sangat bersemangat untuk menguraikan cerita yang panjang sekali itu. Tapi Dhanny menurut saat Nura mulai bercerita.
Dia tidak ingin merusak mood Nura
yang sedang bagus.
“Papa sudah menolak proyek Cafe Lofa ini,
karena itu bukan proyek besar. Tapi Adriana tetap ngotot untuk menerima proyek
ini karena Agi yang memintanya. Adriana luar biasa senang saat Agi
menghubunginya suatu hari untuk mendekorasi sebuah cafe milik temannya.”
Dhanny hanya mengangguk sesekali untuk
menunjukkan bahwa dia masih mendengarkan.
“Adriana sering bolak-balik ke sini untuk minta
pendapat papa tentang furniture
rancangannya. Aku sampai lelah melihatnya terus-terusan lembur membuat
rancangan itu.”
“Dia tinggal di sini?” Tanya Dhanny.
Nura menggeleng, “hanya sesekali Adriana
menginap di sini jika urusan kantornya belum selesai, agar papa bisa langsung
mengoreksi hasil kerjanya.”
Nura menutup laptopnya kemudian bangkit, “Ayo,
mama dan papa sudah menunggu.”
***
Ada banyak sekali hidangan lezat di atas meja
makan oval yang cukup luas ini. Om Nugraha duduk di ujung meja oval dan tante
Reni duduk di sisinya. Nura duduk di sisi lain dan Dhanny duduk tepat di
samping Nura. Masih ada dua kursi kosong lagi yang seharusnya diisi oleh kakak
perempuan Nura dan suaminya.
Aroma rendang daging sapi yang luar biasa lezat
sudah menusuk-nusuk hidung Dhanny sejak tadi. Pemuda itu berusaha keras untuk
mengendalikan dirinya dan tidak menyerbu rendang itu sebelum kepala rumah ini
mempersilakannya.
Setelah selesai memimpin doa, om Nugraha mulai
mempersilakan semuanya untuk makan. Nura menunjukkan sikapnya sebagai pacar
yang baik dan mengambilkan nasi untuk Dhanny. Sepertinya Nura sudah hafal benar
porsi yang diinginkan pemuda itu. Nura mengambilkan beberapa lauk dengan sangat
cekatan. Setelah yakin Dhanny sudah mendapatkan semua yang diinginkannya, Nura
mengambil makanannya sendiri.
“Jadi, apa rencanamu setelah selesai coass, Dhan?” Tanya om Nugraha
tiba-tiba.
Dhanny hampir saja tersedak cabai yang dimakannya
saat mendengar pertanyaan itu. Setelah menarik nafas yang cukup panjang, Dhanny
berhasil menguasai cabai dalam mulutnya kemudian menelannya perlahan. Dhanny
meminum air putihnya sebelum menjawab. Dia melakukannya untuk membersihkan
tenggorokannya sekaligus mengulur waktu untuk merangkai kata-kata yang tepat
dan sopan.
“Saya berencana melanjutkan studi saya, Om.”
“Spesialis?” Tanya om Nugraha lagi.
Dhanny mengangguk sekilas sebelum menjawab,
“Iya, Om. Spesialis bedah mulut di Adelaide University.”
Tante Reni hanya sesekali mendongak dan menatap
Dhanny tapi tidak berkomentar apa pun. Seolah-olah sekarang belum waktunya
tante Reni angkat bicara, ini pembicaraan antar lelaki.
“Kenapa spesialis bedah mulut?”
Nura tidak memberitahu tema makan malam kali
ini. Ini makan malam interogasi! Pikir
Dhanny panik.
“Dokter spesialis bedah mulut masih belum terlalu
banyak untuk saat ini. Saya rasa, prospek untuk pekerjaan ini jauh lebih baik.”
Dengan jawaban itu Dhanny mendapat tatapan
muram dari Nura. Meskipun respon om Nugraha dan tante Reni terlihat cukup
positif, tapi Nura tidak terlihat begitu. Gadis itu kelihatan kesal dengan
keputusan Dhanny.
Dhanny menemani om Nugraha di ruang keluarga selama
menunggu Nura dan tante Reni membereskan meja makan. Mereka muncul dengan
membawa sepiring buah mangga yang sudah dipotong dadu tepat saat om Nugraha
sedang mengomentari berita di televisi. Dhanny hanya makan beberapa potong
mangga kemudian pamit pulang. Nura mengantarnya sampai ke luar. Ekspresinya
masih sama, terlihat muram dan tidak bersemangat.
“Kau kenapa?” Tanya Dhanny saat mereka berjalan
ke arah mobil Dhanny.
“Kelihatannya kau sudah sangat mantap dengan
keputusanmu itu.”
Mereka sudah sampai di samping mobil. Nura
bersandar pada mobil Dhanny sementara pemuda itu mengeluarkan kunci dari saku
celana jeans-nya.
“Kita sudah membahas masalah ini berkali-kali
kan?”
“Tiga tahun itu lama.” Kata Nura sambil
tertunduk memandangi jemarinya.
Dhanny menelengkan kepalanya untuk melihat
wajah Nura yang tertunduk. Mereka sudah membicarakan masalah ini sejak lama. Tapi
sepertinya Nura masih belum begitu setuju dengan pilihan Dhanny.
“Kau mau menungguku?”
Nura mengusap-ngusap jari manis di tangan
kanannya. Sesuatu yang akhir-akhir ini sangat sering dia lakukan.
“Setelah kau pulang, lalu apa?”
“Aku harus mencari pekerjaan yang layak untuk
menghidupi keluarga kita nantinya.”
Nura melepaskan tubuhnya dari mobil Dhanny
kemudian berbalik. Wajahnya terlihat semakin murung. “Sudah malam. Kau harus istirahat.”
Kata Nura dengan nada dingin.
Dhanny tidak menanggapi lagi. Nura sudah
kehilangan mood bahagianya. Pembicaraan
ini hanya akan berakhir dengan pertengkaran jika diteruskan. Dhanny memacu
mobilnya menjauh sementara Nura masih berdiri di depan gerbang. Dhanny masih
bisa melihat bayangan Nura dari kaca spion. Setelah beberapa saat, Nura masuk
ke dalam.
0 komentar:
Post a Comment