Rss Feed
  1. buat para penggemar GLEE pasti tau deh serial musikal yang satu ini...hihihi
    jadii ini ada cuplikan dialog favorit eyke. ini kejadiannya pas si Rachel mau pergi ke New York buat ngelanjutin kuliah di sekolah musik NYADA. so swit deh...cekidot!


    FINN: You're gonna get on that train, okay? You're gonna go to New York. And you're gonna be a star. Without me. That's how much I love you. I'm that sure your're something special. That this is just the beginning for you. That you're gonna do amazing things. But to get there, you got to have these experiences on your own

    RACHEL: Are you breaking up with me?

    FINN: I'm setting you free. Surrender. I know how hard it is for you. Because of how hard you hold onto stuff. We're just gonna sit here and we're just gonna let go. And let the universe do its thing. And if we're meant to be together. Then we're gonna be together

    RACHEL: I love you so much

    FINN: I love you





  2. THEY ARE INNOCENT

    Monday, May 6, 2013


    THEY ARE INNOCENT
    Istiana Fadilah
    TERINSPIRASI DARI SEBUAH ARTIKEL BERJUDUL “WHY DOES CHILD IN BEGGAR’S HAND ALWAYS SLEEP?”

    “Dia bukan pendiam, tapi sengaja dibuat diam.”
    Aku masih ingat betul kata-kata seorang lelaki penjual tahu sumedang yang aku temui di pinggir jalan sore tadi. Sepertinya lelaki itu tahu banyak. Atau dia hanya asal bicara?
    ***
    Pagi itu aku sedang berjalan terburu-buru menuju kampusku. Aku sudah telambat 15 menit. Bisa diusir jika aku terlambat lebih lama lagi. Catatan akademikku sudah cukup buruk, aku tidak butuh tambahan diusir dosen untuk melengkapinya.
    “Sedekah, neng.” Dengan suara lirih yang nyaris terdengar seperti merintih, seorang wanita paruh baya mengulurkan tangannya ke arahku.
    Aku hanya melirik wanita itu sekilas. Bukannya tidak mau berbagi, tapi aku sudah benar-benar terlambat dan tidak ada uang sama sekali di kantong celanaku. Aku melihat ada seorang anak laki-laki berusia sekitar dua tahunan di pangkuannya. Anak itu tertidur lelap. Meskipun hanya menatapnya sekilas, aku bisa melihat pakaian putih kotor yang dipakai anak itu.
    Aku buru-buru mempercepat langkahku dan tidak menghiraukan wanita itu lagi. Biarlah orang lain, pikirku.
    Tepat saat kakiku baru melangkah masuk ke dalam kelas, suara berat dosenku terdengar lantang.
    “Silakan tutup pintunya dari luar.”
    Sial! Aku benar-benar diusir! Catatan hitamku sudah resmi bertambah. Saat berjalan ke kantin―aku memilih untuk mengisi perutku daripada meratapi nasib terlalu lama―aku bertemu dengan Reza, ternyata dia sudah lebih dulu diusir. Rasanya aneh membayangkan sudah berapa kali dosen itu mengatakan “silakan tutup pintunya dari luar” hari ini.
    “Hei, Za! Diusir juga lo?” tanyaku saat duduk di hadapannya.
    Reza hanya mengangguk sambil melahap nasi gorengnya. “Gue telat 5 menit aja langsung diusir.”
    Aku hanya mengangguk tanpa menanggapi. Ini bukan topik yang menyenangkan. Dan aku sama sekali tidak ingin membahasnya.
    ***
    Jam 3 sore. Akhirnya semua kegiatan perkuliahan hari ini selesai juga. Aku sudah membayangkan kasur empuk di kosan bahkan sebelum dosen meninggalkan kelas. Rasanya ingin sekali merebahkan diri di atas kasur dan hibernasi.
    Aku pulang sendirian. Karena memang tidak ada yang satu arah denganku. Aku memilih tempat kos yang lumayan jauh dari kampus dan jalan raya. Untuk meminimalisir kebisingan akibat suara kendaraan bermotor yang lalu lalang.
    Aku melewati jalan yang sama setiap hari. Aku rasa aku bisa sampai ke kosan bahkan dengan mata tertutup. Tepat saat melewati area pertokoan, tiba-tiba saja aku melihat wanita kumuh yang tadi pagi. Posisinya masih sama, bahkan anak kecilnya pun masih berada di pangkuannya. Aku langsung merogoh saku celanaku dan meraih sebuah uang logam lima ratusan.
    Saat membungkuk untuk meletakkan uang ke dalam mangkok yang ada di samping wanita itu, aku mempehatikan anak kecil yang ada di pengkuannya. Wajahnya terlihat damai. Anak itu kuat sekali tidur? Aku ingat sepupuku, Abi, usianya hampir sama dengan anak kecil itu. Abi tidak pernah bisa diam di siang hari. Ibunya sampai stres karena anak itu sulit sekali untuk tidur. Tapi kenapa anak kecil ini selalu tertidur? Aku menggeleng untuk menyingkirkan pikiran aneh yang sempat melintas di pikiranku.
    Mencium aroma tahu sumedang membuat perutku menuntut haknya untuk diisi.
    “Berapaan, Pak?” tanyaku sambil memilih-milih tahu yang besar dan berisi.
    “Dua ribu dapet 3, neng.” Kata bapak itu sambil menyiapkan kantong kertas untuk tempat tahu yang akan aku beli.
    “Bapak di sini sejak tadi siang?” tanyaku sambil memilih-milih.
    “Iya, neng. Kadang-kadang dari pagi malah.”
    Aku menangguk pelan, “Bapak lihat anak itu lari-lari?” aku mengarahkan daguku pada anak kecil yang ada di pangkuan wanita pengemis tadi.
    Bapak penjual tahu itu langsung menoleh kemudian menggeleng.
    “Anak itu pendiam sekali,” gumamku.
    “Dia bukan pendiam, tapi sengaja dibuat diam.” Katanya sambil membungkus tahu yang sudah aku pilih. “Hal paling buruk yang sering tejadi, dia akan diam selamanya.”
    ***
    Setelah semalaman memikirkannya, akhirnya hari ini aku memutuskan untuk membuktikan kata-kata si penjual tahu sumedang itu. Dengan bermodal nekat dan rasa penasaran yang cukup tinggi, sepulang kuliah sore ini aku akan mengikuti wanita itu. Melihat apa saja yang dilakukannya pada anak kecil yang selalu tertidur di pangkuannya itu. Satu-satunya hal yang membuatku yakin anak kecil itu belum meninggal adalah dadanya yang masih bergerak naik turun mengikuti tarikan nafasnya.
    Wanita itu memasukkan mangkuk yang biasa dijadikan tempat uang ke dalam selendang yang tersampir di bahunya. Dia mengangkat anak kecil itu dan menggendongnya. Bahkan saat langit malam mulai merayap turun, anak kecil itu masih betahan dengan posisinya.
    Aku mengikuti wanita itu dari belakang. Berjalan mengendap-endap seperti maling yang sedang mengamati mangsanya. Meskipun sempat ragu, tapi aku tetap mengikuti wanita itu. Dia berhenti di dekat bangunan rusak bekas pos satpam. Ada seorang laki-laki di sana. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Lelaki itu memakai topi warna hijau dan pakaian serba hitam. Wanita itu merogoh selendangnya dan mengeluarkan sejumlah uang dari sana. Dia membungkuk saat beberapa uang receh terlepas dari genggamannya dan menggelinding di dekat kakinya.
    Setelah menghitung jumlah uangnya, lelaki itu menyodorkan kantong plastik warna hitam pada wanita itu. Lelaki itu menunggu sampai si wanita selesai mengintip kantong plastiknya kemudian pergi. Wanita itu kembali berjalan, entah kemana, mungkin ke rumahnya.
    Aku masih terus mengikutinya. Wanita itu masuk ke dalam rumah gubuk yang sudah reot tidak jauh dari pos satpam tadi. Dari jarak ini aku bisa melihat ada beberapa wanita lain di dalam rumah berpenarangan minim itu. Penampilan mereka sama. Lusuh, berselendang dan menggendong anak.
    Rasanya ingin sekali aku masuk ke rumah itu dan melihat keadaan anak-anak tidak berdosa itu. Tapi aku bisa apa? Mereka bisa saja langsung memukuliku jika aku tiba-tiba muncul. Aku memutuskan untuk pulang. Tidak ada yang bisa aku lakukan lagi malam ini.
    ***
    Jam 6 pagi. Mungkin cahaya pagi bisa menunjukkan sesuatu yang tidak bisa aku lihat tadi malam. Aku kembali ke rumah gubuk itu. Tetap menjaga jarak agar tidak ketahuan, tapi cukup dekat untuk melihat apa yang mereka lakukan.
    Aku melihat salah satu anak merangkak keluar rumah. Tanpa sadar sebuah senyuman sudah terbentuk di wajahku, anak-anak itu masih hidup, pikirku lega.
    Baru beberapa langkah dari pintu, seorang wanita keluar kemudian menggendong anak kecil itu. Dia mulai menyuapkan sesuatu pada anak kecil itu. Setelah yakin anak itu menelan apa pun yang baru saja dia suapkan, wanita itu mulai menepuk-nepuk puncak kepala anak itu. Dalam sekejap anak itu kembali diam. Tertidur lelap di pelukan ibunya.
    Makanan apa yang mereka berikan pada anak-anak itu? Aku mulai frustasi dengan apa yang aku lihat.
    Apa mereka memberikan obat-obatan penenang? Bukankah anak-anak tidak akan sanggup menahan efeknya? Mereka bisa saja mati karena efek obat-obatan itu.
    Hal paling buruk yang mungkin terjadi, dia akan diam selamanya.
    Apa ini yang dimaksud Bapak itu?
    ***
    Terkadang memberi bukanlah sebuah solusi. Memberi justru menimbulkan masalah yang lebih besar dari sekedar kemiskinan. Mengorbankan nyawa anak tidak berdosa hanya untuk menuntut belas kasihan? Entah dari mana asalnya, yang jelas hal ini terjadi di seluruh dunia.