Rss Feed
  1. GAGAL PULANG

    Saturday, December 28, 2013

















    Yaaaah, jadi begini ceritanya sodara-sodara. Rencananya sore ini mau pulang nih, buat liburan (meskipun sebenernya kepikiran SANLING juga sih kalo leha-leha di rumah. Udah kayak hantu banget deh itu sanling). Lha, kemaren itu udah dibela-belain panas-panasan ke terminal buat pesen tiket. Sampe nyebrang di jembatan penyebrangan SENDIRI! Ya, kalian nggak salah baca, SENDIRI! Heebaaaaat kaaaan :D
    Meskipun pas nyebrang komat-kamit terus baca doa, hahaha. Oke, back to the topic. Nah, ceritanya kemaren itu pesen tiket pulang buat hari ini. Terus udah di angkotnya macet, udah panik banget nih, takut telat terus jatah tiketnya dijual ke orang. Eh, ternyata ALHAMDULILLAH bisa sampe terminal tepat waktu \(^.^)/
    Tapiiii, di sinilah masalahnya mulai terjadi. Pas disamperin agen bus-nya, terus dengan santainya si ibu bilang kalo bus yang jurusan ke Pemalang nggak ada hari ini. APAAA??? Jadi kemaren itu saya di PHP-in???
    Alhasil muter-muterlah ini nyari agen bus laen. Eh, penuh semua. Yah, namanya juga setengah hati pengen pulangnya gegara sanling. Jadi begini deh. Terus...akhirnya Mami, Papi sama Mba Nyonyon deh yang nyamperin ke Bogor, hahaha. Gomen ne, Minna :(
    Saya jadi merepotkan begini... :'(


  2. Cafe Lofa : Opening Day

    Friday, December 27, 2013


    Lofa memandangi langit jingga dari balik kaca mobil. Agi mengajaknya makan malam setelah selesai dengan semua urusan cafe. Mereka sudah lelah seharian merapikan barang-barang dan bersih-bersih. Lofa menyangga dagunya dengan sebelah tangan. Memperhatikan warna jingga di langit sore yang perlahan mulai melahap seluruh warna biru muda.
    “Kau mau makan apa?”
    Lofa langsung menoleh saat mendengar pertanyaan Agi. Gadis itu baru menyadari ke mana Agi membawanya. Kawasan 0 km Jogja. Rasanya sudah cukup lama Lofa tidak menghabiskan waktu di tempat ini. Kawasan yang selalu ramai dipadati pengunjung, apalagi di akhir pekan seperti ini. Agi memelankan laju mobilnya, membiarkan Lofa memilih tempat makan yang berderet di sekitar hotel Inna Garuda.
    “Yang mana saja tidak masalah bagiku.”
    Agi hanya mengangguk kemudian memarkir mobilnya. Dia memilih sebuah tempat makan lesehan yang dulu sering dikunjungi Lofa saat masih sekolah. Gadis itu ingat bagaimana Laufan sering merengek untuk diajak makan di luar setiap akhir pekan dan ayah memilih tempat ini. Lofa senang makan di tempat ini, selain makanannya yang murah, pengamen di tempat ini juga sangat kreatif. Terkadang Lofa sendiri penasaran bagaimana para pengamen itu bisa menciptakan lagu-lagu yang begitu menarik tentang Jogja. Satu lagu yang paling Lofa ingat berisi tentang perjalanan hidup mereka selama di Jogja dan meskipun mereka hanya menjadi pengamen, mereka tetap mengagumi keunikan budaya Jogja.
    Lofa dan Agi memilih meja pendek yang ada di pinggir. Gadis itu tidak perlu membuka buku menu untuk memesan makanan, dia sudah hampir hafal semua makanan dan minuman yang ada di buku menu. Gadis itu hanya diam memperhatikan pemuda di hadapannya yang terlihat sangat serius menekuri buku menu dan membaliknya ke bagian menu minuman.
    Agi mengangkat tangannya untuk memanggil seorang pramusaji, seorang wanita paruh baya. Wanita itu langsung mencatat pesanan Lofa dan Agi kemudian kembali untuk membuatkan pesanan mereka. Lofa mengeluarkan buku catatannya saat teringat sesuatu. Gadis itu membuka halaman yang ingin dia tunjukkan kemudian menyodorkan buku catatan itu pada Agi.
    “Menurutmu ada yang kurang?”
    Agi menekan buku catatan itu dengan satu tangan untuk menjaganya tetap terbuka dan satu tangan lain menyangga dagunya. Matanya bergerak cepat saat membaca catatan yang Lofa buat. Itu rancangan menu yang dibuat Lofa untuk cafe-nya. Ada beberapa pilihan minuman dan makanan yang akan menjadi menu utama di cafe-nya nanti.
    “Minuman kebahagiaan?” Tanya Agi dengan dahi berkerut saat membaca satu nama minuman.
    Lofa mengangguk dengan antusias kemudian mulai menjelaskan, “Itu menu spesial.”
    “Apa bedanya dari minuman lain?”
    “Itu minuman spesial. Semacam bonus untuk menghibur para pengunjung yang terlihat sedih.” Lofa memaparkan idenya yang luar biasa dermawan.
    “Gratis?”
    Lofa mengangguk dengan penuh kemenangan. Seolah-olah dia baru saja memberitahukan Agi bahwa dialah yang membantu seorang nenek menyeberang jalan.
    “Kalau aku jadi pengunjung biasa, aku akan memasang tampang sedih setiap kali masuk ke cafe-mu agar dapat minuman gratis.”
    Sekarang Lofa baru diberitahu ternyata nenek itu tidak ingin menyeberang. Jiwa dermawannya melayang entah kemana.
    “Itu ide buruk ya?” Lofa memainkan jemarinya, menggambar orang-orangan imajiner di mejanya. Gadis itu langsung mendongak saat teringat sesuatu, “It’s just Valentina juga membagikan puding gratis.”
    “Ya, setelah kita membeli makanan atau minuman di sana. Lagipula itu hanya hari Rabu dan Jumat.” Lagi-lagi Agi meruntuhkan semangat Lofa. “Bagaimana pun kau sedang membuka usaha, Lofa. Kau tidak bisa membagi-bagikan minuman spesialmu begitu saja.”
    “Setiap hari Selasa,” kata Lofa pelan kemudian gadis itu langsung mendongak saat mendapati ucapannya tadi bisa jadi ide yang sempurna. “Aku hanya membagikan minuman itu setiap hari Selasa.”
    Tepat saat Agi akan mengatakan sesuatu, pesanan mereka datang. Aroma ayam goreng yang lezat langsung menyusup masuk tanpa izin ke dalam indera penciumannya. Lofa hampir yakin dia akan meneteskan liur jika mulutnya terbuka saat ini. Tanpa menunggu lama, gadis itu langsung mencuci tangannya dengan air yang ada di dalam mangkuk aluminium kecil kemudian mulai mencabik-cabik ayam gorengnya. Asap putih yang nyaris transparan langsung mengepul saat Lofa membelah ayam gorengnya. Gadis itu langsung menghentikan kegiatannya membelah dan meniup saat mendengar Agi menghela nafas panjang.
    “Jadi aku rasa keputusanmu sudah bulat tentang minuman gratis itu?”
    Lofa hanya mengangguk sambil mengunyah makanannya. Agi menggerakkan bahunya sekilas kemudian mulai memakan makanannya.
    Lofa mendapat ceramah yang sama tentang untung rugi dari ayah saat memaparkan rencananya tentang minuman gratis itu. Sejauh ini Lofa hanya diam, berdebat dengan dirinya sendiri tentang keputusan yang diambilnya. Suara ayah terdengar makin kabur saat suara-suara dalam pikiran Lofa mengambil alih.
    “....jika hanya satu bulan.”
    Ayah sudah mengakhiri ceramahnya saat Lofa mendapatkan kembali kesadarannya. Gadis itu mendongak dan menatap ayah dengan linglung, seperti orang amnesia yang baru saja diberitahu jati dirinya. Ayah menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa, kemudian meminum tehnya.
    “Satu bulan?” Lofa mencoba mengonfirmasi sisa-sisa ceramah ayah yang berhasil menempel di ingatannya.
    “Iya, hanya promo untuk satu bulan. Ayah rasa itu tidak masalah.”
    Lofa mengerti sekarang. Bonus minuman itu hanya berlaku selama satu bulan, selama masa promo cafe baru. Boleh juga. Lofa hanya mengangguk untuk menyetujui saran Ayah. Setelah berbasa-basi untuk menutup percakapan, Lofa pamit untuk masuk ke kamar.
    Keadaan kamarnya masih sama persis seperti saat Lofa meninggalkannya tadi pagi. Ada beberapa buku yang berserakan di dekat kaki tempat tidur karena gadis itu buru-buru memilah-milah buku untuk cafe-nya. Lofa mengabaikan buku-buku itu. Gadis itu melemparkan tas slempangnya dan langsung menjatuhkan diri ke atas kasur. Matanya tertuju pada langit-langit kamar yang bermotif awan. Matanya menyipit saat cahaya lampu menyilaukan pandangannya. Perlahan matanya mulai tertutup dan Lofa tertidur.
    ***
    Lofa menuliskan menu-menu cafe-nya pada sebuah papan tulis hitam dengan menggunakan kapur warna-warna. Lofa sengaja menuliskan menu-menu itu agar bisa menggantinya kapan pun. Gadis itu memundurkan tubuhnya untuk melihat hasil karyanya. Lofa bahkan menambahkan gambar panekuk dan gelas berisi minuman di sudut-udut papan tulis. Setelah selesai, Lofa meletakkan papan itu di luar cafe-nya. Hal terakhir yang dia lakukan adalah membalik tulisan OPEN yang menggantung di pintu kaca cafe-nya.
    Mobil Agi datang saat Lofa akan kembali ke dapur untuk menyiapkan bahan-bahan makanan dan minuman. Pemuda itu sudah mulai memasang pamflet sejak tadi pagi. Lofa hanya berdiri diam untuk menunggu Agi masuk. Pemuda itu memakai kaus oblong dan celana pendek seperti biasa.
    “Kau adalah pengunjung pertamaku!” Teriak Lofa penuh kemenangan saat akhirnya Agi mendorong pintu kaca dan masuk ke dalam cafe.
    Agi hanya menghela nafas panjang kemudian duduk di sebuah kursi tinggi di dekat meja bar. Pemuda itu menyangga kepalanya dengan satu tangan. Lofa langsung berjalan cepat ke balik meja bar dan menyiapkan minuman untuk Agi.
    “Kau mau kopi?”
    Agi hanya mengangguk pelan. Wajahnya terlihat lelah dan lusuh. Tidak heran jika Agi bertampang seperti itu, Lofa sudah mengganggunya sejak jam lima pagi tadi. Memaksa pemuda itu bangun dan membantunya membawa bahan-bahan makanan dan minuman dari rumah ke cafe. Tugasnya masih berlanjut dengan menyebarkan pamflet ke seluruh penjuru Jogja. Lofa menuangkan kopi dari mesin pembuat kopi milik ibu. Agi sedang berusaha mempertahankan kepalanya agar tidak jatuh sementara matanya terpejam saat Lofa berbalik dengan secangkir kopi hangat. Pemuda itu membelalak kaget saat Lofa menyentuhkan cangkir kopi itu ke sikunya.
    “Kau terlihat kacau.” Kata Lofa saat memperhatikan Agi menyesap kopinya.
    Kacau masih belum menggambarkan keadaanku sekarang. Aku ngantuk.” Kata Agi dengan mata setengah terpejam.
    Sepertinya secangkir kopi benar-benar tidak berpengaruh padanya. Agi menjauhkan cangkir yang sudah kosong kemudian meletakkan kepalanya di atas meja. Matanya semakin lama semakin terpejam. Agi langsung terbangun saat Lofa menarik rambut ikalnya. Pemuda itu menggumamkan protes yang tidak bisa didengar jelas oleh Lofa sambil mengusap-usap kepalanya.
    “Pulang sana.” Kata Lofa singkat saat berbalik untuk meletakkan cangkir kosong ke wastafel. “Mandi dan kembali ke sini setelah keadaanmu lebih baik.”
    “Aku mau tidur.” Kata Agi mantap saat turun dari kursi tinggi.
    “Kau akan ke sini lagi kan?” Lofa ingin memastikan Agi tidak akan tidur sampai besok pagi lagi.
    Agi hanya menggerakkan bahunya sekilas. Lofa langsung menarik lengan kaus Agi sebelum pemuda itu berjalan lebih jauh.
    “Kau harus membantuku.” Kata Lofa tegas dan manja dalam waktu yang bersamaan. Gadis itu hampir tidak mengenali suaranya sendiri. Dia terdengar seperti control freak yang menyebalkan. Lofa langsung melepaskan tangannya saat Agi menoleh dan menatap lengan kausnya yang ditarik.
    “Yah, kita lihat saja nanti.”
    “Agi!”
    Agi hanya melambaikan sebelah tangannya kemudian keluar dari cafe. Lofa hanya berdiri di balik meja bar, melihat mobil Agi perlahan mulai meluncur pergi. Dia akan kembali, pikir Lofa dengan sangat yakin.
    Lofa memakai sebuah apron polkadot berwarna merah muda yang dirancang sendiri. Ada dua saku di kedua sisi apron. Lofa mengikatkan tali apron ke belakang leher, membentuk sebuah pita besar. Gadis itu melirik jam dinding yang dipasang di dekat meja bar. Masih jam 10 pagi. Awalnya Lofa berdiri dengan posisi tegak di dekat meja bar. Beberapa waktu berlalu, Lofa mulai menyandarkan tubuhnya dan menyangga kepalanya dengan dua tangan. Lofa melirik jam dinding lagi. Sudah satu jam sejak cafenya resmi dibuka, belum ada tanda-tanda akan ada pengunjung yang datang. Lofa menarik sebuah kursi tinggi kemudian duduk. Gadis itu mengeluarkan ponselnya kemudian mulai memainkan sebuah game untuk mengalihkan perhatiannya dari jam dinding.
    Lofa berhasil melewati level 10 sebelum akhirnya avatar yang dia pilih jatuh ke jurang dan mati. Gadis itu menghela nafas panjang kemudian kembali menatap jam dinding. Ternyata Lofa hanya membutuhkan waktu lima belas menit untuk memainkan 10 level. Gadis itu menghembuskan nafas frustasi kemudian meletakkan kepalanya di atas meja bar. Sensasi dingin merayapi wajahnya saat pipinya bersentuhan dengan bagian atas meja bar yang terbuat dari logam.
    Suara alunan piano yang keluar dari speaker tape-nya membuat kelopak mata Lofa terasa berat. Ryuichi Sakamoto. Lofa sengaja memilih CD instrumental piano itu agar cafe-nya terasa lebih romantis. Tapi sekarang pianis favorit Lofa itu malah menjadi pengkhianat dan membuatnya mengantuk. Mata gadis itu perlahan mulai terpejam. Alunan piano itu sedang memainkan lagu Forbidden Love. Lagu itu terdengar semakin samar di telinganya.
    “Aku mau panekuk.”
    Lofa langsung membuka matanya lebar-lebar kemudian menegakkan tubuhnya. Dia masih linglung. Sudah berapa lama dia tidur? Lofa menggelengkan kepalanya beberapa kali untuk mengembalikan kesadarannya sebelum melihat orang yang baru saja membangunkannya. Pengunjung pertamanya. Bahu Lofa melorot saat melihat sosok yang berdiri di hadapannya. Itu Agi. Pemuda itu sudah lebih rapi sekarang. Rambut ikalnya basah, tanda bahwa dia sudah mandi, dan menguarkan aroma shampo yang disukai Lofa. Kaus oblongnya sudah digantikan polo shirt warna hitam yang terlihat pas di tubuhnya.
    “Kau tahu di mana tempatnya.”
    Lofa memiringkan kepalanya ke arah dapur sebelum meletakkan kepalanya lagi di atas meja bar. Matanya sudah hampir terpejam saat pipinya merasa tersengat. Lofa langsung mengangkat kepalanya lagi. Agi baru saja mencubit pipinya dengan cukup keras.
    “Kau tidak boleh begitu pada pengunjung pertamamu.” Kata Agi sebelum Lofa sempat memprotes tindak kekerasan yang baru dialaminya itu. “Bangun dan lakukan tugasmu dengan benar.” Agi menambahkan.
    Lofa berjalan dengan malas menuju dapurnya. Dia menumpuk tiga panekuk hangat kemudian menuangkan madu di atasnya. Cairan berwarna keemasan itu meleleh dan bergerak menuruni tumpukan panekuk. Lofa menambahkan dua lembar daun mint dan sebuah ceri merah segar di atasnya. Setelah siap Lofa membawa tumpukan panekuk itu ke depan dan menyodorkannya pada Agi. Pemuda itu menutup matanya saat berdoa, kemudian mulai memotong-motong panekuk itu dengan garpunya.
    “Tidak ada yang datang sejak tadi pagi,” Lofa mendongak untuk melihat jam dinding. “Sudah hampir jam satu.”
    Agi terlihat tidak peduli dengan kata-kata Lofa. Dia masih sibuk memotong-motong panekuk dan melahap potongan besar itu.
    “Mungkin...” kata Agi setelah berhasil memasukkan potongan terakhir panekuk-nya, “ada banyak orang yang datang sejak tadi. Tapi begitu melihatmu tidur dan mengiler seperti itu, mereka pergi lagi.”
    Lofa langsung memukul lengan Agi secara spontan. Diam-diam Lofa menyentuh sudut-sudut bibirnya untuk mengecek. Aku tidak mengiler, pikir Lofa yakin.
    Agi dan Lofa langsung menoleh secara bersamaan saat pintu cafe didorong sampai terbuka. Serombongan anak-anak SMP masuk ke dalam cafe, membawa suara berisik dan obrolan-obrolan yang tidak Lofa mengerti. Anak-anak itu langsung masuk dan menuju ke ruang baca. Lofa menghitung anak-anak yang masuk, ada sekitar enam orang. Menyisakan satu anak yang masuk paling belakangan. Itu Laufan. Seulas senyum terkembang di wajah Lofa. Melihat adiknya begitu pengertian sampai mengajak teman-temannya untuk mengunjungi cafe kakaknya yang baru dibuka dan sepi pengunjung. Meskipun Laufan kadang-kadang bisa jadi sangat menyebalkan, tapi ada sisi yang mulia dalam dirinya.
    Laufan langsung berjalan mendekati meja bar, berdiri di samping Agi. Dia mencondongkan tubuhnya ke depan. Meja bar jadi terlihat lebih tinggi saat Laufan menyandarkan tubuhnya. Lofa bisa mencium bau keringat saat Laufan mendekat.
    “Apa aku dapat minum gratis?” Tanya Laufan dengan suara pelan.
    “Tentu saja. Kau dapat air putih gratis.”
    Laufan langsung cemberut, “Pelit.”
    Lofa hanya melotot mendengar adiknya baru saja mengatainya pelit. Lofa menarik kembali semua pikiran tentang kebaikan Laufan. Adiknya masih tetap menyebalkan.
    Lofa langsung menghampiri gerombolan anak-anak SMP yang dibawa Laufan ke cafe-nya. Mereka sedang sibuk memilih-milih komik yang akan mereka baca. Mereka langsung menyebutkan pesanan mereka setelah mendapatkan komik yang menarik perhatian.
    Lofa menghentikan langkahnya saat akan kembali ke dapur untuk membuatkan pesanan Laufan dan teman-temannya. Ada beberapa anak SMA yang sedang memasuki cafe. Agi menoleh ke arah pintu saat mereka masuk. Lofa langsung mempercepat langkahnya untuk menyambut pengunjung cafe yang bukan keluarga atau temannya. Senyum lebar merekah di wajah gadis itu. Akhirnya ada pengunjung asli yang datang ke cafe-nya. Lofa mempersilakan mereka memilih tempat duduk dengan sangat ramah. Gadis itu hampir tidak bisa mengenali keramahan yang dimilikinya.
    Lofa langsung mencatat pesanan mereka, tidak butuh waktu lama untuk itu karena pengunjung cafe Lofa sudah bisa memilih pesanannya sebelum masuk. Saat berbalik untuk kembali ke dapur, Agi sudah tidak ada di tempatnya. Lofa melihat ke luar cafe dan mendapati mobil Agi masih terparkir di sana. Gadis itu hanya mengangkat sebelah alisnya saat melihat Agi di dapur dan sudah memakai apron polkadot warna biru tua.
    “Apa yang kau lakukan di sini?” Tanya Lofa sambil menyiapkan bahan-bahan.
    “Membantumu,” Agi terlihat sangat cekatan saat menyerut es dan menatanya dengan cantik di dalam gelas tinggi.
    Lofa jadi ingat masa-masa kuliah dulu. Agi pernah menjadi rekan satu kelompoknya. Anehnya, Agi jauh lebih cekatan saat memasak dibanding teman-teman kelompoknya yang perempuan.
    “Jangan harap dengan membantuku, kau bisa bebas dari tagihan panekuk.” Lofa mengingatkan Agi untuk membayar panekuk-nya. Tangan gadis itu bergerak cepat memotong-motong kue dan menatanya di atas piring.
    Agi tersenyum sekilas, “Bayaranku lebih mahal dari panekuk.”
    Lofa langsung membawa pesanan teman-teman Laufan. Rasanya sangat memuaskan melihat wajah-wajah itu tersenyum ketika menikmati minuman dan makanan buatan Lofa. Biasanya hasil kerjanya hanya dinilai oleh dosen-dosen atau asisten praktikum, kali ini Lofa benar-benar merasa puas. Lofa kembali ke dapur untuk mengambil pesanan pengunjung lainnya. Gadis itu diam-diam mengamati ekspresi para pengunjungnya saat menyantap pesanan mereka. Meskipun belum ada yang memuji hasil kerjanya secara langsung, setidaknya sejauh ini Lofa tidak menemukan tanda-tanda mereka akan muntah.
    “Aku bisa merektrutmu,” kata Lofa sambil meletakkan nampan di atas meja.
    Agi melipat kedua tangannya di depan dada kemudian menyandarkan sebelah bahunya pada kusen pintu dapur, “Merekrutku?”
    Lofa meletakkan tangannya di atas meja dan menyangga kepalanya. Gadis itu memandangi para pengunjung yang mengisi cafe-nya. “Aku rasa aku akan sedikit kerepotan jika menangani cafe ini sendirian.”
    “Yah, aku punya pekerjaan tahu.”
    Lofa menoleh dan mendapati Agi sedang mengamati kuku jarinya. Dia tidak benar-benar sedang mengamati sesuatu dari jemarinya, hanya kebiasaan yang selalu dia lakukan saat tidak ada objek menarik yang bisa dia pandangi. Lofa berbalik dan bersandar pada meja bar, gadis itu menatap Agi tanpa berkedip. Pemuda itu langsung mendongak saat Lofa tidak mengalihkan pandangannya.
    “Aku sudah wawancara, ingat?” Agi menjelaskan tentang pekerjaan yang dia maksud.
    Lofa baru akan menjawab saat ada pengunjung lain yang masuk ke cafe-nya. Tubuhnya menegang saat melihat sosok yang selalu berhasil mengintimidasinya. Lofa merasa tubuhnya mengkerut dan menjadi super kecil saat melihat gadis itu. Agi berjalan menghampirinya saat Lofa hanya berdiri diam di tempat.
    Adriana mematung untuk beberapa saat, ketika melihat Agi yang memakai apron polkadot. Gadis itu melepas kacamata hitamnya untuk melihat sosok Agi dengan lebih jelas. Lofa sudah berhasil melumerkan es yang membekukan syaraf-syarafnya dan berjalan mendekati mereka saat Adriana mulai bicara.
    “Kau...” Gadis itu hanya memandangi Agi dari ujung kepala sampai ujung kaki tanpa melanjutkan kata-katanya.
    “Kau mau pesan sesuatu?” Agi langsung mengalihkan perhatian Adriana.
    Lofa mulai menyesali keputusannya menghampiri mereka berdua. Mereka jelas-jelas tidak merasakan aura kehadiran Lofa sama sekali. Gadis itu mendadak memiliki kekuatan untuk menjadi tidak terlihat jika berada di dekat Agi dan Adriana.
    “Ya, tentu saja. Aku mau panekuk dan kopi.” Kata Adriana mantap.
    Lofa langsung mengangguk dan menyingkir dari hadapan mereka. Lofa menoleh ke belakang sekilas saat berjalan ke dapur. Agi sedang melepas apronnya dan membimbing Adriana duduk di table set yang ada di dekat jendela. Lofa masih memandangi mereka berdua dari dapur. Lubang besar yang seharusnya digunakan untuk serah terima makanan antara si koki dan pramusaji, malah menjadi tempat yang sangat sempurna untuk mengamati Agi dan Adriana dari dapur.
    Adriana sedang menunjuk ke arah lampu LED yang membentuk tulisan Cafe Lofa saat Lofa datang untuk mengantarkan panekuk dan kopi. Agi terlihat sangat bersemangat saat menjelaskan alasannya memilih lampu LED untuk nama cafe dan kenapa nama cafe itu dipasang di kaca. Lofa meletakkan pesanan Adriana di atas meja kemudian berbalik untuk kembali ke tempat seharusnya dia berada, dapur. Lofa menghentikan langkahnya saat ada yang menyentuh tangannya. Itu Adriana. Gadis itu menatap Lofa dengan pandangan berbinar-binar yang aneh.
    “Kau memoles cafe ini dengan sempurna,” Adriana mengarahkan tangannya pada barang-barang tambahan yang ada di cafe.
    “Agi membantuku,” jawab Lofa dengan gaya casual yang asing baginya. Biasanya Lofa akan langsung membanggakan dirinya sendiri jika sedang dipuji orang. Tapi kali ini, Lofa ingin terlihat kalem dan rendah hati.
    Lofa hanya memandangi mereka berdua dari balik meja bar. Gadis itu pura-pura mengelap gelas-gelas kosong agar tidak ketahuan sedang memata-matai mereka. Agi dan Adriana terlihat sangat akrab saat membicarakan sesuatu yang tidak bisa Lofa dengar. Agi benar-benar terlihat seperti orang asing. Biasanya dia akan mengajak Lofa bicara jika suasana sepi seperti ini. Kali ini Agi sudah menemukan orang lain untuk diajak bicara. Lofa melirik jam dinding, sudah hampir 30 menit sejak mereka mengobrol. Para pengunjung lain sudah pergi sejak tadi.
    Lofa langsung menghentikan kegiatannya mengelap gelas saat melihat ada yang masuk. Seorang pemuda berpakaian rapi. Pemuda itu memakai kemeja biru tua dengan celana kain hitam yang terlihat formal. Wajahnya yang terlihat masih sangat muda membuat Lofa berasumsi pemuda itu masih lulusan baru. Pemuda itu masuk dengan sedikit linglung kemudian duduk di salah satu kursi tinggi di depan meja bar.
    “Kau mau pesan sesuatu?” Tanya Lofa lembut dengan menunjukkan wajah sumringah yang berlebihan. Gadis itu terlalu senang mendapat pengalih perhatian. Setidaknya sekarang dia tidak akan terlihat terlalu menyedihkan karena hanya memandangi Agi dan Adriana dari jauh.
    Pemuda itu hanya diam. Dia terlihat sedang memikirkan sesuatu.
    “Kau mau pesan sesuatu?” Lofa mengulangi pertanyaannya.
    Pemuda itu langsung mendongak dan celingukan mencari sesuatu. Matanya menyapu seluruh bagian cafe, dia jelas sedang mencari sesuatu.
    “Tidak ada menu?” Akhirnya pemuda itu menyuarakan kebingungannya.
    “Menunya ada di luar,” Lofa menunjuk papan tulis yang berisi menu cafe-nya.
    “Oh..” pemuda itu terlihat bingung, tapi tidak berniat untuk keluar dan melihat menunya sekarang juga.
    “Aku bisa menyarankan menu spesial cafe ini,” Lofa menelengkan kepalanya ke arah papan hitam yang menggantung di dekat meja bar, ada tulisan menu spesial, minuman kebahagiaan di sana.
    Dahi pemuda itu berkerut, “Minuman kebahagiaan? Menurutmu aku terlihat sedih?”
    Lofa tertawa ringan, “Siapa saja bisa memesan minuman itu.”
    Pemuda itu terlihat memikirkan tawaran Lofa dengan serius, kemudian mengangguk. “Aku tidak tahu menu apa pun di sini. Jadi ya, aku rasa aku akan memesan yang itu.” Dia menunjuk papan hitam itu.

  3. GARLIC BREAD

    Wednesday, December 25, 2013

    Menu sarapan pagii iiniii, hahahahaha. Latihan dulu sebelum main ke negri orang, hahahaha. Orang apa nih?

  4. Karimun Jaawaaaaa

    Monday, December 23, 2013

    Tadaaa!!! Ini hari pertama nyampe di karimun jawa. Setelah naroh barang-barang di penginapan, terus langsung cau buat liat sunset, hahahaha

    Ini hari kedua di karimun mameeen. Meskipun muka masih buluk begitu gegara belum mandi, hahaha...tapi tetep cantik kaaaaan???

     Snorkeling! Snorkeling! Yah meskipun aslinya gemeteran gitu pas pertama kali naik kapal, hahaha. Berasa naik wahana di dufan dan merem terus sepanjang perjalanan. Tapi pas udah nyobain snorkeling, ternyata seru dan....saya ngambang sodara-sodara! Hahaha, jadi nggak takut lagi deh pas naik kapalnya, soalnya udah kenalan gitu sama air lautnya :D
     Ini dia spot pertama yang kita kunjungi. Indah kan? Bening banget airnya...lebih bening daripada air sumur di kosan saya, hahahaha. Boong deng. Tapi tetep dah mantep nih tempat :D
     It's turtle time! poto-poto sama sodara lama, hahaha. Buerat sekali itu kura-kuranya :(
     Ini dia mejeng di depan batu miring yang mengakibatkan efek miring juga buat yang foto di depannya, hahahaha. Liat deh itu miring semua searah sama batunya :D
     Gaya-gayaan (masih di depan batu) hahaha









  5. Lofa menarik nafas panjang dan memandangi cafe-nya yang sudah dipenuhi furniture sekali lagi. Senyumnya terkembang dan dia mendapati matanya tidak bisa berhenti memandangi ruangan yang sudah lebih terlihat seperti cafe daripada gudang kosong. Setelah cukup lelah hanya berdiri sambil berkacak pinggang di dekat meja bar, Lofa memutuskan untuk menyingkirkan debu-debu yang merusak pemandangan cafe-nya.
    Lofa bergegas mengambil sapu dan kemoceng yang disimpannya di balik meja bar. Gadis itu mulai dari ruang baca. Lofa menjatuhkan diri ke atas sofa untuk mencoba kenyamanannya sebelum mulai bersih-bersih. Tubuh rampingnya melompat-lompat ringan di atas sofa itu untuk memastikan sofa itu cukup empuk dan nyaman. Lofa menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa dan menatap langit-langit. Matanya menelusuri seluruh langit-langit cafe. Pandangannya terhenti pada lampu gantung yang dibungkus penutup berbahan kayu. Matanya menyipit saat memperhatikan detail penutup lampu gantung itu. Ada ukir-ukiran rumit di tepiannya, membuat cahaya lampu memancar keluar dan membentuk pola-pola aneh di dinding.
    Setelah cukup puas dengan pengamatannya, Lofa bangkit dari sofa dan mulai menepuk-nepuk tiga set sofa yang ada di ruang baca dengan kemoceng untuk menyingkirkan debunya. Sesekali Lofa menyeka keningnya yang berkeringat. Pekerjaannya masih berlanjut pada enam table set yang ada di sisi lain ruang baca.
    Tangan Lofa mendadak berhenti menyapukan kemoceng pada pinggiran kursi saat mendengar suara klakson mobil yang cukup nyaring dari luar cafe. Itu Agi. Lofa bisa mengenalinya dari mobil Avanza silver yang selalu dipakai Agi ke mana-mana. Sosok Agi muncul dari dalam mobil sambil membawa sesuatu di tangan kirinya. Suara beep nyaring terdengar saat Agi mengunci mobilnya.
    Agi mendorong pintu kaca cafe pelan, pintu itu terayun membuka tapi Agi tidak langsung masuk karena masih sibuk memperhatikan kaca di samping pintu yang dialiri air.
    “Bagus kan?” Tanya Lofa sambil berkacak pinggang.
    Agi buru-buru mengalihkan perhatiannya dan masuk ke dalam cafe. Pemuda itu mengacungkan barang bawaannya dan meletakkannya di atas meja bar. Tangan kanan Agi terangkat untuk merapikan rambut ikalnya yang basah. Lofa mendekati Agi yang sepertinya sedang terpana dengan penampilan cafe Lofa yang baru. Bau shampo yang familiar langsung tercium saat Lofa berdiri di samping Agi. Diam-diam gadis itu merutuki diri sendiri karena belum mandi sejak pagi tadi. Dia terlalu sibuk mengurus cafe-nya sampai belum sempat membersihkan diri. Lofa bergeser beberapa langkah agar bau tubuhnya yang asam tidak tercium oleh Agi.
    “Tidak perlu begitu, kau sudah biasa tidak mandi sejak dulu.”
    Lofa melotot kemudian menatap Agi curiga. Dia paranormal atau apa? Pikir Lofa panik.
    Agi hanya nyengir sekilas kemudian berjalan mendekati table set dan menyentuhnya. Lofa bisa melihat kekaguman di wajah pemuda itu. Setelah puas mengamati table set, Agi beranjak ke ruang baca.
    “Akan kau isi apa rak sebesar ini?” Tanya Agi saat mengamati rak buku yang membelah cafe ini.
    “Aku punya banyak buku,” Lofa hanya menjawab seadanya, kemudian perhatiannya beralih pada bungkusan yang diletakkan Agi di atas meja bar.
    “Apa ini?” Tanya gadis itu penasaran. Sebelum Agi memberi izin padanya, tangan Lofa sudah menggerayangi bungkusan itu dan membukanya perlahan.
    “Untukmu. Aku tahu kau lapar.”
    Kali ini Lofa mempercepat gerakannya dan membuka bungkusan itu. Ada sekotak besar donat J-CO di dalam bungkusan itu, lengkap dengan dua botol Cola. Lofa duduk di salah satu kursi tinggi sebelum mengambil sebuah donat oreo kesukaannya. Mulutnya terbuka lebar untuk menggigit potongan besar donat itu. Lofa hampir tersedak karena menelan potongan donat itu dengan buru-buru.
    “Kau kan ahli gizi, harusnya tahu cara makan yang benar.” Sindir Agi saat pemuda itu selesai berkeliling cafe dan duduk di sebuah kursi tinggi di dekat meja bar.
    Lofa terdiam sebentar sambil menepuk-nepuk dadanya untuk menghilangkan rasa sesak karena menelan dengan terburu-buru. Setelah yakin donat yang tadi ditelannya sudah berada di tempat seharusnya, Lofa angkat bicara.
    “Ahli gizi juga manusia tahu.” Kata Lofa spontan kemudian melanjutkan makannya.
    Gadis itu berhenti mengunyah saat teringat sesuatu, “Bagaimana wawancaramu?”
    Agi terlihat tidak terlalu ingin membicarakan hal itu. Rambut ikalnya merosot dan menutupi sisi wajahnya saat Agi tertunduk menatap kunci mobil di tangannya. Bahunya bergerak sekilas sebelum Agi mengangkat wajahnya dan menatap Lofa sambil tersenyum.
    “Mereka akan menghubungiku nanti, jika aku diterima.” Kata Agi lesu, kemudian menghela nafas panjang.
    “Mencari pekerjaan sekarang sulit sekali,” Agi menyandarkan tubuhnya pada meja bar dan menumpukan beban tubuhnya pada kedua siku yang diletakkan di atas meja.
    “Sekarang kau menyesal?” Lofa bermaksud mengungkit keputusan Agi dua bulan lalu untuk berhenti dari perusahaan tempatnya bekerja.
    Agi menggeleng mantap, “Ada banyak kecurangan di sana. Jika aku tidak bisa melakukan sesuatu untuk menghentikannya, setidaknya aku tidak ikut melakukannya.” Pemuda itu begitu mantap dengan pilihannya untuk menjadi pengangguran selama dua bulan terakhir.
    Lofa mengambil sebuah donat tiramisu dan menyodorkannya pada Agi. Pemuda itu menatap Lofa untuk sesaat sebelum akhirnya tersenyum dan mengambil alih donat itu dari tangan Lofa.
    “Bagaimana kau tahu aku masih di sini?” Tanya Lofa penasaran, masih sambil menggigit donatnya. Ini sudah donat oreo yang ketiga.
    Agi mengangkat bahunya dengan malas, “Memangnya kau akan ada di mana lagi?”
    “Yah, kau memang memiliki radar khusus untuk menemukanku. Aku tahu.” Kata Lofa enteng sambil menepuk bahu Agi beberapa kali.
    ***
    Setelah puas melahap begitu banyak donat, Lofa bisa merasakan perutnya sedikit membuncit. Dia tidak bisa dan tidak mau bergerak. Perutnya sakit karena terlalu penuh. Lofa mengelus-elus perutnya sambil bersandar pada meja bar di belakangnya. Lofa melirik Agi yang terlihat tenang-tenang saja meskipun pemuda itu baru saja memakan donat yang lebih banyak darinya. Lofa heran bagaimana para lelaki ini mampu memakan begitu banyak makanan tanpa merasa sesak sama sekali. Lofa langsung mengalihkan pandangannya ke tempat lain saat mendapati tanda-tanda Agi akan menoleh ke arahnya.
    “Kau masih belum punya nama,”
    Lofa langsung berpaling dari kesibukannya menghitung kotak-kotak yang ada di rak buku, berusaha memperhitungkan berapa banyak buku yang akan dia butuhkan untuk memenuhinya. Agi sedang memandanginya saat Lofa menoleh.
    “Aku punya.” Jawab Lofa ringan. Dan Agi tahu nama cafe-nya. Agi ada bersama Lofa saat dia sedang membuat nama cafe ini.
    “Jika aku orang asing, aku tidak akan tahu cafe ini bernama Cafe Lofa.”
    Lofa menepuk jidatnya secara spontan. Dia lupa hal yang paling penting dari sebuah cafe. Dia belum memesan papan nama untuk di pasang di depan cafe-nya.
    “Aku lupa,” jawab Lofa ragu-ragu.
    “Aku tahu.” Jawab Agi ringan.
    Lofa menyipitkan matanya saat memandangi Agi. Lofa tahu ekspresi itu. Saat Agi mengangkat salah satu sudut bibirnya untuk membentuk sebuah senyuman penuh kemenangan dan mengatakan aku tahu. Itu semacam ekspresi aku tahu kau akan kembali atau aku tahu kau tidak bisa melakukannya. Lofa tahu saat Agi menunjukkan ekspresi seperti itu berarti pemuda itu baru saja melakukan sesuatu untuknya.
    “Apa yang kau lakukan?” Lofa langsung mengajukan tuduhannya seperti seorang detektif handal.
    Agi hanya menggerakkan bahunya sekilas, kemudian pemuda itu memiringkan tubuhnya. Agi menumpukan beban tubuhnya pada siku kiri agar bisa memandang Lofa dengan lebih jelas.
    “Hanya pergi ke tukang lampu dan memesan lampu LED untuk cafe-mu. Besok nama cafe-mu akan siap di pasang.”
    Itu lebih dari cukup untuk membuat Lofa kehilangan pertahanannya. Gadis itu langsung melompat turun dari kursinya dan memeluk Agi.
    “Aku rasa aku sangat beruntung memiliki teman paranormal sepertimu,” kata Lofa sambil melepaskan pelukannya.
     “Aku sudah mengenalmu cukup lama untuk tahu kau selalu melupakan hal-hal penting.” Kata pemuda itu dengan gaya sok pahlawan yang menyebalkan.
    Lofa memukul lengan Agi sekilas kemudian kembali duduk. Gadis itu langsung menoleh saat Agi menggumamkan sesuatu. Lofa tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Saat menoleh, Lofa mendapati Agi sedang merogoh bungkusan yang tadi dibawanya. Tangannya meraih ke belakang kotak donat yang sekarang hanya berisi dua buah donat. Tangannya menggenggam setumpukan kertas berwarna-warni saat keluar dari bungkusan.
    Agi meletakkan tumpukan kertas warna-warni itu di hadapan Lofa. Gadis itu melotot saat menyadari apa yang baru saja disodorkan Agi padanya.
    “Kau yang membuat ini?” Tanya Lofa, meskipun dia sudah tahu jawabannya.
    Lofa bisa melihat Agi mengangguk saat tangan gadis itu sibuk melihat salah satu kertas yang berwarna merah muda. Isinya sangat sederhana, hanya pemberitahuan tentang Cafe Lofa yang baru buka. Cafe Lofa! Open Now! Itu tulisan yang berukuran paling besar dan hampir memenuhi kertas pamflet yang dibuat Agi.
    “Aku tidak tahu pasti kapan kau akan membuka cafe ini. Jadi aku rasa, kita bisa mulai memasangnya saat hari pembukaan cafe.”
    “Dua hari lagi.” Lofa mengatakannya dengan keyakinan yang tidak dia kenali. “Cafe ini akan buka dua hari lagi.”
    ***
    Ibu sudah menyisihkan sebagian perlengkapan tempurnya di dapur untuk cafe Lofa. Ada beberapa penggorengan, blender, tiga kardus piring yang selama ini tersembunyi di atas lemari dapur, tiga kardus gelas tinggi―Lofa sendiri tidak tahu ibu memiliki gelas-gelas seperti ini―dan yang paling membuat Lofa terharu adalah mesin pembuat kopi. Ibu membutuhkan waktu lebih lama saat memasukkan mesin pembuat kopi itu ke dalam kardus dibanding barang-barang lainnya. Mesin itu adalah kado pemberian ayah di ulang tahun pernikahan mereka yang pertama. Lofa sudah berusaha menolak dan memutuskan akan membeli yang baru untuk cafe-nya, tapi ibu tetap bersikeras untuk menyerahkan mesin itu pada Lofa. Ayah setuju saja dengan keputusan itu, lagi pula ibu sudah berhenti minum kopi sejak lama.
    “Ibu yakin?” Lofa bertanya sekali lagi saat akan membawa mesin kopi itu ke mobil Agi yang sudah menunggu di luar.
    Ibu tersenyum tulus sambil mengangguk, “Mesin itu lebih berguna di sana.”
    Setelah yakin ibu sudah mantap dengan keputusannya, Lofa mengangkat kardus yang berisi mesin kopi itu dan membawanya keluar. Agi sudah menunggu di samping pintu belakang mobilnya yang terbuka saat Lofa keluar. Sudah ada tumpukan kardus-kardus yang berisi barang-barang dapur. Lofa kembali masuk ke dalam rumah untuk mengambil kardus-kardus lain yang berisi buku-buku.
    Rak buku di kamarnya sudah kosong, hanya tersisa beberapa buku semasa kuliah yang mungkin masih dia butuhkan. Ada empat kardus besar berisi buku-bukunya. Sebagian kardus itu berisi komik dan novel, sebagian yang lain berisi buku-buku ensiklopedia dan buku bacaan anak. Lofa mendorong kardus besar pertama. dia berhenti saat mencapai teras rumah. Agi mengambil alih kardus besar itu dan mengangkatnya dengan mudah. Lofa kembali masuk ke dalam rumah untuk mengambil kardus lainnya. Gadis itu berusaha sekuat tenaga untuk mendorong ketiga kardus sekaligus. Setelah beberapa langkah, kausnya sudah basah karena keringat. Lofa menegakkan tubuhnya untuk mengatur nafas. Setelah mendapat sedikit kekuatan tambahan, Lofa kembali mendorong kardus-kardus itu sampai ke teras.
    “Kau tidak perlu membawa semuanya sekaligus,” kata Agi yang sudah menunggu di teras kemudian mengangkat salah satu kardus.
    “Aku tidak mau menghabiskan waktuku untuk bolak-balik ke kamar,” kata Lofa saat Agi kembali untuk mengambil kardus berikutnya.
    Lofa hanya berdiri dan mengamati Agi yang sepertinya tidak merasakan beban kardus-kardus itu sama sekali. Hanya otot-otot di kedua lengannya yang terlihat menegang saat mengangkat kardus itu.
    “Ada lagi?” Tanya Agi saat mengangkat kardus terakhir.
    “Hanya itu.” Kata Lofa ringan kemudian mengikuti Agi ke mobilnya.
    Bagian belakang mobil Agi sudah dipenuhi banyak kardus. Ada satu kardus yang tidak Lofa kenali. Tangan gadis itu terulur untuk melihat isi kardus itu. Ada banyak sekali komik yang masih terlihat baru dan rapi.
    “Ini koleksimu?” Lofa menatap Agi tidak percaya saat melihat kardus yang dipenuhi dengan koleksi komik Agi.
    “Aku sudah terlalu tua untuk buku-buku seperti itu,” kata pemuda itu di sela-sela kegiatannya menata kardus-kardus di dalam mobilnya.
    Agi berkacak pinggang untuk mengatur nafas setelah urusannya dengan kardus-kardus itu selesai. Setelah yakin semuanya sudah beres, tangan Agi terangkat untuk menutup pintu mobilnya.
    “Kita bisa pergi sekarang?”
    Lofa mengangguk mantap dan langsung berjalan memutari mobil. Agi sudah duduk di tempatnya saat Lofa masuk ke dalam mobil dan memasang sabuk pengaman. Setelah mendapat posisi yang nyaman, Lofa mengeluarkan sebuah buku catatan kecil dari dalam tas slempangnya sementara Agi memundurkan mobilnya. Lofa sedang sibuk mencatat barang-barang yang diperlukannya saat Agi meluncur ke jalanan dengan kecepatan sedang. Ada peraturan yang melarangnya memacu mobil dengan kecepatan tinggi di perumahan ini. Tapi begitu roda mobilnya menyentuh perbatasan antara jalan perumahan dan jalan raya, Agi menambah kecepatan mobilnya. Membuat Lofa tersentak ke belakang dan menghantam sandaran kursi dengan cukup keras. Gadis itu hanya melirik tajam ke arah Agi yang memamerkan cengiran polosnya seperti biasa.
    “Maaf,” kata pemuda itu tanpa benar-benar merasa bersalah. Hanya formalitas.
    Lofa kembali pada buku catatannya. Sudah ada beberapa barang-barang yang diberi tanda centang. Lofa menghembuskan nafas frustasi saat menyadari masih cukup banyak barang-barang yang harus dibelinya.
    “Kenapa?” Tanya Agi tanpa menatap gadis itu.
    “Aku butuh refrigerator.” Lofa menarik nafas panjang sebelum mengatakan bagian terburuknya, “Tiga.”
    “Untuk apa?” Agi terlihat tenang, tapi Lofa bisa mendengar kekagetan yang luar biasa dari suaranya.
    Lofa meletakkan buku catatannya di pangkuan kemudian mengangkat tiga jarinya.
    “Satu untuk menyimpan bahan-bahan es. Satu untuk menyimpan bahan-bahan kue. Satu lagi untuk minuman dingin biasa. Jadi aku butuh tiga refrigerator dengan jenis yang berbeda.”
    Lofa bisa menangkap bayangan Agi dengan sudut matanya. Pemuda itu menggerakkan bahunya sekilas, hanya untuk menunjukkan kekhawatiran Lofa itu tidak ada apa-apanya.
    “Kalau memang kau membutuhkannya, aku rasa tidak masalah.”
    Tidak masalah? Jika yang dimaksud Agi dengan tidak masalah adalah Lofa harus menghabiskan sebagian besar uang tabungannya hanya untuk lemari pendingin, maka ya, itu memang tidak masalah. Gadis itu sibuk berdebat dengan pikirannya sendiri. Dia sedang berusaha mencari jalan keluar selain menghisap seluruh pundi-pundi keuangannya.
    “Itu investasi,” kata Agi. “Kau tidak harus membelinya lagi tahun depan, iya kan? Memang harus begitu jika berniat memulai usaha.”
    Lofa hanya diam. Suara-suara di pikirannya masih berusaha menggumamkan ide-ide lain yang lebih ekonomis dan efisien. Tapi pada akhirnya ada satu suara yang menggema begitu keras di kepalanya. Agi benar. Ini investasi awal yang memang harus dilakukannya.
    “Baiklah. Antar aku ke toko elektronik.”
    Agi menempelkan dua jarinya ke pelipis kemudian menggerakkannya dengan cepat seperti sedang memberi hormat pada kapten kapal.
    “Siap!”
    ***
    Lofa berjalan melewati deretan refrigerator dengan berbagai merek. Ada banyak sekali spesifikasi yang ditawarkan dari masing-masing merek, tapi hanya satu hal yang Lofa perhatikan. Matanya terus tertuju pada deretan angka yang ditulis besar-besar pada bagian penutup lemari pendingin itu. Lofa mencari deretan angka dengan angka pertama terkecil, yang paling murah. Gadis itu langsung menghampiri salah satu refrigerator yang paling murah di antara merek-merek lain.
    “Yang ini?” Tanya Lofa pelan pada Agi yang setia mengikutinya di belakang.
    Lofa bisa melihat tangan kanan Agi terulur untuk mengambil salah satu brosur yang berisi spesifikasi refrigerator yang dipilih Lofa. Pemuda itu membacanya dengan seksama, mencoba mencari kekurangan yang mungkin dimiliki mesin itu sehingga harganya lebih murah. Lofa hanya memandangi Agi yang membaca brosur itu dengan serius, seperti sedang membaca kolom kriminalitas pada surat kabar.
    Agi mengangkat bahunya sekilas kemudian meletakkan kembali brosur itu pada tempatnya, “Tidak berbeda jauh dari yang lain. Hanya masalah garansi.”
    Lofa mengangkat sebelah alisnya untuk menuntut penjelasan lebih lanjut tentang garansi ini.
    “Mesin ini,” Agi menunjuk lemari pendingin termurah yang ada di hadapan mereka, “bergaransi 2 tahun.”
    “Yang itu,” Agi menunjuk lemari pendingin secara berurutan dari yang terdekat dengan mereka, “garansi 3 tahun. Yang di sebelah sana garansi 5 tahun dan daya listriknya lebih kecil dibanding yang lain. Aku rasa itu keunggulannya.”
    “Kau pernah bekerja di sini?” Tanya Lofa begitu Agi selesai menjelaskan.
    “Kau harus tahu spesifikasi barang yang akan kau beli. Terutama barang elektronik.”
    “Ya, ya, ya.” Lofa menggerakkan tangannya sekilas untuk menghentikan ceramah Agi tentang spesifikasi itu. “Jadi tidak masalah jika aku pilih yang ini?”
    Agi hanya mengangguk.
    Lofa kembali ke cafe-nya diikuti oleh sebuah truk besar yang mengangkut tiga refrigerator yang dipilihnya. Lofa langsung melompat turun dari mobil dan membuka pintu cafe. Agi mengikutinya dengan membawa beberapa kardus yang ringan sekaligus. Setelah meletakkan tasnya di gantungan dekat meja bar, Lofa mulai membantu Agi mengangkut kardus-kardus bawaannya. Truk yang membawa refrigerator sampai saat Agi membawa kardus terakhir yang berisi buku-buku.
    Lofa hanya berdiri sambil berkacak pinggang saat melihat tatanan dapurnya yang baru. Dapur yang awalnya hanya berisi rak kayu, sekarang sudah terisi dua lemari pendingin, sedangkan satu lemari pendingin lainnya diletakkan di dekat meja bar. Lofa merobek plastik bergelembung yang menutupi refrigerator itu dengan bersemangat. Menciptakan suara peletok pelan saat gelembung-gelembung pada plastik itu tertekan.
    Kegiatan Lofa terhenti saat mendengar suara seseorang selain Agi di ruang utama cafe. Gadis itu langsung berlari ke depan untuk mendapati Agi sedang menyalami dua orang lelaki berwajah ramah. Lofa memelankan langkahnya saat mendekati Agi untuk menyenggol sikunya.
    “Nama cafe-mu sudah jadi.” Agi memberitahu sebelum Lofa sempat bertanya.
    Salah satu lelaki yang lebih tua, rambutnya sudah sepenuhnya beruban, membuka kotak besar yang terbuat dari plastik berwarna merah dan mengeluarkan sesuatu. Lofa memiringkan kepalanya untuk melihat lebih jelas benda apa yang dikeluarkan lelaki itu. Sesuatu yang mirip selang panjang dan transparan, ada bintil-bintil di dalam selang transparan itu. Lelaki yang lebih muda―namanya Toni, Lofa bisa melihat nama yang dibordir pada seragam birunya saat lelaki itu membungkuk―mengeluarkan sesuatu yang lain dari tas hitam yang dibawanya. Lelaki bernama Toni itu mengeluarkan gulungan hitam dan membentangkannya. ada banyak sekali peralatan di dalam gulungan hitam itu. Mulai dari tang, obeng, dan sebagainya. Lofa jadi teringat salah satu kartun yang selalu dia tonton di rumah sepupunya yang masih berusia 5 tahun, Handy Many. Tokoh utama dalam film itu selalu membawa satu kotak yang berisi peralatan super lengkap yang anehnya bisa berbicara. Lofa sering membayangkan betapa mengerikannya gergaji yang bisa berbicara itu.
    Lofa tidak tahan lagi, akhirnya dia berjongkok di dekat lelaki yang lebih tua untuk melihat apa sebenarnya yang sedang dikeluarkan lelaki itu. Saat berjongkok Lofa bisa melihat namanya, Wawan. Setelah melihat bordiran nama di baju seragamnya yang berwarna biru tua, Lofa mengalihkan perhatiannya pada benda transparan berbintil yang ada di dekat kakinya. Tangannya terulur untuk meraih benda transparan itu. Ternyata selang transparan itu keras, bukan plastik elastis seperti yang dipikirkan Lofa.
    “Apa ini?” Tanya Lofa sambil menekan selang transparan itu.
    “Itu lampu.” Jawab Pak Wawan ringan dan seadanya. Lelaki itu hanya menjawab apa yang ditanyakan Lofa tanpa menambahkan sedikit basa-basi sama sekali.
    Lofa mendongak saat lelaki bernama Wawan itu berdiri sambil membawa selang-selang transparan yang membentuk tulisan Cafe. Lofa ikut berdiri saat Agi menunjuk jendela depan. Pak Wawan dan Toni mengikuti Agi ke luar cafe untuk mendengar penjelasannya tentang tata letak lampu itu. Lofa memutuskan untuk kembali membereskan dapurnya daripada mendengarkan ocehan tentang sesuatu yang tidak dia mengerti. Itu urusan laki-laki, pikirnya kemudian kembali ke dapur.
    Lofa menata gelas-gelasnya di atas rak kayu yang diletakkan di sudut dapur. Piring-piring pemberian ibu yang berbentuk seperti daun diletakkan di lemari bawah rak kayu itu. Gadis itu beralih pada kardus-kardus buku yang ada di ruang baca. Setelah menarik nafas panjang, Lofa mulai membongkar kardus-kardus itu dan menyusun buku-bukunya berdasarkan judul atau pengarang yang sama. Kebanyakan koleksinya adalah novel-novel karya Agatha Christie. Novel-novel detektif yang dulu selalu menjadi temannya saat rumah sepi. Lofa hampir terhipnotis karena terlalu sering membaca buku-buku semacam itu. Selama seminggu penuh dia menghabiskan waktu untuk menuduh Laufan mengambil parfumnya. Setelah melakukan penyelidikan yang menguras tenaga, akhirnya Lofa menemukan botol parfumnya di bawah kolong kasur. Ternyata dia tidak sengaja menjatuhkannya setelah memakai parfum itu. Laufan menuntut dibelikan es krim setelah kasus penuduhan itu.
    Lofa membersihkan kubikel-kubikel kecil pada rak buku dengan kemoceng sebelum meletakkan buku-bukunya yang sudah disusun rapi. Bagian paling bawah rak berisi komik-komik pemberian Agi. Ada banyak sekali komik Conan dan beberapa komik lain yang Lofa tidak tahu genre-nya. Bagian tengah rak diisi buku-buku pelajaran yang masih dimiliki Lofa. Hanya sedikit dan belum tentu sesuai dengan para pengunjung yang datang, tapi hanya itu buku-buku serius yang dimiliki Lofa selain ensiklopedia pemberian ayah. Sekarang Lofa baru merasakan kegunaan ensiklopedia pemberian ayah itu selain sebagai pengganjal jendelanya agar tetap terbuka. Dulu saat usianya masih di bawah sepuluh tahun, ayah selalu memberinya buku ensiklopedia tentang berbagai macam hal, mulai dari benda-benda antariksa sampai semua jenis binatang yang hidup di Amazon. Lofa senang-senang saja mendapat buku tebal yang banyak gambarnya seperti itu. Tapi setelah Lofa masuk SMP, buku-buku itu mulai terabaikan, digantikan buku-buku novel remaja dan komik. Setelah kuliah, Lofa lebih menyukai buku resep masakan. Sekarang semua buku-bukunya berakhir di rak tinggi di cafe-nya. Lofa tersenyum puas saat melihat rak bukunya yang sudah penuh dengan buku-buku
    “Lofa, lihat ini!”
    Lofa langsung berlari keluar saat mendengar Agi berteriak. Selang-selang transparan berbintil itu sudah menempel di kaca depan cafe-nya, membentuk tulisan Cafe Lofa dengan huruf tegak bersambung.
    “Coba kau nyalakan,”
    Agi menunjuk kabel hitam yang ujungnya belum tertancap. Lofa langsung mengambil ujung kabel itu dan memasukkannya ke stop kontak. Bintil-bintil pada selang transparan itu menyala, memancarkan warna hijau tua. Lofa berdiri lebih jauh untuk melihat tulisan nama cafe-nya dengan lebih jelas. Tulisan itu menyala terang di atas tanaman panjang yang ada di balik kaca. Terlihat seperti tanaman panjang itu sedang menusuk-nusuk tulisan Cafe Lofa.
    “Kau suka?” Tanya Agi saat pemuda itu berdiri di samping Lofa.
    Lofa hanya mengangguk. Pandangannya masih tertuju pada cafe-nya. Matanya menyapu seluruh pemandangan yang ada. Toko bunga, Cafe Lofa, dan toko parfum. Gadis itu mengulangi pandangannya sekali lagi. Kali ini cafe-nya benar-benar nyata. Bangunan kosong yang dia beli satu setengah bulan yang lalu sudah berubah drastis menjadi cafe yang cantik dan klasik.
    “Ini lebih dari yang aku bayangkan.”