Lofa memundurkan tubuhnya untuk melihat hasil tulisannya. Dia
sedang mencoba menemukan nama yang cocok untuk cafe-nya sementara Agi sedang
sibuk mengganti langit-langit yang rusak. Suara duk duk yang sangat mengganggu menggema ke seluruh ruangan saat Agi
sibuk memaku ternit itu.
“Jadi menurutmu mana yang lebih bagus...” Lofa berteriak untuk
menyaingi suara berisik yang diciptakan Agi. “Cafe ceria atau Happiness cafe?”
Agi tidak menjawab, hanya suara duk duk berirama yang masih terdengar. Setelah selesai dengan satu ternit,
Agi menunduk untuk melihat Lofa yang duduk di dekat meja bar yang kini sudah
terpasang rapi di tempatnya. Agi menggeleng pelan, “tidak ada nama yang lebih
normal?”
Harus Lofa akui, dua nama yang baru saja diajukannya memang agak
norak. Lofa meletakkan dagunya ke atas meja bar, sehingga kertas bertuliskan
beberapa nama cafe yang dipikirkannya tepat berada di bawah dagunya. Dia
melihat huruf-huruf itu dengan kabur. Sejauh ini dia tidak bisa menemukan kata
lain yang jauh dari kata bahagia, ceria,
kebahagiaan dan sebagainya. Norak!
pikir Lofa kesal dengan kemampuannya memilih kata. Nama adalah segalanya. Bagaimana
Lofa bisa menarik perhatian pengunjung jika namanya saja norak begini?
“Buat saja nama yang menggambarkan dirimu.”
Lofa mengangkat kepalanya dari atas meja saat mendengar suara
Agi. Pemuda itu sudah turun dari tangga dan sedang berjalan ke arahnya. Agi
membungkuk di atas meja bar dengan dua tangan tertumpu di atas meja untuk
menahan beban tubuhnya. Agi melihat coret-coretan nama yang ada di atas kertas
untuk melihat pilihan apa saja yang dimiliki Lofa. Pemuda itu tersenyum saat
melihat kemampuan Lofa yang sangat payah dalam memilih nama.
“Kau tahu cafe tempat kita sering makan saat kuliah dulu?”
Lofa menerawang, mencoba mengingat tempat-tempat yang sering
mereka kunjungi saat kuliah. Matanya berbinar saat teringat sebuah cafe yang
selalu dikunjunginya bersama Agi setiap hari Rabu dan Jumat. Lofa ingat kenapa
mereka memilih dua hari itu. Setiap hari Rabu dan Jumat cafe itu akan
memberikan bonus makanan penutup puding coklat yang luar biasa lezat.
“It’s just Valentina!”
Lofa meneriakkan nama itu dengan sangat antusias seperti sedang menjawab kuis
berhadiah satu miliar rupiah. “Apa hubungannya?” Lofa kehilangan antusiasmenya
saat menyadari tidak ada hubungan antara cafe favoritnya dengan nama cafe-nya
sendiri.
Agi memutar bola matanya dengan tidak sabar, “Valentina adalah
nama pemiliknya.”
“Ya aku tahu.” Jawab Lofa masih tidak mengerti, kemudian,
“oh...aku tahu.”
Agi mengangguk pelan sambil tersenyum.
“Jadi menurutmu, it’s Lofa
akan jadi nama yang bagus?”
Agi menghembuskan nafas panjang untuk menunjukkan
ketidaksabarannya, “itu namanya plagiatisme. Cari sesuatu yang lebih original dan sederhana.”
Lofa terdiam. Tangannya secara otomatis bergerak
mengetuk-ngetukkan pensil ke dagunya saat sedang berpikir. Dahinya sampai berkerut
dalam, berusaha memikirkan nama cafe yang cocok jika menambahkan unsur namanya
sendiri ke dalam nama cafe itu. Sesuatu yang
sederhana, pikir Lofa.
“Cafe Lofa?” Lofa merekomendasikan nama yang paling sederhana
yang dapat dia temukan.
Agi hanya memamerkan senyum manisnya, “jauh lebih baik.”
***
Lofa dan Agi langsung menoleh secara bersamaan saat pintu kaca
bangunan kosong itu didorong hingga terbuka. Sosok wanita cantik masuk melewati
celah sempit yang dibuatnya antara pintu dan dinding kaca. Wanita itu berambut
pendek, sangat pendek. Agi langsung melepaskan tubuhnya dari meja bar dan
mendekati wanita itu. Lofa meletakkan pensilnya kemudian mengikuti Agi. Setelah
jarak mereka cukup dekat, Lofa baru menyadari kalau tubuhnya yang paling pendek
di antara mereka bertiga.
“Terima kasih kau mau datang,” kata Agi lembut pada wanita itu.
Untuk beberapa saat Lofa merasa menjadi makhluk tak kasat mata di antara mereka
sampai akhirnya Agi menoleh dan mengenalkan Lofa pada gadis itu.
“Adriana,” katanya pelan. Gadis berambut pendek itu memiliki
suara berat yang indah.
“Lofa,” diam-diam Lofa mengutuki dirinya sendiri karena memiliki
suara cempreng. Dia berusaha berdehem untuk memperbesar suaranya. “Terima
kasih, mau membantuku.” Suaranya masih tetap sama. Mengecewakan.
Adriana langsung melangkah memasuki ruangan kosong yang nantinya
akan menjadi cafe Lofa. Stiletto merah
yang dipakainya menciptakan ketukan berirama saat berbenturan dengan lantai
kayu. Adriana mendekati meja bar yang sudah diletakkan di sebelah kiri ruangan.
“Selera yang bagus,” kata Adriana saat menelusuri meja bar itu
dengan jemarinya.
Lofa hanya memandangi gadis berambut pendek itu dalam diam. Jantungnya
berdebar tidak menentu. Gadis itu membuat Lofa ingin menciut dan bersembunyi di
suatu tempat yang gelap dan tidak terjangkau. Bukan hanya penampilan gadis itu
yang berhasil mengintimidasi Lofa, tapi juga gaya bicaranya yang seperti
seorang juri acara masak di salah satu stasiun televisi. Tubuh Lofa langsung
menegang saat Adriana tiba-tiba berbalik dan memamerkan senyumnya. Lofa bisa
membayangkan ada dua taring mematikan yang muncul di kedua sudut bibirnya.
“Aku punya ide untuk tempat ini,” kata Adriana penuh semangat.
***
Lofa memandangi pantulan dirinya di cermin, memastikan tidak ada
yang kurang dari penampilannya. Gadis itu menyisirkan jemarinya pada rambut
panjangnya sebelum mengikatnya dengan jepit plastik warna hijau. Setelah yakin
penampilannya cukup sempurna, Lofa meraih tas slempangnya dari gantungan di
balik pintu kemudian keluar kamar. Kepalanya kembali melongok ke dalam kamar
untuk memastikan tidak ada yang tertinggal sebelum akhirnya mengunci pintu di
belakangnya.
Aroma roti bakar dan susu coklat langsung menyerbu penciumannya
saat Lofa mendekati area teritori Ibu. Dapur. Dengan langkah berjingkat Lofa
mendekati Ibu yang sedang sibuk membuat telur mata sapi. Gadis itu langsung
menangkap punggung ibu dan memeluknya dari belakang. Lofa bisa merasakan tubuh
ibu sedikit menegang saat Lofa mengagetkannya, kemudian perlahan kembali rileks
saat menyadari Lofa yang memeluknya.
“Apa yang akan kau lakukan hari ini?” Tanya ibu di sela-sela
kegiatannya memecah dan membalik telur di atas penggorengan.
Lofa berjalan memutari meja makan dan menyomot satu roti bakar
yang pinggirannya sudah di potong. Lofa benci pinggiran roti. Mengurangi kelembutan
tekstur roti itu sendiri. Setelah mendapat posisi duduk yang nyaman di kursi
meja makan, Lofa baru menjawab.
“Adriana, desainer interior yang dikenalkan Agi padaku, akan
membawa beberapa furniture rancangannya
untuk mengisi cafe-ku.”
Ibu terdiam sebentar saat memindahkan telur-telur mata sapi itu
ke sebuah piring besar berwarna cokelat tua. Aroma telur itu langsung menyusup
ke dalam hidung Lofa saat ibu meletakkannya tepat di depan gadis itu.
“Agi banyak membantumu ya?” Tanya ibu pada Lofa dengan tatapan
penuh spekulasi saat duduk di sampingnya.
Lofa bisa merasakan kedua pipinya mulai memanas. Gadis itu
berusaha menggigit potongan besar roti bakarnya untuk menyumpal mulutnya. Dia
butuh waktu untuk menjawab pertanyaan itu. Setidaknya dengan mulut penuh, Lofa
memiliki cukup waktu untuk berpura-pura kesulitan menjawab. Dengan susah payah
Lofa berusaha menelan potongan roti itu, membuat tenggorokannya sakit. Lofa
langsung menyesap susu cokelatnya untuk membantunya mendorong roti yang
sepertinya masih tersangkut di tenggorokannya. Setelah semuanya berhasil masuk
ke dalam lambungnya, Lofa meletakkan gelas susunya. Sekarang dia siap untuk
menjawab.
“Dia teman yang baik,” hanya itu jawaban yang berhasil Lofa
temukan di dalam kubikel-kubikel otaknya.
Lofa menyomot sepotong roti bakar lagi kemudian meletakkan telur
mata sapi di atasnya sebelum menumpuknya dengan sepotong roti bakar lain. Setelah
yakin kedua rotinya tertangkup dengan sempurna, Lofa membuka mulutnya
lebar-lebar untuk menggigit sandwich-nya.
Sebenarnya itu adalah salah satu caranya untuk menghindari tatapan ibu. Saat
Lofa mendongak, ibu masih menghujaninya dengan tatapan kau tidak mau mengaku dia lebih dari sekedar teman, bahkan pada ibumu
sendiri?, jadi Lofa mengurungkan niatnya untuk menggigit sandwich-nya lagi dan menatap ibu dengan
wajah polos yang dibuat-buat. Sudah jelas-jelas pipinya merona setiap kali ibu
membicarakan Agi.
“Aku sering membantunya, dia juga membantuku. Kami impas.” Lofa
berusaha menjelaskan hubungan mereka dengan nada suara senetral mungkin. Tapi
ibu sepertinya memiliki kemampuan hipnotis atau semacamnya. Hanya dengan menatap
Lofa tanpa berkedip, ibu sudah hampir berhasil meruntuhkan dinding pertahanan
yang Lofa bangun dengan susah payah.
Lofa baru akan membuka mulut untuk mengatakan pembelaan lain
saat ayah dan Laufan muncul. Ayah sudah memakai kemeja rapi dan membawa tas kerjanya.
Lofa bia mencium aroma apel saat Laufan menarik kursi dan duduk di sampingnya.
Laufan terlihat sangat rapi dengan seragam SMP-nya. Penampilan adiknya itu
terlihat sangat bertolak belakang dengan penampilan Lofa semasa SMP dulu. Lofa
tidak pernah bisa mempertahankan pakaiannya tetap terikat ikat pinggang, warna
putih seragamnya selalu berubah menjadi coreng moreng setiap pulang sekolah. Itu
sebabnya Lofa memiliki cukup banyak seragam saat SMP.
Ibu menyiapkan setangkup roti yang sudah diisi telur mata sapi
untuk ayah, begitu juga Laufan.
“Bagaimana kabar cafe-mu?” Tanya ayah setelah menyesap teh
hangatnya.
Lofa memasukkan potongan terakhir rotinya dan menghabiskan susu
cokelatnya sebelum menjawab. Setelah mulutnya benar-benar kosong, dia mulai bicara.
“Beberapa furniture
akan dikirim hari ini, jadi cafe-ku mulai terisi.”
“Agi membantunya,” ibu berbisik pada ayah.
Laufan langsung menambahkan sebelum Lofa sempat mengatakan apa
pun, “Kak Agi dan Kak Lofa kan pacaran.”
Ayah hanya menatap Lofa sambil menunjukkan ekspresi, kau belum memberitahu ayahmu tentang hal
ini?
Lofa hanya menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya lagi.
Gadis itu bangkit dari kursinya kemudian mendorong kursi itu kembali ke bawah
meja makan.
“Sebaiknya aku pergi sekarang.”
Lofa sudah tidak tahu harus menunjukkan ekspresi apa atau harus
mengatakan apa untuk menghadapi keluarganya yang salah paham ini. Lofa hanya
khawatir ibu akan mengatakan sesuatu yang membuatnya malu saat Agi datang ke
rumah. Tapi Lofa buru-buru menyingkirkan pikiran itu, meskipun dalam hati Lofa
berencana untuk menjauhkan Agi dari rumah selama beberapa waktu.
“Kau pergi sendiri?” Tanya Ibu masih dengan pandangan penuh
spekulasi.
“Iya, Bu, aku pergi sendiri.”
Lofa memutari meja makan untuk mencium kedua orang tuanya dan
mengacak-acak rambut Laufan sebelum berjalan keluar dapur. Gadis itu meraih
kunci motor yang tergeletak di atas nakas dan melempar-lemparnya selama
berjalan keluar rumah. Menciptakan suara gemerincing saat beberapa kunci di
tangannya saling beradu.
***
Adriana sudah berdiri bersandar pada dinding toko bunga yang ada
di sebelah cafe saat Lofa sampai di sana. Lofa buru-buru memarkir motornya dan
mengeluarkan kunci cafe dari dalam tas slempangnya dengan panik. Adriana hanya
memandangi Lofa tanpa bicara saat gadis itu berusaha membuka dua lapis pintu
cafe-nya.
Penampilan Adriana terlihat lebih santai hari ini. Meskipun
gadis itu masih memakai blazer hitam untuk luaran t-shirt putihnya dan sepatu stiletto yang cantik, tapi Adriana sudah
mengganti celana formalnya dengan celana jins belel warna biru pudar. Suara
ketukan berirama terdengar saat Adriana mengikuti Lofa masuk ke dalam cafe.
“Kau sudah menunggu lama?” Tanya Lofa sambil menggantungkan tas
slempangnya di dekat meja bar.
Lofa bisa menangkap bayangan Adriana dengan sudut matanya. Gadis
itu menggeleng.
“Aku baru sampai.”
Lofa berjalan memutari meja bar kemudian menarik salah satu
kursi tinggi untuk diduduki. Gadis itu meletakkan bawaannya di atas meja bar,
dua gelas kopi hangat.
“Kau suka kopi?” Tanya Lofa saat gadis itu mengeluarkan dua
gelas kopi dari bungkusnya. “Aku membelinya saat perjalanan ke sini.”
Adriana menoleh kemudian tersenyum. Rambut pendeknya
bergerak-gerak ringan saat gadis itu berjalan mantap mendekati Lofa. Adriana
menarik sebuah kursi tinggi di samping Lofa kemudian duduk. Lofa menyodorkan
segelas kopi hangat saat Adriana sudah mendapat posisi duduk yang nyaman.
“Barang-barangmu akan datang sebentar lagi,” kata Adriana
setelah menyesap kopinya beberapa kali.
Lofa hanya mengangguk kemudian menyesap kopinya. Aliran hangat
langsung merayap ke seluruh tubuhnya saat cairan itu masuk ke dalam tubuhnya.
membuat Lofa bergidik untuk beberapa saat.
“Agi tidak datang?”
Lofa hampir tersedak saat mendengar nama itu disebut. Setelah
terbatuk beberapa kali, akhirnya Lofa bisa menguasai dirinya kembali. Lofa
menggeleng kemudian meletakkan gelas kopinya di atas meja.
“Dia ada wawancara kerja hari ini,”
Lofa menjawab setenang mungkin. Itu bukan informasi yang luar
biasa. Agi selalu memberitahunya jika ada panggilan wawancara kerja, dan Agi
juga selalu datang padanya jika wawancaranya gagal. Tapi sepertinya itu adalah
informasi yang baru bagi Adriana karena gadis itu terlihat kaget. Lofa
bersumpah melihat Adriana melongo dan matanya melebar meskipun hanya sesaat.
“Agi sempat bekerja di perusahaan makanan, tapi dia memutuskan
untuk keluar dua bulan yang lalu.”
Lofa menambahkan informasi mengenai Agi yang sepertinya sama
sekali tidak diketahui oleh Adriana.
“Kalian terlihat sangat dekat,”
Lofa bisa melihat tatapan curiga di mata Adriana yang anehnya
berwarna coklat muda, seperti bule. Lofa hanya menggerakkan bahunya sekilas,
kemudian mengambil gelas kopinya lagi. Jemari Lofa menelusuri pinggiran gelas
kopinya yang terbuat dari kertas karton halus saat menjawab,
“Kami memang dekat,”
Lofa masih bisa merasakan tatapan Adriana yang begitu tajam.
Lofa mendongak dari gelasnya untuk mendapati tatapan Adriana menyerangnya
dengan ribuan pisau tajam.
“Tidak ada yang spesial. Kami hanya teman.” Lofa menambahkan
jawabannya.
Lofa bisa mendengar suara hembuasan nafas Adriana yang tatapannya
mulai melunak setelah mendengar pernyataan Lofa barusan.
“Syukurlah. Aku sudah menyukainya sejak lama.”
Lofa tersentak kaget saat mendengar suara klakson di luar
cafe-nya. Sebenarnya Lofa masih tidak begitu yakin mana yang membuatnya lebih
kaget, suara klakson di luar sana atau pengakuan Adriana barusan. Lofa hanya
mematung saat Adriana melompat turun dari kursi tinggi dan berjalan cepat ke
luar cafe. Lofa buru-buru menyadarkan dirinya agar tidak memikirkan Agi lebih
jauh. Tidak ada yang boleh mengalihkan
pikiranku sekarang, dia berusaha memberikan sugesti itu pada dirinya
sendiri.
***
Adriana sedang memberikan instruksi ada beberapa petugas yang
membawa furniture saat Lofa keluar.
Gadis itu hanya diam di dekat Adriana yang terlihat sangat profesional di
bidangnya. Beberapa table set yang
berwarna senada dengan meja bar sudah dipesan Lofa beberapa hari yang lalu.
Adriana yang mengusulkan ide itu begitu melihat meja bar yang menurutnya sangat
elegan. Adriana sendiri yang merancang bentuk dan komposisi warna untuk table set itu. Hasilnya, luar biasa.
Ada enam table set, tiga
set sofa, satu set sofa panjang, dan sebuah rak buku besar yang dipesan Lofa. Rak
buku besar digunakan untuk membagi cafe itu menjadi dua bagian. Bagian pertama
adalah bagian khusus pengunjung yang hanya ingin menikmati hidangan di cafe
Lofa. Bagian kedua adalah ruangan khusus bagi para pengunjung yang ingin
menikmati hidangan di cafe itu sambil membaca atau menyelesaikan tugas-tugas
mereka. Tiga set sofa di letakkan pada bagian untuk para pengunjung yang ingin
membaca buku agar merasa lebih nyaman. Sedangkan enam table set diletakkan di sisi lainnya.
Lofa sudah menyiapkan beraneka ragam buku yang dia koleksi sejak
SMP untuk mengisi rak buku besar yang akan mendiami cafe-nya itu. Rak buku itu
sendiri terbuat dari rangka-rangka besi berwarna metalik dan papannya terbuat
dari polimer warna hitam. Untuk table set,
Adriana memilih warna metalik untuk kaki meja yang berbentuk bundar, sedangkan
kursinya terbuat dari polimer warna hitam dan bahan plastik berwarna gelap
untuk sandarannya. Singkatnya, table set
rancangan Adriana memang luar biasa.
Adriana menambahkan lampu-lampu gantung yang penutupnya terbuat
dari kayu agar dekorasi di dalam cafe tetap terlihat menyatu dengan lantai yang
terbuat dari papan kayu jati. Selain itu, Adriana juga menambahkan dekorasi air
mengalir pada kaca-kaca yang menggantikan peran dinding di cafe itu, ada
tanaman-tanaman panjang yang diletakkan di dekat kaca berair itu.
Di dekat kaca sebelah kiri cafe, diletakkan sebuah sofa panjang
yang ukurannya pas dari ujung ke ujung, sehingga terlihat seperti pembatas.
Menurut Adriana, sofa panjang ini bisa digunakan untuk para pengunjung yang
datang berombongan. Lofa menurut saja saat Adriana memberikan gambaran tentang
konsep sofa panjang ini. Sofanya berwarna hitam. Di hadapan sofa itu diletakkan
sebuah meja panjang dengan rangka warna metalik dan papan polimer warna hitam,
sama seperti rak buku.
Setelah puas dengan tatanan cafe barunya, Lofa baru menandatangani
surat serah terima barang. Para petugas furniture
itu langsung pergi setelah tugas mereka selesai. Sebenarnya Lofa ingin sekali
menawari sesuatu, tapi cafenya belum memiliki apa pun yang bisa digunakan untuk
membuat makanan atau minuman. Jadi Lofa hanya bisa mengucapkan terima kasih berkali-kali
kepada para petugas itu.
“Kau puas?” tanya Adriana saat para petugas yang membantu mereka
sudah pergi. Gadis itu berkacak pinggang sambil memperhatikan hasil
rancangannya.
Tanpa menjawab pertanyaan Adriana, Lofa langsung memeluknya.
Lofa bisa merasakan tubuh Adriana sedikit menegang saat Lofa tiba-tiba memberinya
sebuah pelukan, tapi gadis itu tidak peduli, dia tidak bisa menunjukkan rasa
terima kasihnya dengan cara lain.
“Ini lebih dari memuaskan.” Lofa baru menjawab pertanyaan
Adriana setelah melepaskan pelukannya.
Adriana mengangguk pelan kemudian tersenyum, “baiklah, aku rasa
tugasku sudah selesai.” Adriana menoleh untuk melihat keadaan di luar cafe.
“Sudah sore. Aku harus pulang sekarang.”
Lofa mengangguk mantap.
“Kau harus sering-sering datang ke sini,” Lofa memberi saran
dengan penuh semangat saat mengantar Adriana ke luar cafe.
“Tentu saja. Aku akan sering datang untuk memastikan kau merawat
karyaku dengan baik.” Kata Adriana enteng kemudian gadis itu melambai sebelum
masuk ke dalam mobil Jazz merahnya
dan meluncur pergi.
Lofa tidak bisa menahan dirinya untuk tetap tersenyum. Dia
terlalu bahagia. Sekarang dia sudah siap.
0 komentar:
Post a Comment