Lofa menarik nafas panjang dan memandangi cafe-nya yang sudah
dipenuhi furniture sekali lagi. Senyumnya
terkembang dan dia mendapati matanya tidak bisa berhenti memandangi ruangan
yang sudah lebih terlihat seperti cafe daripada gudang kosong. Setelah cukup
lelah hanya berdiri sambil berkacak pinggang di dekat meja bar, Lofa memutuskan
untuk menyingkirkan debu-debu yang merusak pemandangan cafe-nya.
Lofa bergegas mengambil sapu dan kemoceng yang disimpannya di
balik meja bar. Gadis itu mulai dari ruang baca. Lofa menjatuhkan diri ke atas
sofa untuk mencoba kenyamanannya sebelum mulai bersih-bersih. Tubuh rampingnya
melompat-lompat ringan di atas sofa itu untuk memastikan sofa itu cukup empuk
dan nyaman. Lofa menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa dan menatap
langit-langit. Matanya menelusuri seluruh langit-langit cafe. Pandangannya
terhenti pada lampu gantung yang dibungkus penutup berbahan kayu. Matanya
menyipit saat memperhatikan detail penutup lampu gantung itu. Ada ukir-ukiran
rumit di tepiannya, membuat cahaya lampu memancar keluar dan membentuk
pola-pola aneh di dinding.
Setelah cukup puas dengan pengamatannya, Lofa bangkit dari sofa
dan mulai menepuk-nepuk tiga set sofa yang ada di ruang baca dengan kemoceng
untuk menyingkirkan debunya. Sesekali Lofa menyeka keningnya yang berkeringat.
Pekerjaannya masih berlanjut pada enam table
set yang ada di sisi lain ruang baca.
Tangan Lofa mendadak berhenti menyapukan kemoceng pada pinggiran
kursi saat mendengar suara klakson mobil yang cukup nyaring dari luar cafe. Itu
Agi. Lofa bisa mengenalinya dari mobil Avanza silver yang selalu dipakai Agi ke
mana-mana. Sosok Agi muncul dari dalam mobil sambil membawa sesuatu di tangan
kirinya. Suara beep nyaring terdengar
saat Agi mengunci mobilnya.
Agi mendorong pintu kaca cafe pelan, pintu itu terayun membuka
tapi Agi tidak langsung masuk karena masih sibuk memperhatikan kaca di samping
pintu yang dialiri air.
“Bagus kan?” Tanya Lofa sambil berkacak pinggang.
Agi buru-buru mengalihkan perhatiannya dan masuk ke dalam cafe.
Pemuda itu mengacungkan barang bawaannya dan meletakkannya di atas meja bar.
Tangan kanan Agi terangkat untuk merapikan rambut ikalnya yang basah. Lofa
mendekati Agi yang sepertinya sedang terpana dengan penampilan cafe Lofa yang
baru. Bau shampo yang familiar langsung tercium saat Lofa berdiri di samping
Agi. Diam-diam gadis itu merutuki diri sendiri karena belum mandi sejak pagi
tadi. Dia terlalu sibuk mengurus cafe-nya sampai belum sempat membersihkan
diri. Lofa bergeser beberapa langkah agar bau tubuhnya yang asam tidak tercium
oleh Agi.
“Tidak perlu begitu, kau sudah biasa tidak mandi sejak dulu.”
Lofa melotot kemudian menatap Agi curiga. Dia paranormal atau apa? Pikir Lofa panik.
Agi hanya nyengir sekilas kemudian berjalan mendekati table set dan menyentuhnya. Lofa bisa
melihat kekaguman di wajah pemuda itu. Setelah puas mengamati table set, Agi beranjak ke ruang baca.
“Akan kau isi apa rak sebesar ini?” Tanya Agi saat mengamati rak
buku yang membelah cafe ini.
“Aku punya banyak buku,” Lofa hanya menjawab seadanya, kemudian
perhatiannya beralih pada bungkusan yang diletakkan Agi di atas meja bar.
“Apa ini?” Tanya gadis itu penasaran. Sebelum Agi memberi izin
padanya, tangan Lofa sudah menggerayangi bungkusan itu dan membukanya perlahan.
“Untukmu. Aku tahu kau lapar.”
Kali ini Lofa mempercepat gerakannya dan membuka bungkusan itu.
Ada sekotak besar donat J-CO di dalam bungkusan itu, lengkap dengan dua botol
Cola. Lofa duduk di salah satu kursi tinggi sebelum mengambil sebuah donat oreo
kesukaannya. Mulutnya terbuka lebar untuk menggigit potongan besar donat itu.
Lofa hampir tersedak karena menelan potongan donat itu dengan buru-buru.
“Kau kan ahli gizi, harusnya tahu cara makan yang benar.” Sindir
Agi saat pemuda itu selesai berkeliling cafe dan duduk di sebuah kursi tinggi
di dekat meja bar.
Lofa terdiam sebentar sambil menepuk-nepuk dadanya untuk
menghilangkan rasa sesak karena menelan dengan terburu-buru. Setelah yakin donat
yang tadi ditelannya sudah berada di tempat seharusnya, Lofa angkat bicara.
“Ahli gizi juga manusia tahu.” Kata Lofa spontan kemudian
melanjutkan makannya.
Gadis itu berhenti mengunyah saat teringat sesuatu, “Bagaimana
wawancaramu?”
Agi terlihat tidak terlalu ingin membicarakan hal itu. Rambut
ikalnya merosot dan menutupi sisi wajahnya saat Agi tertunduk menatap kunci
mobil di tangannya. Bahunya bergerak sekilas sebelum Agi mengangkat wajahnya
dan menatap Lofa sambil tersenyum.
“Mereka akan menghubungiku nanti, jika aku diterima.” Kata Agi
lesu, kemudian menghela nafas panjang.
“Mencari pekerjaan sekarang sulit sekali,” Agi menyandarkan
tubuhnya pada meja bar dan menumpukan beban tubuhnya pada kedua siku yang
diletakkan di atas meja.
“Sekarang kau menyesal?” Lofa bermaksud mengungkit keputusan Agi
dua bulan lalu untuk berhenti dari perusahaan tempatnya bekerja.
Agi menggeleng mantap, “Ada banyak kecurangan di sana. Jika aku
tidak bisa melakukan sesuatu untuk menghentikannya, setidaknya aku tidak ikut
melakukannya.” Pemuda itu begitu mantap dengan pilihannya untuk menjadi pengangguran
selama dua bulan terakhir.
Lofa mengambil sebuah donat tiramisu dan menyodorkannya pada
Agi. Pemuda itu menatap Lofa untuk sesaat sebelum akhirnya tersenyum dan
mengambil alih donat itu dari tangan Lofa.
“Bagaimana kau tahu aku masih di sini?” Tanya Lofa penasaran, masih
sambil menggigit donatnya. Ini sudah donat oreo yang ketiga.
Agi mengangkat bahunya dengan malas, “Memangnya kau akan ada di
mana lagi?”
“Yah, kau memang memiliki radar khusus untuk menemukanku. Aku
tahu.” Kata Lofa enteng sambil menepuk bahu Agi beberapa kali.
***
Setelah puas melahap begitu banyak donat, Lofa bisa merasakan
perutnya sedikit membuncit. Dia tidak bisa dan tidak mau bergerak. Perutnya
sakit karena terlalu penuh. Lofa mengelus-elus perutnya sambil bersandar pada
meja bar di belakangnya. Lofa melirik Agi yang terlihat tenang-tenang saja
meskipun pemuda itu baru saja memakan donat yang lebih banyak darinya. Lofa
heran bagaimana para lelaki ini mampu memakan begitu banyak makanan tanpa
merasa sesak sama sekali. Lofa langsung mengalihkan pandangannya ke tempat lain
saat mendapati tanda-tanda Agi akan menoleh ke arahnya.
“Kau masih belum punya nama,”
Lofa langsung berpaling dari kesibukannya menghitung kotak-kotak
yang ada di rak buku, berusaha memperhitungkan berapa banyak buku yang akan dia
butuhkan untuk memenuhinya. Agi sedang memandanginya saat Lofa menoleh.
“Aku punya.” Jawab Lofa ringan. Dan Agi tahu nama cafe-nya. Agi
ada bersama Lofa saat dia sedang membuat nama cafe ini.
“Jika aku orang asing, aku tidak akan tahu cafe ini bernama Cafe Lofa.”
Lofa menepuk jidatnya secara spontan. Dia lupa hal yang paling penting
dari sebuah cafe. Dia belum memesan papan nama untuk di pasang di depan
cafe-nya.
“Aku lupa,” jawab Lofa ragu-ragu.
“Aku tahu.” Jawab Agi ringan.
Lofa menyipitkan matanya saat memandangi Agi. Lofa tahu ekspresi
itu. Saat Agi mengangkat salah satu sudut bibirnya untuk membentuk sebuah
senyuman penuh kemenangan dan mengatakan aku
tahu. Itu semacam ekspresi aku tahu
kau akan kembali atau aku tahu kau
tidak bisa melakukannya. Lofa tahu saat Agi menunjukkan ekspresi seperti
itu berarti pemuda itu baru saja melakukan sesuatu untuknya.
“Apa yang kau lakukan?” Lofa langsung mengajukan tuduhannya
seperti seorang detektif handal.
Agi hanya menggerakkan bahunya sekilas, kemudian pemuda itu
memiringkan tubuhnya. Agi menumpukan beban tubuhnya pada siku kiri agar bisa
memandang Lofa dengan lebih jelas.
“Hanya pergi ke tukang lampu dan memesan lampu LED untuk
cafe-mu. Besok nama cafe-mu akan siap di pasang.”
Itu lebih dari cukup untuk membuat Lofa kehilangan
pertahanannya. Gadis itu langsung melompat turun dari kursinya dan memeluk Agi.
“Aku rasa aku sangat beruntung memiliki teman paranormal
sepertimu,” kata Lofa sambil melepaskan pelukannya.
“Aku sudah mengenalmu
cukup lama untuk tahu kau selalu melupakan hal-hal penting.” Kata pemuda itu
dengan gaya sok pahlawan yang menyebalkan.
Lofa memukul lengan Agi sekilas kemudian kembali duduk. Gadis
itu langsung menoleh saat Agi menggumamkan sesuatu. Lofa tidak bisa
mendengarnya dengan jelas. Saat menoleh, Lofa mendapati Agi sedang merogoh
bungkusan yang tadi dibawanya. Tangannya meraih ke belakang kotak donat yang
sekarang hanya berisi dua buah donat. Tangannya menggenggam setumpukan kertas
berwarna-warni saat keluar dari bungkusan.
Agi meletakkan tumpukan kertas warna-warni itu di hadapan Lofa.
Gadis itu melotot saat menyadari apa yang baru saja disodorkan Agi padanya.
“Kau yang membuat ini?” Tanya Lofa, meskipun dia sudah tahu
jawabannya.
Lofa bisa melihat Agi mengangguk saat tangan gadis itu sibuk
melihat salah satu kertas yang berwarna merah muda. Isinya sangat sederhana,
hanya pemberitahuan tentang Cafe Lofa yang baru buka. Cafe Lofa! Open Now! Itu tulisan yang berukuran paling besar dan
hampir memenuhi kertas pamflet yang dibuat Agi.
“Aku tidak tahu pasti kapan kau akan membuka cafe ini. Jadi aku
rasa, kita bisa mulai memasangnya saat hari pembukaan cafe.”
“Dua hari lagi.” Lofa mengatakannya dengan keyakinan yang tidak
dia kenali. “Cafe ini akan buka dua hari lagi.”
***
Ibu sudah menyisihkan sebagian perlengkapan tempurnya di dapur
untuk cafe Lofa. Ada beberapa penggorengan, blender, tiga kardus piring yang
selama ini tersembunyi di atas lemari dapur, tiga kardus gelas tinggi―Lofa
sendiri tidak tahu ibu memiliki gelas-gelas seperti ini―dan yang paling membuat
Lofa terharu adalah mesin pembuat kopi. Ibu membutuhkan waktu lebih lama saat
memasukkan mesin pembuat kopi itu ke dalam kardus dibanding barang-barang
lainnya. Mesin itu adalah kado pemberian ayah di ulang tahun pernikahan mereka
yang pertama. Lofa sudah berusaha menolak dan memutuskan akan membeli yang baru
untuk cafe-nya, tapi ibu tetap bersikeras untuk menyerahkan mesin itu pada
Lofa. Ayah setuju saja dengan keputusan itu, lagi pula ibu sudah berhenti minum
kopi sejak lama.
“Ibu yakin?” Lofa bertanya sekali lagi saat akan membawa mesin
kopi itu ke mobil Agi yang sudah menunggu di luar.
Ibu tersenyum tulus sambil mengangguk, “Mesin itu lebih berguna
di sana.”
Setelah yakin ibu sudah mantap dengan keputusannya, Lofa mengangkat
kardus yang berisi mesin kopi itu dan membawanya keluar. Agi sudah menunggu di
samping pintu belakang mobilnya yang terbuka saat Lofa keluar. Sudah ada
tumpukan kardus-kardus yang berisi barang-barang dapur. Lofa kembali masuk ke
dalam rumah untuk mengambil kardus-kardus lain yang berisi buku-buku.
Rak buku di kamarnya sudah kosong, hanya tersisa beberapa buku
semasa kuliah yang mungkin masih dia butuhkan. Ada empat kardus besar berisi
buku-bukunya. Sebagian kardus itu berisi komik dan novel, sebagian yang lain
berisi buku-buku ensiklopedia dan buku bacaan anak. Lofa mendorong kardus besar
pertama. dia berhenti saat mencapai teras rumah. Agi mengambil alih kardus
besar itu dan mengangkatnya dengan mudah. Lofa kembali masuk ke dalam rumah
untuk mengambil kardus lainnya. Gadis itu berusaha sekuat tenaga untuk mendorong
ketiga kardus sekaligus. Setelah beberapa langkah, kausnya sudah basah karena
keringat. Lofa menegakkan tubuhnya untuk mengatur nafas. Setelah mendapat
sedikit kekuatan tambahan, Lofa kembali mendorong kardus-kardus itu sampai ke
teras.
“Kau tidak perlu membawa semuanya sekaligus,” kata Agi yang
sudah menunggu di teras kemudian mengangkat salah satu kardus.
“Aku tidak mau menghabiskan waktuku untuk bolak-balik ke kamar,”
kata Lofa saat Agi kembali untuk mengambil kardus berikutnya.
Lofa hanya berdiri dan mengamati Agi yang sepertinya tidak
merasakan beban kardus-kardus itu sama sekali. Hanya otot-otot di kedua lengannya
yang terlihat menegang saat mengangkat kardus itu.
“Ada lagi?” Tanya Agi saat mengangkat kardus terakhir.
“Hanya itu.” Kata Lofa ringan kemudian mengikuti Agi ke
mobilnya.
Bagian belakang mobil Agi sudah dipenuhi banyak kardus. Ada satu
kardus yang tidak Lofa kenali. Tangan gadis itu terulur untuk melihat isi
kardus itu. Ada banyak sekali komik yang masih terlihat baru dan rapi.
“Ini koleksimu?” Lofa menatap Agi tidak percaya saat melihat
kardus yang dipenuhi dengan koleksi komik Agi.
“Aku sudah terlalu tua untuk buku-buku seperti itu,” kata pemuda
itu di sela-sela kegiatannya menata kardus-kardus di dalam mobilnya.
Agi berkacak pinggang untuk mengatur nafas setelah urusannya dengan
kardus-kardus itu selesai. Setelah yakin semuanya sudah beres, tangan Agi
terangkat untuk menutup pintu mobilnya.
“Kita bisa pergi sekarang?”
Lofa mengangguk mantap dan langsung berjalan memutari mobil. Agi
sudah duduk di tempatnya saat Lofa masuk ke dalam mobil dan memasang sabuk
pengaman. Setelah mendapat posisi yang nyaman, Lofa mengeluarkan sebuah buku
catatan kecil dari dalam tas slempangnya sementara Agi memundurkan mobilnya.
Lofa sedang sibuk mencatat barang-barang yang diperlukannya saat Agi meluncur
ke jalanan dengan kecepatan sedang. Ada peraturan yang melarangnya memacu mobil
dengan kecepatan tinggi di perumahan ini. Tapi begitu roda mobilnya menyentuh
perbatasan antara jalan perumahan dan jalan raya, Agi menambah kecepatan
mobilnya. Membuat Lofa tersentak ke belakang dan menghantam sandaran kursi
dengan cukup keras. Gadis itu hanya melirik tajam ke arah Agi yang memamerkan
cengiran polosnya seperti biasa.
“Maaf,” kata pemuda itu tanpa benar-benar merasa bersalah. Hanya
formalitas.
Lofa kembali pada buku catatannya. Sudah ada beberapa
barang-barang yang diberi tanda centang. Lofa menghembuskan nafas frustasi saat
menyadari masih cukup banyak barang-barang yang harus dibelinya.
“Kenapa?” Tanya Agi tanpa menatap gadis itu.
“Aku butuh refrigerator.”
Lofa menarik nafas panjang sebelum mengatakan bagian terburuknya, “Tiga.”
“Untuk apa?” Agi terlihat tenang, tapi Lofa bisa mendengar
kekagetan yang luar biasa dari suaranya.
Lofa meletakkan buku catatannya di pangkuan kemudian mengangkat
tiga jarinya.
“Satu untuk menyimpan bahan-bahan es. Satu untuk menyimpan
bahan-bahan kue. Satu lagi untuk minuman dingin biasa. Jadi aku butuh tiga refrigerator dengan jenis yang berbeda.”
Lofa bisa menangkap bayangan Agi dengan sudut matanya. Pemuda
itu menggerakkan bahunya sekilas, hanya untuk menunjukkan kekhawatiran Lofa itu
tidak ada apa-apanya.
“Kalau memang kau membutuhkannya, aku rasa tidak masalah.”
Tidak masalah? Jika yang dimaksud Agi dengan tidak masalah
adalah Lofa harus menghabiskan sebagian besar uang tabungannya hanya untuk lemari
pendingin, maka ya, itu memang tidak masalah. Gadis itu sibuk berdebat dengan
pikirannya sendiri. Dia sedang berusaha mencari jalan keluar selain menghisap seluruh
pundi-pundi keuangannya.
“Itu investasi,” kata Agi. “Kau tidak harus membelinya lagi
tahun depan, iya kan? Memang harus begitu jika berniat memulai usaha.”
Lofa hanya diam. Suara-suara di pikirannya masih berusaha
menggumamkan ide-ide lain yang lebih ekonomis dan efisien. Tapi pada akhirnya
ada satu suara yang menggema begitu keras di kepalanya. Agi benar. Ini
investasi awal yang memang harus dilakukannya.
“Baiklah. Antar aku ke toko elektronik.”
Agi menempelkan dua jarinya ke pelipis kemudian menggerakkannya
dengan cepat seperti sedang memberi hormat pada kapten kapal.
“Siap!”
***
Lofa berjalan melewati deretan refrigerator dengan berbagai merek. Ada banyak sekali spesifikasi
yang ditawarkan dari masing-masing merek, tapi hanya satu hal yang Lofa
perhatikan. Matanya terus tertuju pada deretan angka yang ditulis besar-besar
pada bagian penutup lemari pendingin itu. Lofa mencari deretan angka dengan
angka pertama terkecil, yang paling murah. Gadis itu langsung menghampiri salah
satu refrigerator yang paling murah
di antara merek-merek lain.
“Yang ini?” Tanya Lofa pelan pada Agi yang setia mengikutinya di
belakang.
Lofa bisa melihat tangan kanan Agi terulur untuk mengambil salah
satu brosur yang berisi spesifikasi refrigerator
yang dipilih Lofa. Pemuda itu membacanya dengan seksama, mencoba mencari
kekurangan yang mungkin dimiliki mesin itu sehingga harganya lebih murah. Lofa
hanya memandangi Agi yang membaca brosur itu dengan serius, seperti sedang
membaca kolom kriminalitas pada surat kabar.
Agi mengangkat bahunya sekilas kemudian meletakkan kembali
brosur itu pada tempatnya, “Tidak berbeda jauh dari yang lain. Hanya masalah
garansi.”
Lofa mengangkat sebelah alisnya untuk menuntut penjelasan lebih
lanjut tentang garansi ini.
“Mesin ini,” Agi menunjuk lemari pendingin termurah yang ada di
hadapan mereka, “bergaransi 2 tahun.”
“Yang itu,” Agi menunjuk lemari pendingin secara berurutan dari
yang terdekat dengan mereka, “garansi 3 tahun. Yang di sebelah sana garansi 5
tahun dan daya listriknya lebih kecil dibanding yang lain. Aku rasa itu
keunggulannya.”
“Kau pernah bekerja di sini?” Tanya Lofa begitu Agi selesai
menjelaskan.
“Kau harus tahu spesifikasi barang yang akan kau beli. Terutama
barang elektronik.”
“Ya, ya, ya.” Lofa menggerakkan tangannya sekilas untuk
menghentikan ceramah Agi tentang spesifikasi
itu. “Jadi tidak masalah jika aku pilih yang ini?”
Agi hanya mengangguk.
Lofa kembali ke cafe-nya diikuti oleh sebuah truk besar yang
mengangkut tiga refrigerator yang
dipilihnya. Lofa langsung melompat turun dari mobil dan membuka pintu cafe. Agi
mengikutinya dengan membawa beberapa kardus yang ringan sekaligus. Setelah
meletakkan tasnya di gantungan dekat meja bar, Lofa mulai membantu Agi
mengangkut kardus-kardus bawaannya. Truk yang membawa refrigerator sampai saat Agi membawa kardus terakhir yang berisi
buku-buku.
Lofa hanya berdiri sambil berkacak pinggang saat melihat tatanan
dapurnya yang baru. Dapur yang awalnya hanya berisi rak kayu, sekarang sudah
terisi dua lemari pendingin, sedangkan satu lemari pendingin lainnya diletakkan
di dekat meja bar. Lofa merobek plastik bergelembung yang menutupi refrigerator itu dengan bersemangat. Menciptakan
suara peletok pelan saat
gelembung-gelembung pada plastik itu tertekan.
Kegiatan Lofa terhenti saat mendengar suara seseorang selain Agi
di ruang utama cafe. Gadis itu langsung berlari ke depan untuk mendapati Agi
sedang menyalami dua orang lelaki berwajah ramah. Lofa memelankan langkahnya
saat mendekati Agi untuk menyenggol sikunya.
“Nama cafe-mu sudah jadi.” Agi memberitahu sebelum Lofa sempat
bertanya.
Salah satu lelaki yang lebih tua, rambutnya sudah sepenuhnya
beruban, membuka kotak besar yang terbuat dari plastik berwarna merah dan
mengeluarkan sesuatu. Lofa memiringkan kepalanya untuk melihat lebih jelas
benda apa yang dikeluarkan lelaki itu. Sesuatu yang mirip selang panjang dan
transparan, ada bintil-bintil di dalam selang transparan itu. Lelaki yang lebih
muda―namanya Toni, Lofa bisa melihat nama yang dibordir pada seragam birunya
saat lelaki itu membungkuk―mengeluarkan sesuatu yang lain dari tas hitam yang
dibawanya. Lelaki bernama Toni itu mengeluarkan gulungan hitam dan
membentangkannya. ada banyak sekali peralatan di dalam gulungan hitam itu. Mulai
dari tang, obeng, dan sebagainya. Lofa jadi teringat salah satu kartun yang
selalu dia tonton di rumah sepupunya yang masih berusia 5 tahun, Handy Many. Tokoh utama dalam film itu
selalu membawa satu kotak yang berisi peralatan super lengkap yang anehnya bisa
berbicara. Lofa sering membayangkan betapa mengerikannya gergaji yang bisa
berbicara itu.
Lofa tidak tahan lagi, akhirnya dia berjongkok di dekat lelaki
yang lebih tua untuk melihat apa sebenarnya yang sedang dikeluarkan lelaki itu.
Saat berjongkok Lofa bisa melihat namanya, Wawan. Setelah melihat bordiran nama
di baju seragamnya yang berwarna biru tua, Lofa mengalihkan perhatiannya pada
benda transparan berbintil yang ada di dekat kakinya. Tangannya terulur untuk
meraih benda transparan itu. Ternyata selang transparan itu keras, bukan
plastik elastis seperti yang dipikirkan Lofa.
“Apa ini?” Tanya Lofa sambil menekan selang transparan itu.
“Itu lampu.” Jawab Pak Wawan ringan dan seadanya. Lelaki itu
hanya menjawab apa yang ditanyakan Lofa tanpa menambahkan sedikit basa-basi
sama sekali.
Lofa mendongak saat lelaki bernama Wawan itu berdiri sambil
membawa selang-selang transparan yang membentuk tulisan Cafe. Lofa ikut berdiri
saat Agi menunjuk jendela depan. Pak Wawan dan Toni mengikuti Agi ke luar cafe
untuk mendengar penjelasannya tentang tata letak lampu itu. Lofa memutuskan
untuk kembali membereskan dapurnya daripada mendengarkan ocehan tentang sesuatu
yang tidak dia mengerti. Itu urusan laki-laki,
pikirnya kemudian kembali ke dapur.
Lofa menata gelas-gelasnya di atas rak kayu yang diletakkan di
sudut dapur. Piring-piring pemberian ibu yang berbentuk seperti daun diletakkan
di lemari bawah rak kayu itu. Gadis itu beralih pada kardus-kardus buku yang
ada di ruang baca. Setelah menarik nafas panjang, Lofa mulai membongkar
kardus-kardus itu dan menyusun buku-bukunya berdasarkan judul atau pengarang
yang sama. Kebanyakan koleksinya adalah novel-novel karya Agatha Christie.
Novel-novel detektif yang dulu selalu menjadi temannya saat rumah sepi. Lofa
hampir terhipnotis karena terlalu sering membaca buku-buku semacam itu. Selama
seminggu penuh dia menghabiskan waktu untuk menuduh Laufan mengambil parfumnya.
Setelah melakukan penyelidikan yang menguras tenaga, akhirnya Lofa menemukan
botol parfumnya di bawah kolong kasur. Ternyata dia tidak sengaja
menjatuhkannya setelah memakai parfum itu. Laufan menuntut dibelikan es krim
setelah kasus penuduhan itu.
Lofa membersihkan kubikel-kubikel kecil pada rak buku dengan
kemoceng sebelum meletakkan buku-bukunya yang sudah disusun rapi. Bagian paling
bawah rak berisi komik-komik pemberian Agi. Ada banyak sekali komik Conan dan
beberapa komik lain yang Lofa tidak tahu genre-nya.
Bagian tengah rak diisi buku-buku pelajaran yang masih dimiliki Lofa. Hanya
sedikit dan belum tentu sesuai dengan para pengunjung yang datang, tapi hanya
itu buku-buku serius yang dimiliki Lofa selain ensiklopedia pemberian ayah. Sekarang
Lofa baru merasakan kegunaan ensiklopedia pemberian ayah itu selain sebagai
pengganjal jendelanya agar tetap terbuka. Dulu saat usianya masih di bawah
sepuluh tahun, ayah selalu memberinya buku ensiklopedia tentang berbagai macam
hal, mulai dari benda-benda antariksa sampai semua jenis binatang yang hidup di
Amazon. Lofa senang-senang saja mendapat buku tebal yang banyak gambarnya
seperti itu. Tapi setelah Lofa masuk SMP, buku-buku itu mulai terabaikan,
digantikan buku-buku novel remaja dan komik. Setelah kuliah, Lofa lebih
menyukai buku resep masakan. Sekarang semua buku-bukunya berakhir di rak tinggi
di cafe-nya. Lofa tersenyum puas saat melihat rak bukunya yang sudah penuh
dengan buku-buku
“Lofa, lihat ini!”
Lofa langsung berlari keluar saat mendengar Agi berteriak. Selang-selang
transparan berbintil itu sudah menempel di kaca depan cafe-nya, membentuk tulisan
Cafe Lofa dengan huruf tegak
bersambung.
“Coba kau nyalakan,”
Agi menunjuk kabel hitam yang ujungnya belum tertancap. Lofa
langsung mengambil ujung kabel itu dan memasukkannya ke stop kontak. Bintil-bintil
pada selang transparan itu menyala, memancarkan warna hijau tua. Lofa berdiri
lebih jauh untuk melihat tulisan nama cafe-nya dengan lebih jelas. Tulisan itu
menyala terang di atas tanaman panjang yang ada di balik kaca. Terlihat seperti
tanaman panjang itu sedang menusuk-nusuk tulisan Cafe Lofa.
“Kau suka?” Tanya Agi saat pemuda itu berdiri di samping Lofa.
Lofa hanya mengangguk. Pandangannya masih tertuju pada cafe-nya.
Matanya menyapu seluruh pemandangan yang ada. Toko bunga, Cafe Lofa, dan toko
parfum. Gadis itu mengulangi pandangannya sekali lagi. Kali ini cafe-nya
benar-benar nyata. Bangunan kosong yang dia beli satu setengah bulan yang lalu
sudah berubah drastis menjadi cafe yang cantik dan klasik.
“Ini lebih dari yang aku bayangkan.”
0 komentar:
Post a Comment