Rss Feed
  1. Cafe Lofa : H-1

    Monday, December 23, 2013


    Lofa menarik nafas panjang dan memandangi cafe-nya yang sudah dipenuhi furniture sekali lagi. Senyumnya terkembang dan dia mendapati matanya tidak bisa berhenti memandangi ruangan yang sudah lebih terlihat seperti cafe daripada gudang kosong. Setelah cukup lelah hanya berdiri sambil berkacak pinggang di dekat meja bar, Lofa memutuskan untuk menyingkirkan debu-debu yang merusak pemandangan cafe-nya.
    Lofa bergegas mengambil sapu dan kemoceng yang disimpannya di balik meja bar. Gadis itu mulai dari ruang baca. Lofa menjatuhkan diri ke atas sofa untuk mencoba kenyamanannya sebelum mulai bersih-bersih. Tubuh rampingnya melompat-lompat ringan di atas sofa itu untuk memastikan sofa itu cukup empuk dan nyaman. Lofa menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa dan menatap langit-langit. Matanya menelusuri seluruh langit-langit cafe. Pandangannya terhenti pada lampu gantung yang dibungkus penutup berbahan kayu. Matanya menyipit saat memperhatikan detail penutup lampu gantung itu. Ada ukir-ukiran rumit di tepiannya, membuat cahaya lampu memancar keluar dan membentuk pola-pola aneh di dinding.
    Setelah cukup puas dengan pengamatannya, Lofa bangkit dari sofa dan mulai menepuk-nepuk tiga set sofa yang ada di ruang baca dengan kemoceng untuk menyingkirkan debunya. Sesekali Lofa menyeka keningnya yang berkeringat. Pekerjaannya masih berlanjut pada enam table set yang ada di sisi lain ruang baca.
    Tangan Lofa mendadak berhenti menyapukan kemoceng pada pinggiran kursi saat mendengar suara klakson mobil yang cukup nyaring dari luar cafe. Itu Agi. Lofa bisa mengenalinya dari mobil Avanza silver yang selalu dipakai Agi ke mana-mana. Sosok Agi muncul dari dalam mobil sambil membawa sesuatu di tangan kirinya. Suara beep nyaring terdengar saat Agi mengunci mobilnya.
    Agi mendorong pintu kaca cafe pelan, pintu itu terayun membuka tapi Agi tidak langsung masuk karena masih sibuk memperhatikan kaca di samping pintu yang dialiri air.
    “Bagus kan?” Tanya Lofa sambil berkacak pinggang.
    Agi buru-buru mengalihkan perhatiannya dan masuk ke dalam cafe. Pemuda itu mengacungkan barang bawaannya dan meletakkannya di atas meja bar. Tangan kanan Agi terangkat untuk merapikan rambut ikalnya yang basah. Lofa mendekati Agi yang sepertinya sedang terpana dengan penampilan cafe Lofa yang baru. Bau shampo yang familiar langsung tercium saat Lofa berdiri di samping Agi. Diam-diam gadis itu merutuki diri sendiri karena belum mandi sejak pagi tadi. Dia terlalu sibuk mengurus cafe-nya sampai belum sempat membersihkan diri. Lofa bergeser beberapa langkah agar bau tubuhnya yang asam tidak tercium oleh Agi.
    “Tidak perlu begitu, kau sudah biasa tidak mandi sejak dulu.”
    Lofa melotot kemudian menatap Agi curiga. Dia paranormal atau apa? Pikir Lofa panik.
    Agi hanya nyengir sekilas kemudian berjalan mendekati table set dan menyentuhnya. Lofa bisa melihat kekaguman di wajah pemuda itu. Setelah puas mengamati table set, Agi beranjak ke ruang baca.
    “Akan kau isi apa rak sebesar ini?” Tanya Agi saat mengamati rak buku yang membelah cafe ini.
    “Aku punya banyak buku,” Lofa hanya menjawab seadanya, kemudian perhatiannya beralih pada bungkusan yang diletakkan Agi di atas meja bar.
    “Apa ini?” Tanya gadis itu penasaran. Sebelum Agi memberi izin padanya, tangan Lofa sudah menggerayangi bungkusan itu dan membukanya perlahan.
    “Untukmu. Aku tahu kau lapar.”
    Kali ini Lofa mempercepat gerakannya dan membuka bungkusan itu. Ada sekotak besar donat J-CO di dalam bungkusan itu, lengkap dengan dua botol Cola. Lofa duduk di salah satu kursi tinggi sebelum mengambil sebuah donat oreo kesukaannya. Mulutnya terbuka lebar untuk menggigit potongan besar donat itu. Lofa hampir tersedak karena menelan potongan donat itu dengan buru-buru.
    “Kau kan ahli gizi, harusnya tahu cara makan yang benar.” Sindir Agi saat pemuda itu selesai berkeliling cafe dan duduk di sebuah kursi tinggi di dekat meja bar.
    Lofa terdiam sebentar sambil menepuk-nepuk dadanya untuk menghilangkan rasa sesak karena menelan dengan terburu-buru. Setelah yakin donat yang tadi ditelannya sudah berada di tempat seharusnya, Lofa angkat bicara.
    “Ahli gizi juga manusia tahu.” Kata Lofa spontan kemudian melanjutkan makannya.
    Gadis itu berhenti mengunyah saat teringat sesuatu, “Bagaimana wawancaramu?”
    Agi terlihat tidak terlalu ingin membicarakan hal itu. Rambut ikalnya merosot dan menutupi sisi wajahnya saat Agi tertunduk menatap kunci mobil di tangannya. Bahunya bergerak sekilas sebelum Agi mengangkat wajahnya dan menatap Lofa sambil tersenyum.
    “Mereka akan menghubungiku nanti, jika aku diterima.” Kata Agi lesu, kemudian menghela nafas panjang.
    “Mencari pekerjaan sekarang sulit sekali,” Agi menyandarkan tubuhnya pada meja bar dan menumpukan beban tubuhnya pada kedua siku yang diletakkan di atas meja.
    “Sekarang kau menyesal?” Lofa bermaksud mengungkit keputusan Agi dua bulan lalu untuk berhenti dari perusahaan tempatnya bekerja.
    Agi menggeleng mantap, “Ada banyak kecurangan di sana. Jika aku tidak bisa melakukan sesuatu untuk menghentikannya, setidaknya aku tidak ikut melakukannya.” Pemuda itu begitu mantap dengan pilihannya untuk menjadi pengangguran selama dua bulan terakhir.
    Lofa mengambil sebuah donat tiramisu dan menyodorkannya pada Agi. Pemuda itu menatap Lofa untuk sesaat sebelum akhirnya tersenyum dan mengambil alih donat itu dari tangan Lofa.
    “Bagaimana kau tahu aku masih di sini?” Tanya Lofa penasaran, masih sambil menggigit donatnya. Ini sudah donat oreo yang ketiga.
    Agi mengangkat bahunya dengan malas, “Memangnya kau akan ada di mana lagi?”
    “Yah, kau memang memiliki radar khusus untuk menemukanku. Aku tahu.” Kata Lofa enteng sambil menepuk bahu Agi beberapa kali.
    ***
    Setelah puas melahap begitu banyak donat, Lofa bisa merasakan perutnya sedikit membuncit. Dia tidak bisa dan tidak mau bergerak. Perutnya sakit karena terlalu penuh. Lofa mengelus-elus perutnya sambil bersandar pada meja bar di belakangnya. Lofa melirik Agi yang terlihat tenang-tenang saja meskipun pemuda itu baru saja memakan donat yang lebih banyak darinya. Lofa heran bagaimana para lelaki ini mampu memakan begitu banyak makanan tanpa merasa sesak sama sekali. Lofa langsung mengalihkan pandangannya ke tempat lain saat mendapati tanda-tanda Agi akan menoleh ke arahnya.
    “Kau masih belum punya nama,”
    Lofa langsung berpaling dari kesibukannya menghitung kotak-kotak yang ada di rak buku, berusaha memperhitungkan berapa banyak buku yang akan dia butuhkan untuk memenuhinya. Agi sedang memandanginya saat Lofa menoleh.
    “Aku punya.” Jawab Lofa ringan. Dan Agi tahu nama cafe-nya. Agi ada bersama Lofa saat dia sedang membuat nama cafe ini.
    “Jika aku orang asing, aku tidak akan tahu cafe ini bernama Cafe Lofa.”
    Lofa menepuk jidatnya secara spontan. Dia lupa hal yang paling penting dari sebuah cafe. Dia belum memesan papan nama untuk di pasang di depan cafe-nya.
    “Aku lupa,” jawab Lofa ragu-ragu.
    “Aku tahu.” Jawab Agi ringan.
    Lofa menyipitkan matanya saat memandangi Agi. Lofa tahu ekspresi itu. Saat Agi mengangkat salah satu sudut bibirnya untuk membentuk sebuah senyuman penuh kemenangan dan mengatakan aku tahu. Itu semacam ekspresi aku tahu kau akan kembali atau aku tahu kau tidak bisa melakukannya. Lofa tahu saat Agi menunjukkan ekspresi seperti itu berarti pemuda itu baru saja melakukan sesuatu untuknya.
    “Apa yang kau lakukan?” Lofa langsung mengajukan tuduhannya seperti seorang detektif handal.
    Agi hanya menggerakkan bahunya sekilas, kemudian pemuda itu memiringkan tubuhnya. Agi menumpukan beban tubuhnya pada siku kiri agar bisa memandang Lofa dengan lebih jelas.
    “Hanya pergi ke tukang lampu dan memesan lampu LED untuk cafe-mu. Besok nama cafe-mu akan siap di pasang.”
    Itu lebih dari cukup untuk membuat Lofa kehilangan pertahanannya. Gadis itu langsung melompat turun dari kursinya dan memeluk Agi.
    “Aku rasa aku sangat beruntung memiliki teman paranormal sepertimu,” kata Lofa sambil melepaskan pelukannya.
     “Aku sudah mengenalmu cukup lama untuk tahu kau selalu melupakan hal-hal penting.” Kata pemuda itu dengan gaya sok pahlawan yang menyebalkan.
    Lofa memukul lengan Agi sekilas kemudian kembali duduk. Gadis itu langsung menoleh saat Agi menggumamkan sesuatu. Lofa tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Saat menoleh, Lofa mendapati Agi sedang merogoh bungkusan yang tadi dibawanya. Tangannya meraih ke belakang kotak donat yang sekarang hanya berisi dua buah donat. Tangannya menggenggam setumpukan kertas berwarna-warni saat keluar dari bungkusan.
    Agi meletakkan tumpukan kertas warna-warni itu di hadapan Lofa. Gadis itu melotot saat menyadari apa yang baru saja disodorkan Agi padanya.
    “Kau yang membuat ini?” Tanya Lofa, meskipun dia sudah tahu jawabannya.
    Lofa bisa melihat Agi mengangguk saat tangan gadis itu sibuk melihat salah satu kertas yang berwarna merah muda. Isinya sangat sederhana, hanya pemberitahuan tentang Cafe Lofa yang baru buka. Cafe Lofa! Open Now! Itu tulisan yang berukuran paling besar dan hampir memenuhi kertas pamflet yang dibuat Agi.
    “Aku tidak tahu pasti kapan kau akan membuka cafe ini. Jadi aku rasa, kita bisa mulai memasangnya saat hari pembukaan cafe.”
    “Dua hari lagi.” Lofa mengatakannya dengan keyakinan yang tidak dia kenali. “Cafe ini akan buka dua hari lagi.”
    ***
    Ibu sudah menyisihkan sebagian perlengkapan tempurnya di dapur untuk cafe Lofa. Ada beberapa penggorengan, blender, tiga kardus piring yang selama ini tersembunyi di atas lemari dapur, tiga kardus gelas tinggi―Lofa sendiri tidak tahu ibu memiliki gelas-gelas seperti ini―dan yang paling membuat Lofa terharu adalah mesin pembuat kopi. Ibu membutuhkan waktu lebih lama saat memasukkan mesin pembuat kopi itu ke dalam kardus dibanding barang-barang lainnya. Mesin itu adalah kado pemberian ayah di ulang tahun pernikahan mereka yang pertama. Lofa sudah berusaha menolak dan memutuskan akan membeli yang baru untuk cafe-nya, tapi ibu tetap bersikeras untuk menyerahkan mesin itu pada Lofa. Ayah setuju saja dengan keputusan itu, lagi pula ibu sudah berhenti minum kopi sejak lama.
    “Ibu yakin?” Lofa bertanya sekali lagi saat akan membawa mesin kopi itu ke mobil Agi yang sudah menunggu di luar.
    Ibu tersenyum tulus sambil mengangguk, “Mesin itu lebih berguna di sana.”
    Setelah yakin ibu sudah mantap dengan keputusannya, Lofa mengangkat kardus yang berisi mesin kopi itu dan membawanya keluar. Agi sudah menunggu di samping pintu belakang mobilnya yang terbuka saat Lofa keluar. Sudah ada tumpukan kardus-kardus yang berisi barang-barang dapur. Lofa kembali masuk ke dalam rumah untuk mengambil kardus-kardus lain yang berisi buku-buku.
    Rak buku di kamarnya sudah kosong, hanya tersisa beberapa buku semasa kuliah yang mungkin masih dia butuhkan. Ada empat kardus besar berisi buku-bukunya. Sebagian kardus itu berisi komik dan novel, sebagian yang lain berisi buku-buku ensiklopedia dan buku bacaan anak. Lofa mendorong kardus besar pertama. dia berhenti saat mencapai teras rumah. Agi mengambil alih kardus besar itu dan mengangkatnya dengan mudah. Lofa kembali masuk ke dalam rumah untuk mengambil kardus lainnya. Gadis itu berusaha sekuat tenaga untuk mendorong ketiga kardus sekaligus. Setelah beberapa langkah, kausnya sudah basah karena keringat. Lofa menegakkan tubuhnya untuk mengatur nafas. Setelah mendapat sedikit kekuatan tambahan, Lofa kembali mendorong kardus-kardus itu sampai ke teras.
    “Kau tidak perlu membawa semuanya sekaligus,” kata Agi yang sudah menunggu di teras kemudian mengangkat salah satu kardus.
    “Aku tidak mau menghabiskan waktuku untuk bolak-balik ke kamar,” kata Lofa saat Agi kembali untuk mengambil kardus berikutnya.
    Lofa hanya berdiri dan mengamati Agi yang sepertinya tidak merasakan beban kardus-kardus itu sama sekali. Hanya otot-otot di kedua lengannya yang terlihat menegang saat mengangkat kardus itu.
    “Ada lagi?” Tanya Agi saat mengangkat kardus terakhir.
    “Hanya itu.” Kata Lofa ringan kemudian mengikuti Agi ke mobilnya.
    Bagian belakang mobil Agi sudah dipenuhi banyak kardus. Ada satu kardus yang tidak Lofa kenali. Tangan gadis itu terulur untuk melihat isi kardus itu. Ada banyak sekali komik yang masih terlihat baru dan rapi.
    “Ini koleksimu?” Lofa menatap Agi tidak percaya saat melihat kardus yang dipenuhi dengan koleksi komik Agi.
    “Aku sudah terlalu tua untuk buku-buku seperti itu,” kata pemuda itu di sela-sela kegiatannya menata kardus-kardus di dalam mobilnya.
    Agi berkacak pinggang untuk mengatur nafas setelah urusannya dengan kardus-kardus itu selesai. Setelah yakin semuanya sudah beres, tangan Agi terangkat untuk menutup pintu mobilnya.
    “Kita bisa pergi sekarang?”
    Lofa mengangguk mantap dan langsung berjalan memutari mobil. Agi sudah duduk di tempatnya saat Lofa masuk ke dalam mobil dan memasang sabuk pengaman. Setelah mendapat posisi yang nyaman, Lofa mengeluarkan sebuah buku catatan kecil dari dalam tas slempangnya sementara Agi memundurkan mobilnya. Lofa sedang sibuk mencatat barang-barang yang diperlukannya saat Agi meluncur ke jalanan dengan kecepatan sedang. Ada peraturan yang melarangnya memacu mobil dengan kecepatan tinggi di perumahan ini. Tapi begitu roda mobilnya menyentuh perbatasan antara jalan perumahan dan jalan raya, Agi menambah kecepatan mobilnya. Membuat Lofa tersentak ke belakang dan menghantam sandaran kursi dengan cukup keras. Gadis itu hanya melirik tajam ke arah Agi yang memamerkan cengiran polosnya seperti biasa.
    “Maaf,” kata pemuda itu tanpa benar-benar merasa bersalah. Hanya formalitas.
    Lofa kembali pada buku catatannya. Sudah ada beberapa barang-barang yang diberi tanda centang. Lofa menghembuskan nafas frustasi saat menyadari masih cukup banyak barang-barang yang harus dibelinya.
    “Kenapa?” Tanya Agi tanpa menatap gadis itu.
    “Aku butuh refrigerator.” Lofa menarik nafas panjang sebelum mengatakan bagian terburuknya, “Tiga.”
    “Untuk apa?” Agi terlihat tenang, tapi Lofa bisa mendengar kekagetan yang luar biasa dari suaranya.
    Lofa meletakkan buku catatannya di pangkuan kemudian mengangkat tiga jarinya.
    “Satu untuk menyimpan bahan-bahan es. Satu untuk menyimpan bahan-bahan kue. Satu lagi untuk minuman dingin biasa. Jadi aku butuh tiga refrigerator dengan jenis yang berbeda.”
    Lofa bisa menangkap bayangan Agi dengan sudut matanya. Pemuda itu menggerakkan bahunya sekilas, hanya untuk menunjukkan kekhawatiran Lofa itu tidak ada apa-apanya.
    “Kalau memang kau membutuhkannya, aku rasa tidak masalah.”
    Tidak masalah? Jika yang dimaksud Agi dengan tidak masalah adalah Lofa harus menghabiskan sebagian besar uang tabungannya hanya untuk lemari pendingin, maka ya, itu memang tidak masalah. Gadis itu sibuk berdebat dengan pikirannya sendiri. Dia sedang berusaha mencari jalan keluar selain menghisap seluruh pundi-pundi keuangannya.
    “Itu investasi,” kata Agi. “Kau tidak harus membelinya lagi tahun depan, iya kan? Memang harus begitu jika berniat memulai usaha.”
    Lofa hanya diam. Suara-suara di pikirannya masih berusaha menggumamkan ide-ide lain yang lebih ekonomis dan efisien. Tapi pada akhirnya ada satu suara yang menggema begitu keras di kepalanya. Agi benar. Ini investasi awal yang memang harus dilakukannya.
    “Baiklah. Antar aku ke toko elektronik.”
    Agi menempelkan dua jarinya ke pelipis kemudian menggerakkannya dengan cepat seperti sedang memberi hormat pada kapten kapal.
    “Siap!”
    ***
    Lofa berjalan melewati deretan refrigerator dengan berbagai merek. Ada banyak sekali spesifikasi yang ditawarkan dari masing-masing merek, tapi hanya satu hal yang Lofa perhatikan. Matanya terus tertuju pada deretan angka yang ditulis besar-besar pada bagian penutup lemari pendingin itu. Lofa mencari deretan angka dengan angka pertama terkecil, yang paling murah. Gadis itu langsung menghampiri salah satu refrigerator yang paling murah di antara merek-merek lain.
    “Yang ini?” Tanya Lofa pelan pada Agi yang setia mengikutinya di belakang.
    Lofa bisa melihat tangan kanan Agi terulur untuk mengambil salah satu brosur yang berisi spesifikasi refrigerator yang dipilih Lofa. Pemuda itu membacanya dengan seksama, mencoba mencari kekurangan yang mungkin dimiliki mesin itu sehingga harganya lebih murah. Lofa hanya memandangi Agi yang membaca brosur itu dengan serius, seperti sedang membaca kolom kriminalitas pada surat kabar.
    Agi mengangkat bahunya sekilas kemudian meletakkan kembali brosur itu pada tempatnya, “Tidak berbeda jauh dari yang lain. Hanya masalah garansi.”
    Lofa mengangkat sebelah alisnya untuk menuntut penjelasan lebih lanjut tentang garansi ini.
    “Mesin ini,” Agi menunjuk lemari pendingin termurah yang ada di hadapan mereka, “bergaransi 2 tahun.”
    “Yang itu,” Agi menunjuk lemari pendingin secara berurutan dari yang terdekat dengan mereka, “garansi 3 tahun. Yang di sebelah sana garansi 5 tahun dan daya listriknya lebih kecil dibanding yang lain. Aku rasa itu keunggulannya.”
    “Kau pernah bekerja di sini?” Tanya Lofa begitu Agi selesai menjelaskan.
    “Kau harus tahu spesifikasi barang yang akan kau beli. Terutama barang elektronik.”
    “Ya, ya, ya.” Lofa menggerakkan tangannya sekilas untuk menghentikan ceramah Agi tentang spesifikasi itu. “Jadi tidak masalah jika aku pilih yang ini?”
    Agi hanya mengangguk.
    Lofa kembali ke cafe-nya diikuti oleh sebuah truk besar yang mengangkut tiga refrigerator yang dipilihnya. Lofa langsung melompat turun dari mobil dan membuka pintu cafe. Agi mengikutinya dengan membawa beberapa kardus yang ringan sekaligus. Setelah meletakkan tasnya di gantungan dekat meja bar, Lofa mulai membantu Agi mengangkut kardus-kardus bawaannya. Truk yang membawa refrigerator sampai saat Agi membawa kardus terakhir yang berisi buku-buku.
    Lofa hanya berdiri sambil berkacak pinggang saat melihat tatanan dapurnya yang baru. Dapur yang awalnya hanya berisi rak kayu, sekarang sudah terisi dua lemari pendingin, sedangkan satu lemari pendingin lainnya diletakkan di dekat meja bar. Lofa merobek plastik bergelembung yang menutupi refrigerator itu dengan bersemangat. Menciptakan suara peletok pelan saat gelembung-gelembung pada plastik itu tertekan.
    Kegiatan Lofa terhenti saat mendengar suara seseorang selain Agi di ruang utama cafe. Gadis itu langsung berlari ke depan untuk mendapati Agi sedang menyalami dua orang lelaki berwajah ramah. Lofa memelankan langkahnya saat mendekati Agi untuk menyenggol sikunya.
    “Nama cafe-mu sudah jadi.” Agi memberitahu sebelum Lofa sempat bertanya.
    Salah satu lelaki yang lebih tua, rambutnya sudah sepenuhnya beruban, membuka kotak besar yang terbuat dari plastik berwarna merah dan mengeluarkan sesuatu. Lofa memiringkan kepalanya untuk melihat lebih jelas benda apa yang dikeluarkan lelaki itu. Sesuatu yang mirip selang panjang dan transparan, ada bintil-bintil di dalam selang transparan itu. Lelaki yang lebih muda―namanya Toni, Lofa bisa melihat nama yang dibordir pada seragam birunya saat lelaki itu membungkuk―mengeluarkan sesuatu yang lain dari tas hitam yang dibawanya. Lelaki bernama Toni itu mengeluarkan gulungan hitam dan membentangkannya. ada banyak sekali peralatan di dalam gulungan hitam itu. Mulai dari tang, obeng, dan sebagainya. Lofa jadi teringat salah satu kartun yang selalu dia tonton di rumah sepupunya yang masih berusia 5 tahun, Handy Many. Tokoh utama dalam film itu selalu membawa satu kotak yang berisi peralatan super lengkap yang anehnya bisa berbicara. Lofa sering membayangkan betapa mengerikannya gergaji yang bisa berbicara itu.
    Lofa tidak tahan lagi, akhirnya dia berjongkok di dekat lelaki yang lebih tua untuk melihat apa sebenarnya yang sedang dikeluarkan lelaki itu. Saat berjongkok Lofa bisa melihat namanya, Wawan. Setelah melihat bordiran nama di baju seragamnya yang berwarna biru tua, Lofa mengalihkan perhatiannya pada benda transparan berbintil yang ada di dekat kakinya. Tangannya terulur untuk meraih benda transparan itu. Ternyata selang transparan itu keras, bukan plastik elastis seperti yang dipikirkan Lofa.
    “Apa ini?” Tanya Lofa sambil menekan selang transparan itu.
    “Itu lampu.” Jawab Pak Wawan ringan dan seadanya. Lelaki itu hanya menjawab apa yang ditanyakan Lofa tanpa menambahkan sedikit basa-basi sama sekali.
    Lofa mendongak saat lelaki bernama Wawan itu berdiri sambil membawa selang-selang transparan yang membentuk tulisan Cafe. Lofa ikut berdiri saat Agi menunjuk jendela depan. Pak Wawan dan Toni mengikuti Agi ke luar cafe untuk mendengar penjelasannya tentang tata letak lampu itu. Lofa memutuskan untuk kembali membereskan dapurnya daripada mendengarkan ocehan tentang sesuatu yang tidak dia mengerti. Itu urusan laki-laki, pikirnya kemudian kembali ke dapur.
    Lofa menata gelas-gelasnya di atas rak kayu yang diletakkan di sudut dapur. Piring-piring pemberian ibu yang berbentuk seperti daun diletakkan di lemari bawah rak kayu itu. Gadis itu beralih pada kardus-kardus buku yang ada di ruang baca. Setelah menarik nafas panjang, Lofa mulai membongkar kardus-kardus itu dan menyusun buku-bukunya berdasarkan judul atau pengarang yang sama. Kebanyakan koleksinya adalah novel-novel karya Agatha Christie. Novel-novel detektif yang dulu selalu menjadi temannya saat rumah sepi. Lofa hampir terhipnotis karena terlalu sering membaca buku-buku semacam itu. Selama seminggu penuh dia menghabiskan waktu untuk menuduh Laufan mengambil parfumnya. Setelah melakukan penyelidikan yang menguras tenaga, akhirnya Lofa menemukan botol parfumnya di bawah kolong kasur. Ternyata dia tidak sengaja menjatuhkannya setelah memakai parfum itu. Laufan menuntut dibelikan es krim setelah kasus penuduhan itu.
    Lofa membersihkan kubikel-kubikel kecil pada rak buku dengan kemoceng sebelum meletakkan buku-bukunya yang sudah disusun rapi. Bagian paling bawah rak berisi komik-komik pemberian Agi. Ada banyak sekali komik Conan dan beberapa komik lain yang Lofa tidak tahu genre-nya. Bagian tengah rak diisi buku-buku pelajaran yang masih dimiliki Lofa. Hanya sedikit dan belum tentu sesuai dengan para pengunjung yang datang, tapi hanya itu buku-buku serius yang dimiliki Lofa selain ensiklopedia pemberian ayah. Sekarang Lofa baru merasakan kegunaan ensiklopedia pemberian ayah itu selain sebagai pengganjal jendelanya agar tetap terbuka. Dulu saat usianya masih di bawah sepuluh tahun, ayah selalu memberinya buku ensiklopedia tentang berbagai macam hal, mulai dari benda-benda antariksa sampai semua jenis binatang yang hidup di Amazon. Lofa senang-senang saja mendapat buku tebal yang banyak gambarnya seperti itu. Tapi setelah Lofa masuk SMP, buku-buku itu mulai terabaikan, digantikan buku-buku novel remaja dan komik. Setelah kuliah, Lofa lebih menyukai buku resep masakan. Sekarang semua buku-bukunya berakhir di rak tinggi di cafe-nya. Lofa tersenyum puas saat melihat rak bukunya yang sudah penuh dengan buku-buku
    “Lofa, lihat ini!”
    Lofa langsung berlari keluar saat mendengar Agi berteriak. Selang-selang transparan berbintil itu sudah menempel di kaca depan cafe-nya, membentuk tulisan Cafe Lofa dengan huruf tegak bersambung.
    “Coba kau nyalakan,”
    Agi menunjuk kabel hitam yang ujungnya belum tertancap. Lofa langsung mengambil ujung kabel itu dan memasukkannya ke stop kontak. Bintil-bintil pada selang transparan itu menyala, memancarkan warna hijau tua. Lofa berdiri lebih jauh untuk melihat tulisan nama cafe-nya dengan lebih jelas. Tulisan itu menyala terang di atas tanaman panjang yang ada di balik kaca. Terlihat seperti tanaman panjang itu sedang menusuk-nusuk tulisan Cafe Lofa.
    “Kau suka?” Tanya Agi saat pemuda itu berdiri di samping Lofa.
    Lofa hanya mengangguk. Pandangannya masih tertuju pada cafe-nya. Matanya menyapu seluruh pemandangan yang ada. Toko bunga, Cafe Lofa, dan toko parfum. Gadis itu mengulangi pandangannya sekali lagi. Kali ini cafe-nya benar-benar nyata. Bangunan kosong yang dia beli satu setengah bulan yang lalu sudah berubah drastis menjadi cafe yang cantik dan klasik.
    “Ini lebih dari yang aku bayangkan.”

  2. 0 komentar:

    Post a Comment