Rss Feed
  1. A Celebrity Twin #8

    Friday, April 25, 2014


    Kamis (lagi), 10 Februari
    GAGAL! Hah, alat pelacak! Mana ada alat semacam itu? Dion mengikutiku sejak awal! Itu penjelasan yang jauh lebih masuk akal dibanding alat pelacak fiktif yang dia ceritakan. Besok usahaku untuk kabur harus berhasil. Jika rumah Rina sudah tidak aman lagi, sepertinya aku harus mencari rumah penampungan lain.

    Dengan entengnya Dion menjelaskan bagaimana dia bisa menemukan rumah Rina. Dia sudah memasang alat pelacak pada ponsel yang diberikannya pada Sonia. Gadis itu langsung murka begitu mendengar penjelasan Dion yang sama sekali tidak masuk akal. Alat canggih semacam itu hanya ada di luar negeri! Hanya karena Dion artis bukan berarti dia bisa memiliki alat secanggih itu. Jika memang itu alasan Dion bisa menemukannya, Sonia berencana meninggalkan ponsel barunya di rumah besok.
    Sepulang sekolah tadi Sonia langsung mengurung dirinya di kamar. Rasanya ruangan persegi yang cukup luas itu adalah satu-satunya tempat yang aman di rumah ini. Bukan berarti Dion merupakan sebuah ancaman bagi dirinya, hanya saja Sonia merasa asing dengan kehidupan di luar kamarnya itu.
    Perut Sonia mulai berdendang nyaring saat langit mulai gelap. Dia tidak makan sejak tadi siang. Usahanya untuk melarikan diri dari kehidupan barunya membuat Sonia kehilangan selera makannya. Biasanya Dion akan memanggilnya untuk makan malam, tapi malam ini tidak ada tanda-tanda kehadiran pemuda itu. Mungkin dia sudah bosan dengan sikap Sonia yang selalu memberontak. Mungkin pemuda itu masih kesal karena Sonia memarahinya habis-habisan tentang teori alat pelacak itu tadi sore. Entahlah.
    Sonia membuka pintu kamarnya sedikit, kepalanya menyembul untuk melihat keadaan di luar kamarnya. Sepi. Sonia mendongak untuk melihat jam dinding di kamarnya, sudah pukul 8 malam. Mungkin Dion sudah mengunci diri di kamar. Sonia melangkah perlahan, melewati ruang keluarga yang sangat sepi. Dia menghentikan langkahnya saat sampai di dapur. Ada mak Ijah di sana, sedang mencuci piring-piring kotor. Mak Ijah hanya tersenyum saat melihat Sonia masuk.
    “Mana Dion?” tanya Sonia saat menarik sebuah kursi. Tangannya membuka tudung saji untuk melihat makanan apa yang tersisa untuknya. Yang dimaksud dengan “sisa” adalah sepiring penuh ayam goreng dan semangkuk besar sayur. Biasanya Sonia hanya mendapati sepotong sayap ayam goreng jika terlambat makan di panti. Di sini, sepertinya tidak ada orang yang terlalu antusias melihat makanan. Atau memang porsi makanan yang dibuat selalu berlebihan?
    “Mas Dion sudah masuk ke kamarnya sejak tadi.” jawab mak Ijah malu-malu.
    Sonia hanya mengangguk pelan.
    Sonia menghabiskan makanannya dalam diam. Setelah selesai makan, Sonia langsung membawa piring kosongnya ke tempat cucian. Dengan sigap mak Ijah langsung mengambil piring itu dari tangan Sonia.
    “Biar saya saja.” kata mak Ijah sebelum Sonia sempat berkata apa pun.
    Sonia hanya diam, berniat langsung mengurung diri di kamar lagi. Gadis itu melewati kamar Dion saat kembali ke kamarnya. Dia tidak pernah melihat isi kamar Dion. Mungkin berantakan seperti kapal pecah, biasanya anak laki-laki kan seperti itu. Sonia biasanya bertugas membereskan kamar adik-adiknya di panti. Kamar Bagus adalah kamar yang paling berantakan di dunia. Seprainya selalu lepas dari sisi-sisi kasur, berantakan di mana-mana.
    Sonia berhenti melangkah saat mendengar suara dentingan piano dari dalam kamar Dion. Gadis itu menempelkan telinganya pada daun pintu, suara dentingan piano itu terdengar lebih jelas. Dion sedang memainkan salah satu lagunya yang akhir-akhir ini sedang sangat populer. Kamarnya pasti sangat luas sampai bisa menampung piano di dalam, pikir Sonia.
    Tubuh Sonia merosot pada daun pintu. Gadis itu menekuk kakinya dan menyangga kepalanya di antara dua lutut. Dia selalu menyukai suara dentingan piano. Mendengarnya secara langsung membuat Sonia merasa sangat senang. Ada perasaan bahagia yang membuncah di dadanya. Sonia hanya menempelkan jari telunjuknya pada bibir saat mak Ijah menatapnya bingung.
    Sonia menutup matanya, mendengarkan setiap dentingan piano yang dimainkan Dion dengan penuh perasaan. Suara pemuda itu yang terdengar sangat lembut menambah keindahan lagunya. Sonia tidak pernah menyangka bisa mendengar Dion menyanyikan lagunya secara langsung seperti ini.
    Tubuh Sonia yang kecil terjengkang ke belakang saat pintu yang dia sandari dibuka. Matanya beradu dengan mata Dion yang menatapnya curiga. Sonia buru-buru bangkit dan merapikan pakaiannya. Dion hanya mengangkat sebelah alisnya, menuntut penjelasan.
    “Aku...aku...hanya...” Sonia tergagap. Penjelasan apa yang bisa dia berikan saat tertangkap basah sedang menguping saudara angkatnya bermain piano? “Permainan pianomu sangat bagus.” kata Sonia akhirnya.
    Dion hanya melipat tangannya di depan dada, sebelah bahunya bersandar pada kusen pintu kamarnya.
    “Besok kau izin sekolah.” katanya santai.
    Sonia langsung melotot. Dion jadi seperti diktator lagi.
    Sonia menggeleng keras sebelum menjawab, “Aku mau sekolah.”
    Sebenarnya bukan itu yang sangat dia inginkan, dia ingin kabur! Setidaknya di luar rumah ini Sonia merasa lebih bebas.
    “Ada konferensi pers di Jakarta. Kau harus ikut denganku.”
    Sonia mengangkat sebelah alisnya, “Kenapa aku harus ikut denganmu? Kau harus menyelesaikan masalahmu sendiri.”
    Sonia sudah bersiap meninggalkan Dion saat tangan pemuda itu menangkap lengannya.
    “Kau mau para wartawan itu menyingkir atau tidak?” tanya Dion tegas.
    Sonia hanya meliriknya sekilas, saat Dion tidak juga melepaskan lengannya, Sonia berbalik.
    “Mereka hanya ingin berita. Kita berikan apa yang mereka mau besok, setelah itu tidak akan ada wartawan yang mengganggu kita lagi.”
    Mendengar cara Dion menyebut kata “kita” membuat Sonia merasa seperti seorang selingkuhan yang sedang disembunyikan.
    “Apa yang akan kau katakan? Besok, maksudku.”
    Dion melepaskan genggaman tangannya dan kembali bersedekap. Matanya menatap langit-langit seperti sedang mencari contekan jawaban di sana.
    “Aku akan mengumumkan bahwa kau adik, maaf, kakak angkatku.” katanya ringan.
    “Kau pikir dengan begitu mereka tidak akan mengganggu kita lagi?” tanya Sonia untuk mengonfirmasi pikirannya sebelum menyanggupi untuk ikut konferensi pers besok.
    Dion mengendik, “Tidak akan benar-benar tidak mengganggu, tapi setidaknya mereka tidak akan menunggui gerbang rumah kita lagi.”
    Sonia merasa udara berhenti mengisi paru-parunya saat mendengar kata “rumah kita”. Dia tidak pernah mendengar kata itu seumur hidupnya. Rumah kita. Untuk pertama kalinya Sonia memiliki sesuatu untuk diklaim sebagai miliknya. Rumah kita. Kata itu berputar-putar di kepalanya. Saudara angkat. Entah kenapa beberapa hari terakhir Sonia sangat ingin kabur di saat dia sudah mendapatkan semua yang dia inginkan selama ini: rumah dan keluarga.
    “Baiklah. Aku ikut.” kata Sonia mantap.
    Dion hanya tersenyum saat mendengar jawaban Sonia.
    “Kau mau masuk?” tanya Dion saat Sonia akan berbalik untuk kembali ke kamarnya.
    Gadis itu hanya memicingkan matanya, menatap Dion dengan kecurigaan tingkat tinggi.
    “Kau mau menemaniku bermain piano?”
    Sonia menggeleng, “Aku tidak bisa main piano.”
    “Tapi kau bisa menyanyi. Ibu Rahma yang memberitahuku.”
    Sonia tertawa ringan, “Semua orang bisa menyanyi. Bahkan nenek-nenek di dekat panti sangat mahir menyanyi.”
    Tanpa menunggu persetujuan Sonia, Dion langsung menyeretnya masuk. Sonia mematung saat melihat kamar Dion yang super luas. Ada grand piano berwarna putih di tengah-tengah ruangan. Di sisi kirinya ada rak-rak tinggi yang berisi koleksi CD musik klasik dan jazz. Di sisi kanan ada ranjang besar dan kabinet di sampingnya. Di depannya, ada jendela besar yang ditutupi tirai warna merah marun. Kamarnya tidak seberantakan yang ada di dalam pikiran Sonia, bahkan sebaliknya, kamar Dion luar biasa rapi. Tidak ada barang-barang berserakan. Semuanya ditata pada tempatnya. Koleksi CD musiknya diletakkan pada rak-rak yang sudah diberi label tahun release.
    Dion memberi israyat pada Sonia untuk duduk di sampingnya, di bangku pendek pianonya. Dion merentangkan jemarinya sebelum mulai menekan tuts-tuts piano dengan lembut. Jemarinya yang panjang-panjang dan ramping menari-nari lincah di atas tuts hitam putih pianonya. Sebuah lagu yang sudah Sonia hafal liriknya di luar kepala karena sangat sering menyanyikannya.
    Pada bagian di mana seharusnya Dion mulai menyanyi, pemuda itu hanya diam. Dia hanya memberi isyarat pada Sonia untuk mulai bernyanyi. Sonia berusaha semampunya untuk tidak tertarik dengan dentingan piano itu dan tetap diam. Tapi permainan piano Dion membuat Sonia menyerah, gadis itu mulai membuka mulutnya dan menyanyikan lirik lagu itu. Dion tersenyum lebar saat mendengar Sonia bernyanyi. Suara gadis itu terdengar semakin lantang seiring dentingan nada piano. Untuk pertama kalinya sejak Sonia pindah ke rumah ini, rumah besar yang terasa menyiksa ini, gadis itu tersenyum dan merasakan kehangatan sebuah keluarga. Dia punya saudara kembar.

  2. HOW I MET YOUR MOTHER

    Thursday, April 17, 2014

    just finished watching this series. and this is sooo LEGEND...wait for it....DARY! LEGENDARY!
    it's not just about love. this series doesn't tell you about how someone met his/her future mother in law. well, actually that's what I thought when I saw the title for the first time. but apparently, it's not! it's about finding your true love and true friends. someone you may never imagine will be your true true true love, hahaha. it can be your neighbor, your boss, your old friend, your new friend or maybe it can be someone you don't know at all who suddenly show up in front of you one day. you don't know about that, I guess you'll never know about that. but the most important thing is, this series teach us how to appreciate the time you have with someone around you. you may not see them anymore, or you may end up with them forever. who knows, but THEY MUST BE MEAN SOMETHING FOR YOU.
    there is a quote from Ted, when he tried to track down Robin's locket. here is the quote:

    "Actually, there is a word for that. It’s love. I’m in love with her, okay? If you’re looking for the word that means caring about someone beyond all rationality and wanting them to have everything they want no matter how much it destroys you, it’s love. And when you love someone you just, you…you don’t stop, ever. Even when people roll their eyes, and call you crazy. Even then. Especially then. You just– you don’t give up. Because if I could just give up…if I could just, you know, take the whole world’s advice and– and move on and find someone else, that wouldn’t be love. That would be… that would be some other disposable thing that is not worth fighting for. But I– that is not what this is."

    I'm totally sure that you can see how much Ted loves Robin from that quote. THAT'S THE TRUE LOVE IS! you don't care whether you have to jump over the cliff or even go around the world just to find something important that belongs to someone you love, YOU WILL DO IT. and you will do it with all your heart.
    okay, so this series wasn't just tell us about how much Ted loves Robin, but also about how to let someone you love go. sometimes, separation is the best thing to do. even if it's hard, but I'm sure you will do it if that way can make her/him to be happier. but, fortunately, Ted's sacrifice does give him a beautiful ending. which remind me to the other quote:

    "If we're destined to be together, even if our love fails now, we will have another chance"

    And Ted does have another chance! six years after his wife passed away, his children asked him to confess his love to Robin again! that's his second chance to get his true love. and he used his second chance very well :)
    well, I guess enough from me. I don't think I can find another series like this. it's so touching, funny, romantic at the same time! And I'll never forget the life lesson they thought me :'(
    Thanks HOW I MET YOUR MOTHER for giving me a great time watching you.

  3. A Celebrity Twin #7

    Monday, April 7, 2014


    Kamis, 10 Februari
    Escape plan! Aku harus kabur dari rumah ini. Bukannya tidak senang hidup mewah seperti ini, tapi aku kurang nyaman tinggal di tempat sepi seperti ini. Dan Dion. aku tidak tahan dengan sikap keartisannya itu. Dia baik sih, tapi...pokoknya aku tidak suka.

    Pagi-pagi sekali Sonia sudah siap berangkat sekolah. Dia sudah memasukkan beberapa pakaiannya ke dalam ransel sekolah. Peralatan mandi, Sonia mempertimbangkan untuk membawanya juga, tapi akhirnya gadis itu meninggalkan peralatan mandinya di kamar mandi yang ada di dalam kamarnya. Akan sangat mencurigakan jika peralatan mandinya tidak ada di sana. Rencana pelariannya akan langsung ketahuan. Meskipun sebenarnya Sonia ragu Dion akan menggeledah sampai ke kamar mandi di kamar Sonia.
    Sonia berjalan mengendap-endap keluar dari kamar. Mak Ijah, begitu Dion memanggil wanita paruh baya yang menyiapkan semuanya di rumah ini, sedang menyirami tanaman di halaman belakang. Perut Sonia menendang-nendang saat mencium aroma nasi goreng yang menggelitik hidungnya. Dia sangat lapar. Tidak makan semalaman membuatnya sangat lapar. Tapi Sonia hanya menelan ludah dan melanjutkan misinya. Gadis itu membuka pintu depan perlahan, berusaha untuk tidak menimbulkan suara sepelan apa pun.
    Suara brak keras terdengar saat Sonia langsung menutup pintunya lagi. Ada banyak sekali wartawan di depan rumah Dion. Apa rumah Dion selalu didatangi wartawan seperti ini? Rasanya aneh melihat ada begitu banyak wartawan yang mengincarnya mengingat Dion tidak mengajak satu pun dari mereka saat datang ke panti waktu itu.
    “Ada jam tambahan sekolah?”
    Sonia langsung menoleh saat mendengar suara itu. Dion. Pemuda itu terlihat rapi meskipun baru bangun tidur. Tangan kanan Dion menggenggam segelas susu vanilla. Saat Sonia tidak juga menjawab, Dion menyesap susunya sambil berjalan mendekati Sonia.
    “Atau sekolahmu memang masuk sepagi ini?” tanya Dion lagi saat gelas susunya sudah kosong.
    “Ada jadwal piket.” jawab Sonia asal.
    “Rajin sekali.” kata Dion cuek. “Kenapa masih di sini?” tanya Dion saat melihat Sonia bergeming di dekat pintu.
    “Ada banyak sekali wartawan di depan rumahmu.”
    Mata Dion melebar, herannya dia terlihat senang. “Benarkah? Cepat sekali berita menyebar.”
    Sonia hanya mengerutkan dahi, “Berita apa?”
    Dion tidak menjawab. Dia mendekati jendela dan menyibakkan tirainya sedikit untuk mengintip keadaan di luar. Ada seberkas cahaya yang menyorot matanya saat Dion mengintip.
    “Berita kedatanganmu. Mereka sudah tahu ada anggota keluarga baru di rumah ini.”
    Sonia mendengus kesal, “Jadi itu tujuan utamamu? Meraih popularitas?”
    Dion terkekeh, “Bahasamu infotainment sekali.”
    Sonia tidak melihat kelucuan dari situasi ini. Gadis itu hanya memberengut kesal. Dia dimanfaatkan. Dia sudah tahu Dion tidak ada bedanya dengan yang lain. Dion mendadak diam saat melihat Sonia tidak ikut tertawa bersamanya.
    “Aku tulus mengadopsimu.” Sekarang Dion bicara serius. Tapi Sonia sudah terlanjur kesal.
    “Lalu apa itu?” Sonia menelengkan kepalanya ke arah pintu, merujuk pada puluhan wartawan yang rela ronda di depan rumah Dion hanya demi sebuah berita.
    “Kau tidak di sini pun mereka akan tetap ada.” jawab Dion santai.
    Sonia hanya mendengus kesal, dasar tukang pamer.
    “Makan dulu sarapanmu. Kita berangkat sebentar lagi.” Tanpa menunggu respon dari Sonia, Dion langsung melenggang pergi. Masuk ke kamarnya.
    Sonia berjalan malas ke ruang makan. Dia berniat untuk mendiamkan makanannya sebagai bentuk protes, tapi aroma nasi goreng buatan mak Ijah benar-benar tidak bisa disangkal. Seperti baru saja dihipnotis, Sonia langsung meraih sendok dan garpunya dan melahap habis nasi goreng di hadapannya.
    “Kau sudah selesai?”
    Sonia langsung mendorong piringnya yang sudah kosong saat mendengar suara Dion. Pemuda itu muncul dari balik ambang pintu kamarnya. Dion sudah memakai seragam sekolahnya. Baju seragam putih yang dilapisi jas warna hitam, ada dasi biru yang menyembul dari balik kerah jasnya. Diam-diam Sonia melirik seragam sekolahnya sendiri yang sudah kumal dan biasa saja. Tipikal anak SMA, putih abu-abu.
    Dion menyampirkan ranselnya ke bahu. Tas itu terlihat jauh lebih ringan dibanding ransel Sonia. Gadis itu mengekor saat Dion berjalan ke garasi. Ada dua mobil yang terparkir di sana. Satu mobil sedan yang sering dipakai Dion dan satu lagi mobil van.
    “Berapa baju yang kau bawa?” tanya Dion saat membuka pintu mobilnya.
    Sonia langsung kaku. Dion tahu?
    Tiba-tiba Dion terkekeh, “Bercanda. Tasmu kelihatan sangat berat.”
    Sonia menghembuskan nafas yang sedari tadi dia tahan.
    “Tentu saja tasku berat. Ada banyak buku yang aku bawa.” Bohong!
    “Bukannya sekarang sudah ada banyak ebook?” tanya Dion saat Sonia masuk ke dalam mobil.
    “Di sekolahku masih manual. Maaf.” kata Sonia pelan, seolah-olah keterbelakangan teknologi di sekolahnya adalah kesalahannya.
    Dion terlihat berbinar-binar saat mendengar informasi itu, “Kau bisa pindah ke sekolahku.” katanya ringan. Dia pikir pindah sekolah itu urusan sepele?
    “Aku sudah terlambat.” Sonia hanya mengatakan itu sebagai jawaban.
    Dion sudah menyalakan mesin mobilnya saat menggumam, “Sekolahku masuk jam sembilan.”
    ***
    Sekolah Dion selesai jam tiga sore. Itu artinya Sonia masih memiliki cukup waktu untuk kabur dari sekolah. Satu jam lagi Dion akan menjemputnya. Sonia buru-buru menarik Rina ke tempat parkir begitu mendengar bel tanda jam pelajaran berakhir. Sahabatnya itu tidak memprotes saat Sonia menyeretnya.
    “Kau harus mengizinkanku menginap di rumahmu.” kata Sonia panik saat Rina sedang berusaha menemukan kunci motornya di dalam tas.
    Untungnya Rina bukan salah satu dari para gadis pecinta gosip. Sepertinya dia sama sekali tidak menonton infotainment sejak kemarin. Rina sama sekali tidak tahu gosip tentang Dion yang mengadopsi saudara perempuan. Meskipun Sonia yakin berita itu masih belum terlalu merujuk pada dirinya karena masih belum ada yang heboh tentang berita itu. Dion berhasil menghindari gerombolan wartawan yang mengepung rumahnya tadi pagi dan untungnya sekolahnya masih lumayan sepi saat mereka sampai.
    “Memangnya kenapa? Kau bertengkar dengan ibu?” tanya Rina polos. Tadi pagi Sonia meminta Rina untuk tidak menjemputnya, jadi Rina masih belum tahu status Sonia yang sudah tidak tinggal di panti.
    “Iya, aku sedang ingin menenangkan diri.” dusta Sonia.
    Rina hanya mengendik, tidak bicara apa-apa lagi.
    Saat keluar dari gerbang sekolah, Sonia sibuk menyebarkan pandangannya ke seluruh penjuru. Saat tidak mendapati mobil Dion, Sonia menghembuskan nafas yang sedari tadi dia tahan. Dion belum datang, pikirnya tenang.
    Rumah Rina tidak terlalu jauh dari sekolah. Hanya butuh waktu lima belas menit. Mereka membicarakan banyak hal di dalam kamar Rina sampai ponsel Sonia tiba-tiba bergetar. Ponsel barunya. Nama Dion muncul pada layar ponsel. Berkedip-kedip cepat, tidak ingin diabaikan. Sonia hanya menyelipkan ponselnya ke bawah bantal. Ponselnya tetap berdengung sampai beberapa kali.
    “Itu ponsel baru?” tanya Rina saat melihat ponsel yang baru saja diselipkan Sonia ke bawah bantal.
    Sonia hanya menggeleng. Dalam hati dia berharap Dion berhenti meneleponnya agar ponsel sialan itu berhenti berdengung seperti lebah.
    “Kau tidak bilang punya ponsel baru!” kata Rina antusias. Kenapa Rina harus jadi anak-yang-antusias-dengan-gadget-baru sekarang. Biasanya dia tidak terlalu peduli dengan orang-orang yang membawa gadget baru setiap hari. Kenapa dia harus jadi orang yang peduli sekarang? Jerit Sonia dalam hati.
    Sonia langsung menekan tombol merah saat Rina membuka bantal yang menutupi ponselnya. Tepat saat Rina merebut ponsel itu dari tangan Sonia, ponsel itu bergetar lagi. Nama Dion berkedip-kedip tidak sabaran.
    “Dion? Siapa Dion?” tanya Rina penasaran.
    Sonia mendengus kesal. Rina jadi orang yang terlalu mau tahu di saat yang tidak tepat.
    “Anak panti.” jawab Sonia asal.
    Tangan Sonia berusaha menggapai ponsel itu, tapi Rina mengangkatnya tinggi-tinggi. Rina sudah menekan tombol hijau untuk mengangkat teleponnya sebelum Sonia sempat mencegahnya.
    Rina langsung menjauhkan ponselnya dari telinga saat mendengar suara di seberang sana. Sonia tidak bisa mendengar apa yang dikatakan Dion, tapi gadis itu cukup yakin Dion sedang berteriak-teriak marah. Rina langsung menyodorkan ponsel itu pada Sonia.
    “Aku sudah di depan.” Kalimat singkat itu membuat Sonia membeku untuk beberapa saat. Dia di depan sekolah kan? pikir Sonia.
    “Sebaiknya kau cepat keluar sebelum para wartawan itu sampai ke sini.” Kalimat Dion berikutnya membuat lidah Sonia kelu. “Itu jika kau ingin pulang tanpa ketahuan media.”
    “Kau di mana?” tanya Sonia untuk memastikan keberadaan Dion.
    “Di depan rumah temanmu.” jawab Dion santai.
    “Bagaimana...”
    “Akan aku jelaskan nanti. Keluar sekarang.” Seperti robot yang sudah diprogram, Sonia langsung menuruti perintah Dion. Setelah menutup teleponnya Sonia langsung membereskan barang-barangnya.
    “Apa yang dia katakan padamu tadi?” tanya Sonia pada Rina sebelum keluar kamar.
    “Dia bilang itu telepon penting. Kau harus mendengarnya langsung.” jawab Rina pelan, merasa bersalah.
    Dasar tukang paksa, pikir Sonia kesal.
    “Kau tidak perlu mengantarku keluar.” kata Sonia saat Rina akan mengikutinya.
    Sonia melirik ke belakang saat berlari-lari kecil menghampiri mobil Dion untuk memastikan Rina tidak mengikutinya. Untung saja kaca mobilnya gelap, jadi Dion tidak akan terlihat dari luar. Sonia langsung masuk ke bagian penumpang, kemudian bersedekap untuk menunjukkan kekesalannya. Dion hanya diam sambil membenarkan letak kacamata hitamnya. Tidak ada tanda-tanda pemuda itu akan segera menjalankan mobilnya dan pergi dari sini.
    “Apa lagi?” tanya Sonia tidak sabar.
    “Aku bukan sopir. Kita tidak akan pergi ke mana-mana sebelum kau pindah.” kata Dion angkuh. Sonia mendengus kesal, dia baru saja menemukan orang yang sama keras kepalanya.
    Sonia keluar dari mobil dan pindah ke samping Dion.
    “Terima kasih.” kata Dion pelan sambil tersenyum. Pemuda itu langsung menyalakan mesin mobilnya dan meluncur pergi.
    Sonia bisa menangkap sosok Rina yang berdiri mematung di jendela kamarnya.