Rss Feed
  1. Cafe Lofa : Resep Kebahagiaan Lofa

    Sunday, February 23, 2014


    Friendzone itu seperti selaput tipis yang transparan dan tak kasat mata. Kau bisa saja saling merangkul, memeluk, mengusap puncak kepala sahabatmu dan tidak jatuh cinta sama sekali. Itulah peraturan yang diharuskan dalam friendzone. Tidak peduli seberapa dekat atau seberapa sayang kau pada sahabatmu, selaput itu tidak akan mengijinkanmu jatuh cinta. Itu seperti peraturan tidak tertulis yang entah bagaimana dituruti dengan patuh oleh sebagian orang. Agi jelas termasuk salah satu penganut paham friendzone ini. Sayangnya, Lofa bukan tipe orang penurut. Dia menentang hukum alam itu dan menuruti egonya untuk mencintai Agi yang berakhir dengan melukai hatinya sendiri.
    Lofa seperti kehilangan seluruh minatnya pada segala hal. Dia memutuskan untuk tinggal di rumah hari ini. Pikiran penghasilan cafe yang menguap bahkan tidak bisa membuatnya bergerak barang sedikit dari dekapan kasurnya. Lofa meringkuk rapat di bawah bed cover-nya yang tebal, seperti seekor trenggiling yang takut diserang. Dia bahkan tidak mengijinkan siapa pun masuk ke kamarnya. Sebagai orang tua yang baik, tentu saja ibu tahu tanda-tanda patah hati yang sedang ditunjukkan putri sulungnya.
    Ibu menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga dengan sangat baik, dengan mengetuk pintu kamar Lofa setiap 30 menit sekali. Ibu menanyakan banyak hal. Mulai dari apa ada yang ingin kau ceritakan?, sampai apa kau lapar?. Untuk pertanyaan yang terakhir itu, Lofa ingin sekali meneriakkan jawabannya keras-keras, AKU SANGAT LAPAR! dan keluar dari kamar untuk memakan apa pun yang ibu siapkan di dapur. Tapi gadis itu tidak melakukannya. Penampilannya sedang sangat buruk. Sangat sangat buruk. Matanya bengkak karena terus menangis, rambut panjangnya acak-acakan dan mengembang seperti singa. Dia bisa dianggap gelandangan kelaparan jika langsung melahap semua makanan di dapur dengan penampilan seperti itu.
    Lofa baru berani melongok keluar dari persembunyiannya saat matahari sudah memancarkan cahaya miring yang menerangi kamarnya. Sudah hampir siang dan dia belum melakukan apa-apa sama sekali. Lofa menatap jam dinding kamarnya dengan nanar. Jam 11 pagi. Tidak ada tanda-tanda ibu akan mengetuk pintu kamarnya dalam waktu dekat. Lofa memutuskan untuk melepaskan diri dari dekapan singgasananya dan membersihkan diri. Mungkin mandi air hangat bisa sedikit mengurangi rasa sedih, pikir Lofa optimis.
    Lofa mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk, sedikit melirik ke arah jam dinding. Dia sudah berlama-lama di kamar mandi dan ternyata hanya menghabiskan waktu 20 menit. Setelah selesai dengan rambutnya, Lofa duduk di pinggiran kasur, melirik ponselnya yang tergeletak damai di atas nakas. Agi sama sekali tidak menghubunginya sejak pembicaraan semalam. Diam-diam Lofa berharap Agi menghubunginya, meskipun Lofa berniat untuk langsung mematikan ponselnya jika Agi menelpon.
    Setelah diam selama beberapa menit, Lofa memutuskan untuk keluar kamar. Perutnya sudah memberontak karena tidak dipedulikan sejak semalam. Lofa mengendap-endap ke dapur, seperti maling di dalam rumahnya sendiri.
    “Akhirnya kau keluar dari sarang juga.”
    Lofa tersentak kaget saat mendengar suara ibu dan menjatuhkan tempe goreng yang sudah sempat dia ambil. Ternyata dari tadi ibu duduk manis di ruang keluarga. Pembatas yang terbuat dari partisi yang bolong-bolong memudahkan ibu untuk mengawasi dapur dari tempatnya duduk sekarang.
    Lofa mengambil kembali tempe goreng yang tadi sempat dijatuhkannya. Lofa bisa merasakan tatapan ibu di setiap gerak-geriknya. Gadis itu menarik satu kursi dan duduk, menghabiskan tempe gorengnya. Perutnya yang sudah sangat lapar seperti mendapat pertanda baik dengan masuknya tempe itu ke dalam lambungnya. Dalam hitungan detik, perut Lofa berbunyi keras saking laparnya. Gadis itu langsung melahap semua makanan sisa sarapan yang ada di hadapannya. Perutnya sedikit menggembung setelah kenyang.
    “Sekarang kau sudah siap?”
    Lofa mendelik, lupa ibu masih mengawasinya sejak tadi. Gadis itu menoleh dengan ragu, ibunya tersenyum lembut sambil menepuk sofa di sebelahnya. Memberi isyarat pada Lofa untuk duduk di sana. Dengan langkah pelan Lofa menghampiri ibu.
    “Kau bertengkar dengan Agi?” Tubuh Lofa langsung menegang saat mendengar pertanyaan ibu. Dia baru tahu ibu seorang peramal.
    Lofa hanya menggeleng pelan. Kepalanya langsung diam saat merasa ibu membelai rambutnya yang masih sedikit basah.
    “Jangan bohong,” kata ibu lembut. “Tadi pagi Agi datang ke sini.”
    Secara refleks Lofa langsung menoleh, menatap ibu dengan tatapan penuh tanya, tapi mulutnya terkunci rapat.
    “Dia tahu kau tidak akan mengangkat teleponnya, jadi dia langsung datang ke sini. Tapi kau seperti sedang bersemedi di dalam kamar, tidak bersuara sama sekali.” ibu menjelaskan.
    Lofa hanya tertunduk. Di satu sisi dia menyesal tidak menemui Agi. Di sisi lain, dia bersyukur. Lofa masih tidak tahu harus berkata apa jika berhadapan langsung dengan Agi. Sepertinya Agi sama sekali tidak terpengaruh dengan pembicaraan semalam. Hanya Lofa sendiri yang terlalu larut memikirkan perasaannya.
    “Dia minta maaf,” ibu melanjutkan. Dan lagi, kata-kata ibu membuat Lofa langsung menoleh.
    Agi minta maaf? Jelas-jelas aku yang menyalahi kode etik, dan dia yang minta maaf? Lofa berdebat dengan pikirannya sendiri.
    “Dia tidak bilang masalahnya. Agi hanya bilang kalian sedikit berbeda pendapat dan bertengkar. Dan dia minta maaf karena meninggalkanmu di cafe tadi malam.”
    Aku yang mengusirnya! Lofa buru-buru menunduk agar ibu tidak melihat air matanya yang sudah bersiap untuk meluncur turun.
    Bahu Lofa menegang saat ibu menyentuhnya, “Menghindari masalah hanya akan memperpanjang penderitaan.”
    Masalahnya tidak akan pernah selesai selama aku masih mencintainya.
    “Agi sudah minta maaf kan? Jangan bertengkar lagi.” Ibu diam sebentar, kemudian melanjutkan, “Dia sahabat yang baik.”
    “Aku akan menghubunginya nanti,” jawab Lofa agar ibu berhenti membahas masalah sahabat baik ini. Lofa sama sekali tidak berniat menghubungi Agi dalam waktu dekat. Lebih baik seperti ini. Jika Lofa benar-benar ingin membunuh tunas-tunas yang tumbuh di hatinya, dia tidak boleh bertemu Agi. Tidak sama sekali.
    ***
    Lofa sudah merasa lebih baik keesokan harinya. Dia memutuskan untuk membuka cafenya lebih pagi. Pelanggan cafenya sedikit lebih banyak saat hari libur. Setidaknya dengan buka lebih pagi Lofa bisa menutupi kerugiannya kemarin.
    Rutinitas Lofa dimulai dengan kebiasaannya mengelap perabotan dapur, dilanjutkan dengan membersihkan meja-meja dan menata kursi-kursinya. Setelah yakin semuanya siap, Lofa membalik tanda CLOSE pada pintu.
    Lofa baru akan kembali ke balik meja bar saat mendengar seseorang masuk. Pengunjung pertama. Lofa berbalik demi mendapati Angga yang memakai kaus dan celana training berdiri di ambang pintu cafenya. Jam 8 pagi dan pemuda itu sudah terdampar di sini.
    “Selamat pagi,” sapa Lofa dengan senyum terkembang.
    “Apa kau menyediakan minuman yang biasa saja? Aku kehausan.” katanya sambil melangkah masuk, melewati Lofa dan duduk di salah satu kursi tinggi.
    Lofa mengambilkan segelas air putih dan menyodorkannya pada Angga. Pemuda itu tersengal-sengal seperti baru saja dikejar anjing galak. Kausnya basah karena keringat dan dia sedikit bau.
    “Rumahmu di dekat sini?”
    Angga sempat menggeleng sebelum meminum air putihnya.
    “Kau jogging sampai ke sini?” tanya Lofa saat memperhatikan Angga meneguk air putihnya cepat-cepat. Menimbulkan suara geleguk yang terdengar sangat jelas. Pemuda itu sangat kehausan.
    Angga meletakkan gelasnya yang sudah kosong, kemudian mengangguk.
    “Sekarang aku sudah terlalu lelah untuk membayangkan pulang dengan rute yang sama.”
    “Yah, kau bisa istirahat sebentar di sini.” kata Lofa. Dia mengambil gelas kosong di atas meja bar dan mengisinya lagi. Dia cukup yakin Angga masih kehausan.
    “Terima kasih,” kata Angga pelan sebelum meneguk gelas keduanya.
    “Aku ke sini tadi malam,” kata Angga saat Lofa sedang menata bahan-bahan di dapur. “Tapi ternyata tutup.” Angga terdengar kecewa.
    “Yah, aku sedang ingin istirahat,” dusta Lofa.
    Lofa tidak melihat Angga bergerak, tapi tiba-tiba saja pemuda itu sudah berdiri di sampingnya. Lofa tidak mendongak saat menyadari kehadiran Angga di sampingnya, berusaha tetap fokus dengan kegiatannya merapikan tumpukan bahan-bahan di dalam refrigerator. Tapi pandangan mata pemuda itu benar-benar membuat Lofa merasa tidak nyaman. Dia berhenti dan menatap Angga.
    “Kau harus mengajariku,” kata Angga antusias.
    “Mengajari apa?”
    Angga hanya menggerakkan dagunya ke luar. Lofa menelengkan kepalanya untuk melihat apa yang Angga tunjuk. Lofa tidak begitu yakin, tapi sepertinya Angga menunjuk papan hitam kecil di dekat meja bar.
    “Minuman kebahagiaan?”
    Angga hanya mengangguk.
    Lofa langsung menggeleng, “Tidak bisa. Itu resep rahasia.”
    “Begitu? Kau tidak ingin ada penerus?”
    “Penerus?”
    Setelah diam beberapa saat, Lofa akhirnya menyetujui permintaan Angga. Bukan karena Lofa pikir kata-kata Angga ada benarnya, tapi karena dia sedang malas berdebat. Angga tidak akan secara ajaib bisa membuat minuman kebahagiaan yang lebih enak dan memutuskan untuk membuka cafe sendiri kan? Iya kan?
    Lofa menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat minuman kebahagiaan: jelly blueberry setengah cair, air jeruk dan es serut yang dibuat dari air kelapa. Lofa pertama kali menciptakan resep ini saat pelajaran kulinari. Sebenarnya, Agi juga berperan dalam penemuan resep ini. Agi yang bertugas sebagai ketua kelompok saat itu banyak memberikan masukan pada Lofa tentang kombinasi rasa yang cocok.
    “Ini apa?” Angga menunjuk cairan biru yang ada di wadah aluminium.
    Jelly rasa blueberry.” jawab Lofa singkat.
    Angga hanya mengangguk meskipun raut wajahnya terlihat masih bingung.
    “Kau hanya perlu memasukkan itu,” Lofa menunjuk cairan biru. “diamkan beberapa saat, lalu tambahkan ini.” Lofa menunjuk wadah berisi air jeruk. “Dan beri es serut ini. Komposisi masing-masing bahan menentukan rasanya.” Lofa sudah merasa seperti seorang chef juri pada sebuah kompetisi memasak. Yang diberi instruksi masih bergeming dengan sebuah gelas kosong di tangan kanannya.
    “Kau paham?” tanya Lofa saat kembali menatap Angga.
    Dengan begitu mantap Angga mengangguk dan langsung mengikuti instruksi yang baru saja diberikan Lofa. Pemuda itu menyiduk cairan biru kental dengan takaran yang menurut Lofa sudah sesuai. Lofa hanya mengangguk melihat Angga yang terlihat cukup cekatan. Sebuah gagasan untuk merekrut Angga menjadi salah satu pegawai tetap terlintas di pikiran Lofa. Gadis itu buru-buru menggeleng. Lofa sudah akan berteriak saat Angga menyiduk air jeruk begitu banyak. Belum sampai Lofa bersuara, Angga mengurangi air jeruknya. Diam-diam Lofa menghembuskan nafas yang sedari tadi ternyata dia tahan. Angga memasukkan serutan es air kelapa sampai melebihi bibir gelas. Pemuda itu menambahkan hiasan daun mint di atasnya, sesuatu yang tidak pernah Lofa lakukan. Lofa biasanya menghias gelas minuman kebahagiaan dengan potongan jeruk.
    Angga menyodorkan minuman buatannya pada Lofa.
    Lofa mengambil sebuah sedotan kemudian mengaduk minuman itu sampai menyatu dan menciptakan warna hijau tua. Gadis itu menyesap minumannya perlahan. Sensasi dingin langsung merayap ke otaknya, dia yakin isi kepalanya bisa beku jika minum terlalu banyak. Setelah sensasi dingin itu mereda, Lofa mulai merasakan manis dan asam yang saling beradu di dalam mulutnya. Lofa hampir lupa rasa minuman ciptaannya sendiri. Lofa hampir lupa alasan kenapa dia memberi nama minuman kebahagiaan. Rasanya begitu membahagiakan, saat pertama kali Lofa menciptakan minuman yang bisa dengan sempurna menggabungkan dua rasa favoritnya: manis dan asam.
    “Kau bahagia?”
    Pertanyaan Angga baru saja membuyarkan lamunan Lofa. Seperti baru saja ditarik dari khayangan, Lofa kembali merasakan gaya gravitasi yang menahan kakinya tetap menempel pada tanah. Dia masih di sini.
    “Apa?”
    “Kau baru saja menyesap minuman kebahagiaan. Jadi, apa kau bahagia?” Angga mengulangi pertanyaannya.
    Lofa merasa pertanyaan Angga merangkum semua pertanyaan yang selalu menari-nari bebas di kepalanya. Apa Lofa bahagia? Selama ini Lofa merasa bahagia. Bahkan jauh sebelum Lofa mengenal Agi, dia merasa bahagia. Lalu kenapa akhir-akhir ini dia merasa begitu menyedihkan? Kenapa sejak Agi lebih dekat dengan Adriana, dia tidak lagi merasa begitu bahagia? Apa yang membuatnya bahagia sebelum mengenal Agi? Banyak hal-hal kecil yang membuat Lofa merasa bahagia, mengerjai Laufan ada pada urutan paling atas daftar kebahagiaannya waktu itu.
    Lofa mendesah. Dia terlalu fokus pada perasaannya yang bertepuk sebelah tangan sampai lupa diri. Lofa terlalu kalut sampai tidak menyadari ada begitu banyak hal yang bisa membuatnya bahagia selain Agi. Pikirannya yang begitu sempit membuat Lofa merasa prihatin pada dirinya sendiri.
    Lofa mendongak dan menatap Angga dengan lebih mantap, “Aku bahagia. Dan aku sangat bodoh karena tidak merasa seperti itu akhir-akhir ini.”
    Dalam hatinya, Lofa sudah mendapat satu kesimpulan. Bukan salah Agi jika dia memilih Adriana. Dan kebahagiaan Lofa sama sekali tidak ada hubungannya dengan Agi. Lofa bisa mendapatkan kebahagiaannya sekaligus sahabat sebaik Agi atau bahkan kehilangan keduanya. Itu pilihannya. Lofa berkuasa sepenuhnya untuk menentukan pilihan itu. 

  2. Cafe Lofa : Pengakuan

    Monday, February 17, 2014


    Mata Lofa masih bengkak pagi harinya meskipun sudah dikompres dengan es batu semalaman. Lofa mengacak-acak laci meja riasnya, mencari kaca mata imitasi. Saat SMA dulu Lofa ingin sekali memakai kacamata agar terlihat seperti anak jenius, jadilah dia membeli kacamata imitasi itu. Sekarang dia membutuhkannya untuk menutupi matanya yang bengkak sebesar telor puyuh. Dia tidak bisa ke cafe dengan keadaan seperti itu. Bagaimana jika pengunjung cafenya berpikir macam-macam?
    “Kak Lofa bintitan?” tanya Laufan saat melihat Lofa memakai kacamata.
    Tanpa menjawab Lofa langsung mencubit lengan Laufan. Bocah itu hanya mengernyit kemudian diam saat melihat Lofa melotot. Laufan langsung menggumamkan sumpah serapah begitu Lofa melepaskan cubitannya.
    “Anak baik,” kata Lofa sambil mengusap puncak kepala Laufan.
    “Aku langsung ke cafe ya,” pamit Lofa pada ibu yang sedang sibuk menumis bawang.
    “Kau tidak sarapan dulu?” tanya ibu sambil mengusapkan tangannya pada apron untuk menyalami Lofa.
    Gadis itu hanya menggeleng, “Aku sarapan di cafe.”
    Lofa mengacak-acak rambut adiknya sebelum berjalan keluar, yang dibalas dengan geraman pelan. Lofa hanya tersenyum mendengar adiknya menggeram. Rutinitas kecil yang bisa sedikit menghiburnya. Saat Lofa melangkah keluar, rasa sakit itu kembali menyerangnya.
    ***
    Lofa masuk ke cafe dengan langkah berat. Cafe yang dulu sangat dia impikan sekarang menjadi sarang kesedihannya. Tempat semuanya berawal. Tempat pertama kali Lofa memandang Agi dengan sudut pandang yang berbeda. Tempat di mana Lofa mulai membangun tiap inchi harapannya sampai setinggi langit, yang akhirnya runtuh.
    Lofa duduk di salah satu sofa di ruang baca, membiarkan tanda CLOSE tetap terpasang pada pintu. Gadis itu masih butuh waktu untuk menenangkan diri. Dia butuh waktu untuk menjahit luka-luka di hatinya. Sebentar lagi, dan semuanya akan baik-baik saja. Memangnya sesulit apa sih melupakan Agi yang selalu ada untuknya? Rasanya tidak akan sulit untuk melupakan Agi yang selalu perhatian padanya. Tidak akan sulit menghilangkan nama Agi dari daftar lima orang pertama yang bisa dihubungi jika Lofa mendapat masalah. Tidak akan sulit menggantikan kehadiran Agi dengan kekosongan yang mengelilinginya. Lofa menangis lagi. Memeluk tubuhnya sendiri seolah-olah dia bisa hancur kapan saja jika melepaskan tangannya. Akan sangat sulit menghilangkan Agi dari hatinya.
    Setelah merasa cukup meratapi nasibnya yang menyedihkan, Lofa langsung bangkit dan pergi ke dapur untuk membasuh wajah. Dia bisa kehilangan banyak pelanggan jika terlalu lama mengasihani diri sendiri. Setidaknya melihat pelanggannya yang tersenyum bahagia bisa memberikan sedikit cahaya dalam kegelapan pikirannya. Lofa menghela nafas panjang sebelum mengganti tulisan CLOSE dengan tanda OPEN. Dia sudah siap.
    Jam sepuluh tepat. Biasanya pengunjung cafe pada jam ini adalah gerombolan anak SD yang hanya memesan satu-dua minuman dan menghabiskan waktu yang lama untuk membaca komik. Agak siang, gerombolan anak SD itu akan digantikan gerombolan remaja. Hari ini, belum ada satu pun yang muncul.
    Lofa membuka laptopnya, dia membuka website yang akhir-akhir ini sering dikunjunginya. Pendaftaran registered dietitian. Lofa lebih sering membuka website itu sejak tahu peluangnya untuk mendapatkan Agi sudah mendekati nol. Kabur? Lofa hanya butuh pengalih perhatian. Menyibukkan diri dengan rutinitas baru adalah satu-satunya pilihan terbaik yang dia miliki. Berdiam diri di cafe dan bertemu Agi setiap hari hanya akan merobek luka lama yang belum sembuh benar.
    Lofa berpaling dari laptopnya saat melihat ada yang masuk ke cafe. Itu Adriana. Mengelola cafe sendiri tanpa bantuan orang lain merupakan sebuah kesalahan, Lofa tidak bisa kabur kemana-mana. Adriana pasti akan menyadari ada yang tidak beres jika Lofa menghindarinya. Akhirnya Lofa hanya diam di tempat. Adriana, seperti biasa, selalu tersenyum ramah saat bertemu Lofa. Gadis itu duduk di salah satu kursi tinggi.
    “Aku mau itu.” Adriana menunjuk papan hitam kecil yang digantung. Minuman kebahagiaan. “Aku baru ingat belum pernah mencoba menu spesial itu.” lanjutnya.
    Lofa hanya mengangguk kemudian langsung pergi ke dapur. Lubang yang ada di dinding antara dapur dan ruang utama cafe adalah kesalahan kedua. Lofa tidak bisa bersembunyi sepenuhnya dari tatapan Adriana. Gadis itu masih bisa melihat Lofa.
    “Sebentar lagi Agi ulang tahun,” kata Adriana.
    Lofa berusaha tetap menggerakkan tangannya untuk membuat pesanan, meskipun otot-ototnya menegang. Tiga hari lagi Agi ulang tahun.
    “Aku tidak tahu harus memberinya kado apa.”
    Hanya itu? Adriana jauh-jauh datang ke sini hanya untuk menanyakan hal sepele macam itu? Lofa cukup yakin Adriana sedang pamer tentang hubungannya dengan Agi. Gadis itu buru-buru menggeleng, menghilangkan pikiran jahat itu. Lofa sendiri yang menciptakan permainan imajiner itu. Lofa menamainya persaingan memenangkan hati Agi. Lofa yang memberi Adriana peran sebagai musuh.
    “Tidak ada yang namanya salah kado. Kenapa kau harus khawatir?” tanya Lofa, berusaha menjaga suaranya tetap tenang, saat meletakkan pesanan Adriana di atas meja bar.
    Adriana hanya mengangkat bahunya sekilas, tangan kanannya bergerak pelan searah jarum jam saat mengaduk minuman kebahagiaan itu.
    “Maksudku, kalian tidak akan putus hanya karena kau memberinya sesuatu yang tidak dia inginkan kan?”
    Lofa berharap hubungan Adriana dan Agi memang serapuh itu. Langsung berakhir hanya karena Adriana memberi Agi kado yang salah. Jika memang begitu keadaannya, Lofa rela melakukan apa pun. Termasuk menipu Adriana agar memberi kado yang salah. Lofa menggeleng lagi, sejak kapan dia jadi sepicik itu?
    “Tentu saja tidak,” jawab Adriana ringan.
    Lofa menghembuskan nafas yang sedari tadi ditahannya. Dia sangat kecewa.
    Adriana tersenyum sekilas, “Kami bahkan belum resmi pacaran, bagaimana mungkin kami bisa putus.” lanjutnya.
    “Tapi dia bisa saja menjauhiku jika aku memberinya sesuatu yang aneh-aneh...”
    Adriana masih melanjutkan ceritanya, tapi Lofa tidak benar-benar mendengarkan. Pikirannya dipenuhi satu hal yang sangat mengganggunya. Agi berbohong.
    “...apa dia suka?” Lofa kembali mendengar suara Adriana saat tangannya disentuh.
    “Maaf, apa?”
    Adriana memutar bola matanya dengan tidak sabar, “Action figure, apa dia suka?”
    Agi sangat suka. Lofa ingat benar lemari besar di rumah Agi yang disediakan khusus untuk koleksi action figure-nya. Tapi Lofa tidak tahu dari film apa makhluk-makhluk aneh itu berasal. Gadis itu tidak pernah benar-benar memperhatikan saat Agi mengoceh tentang koleksi kesayangannya itu.
    “Tidak. Dia tidak suka hal kekanakan seperti itu.” Lofa memutuskan untuk melancarkan aksi penipuannya. Dia masih punya kesempatan.
    “Biasanya kau memberinya kado apa?” tanya Adriana antusias.
    Lofa hanya mengangkat bahunya sekilas, “Aku tidak memberinya apa-apa. Hanya menraktirnya bakso di kampus dulu.”
    Adriana terlihat terkejut karena matanya melebar, “Hanya itu?”
    Lofa mengangguk mantap. Seringnya malah Agi yang menraktirnya. Jika diingat-ingat, Agi memang selalu baik padanya, sedangkan Lofa sedikit sekali membalas kebaikan Agi.
    Adriana mengangguk, seperti baru saja mendapat ide cemerlang. Gadis itu menyesap minumannya sambil tersenyum. Sial! Lofa baru saja memberinya ide bagus.
    ***
    Lofa hanya memandangi punggung Agi yang sedang sibuk mencatat pesanan. Informasi berharga yang didapatnya dari Adriana tadi siang benar-benar membuat Lofa kembali merasa hidup. Meskipun kenyataan bahwa Agi membohonginya membuat Lofa kesal. Tapi informasi itu membuat benih-benih di hati Lofa kembali tumbuh.
    Sampai detik ini tidak ada tanda-tanda Agi akan mengakui kebohongannya. Setelah tanda CLOSE dipasang, Agi membantu Lofa membereskan cafe. Ini kesempatan bagus. Lofa bisa menginterogasi Agi sekarang. Gadis itu sudah menyusun kata-kata yang tepat di kepalanya. Belum sampai mengucapkannya, Lofa sudah menelan kembali kata-katanya. Pasti ada alasan yang masuk akal kenapa Agi berbohong. Bagaimana jika alasannya membuat Lofa sakit hati?
    Lofa memutar otaknya, berusaha mencari berbagai macam alasan kenapa Agi membohonginya. Tapi otaknya yang tidak terlalu cerdas membatasi ruang berpikirnya. Lofa tidak menemukan satu pun alasan yang masuk akal. Satu-satunya alasan yang terpikir olehnya adalah Agi sedang sakit keras. Dia sangat mencintai Lofa, tapi penyakitnya tidak mengijinkan mereka bersama, jadilah Agi berbohong untuk membuat Lofa berhenti memikirkannya. Tipikal sinetron.
    Suara dehem Lofa membuat Agi menoleh padanya. Pemuda itu kembali fokus pada kegiatannya merapikan kursi saat Lofa hanya diam. Lofa berdehem lagi. Kali ini Agi menghampirinya, karena memang semua kursi sudah ditata rapi.
    “Kenapa?” tanya Agi sambil mencondongkan tubuhnya, membuat Lofa semakin gugup.
    “Kau...” Lofa tergagap. “kau belum pernah menceritakan padaku bagaimana kau menyatakan perasaanmu pada Adriana.” Diam-diam Lofa memuji kemampuannya berbasa-basi. Permulaan yang bagus, pikir Lofa bangga. “Apa seperti di film-film?” Lofa memutuskan untuk menggoda Agi. Dengan begitu dia bisa menutupi perasaannya sekaligus mendapat jawaban yang dia inginkan.
    Agi memundurkan tubuhnya. Senyumnya sedikit memudar. Pemuda itu hanya mengangkat bahunya.
    “Kami sudah dewasa,” kata Agi pelan. “tidak perlu kata-kata tersurat untuk tahu kami saling menyayangi.”
    Cara Agi mengucapkan kata saling menyayangi membuat Lofa cemburu. Aku juga menyayangimu, teriak Lofa dalam hati.
    “Sepertinya Adriana tidak tahu kau menyayanginya.” Kecemburuannya sudah membuat Lofa hilang kendali. Skenarionya gagal.
    Hanya satu detik, tapi Lofa bisa melihat bahu Agi menegang.
    “Kau bohong padaku. Kenapa kau bohong?”
    Agi tertunduk beberapa saat, kemudian dengan sikap dingin yang tidak Lofa kenali, pemuda itu menatapnya.
    “Karena aku ingin kita tetap bersahabat.”
    Bukan jawaban yang Lofa inginkan. Tapi jawaban Agi sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan semuanya. Agi tahu. Dan sekarang Agi sedang berusaha memberitahu Lofa, dia tidak pernah punya kesempatan sejak awal. Agi tidak pernah memandangnya lebih dari sekedar sahabat.
    Lofa menggeleng pelan, “Entahlah, Gi. Sahabat tidak berbohong.”
    “Sahabat juga tidak mencintai.” Kata-kata Agi membuat Lofa langsung mendongak.
    Lofa menghela nafas panjang, “Aku rasa sebaiknya kau pulang. Aku bisa membereskan semuanya sendiri.” kata Lofa pelan.
    Tanpa mengatakan apa pun, Agi menuruti permintaan Lofa. Dia melepas apronnya dan langsung berjalan keluar. Lofa ingin sekali memalingkan pandangannya, tapi matanya tidak bisa berhenti menatap punggung Agi yang semakin menjauh. Harapan bodohnya sudah menghancurkan semuanya. Lofa merosot, air matanya kembali mengalir deras.

  3. Cafe Lofa : Hari Pertunangan

    Friday, February 14, 2014

    BAGIAN 7

    Lofa menutup cafenya lebih awal hari ini. Dia harus bersiap-siap untuk acara malam ini. Gaun yang akan Lofa pakai sudah digantungkan pada gagang lemari saat Lofa masuk ke kamar. Sepertinya ibu yang menyiapkan gaun Lofa.
    Terakhir kali Lofa memakai gaun itu adalah saat malam inagurasi kelulusannya dua tahun yang lalu. Semoga saja masih muat. Sepertinya ukuran tubuh Lofa tidak banyak berubah sejak lulus kuliah.
    Lofa duduk di pinggiran kasur, memandangi gaun yang digantung itu. Gadis itu menelengkan kepalanya, menatap warna merah gaun itu lekat-lekat. Pukul tujuh tepat Angga akan menjemputnya. Lofa hanya punya waktu tiga puluh menit untuk berdandan, tapi dia benar-benar tidak berselera. Bayangan akan melihat Agi dan Adriana bermesraan di acara pertunangan itu membuat Lofa sesak. Tapi dia akan merasa bersalah pada Dhanny jika tidak datang. Pemuda itu sudah mengiriminya buket bunga lili yang indah, mana mungkin Lofa akan menolak untuk datang.
    Setelah menghela nafas panjang, Lofa bangkit dan meraih baju itu. Ukurannya masih terlihat pas di tubuh Lofa. Gaun merah itu menjuntai sampai lutut. Gadis itu mematut diri di depan cermin untuk beberapa saat. Memutar badannya ke kanan dan ke kiri untuk melihat bagian belakang gaunnya. Tidak ada yang aneh. Urusan gaun, selesai. Sekarang Lofa menyisir rambut panjangnya, tidak tahu bagaimana menata rambutnya yang tergerai sampai punggung. Lofa mendesah frustasi. Waktunya tinggal 15 menit lagi. Lofa memutuskan untuk meninggalkan urusan rambut dan beralih pada wajahnya. Dia perlu make-up. Meja riasnya hanya berisi bedak bayi dan lip gloss. Lofa jarang sekali memakai make-up.
    Dengan langkah lebar-lebar Lofa berjalan menuju kamar ibu. Mengetuk pintunya beberapa kali sebelum mengintip ke dalam. Ibu sedang melipat pakaian saat Lofa masuk.
    “Aku butuh make-up.” kata Lofa singkat.
    Ibu hanya tersenyum kemudian membimbing Lofa duduk di depan meja rias besar yang ada di kamar ibu. Berbeda dengan Lofa, ibu memiliki peralatan make-up yang sangat lengkap. Lofa penasaran kapan ibu pernah menggunakan kosmetik berwarna-warni itu.
    Dengan sangat cekatan ibu memulaskan bedak, eye shadow dan blush on pada wajah Lofa. Gadis itu menurut saja saat ibu merias majahnya. Sentuhan terakhir adalah bibirnya. Ibu memberikan warna peach untuk bibir Lofa. Setelah yakin ibu sudah selesai meriasnya, Lofa membuka mata. Awalnya Lofa khawatir akan terlihat seperti tante-tante, tapi ternyata dia salah. Wajahnya masih terlihat natural, hanya sekarang terlihat sedikit lebih berwarna.
    Ibu membelai rambut Lofa. Mengangkat sisi kanan rambutnya dan menyematkan sirkam perak di sana. Sirkam itu memiliki ukiran bunga yang berkerlip.
    “Kau sudah siap.” bisik ibu di dekat telinga Lofa.
    Lofa hanya tersenyum.
    ***
    Angga datang pukul tujuh tepat. Pemuda itu bisa tahu persis rumah Lofa hanya dengan sekali arahan. Angga sedang bersandar pada salah satu tiang di teras saat Lofa keluar. Dia langsung berbalik, memamerkan senyumnya. Lofa tidak tahan untuk mengamati Angga dari ujung kaki sampai ujung kepala. Dia memakai celana kain hitam dan atasan kaus merah yang dipadukan dengan blazer hitam. Rambutnya ditata rapi.
    “Kau...”
    “Aneh,” sergah Angga sebelum Lofa sempat menyelesaikan komentarnya. “aku tahu. Aku tidak punya kemeja merah, jadi aku pakai ini.” Angga menunjuk kaus merahnya.
    Lofa menggeleng, masih mengamati penampilan Angga. “Aku baru mau bilang keren.”
    “Terima kasih atas basa-basinya yang sangat menghibur.” katanya sambil tersenyum. “Kau siap?”
    Lofa hanya mengangguk.
    Tepat saat Lofa akan mengekor Angga, pemuda itu berhenti kemudian berbalik untuk memandang Lofa. “Maaf, tapi aku tidak punya mobil.” katanya pelan. Merasa bersalah. “Apa kau tidak masalah kita pergi dengan itu?” Angga menunjuk motornya yang terparkir di halaman rumah Lofa.
    Tanpa menjawab, Lofa langsung kembali masuk ke dalam rumah. Dia mengambil helm kesayangannya.
    “Tidak masalah,” kata Lofa sambil memamerkan helm-nya saat keluar.
    Angga tersenyum sekilas, “Bagus.”
    ***
    Angga memarkir motornya di antara puluhan motor-motor lain. Mobil yang terparkir juga tidak kalah banyak. Lofa mengenali salah satunya. Itu mobil Agi. Dia sudah datang.
    “Kau sudah siap?” Suara itu membuyarkan lamunan Lofa.
    Lofa menarik nafas panjang beberapa kali. Dia ingin menenangkan jantungnya yang melompat-lompat liar. Gadis itu hanya menunduk, menatap kedua kakinya yang dibalut high heels merah. Entah kenapa Lofa tidak bisa menggerakkan kakinya untuk melangkah masuk. Bagaimana jika melihat Agi bersama Adriana membuat hatinya semakin hancur? Lofa tidak akan bisa menyatukannya lagi jika hatinya sampai hancur lebur.
    Tubuh Lofa menegang saat merasakan ada yang hangat di tangan kanannya. Pandangan matanya jatuh pada tangan Angga yang menggenggamnya. Lofa hanya diam, membiarkan Angga membimbingnya masuk.
    Dekorasi taman malam ini terlihat sangat indah. Lofa sangat yakin Adriana yang menata taman ini. Ada banyak sekali lampu kerlap kerlip yang menghiasi pepohonan, membuatnya seperti taman bintang. Lofa masih terkesima menatap ornamen lampu itu saat tiba-tiba Angga melepaskan tangannya. Lofa memandangi Angga bingung, tapi pemuda itu menatap lurus ke depan. Lofa mengikuti arah pandangannya. Jantungnya mencelos. Paru-parunya mendadak kehabisan udara untuk bernafas. Itu Agi. Dia sedang menunduk memandangi Adriana. Sesaat kemudian Adriana mendongak. Lofa yakin Adriana melihatnya kerena mereka bersitatap selama beberapa detik sampai akhirnya Agi menoleh. Dia hanya tersenyum. Saat Lofa benar-benar hancur seperti ini Agi malah tersenyum? Sahabat macam apa dia itu?
    Pandangan Lofa mulai kabur karena genangan air di pelupuk matanya. Gadis itu pura-pura menatap dekorasi di atasnya untuk mencegah air mata itu meluncur turun. Matanya perih. Rasanya ingin sekali Lofa berlari dari tempat itu dan menangis sekencang-kencangnya. Lofa tidak peduli jika orang-orang menganggapnya gila. Dia hanya...patah hati.
    “Kau datang!” Itu Adriana. Dia sudah membentangkan kedua tangannya lebar-lebar, siap memeluk Lofa. Gadis itu hanya diam di tempat. Membiarkan Adriana mendekatinya. Lofa hanya membalas sekilas pelukan Adriana.
    “Kau sangat jarang berdandan seperti ini.” Itu komentar pertama yang diucapkan Agi. Setelah membuat Lofa benar-benar sakit, berani-beraninya Agi berkomentar tentang penampilannya.
    “Dhanny mengundangku.” Itu kalimat yang diucapkan Lofa. Kalimat netral.
    Adriana terlihat kaget, tapi kemudian membimbing Lofa dan Angga untuk mendekati Dhanny dan tunangannya. Mereka terlihat sangat bahagia di bawah dekorasi bunga mawar putih yang indah. Dhanny memakai jas hitam resmi dan pasangannya memakai gaun merah marun berenda emas. Lofa menyalami mereka berdua. Sedikit berbasa-basi tentang dekorasi taman yang menarik. Tunangan Dhanny terlihat malu-malu saat Lofa bilang mereka berdua sangat cocok. Lima menit yang terasa sangat lama. Lofa sudah kehabisan kata-kata untuk berbasa-basi.
    Setelah mengucapkan selamat pada Dhanny dan pasangannya, Lofa memutuskan untuk mengasingkan diri di pojok taman. Dia hanya berdiri diam. Angga sangat setia menemaninya, tidak menanyakan apa pun.
    Pandangan Lofa sama sekali tidak bisa berpaling dari Agi dan Adriana yang terlihat sangat bahagia di sana, di dekat meja prasmanan. Adriana sedang memilihkan makanan untuk Agi. Dulu Lofa yang selalu melakukannya. Dia selalu memaksa Agi mencoba makanan pedas. Diam-diam Lofa tersenyum mengingat kenangan itu. Saat Agi masih sangat dekat dengannya. Senyum itu pudar saat Lofa melihat Adriana menyuapkan makanan pada Agi. Pelupuk matanya sudah tidak mampu lagi membendung air mata yang memaksa keluar. Lofa hanya tertunduk saat air mata itu meluncur mulus di kedua pipinya.
    Lofa tersentak saat ada yang menyambar lengannya. Dia hanya diam saat Angga menariknya keluar dari taman yang ramai itu. Tanpa mengatakan apa pun Angga menyodorkan helm pada Lofa.
    “Kau tidak perlu berlama-lama di sini.” kata Angga pelan saat menyalakan mesin motornya.
    Lofa naik ke atas motor dengan patuh. Dia hanya diam sepanjang perjalanan.
    “Bawa aku ke cafe.” kata Lofa di tengah perjalanan. Dia tidak bisa menangis tersedu-sedu di rumah. Ibu dan ayah akan mendengar tangisannya. Lofa memutuskan untuk menenangkan diri di cafenya yang sepi.
    Lofa langsung turun saat Angga memarkir motornya. Dia berbalik sebelum masuk ke dalam.
    “Terima kasih. Kau pulang saja.” kata Lofa pelan.
    “Kau yakin tidak ingin aku temani?” Angga terlihat khawatir.
    Lofa menggeleng, “Aku tidak apa-apa. Ada beberapa hal yang harus aku urus.” dustanya.
    Tanpa menunggu Angga pergi, Lofa langsung masuk ke dalam cafenya. Gelap dan sepi. Dengan langkah terseok-seok Lofa berjalan menuju ruang baca. Menyalakan satu lampu dan meringkuk di salah satu sofa. Keadaannya begitu menyedihkan. Dia hanya meringkuk sambil menangis. Dia tahu menangis tidak akan bisa membuat Agi putus dan memilihnya secara tiba-tiba. Lofa hanya ingin membagi kesedihannya pada kekosongan yang mengelilinginya.
    Matanya perih, dadanya sudah sesak karena terus terisak. Entah sudah berapa lama Lofa meringkuk di sini. Badannya pegal-pegal saat Lofa bangun. Air matanya sudah kering. Rupanya Lofa tertidur saat menangis tadi. Gadis itu pergi ke dapur untuk membasuh wajahnya. Dia tidak bisa pulang dalam keadaan seperti ini. Ibu bisa panik jika melihat mata Lofa yang bengkak dan hidungnya yang merah.
    Lofa melirik jam dinding di atas meja bar. Sudah hampir tengah malam. Gadis itu mendadak panik. Bagaimana dia bisa pulang jam segini? Akan sangat berbahaya jika Lofa jalan kaki ke rumah sendirian.
    Lofa meraih ponselnya dari dalam tas jinjing kecil yang dibawanya. Ada tiga panggilan tak terjawab, semuanya dari ibu. Lofa pasti sudah membuat orang rumah khawatir karena tidak memberi kabar sampai larut malam begini. Sekarang dia bingung bagaimana cara pulang yang paling aman. Lofa sudah siap menekan tombol speed dial yang akan menghubungkannya pada ponsel Agi. Bayangan Agi dan Adriana di pesta tadi membuat Lofa urung melakukannya. Dia memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas. Pasti ada taksi, putusnya.
    Tubuh ramping Lofa membeku saat melihat Angga berjongkok di depan cafenya, dia sedang menyeruput sesuatu dari mangkok. Saat melihat Lofa keluar, Angga langsung berdiri.
    “Kau masih di sini?” tanya Lofa tidak percaya.
    “Aku rasa kau butuh tumpangan pulang,” kata Angga ringan sambil menelengkan kepalanya ke arah motor.
    Angga menunggunya. Dia pasti tahu apa yang Lofa rasakan saat di pesta tadi. Dia pasti tahu Lofa menyukai Agi. Pikiran itu benar-benar mengganggu Lofa.
    “Aku...” Lofa sudah bersiap untuk menjelaskan semuanya pada Angga.
    “Kau pernah mencoba sekoteng di sini? Ternyata enak.” sergah Angga sebelum Lofa menyelesaikan kalimatnya.
    Angga bahkan tidak bertanya. Entah bagaimana, sepertinya Angga selalu tahu waktu yang tepat untuk mengalihkan topik pembicaraan.
    “Kau mau?” tanya Angga lagi saat Lofa hanya diam.
    Gadis itu menggeleng pelan. Jika Angga tidak menanyakan alasan Lofa menangis, rasanya Lofa tidak perlu memberikan penjelasan apa pun padanya.
    “Kau mau langsung pulang?” Angga sudah mengembalikan mangkok sekotengnya pada si penjual. Lofa tidak ingat pernah melihat gerobak sekoteng itu di sini.
    “Ayo,” kata Angga bersemangat saat menyalakan mesin motornya.
    Lagi-lagi Lofa naik ke atas motor dengan patuh. Diam-diam Lofa sangat senang Angga menunggunya.

  4. Cafe Lofa : Pesta

    Thursday, February 13, 2014


    Aku akan siap 30 menit lagi. Itu balasan singkat Adriana untuk pesan yang dikirim Agi barusan.
    Malam ini adalah acara pertunangan sepupu Adriana. Agi mematut diri di depan cermin besar yang ada di kamarnya. Tema pakaian malam ini adalah formal black and red. Agi sudah memakai kemeja merah yang akan dipadukan dengan jas warna hitam. Setelah yakin penampilannya sudah cukup rapi, Agi meraih jas hitamnya dan mengambil kunci mobil dari laci nakas di kamarnya.
    Sebelum ke rumah Adriana, Agi memutuskan untuk mampir ke toko bunga yang ada di samping cafe Lofa. Toko bunga itu terlihat sangat mencolok saat cafe Lofa tutup. Agi berdiam diri di toko itu cukup lama, mencoba memilih bunga yang paling cocok untuk malam ini.
    Agi melihat bunga yang masih setengah kuncup berwarna merah di sudut ruangan. Bentuknya menarik perhatian Agi. Berbeda dengan mawar, bunga itu terlihat lebih elegan.
    “Bunga apa itu?” tanya Agi pada pemilik toko itu.
    “Tulip merah.” katanya singkat dan terdengar kurang ramah. Ternyata Lofa benar tentang wanita pemilik toko ini, dia sangat sinis.
    “Aku mau itu. Apa kau bisa menghiasnya?”
    Wanita itu hanya mengangguk kaku. Orang ini benar-benar kurang pantas membuka toko bunga yang identik dengan kecantikan dan keramahan.
    Agi sedang memperhatikan berpot-pot bunga mawar dan tulip saat wanita itu mendekatinya, menyodorkan buket bunga tulip merah yang diikat pita berwarna senada. Wanita itu membiarkan daunnya tetap menempel pada tangkai bunga, menciptakan perpaduan warna merah dan hijau yang sempurna.
    Bunga tulip merah itu tergeletak nyaman di kursi penumpang di samping Agi. Dengan kecepatan penuh Agi meluncur ke rumah Adriana. Kali ini gadis itu belum menunggunya di luar. Tepat saat Agi akan mengetuk pintu rumah Adriana, daun pintunya mengayun terbuka. Sosok Adriana muncul. Cahaya lampu di ruang tamu rumahnya menjadi latar belakang yang sempurna untuk kemunculan Adriana.
    Agi baru sadar dia menahan nafas sampai dadanya terasa sesak. Setelah Adriana menutup pintu rumahnya, Agi baru ingat cara bernafas lagi. Gadis itu luar biasa cantik dengan gaun hitamnya. Ada pita merah besar yang mengikat pinggang Adriana, menampakkan bentuk tubuhnya yang ramping. Rambut pendeknya dihiasi ornamen berkerlip, membuatnya terlihat seperti langit gelap yang berbintang.
    “Kau siap?” tanya Adriana karena Agi hanya diam.
    Agi sempat tergagap sebelum akhirnya mendapatkan kesadarannya kembali. Dia langsung menekuk lengannya agar Adriana bisa menautkan tangannya. “Kita siap,” kata Agi saat mereka berjalan beriringan menuju mobil.
    “Ada yang menunggumu,” kata Agi pelan sebelum membukakan pintu untuk Adriana, membiarkan gadis itu kebingungan.
    Agi membuka pintu mobilnya perlahan. Mata Adriana melebar saat melihat buket bunga tulip merah di kursi yang akan ditempatinya.
    “Untukku?” tanya Adriana malu-malu.
    Agi hanya mengangguk sambil tersenyum.
    “Kau suka?” Agi belum pernah memberikan bunga secara spesial untuk perempuan sebelumnya. Pilihannya seringkali sangat payah. Tapi bunga tulip merah itu kelihatannya cukup pantas untuk momen seperti ini.
    “Ini indah sekali,” kata Adriana di sela-sela senyumnya.
    Setelah merasa cukup mengagumi bunganya, Adriana masuk ke dalam mobil, duduk manis masih sambil mencium bunganya. Sepertinya pilihan Agi kali ini tidak salah. Adriana menyukainya.
    Pelataran rumah Nura disulap menjadi taman yang dipenuhi lampu kerlap-kerlip yang indah. Dua pohon kamboja yang ada di kanan dan kiri taman seolah sengaja ditanam untuk acara ini. Batang pohon itu dililiti lampu, membuatnya terlihat seperti penjaga pintu yang berpendar. Halamannya yang luas sudah dipenuhi meja-meja bundar yang ditutupi taplak merah marun berpita emas. Ada gapura yang dihiasi bunga mawar putih di sebelah kanan, terlihat kontras dengan ornamen lain yang dominan berwarna merah marun.
    “Kau yang merancang ini?” Agi berbisik pada Adriana saat mereka sampai.
    “Sebagian.” jawab Adriana pelan. “Nura cerewet sekali soal dekorasi malam ini.”
    Agi hanya tersenyum mendengar protes Adriana tentang sepupunya.
    Nura dan Dhanny keluar dengan langkah pelan dari dalam rumah menuju gapura bunga mawar. Suara tepuk tangan samar-samar memenuhi taman malam ini. Agi sedikit terkejut saat Adriana menggandeng tangannya dan langsung menariknya mendekati Nura dan Dhanny yang sekarang sedang memamerkan senyum terbaik mereka. Adriana melepaskan tangan Agi saat berpelukan dengan Nura. Meskipun mereka sudah bertemu setiap hari sebelum malam ini, tapi sikap mereka seperti kakak beradik yang sudah puluhan tahun tidak bertemu. Nura menghapus air matanya yang sempat menetes di kedua sudut matanya. Dhanny hanya menyentuh bahu Nura untuk menenangkannya. Saat Adriana berbalik, Agi baru tahu ternyata gadis itu juga menangis.
    “Seharusnya kau bahagia,” kata Agi pelan. Pemuda itu sedikit membungkuk untuk melihat wajah Adriana yang tertunduk. Adriana mendongak sambil mengibas-ngibaskan tangannya di dekat mata, seolah-olah gerakannya itu bisa menghilangkan air matanya secara ajaib.
    “Aku bahagia,” katanya masih sambil mengibas-ngibaskan tangan.
    Agi baru akan menyentuh bahu Adriana saat tiba-tiba mata gadis itu melebar. Pandangannya tertuju pada sesuatu yang ada di belakang Agi. Pemuda itu menoleh untuk mencari tahu apa yang dilihat Adriana. Ada Lofa di sana, berdampingan dengan Angga. Sudah aku bilang mereka cocok, pikir Agi dalam hati. 

  5. Cafe Lofa : Adriana

    Wednesday, February 12, 2014


    “Aku dan Adriana resmi pacaran tadi malam,”
    Sikap Lofa berubah sejak Agi memberitahunya. Dia jadi lebih pendiam. Pandangan matanya sering menerawang entah ke mana. Untung saja ada Dhanny yang membuatnya sedikit lupa dengan pernyataan Agi barusan. Tapi dia kembali jadi pendiam setelah Dhanny pergi. Hanya membicarakan beberapa hal kemudian memilih tenggelam dalam piring-piringnya yang harus dilap. Tipikal Lofa. Selalu membersihkan berbagai macam hal setiap kali ada yang mengganggu pikirannya. Dia bilang bersih-bersih bisa mengalihkan pikirannya dan menenangkan jiwanya.
    “Aku rasa malam ini aku tidak bisa membantumu,” kata Agi sebelum pamit pulang.
    Agi bisa melihat bahu Lofa yang menegang. Butuh waktu beberapa detik sebelum gadis itu berbalik dan memamerkan senyumnya. Senyum diplomatis. Sesuatu yang selalu dilakukan Lofa ketika dipaksa menerima sesuatu yang dibencinya.
    “Kau ada acara?” tanya Lofa pelan.
    Agi mengangguk. Sekalian saja dia menjawab, “Makan malam dengan Adriana.”
    Senyum itu hilang. Tanda-tandanya begitu jelas. Sejak dulu Lofa tidak pernah bisa menyembunyikan perasaannya. Semua orang bisa tahu apa yang Lofa rasakan hanya dengan melihat sorot matanya. Tatapan mata Lofa seperti papan reklame yang memberitahu setiap detail perasaannya.
    Agi masuk ke dapur, merangkul Lofa seperti yang selalu dilakukannya saat Lofa sedih.
    “Kau tidak perlu cemburu begitu,” kata Agi ringan.
    Lofa langsung melepaskan tangan Agi dari bahunya kemudian menatap pemuda itu sambil memamerkan bibirnya yang manyun.
    “Aku tidak cemburu!” kata Lofa mantap. Tapi Agi bisa menangkap roman kelabu di matanya.
    “Kalau begitu aku pergi dulu.” kata Agi
    Agi mengacak-acak rambut Lofa sebelum keluar, yang dihadiahi geraman kesal gadis itu. Agi bisa melihat bayangan samar Lofa pada kaca pintu saat berjalan keluar. Sikapnya berubah lagi.
    ***
    Agi mengamati pantulan dirinya di cermin. Dia menata rambut ikalnya yang basah agar terlihat lebih rapi. Pemuda itu meraih kemeja hitam yang tergeletak di atas kasur dan mengenakannya, melipat lengannya sampai siku. Dia sudah siap.
    Tepat saat Agi akan berjalan keluar kamar, ponselnya berdenting, menandakan ada pesan masuk.
    Kau di cafe malam ini? Itu Angga.
    Tidak. Agi membalas singkat kemudian mematikan ponselnya.
    Agi memacu mobilnya ke rumah sepupu Adriana. Akhir-akhir ini Adriana sering sekali menghabiskan waktunya di sana. Mungkin karena ikut mempersiapkan acara pertunangan seupunya yang tinggal dua hari lagi.
    Adriana sudah menunggunya di teras. Dia terlihat sangat cantik meskipun Agi tahu gadis itu belum mengerahkan usahanya yang maksimal untuk berdandan malam ini. Adriana memakai dress selutut bermotif bunga yang terlihat sangat cocok dengannya, dilapisi dengan blazer putih.
    Agi keluar dari mobil saat Adriana menghampirinya. Dengan sangat cekatan Agi berjalan memutar dan membukakan pintu untuk Adriana. Jantung Agi berdetak lebih cepat setiap kali melihat Adriana tersenyum malu-malu saat Agi di dekatnya.
    “Kita mau ke mana?” tanya Adriana saat Agi sudah siap di balik setir.
    “Rahasia,” kata Agi sambil tersenyum.
    Adriana pura-pura cemberut.
    “Kita akan ke tempat yang tidak hanya menyediakan makanan pedas,” kata Agi, mengingatkan Adriana pada makan malam mereka yang pertama. Adriana mengajak Agi makan di restauran Thailand karena mengira Agi sangat suka makanan pedas. Sejak kapan Agi suka pedas?
    Adriana hanya tertawa, “Makanan pedas bagus untuk metabolisme.”
    “Ya, jika bayarannya aku harus bolak-balik ke kamar mandi, aku lebih memilih metabolismeku kurang bagus.”
    Mereka tertawa. Diam-diam Agi memperhatikan Adriana saat gadis itu tertawa. Ada sesuatu yang membuat Agi sangat bersemangat setiap kali melihat Adriana tertawa. Dia ingin sekali menghentikan waktu agar bisa melihat tawa itu lebih lama.
    Adriana mengulurkan tangannya untuk mencari saluran radio yang bagus. Dia berhenti di saluran radio yang memutarkan lagu-lagu lama.
    Eighties?” tanya Agi tidak percaya.
    Adriana hanya mengangguk bersemangat sambil menyanyikan lagu yang sedang diputar di radio. Lagu all out of love yang dinyanyikan Air Supply. Agi kenal benar suara penyanyi favoritnya itu. Tidak ada yang tahu kalau Agi bahkan memiliki piringan hitamnya.
    “Kau tidak tahu lagu ini?” tanya Adriana di sela-sela nyanyiannya.
    Agi hanya tersenyum.
    Adriana sangat menghayati lagunya, dia meletakkan tangan kanannya di bahu Agi dan tangan yang lain di dada, seolah-olah dia yang berperan sebagai tokoh utama dalam lagu itu.
    “Kau harus berduet denganku,” kata Adriana lagi.
    Setelah berdebat beberapa lama akhirnya Agi menurut. Mereka berdua menyanyi sekencang-kencangnya saat refrain. Setelah lagunya selesai, mereka baru sadar betapa konyolnya sikap mereka barusan. Adriana tertawa lepas sampai hampir menangis.
    “Kau tidak lihat ekspresimu saat menyanyi tadi,” kata Adriana di sela-sela tawanya.
    “Kau juga,” Agi membela diri, mengingat Adriana yang jauh lebih ekspresif saat menyanyi tadi.
    Gadis itu hanya tertawa, seolah tidak peduli dengan keanehannya. Adriana langsung menghapus air mata di kedua sudut matanya saat Agi memarkir mobil.
    “Kita sampai?” tanya Adriana. Tangan kanannya meraih kaca spion depan untuk memastikan dandanannya tidak berantakan.
    “Kita sampai.” kata Agi saat mencabut kunci mobilnya. Agi berjalan memutar dan membukakan pintu untuk Adriana. Gadis itu keluar dengan cara yang sangat anggun.
    Agi membawa Adriana ke warung lesehan di depan hotel Inna Garuda. Bagaimana pun Agi selalu mengingat pesan mama, pilih wanita yang bisa tersenyum sama lebarnya ketika diajak makan di restauran mahal atau warung yang murah, katanya. Agi mengingat pesan itu dengan sangat jelas. Dan sekarang dia ingin menguji perempuan pilihannya.
    Adriana terlihat kaget, tapi kemudian tersenyum. “Kau cenayang atau apa?” katanya saat mereka mendekati salah satu warung lesehan yang biasa dikunjungi Agi bersama Lofa. “Kau tahu aku sedang ingin makan ayam goreng,” katanya sambil tertawa.
    Agi hanya menahan senyumnya saat Adriana buru-buru masuk ke salah satu warung dan duduk dengan nyaman. Setidaknya sejauh ini Adriana berhasil memenuhi permintaan mama yang satu itu.
    “Kau tidak masalah kan kita makan di sini?” tanya Agi basa-basi setelah memesan makanan.
    Adriana menggeleng, masih sambil tersenyum. “Tidak masalah selama perutku kenyang.”
    Adriana menegakkan tubuhnya saat tersentak kaget, seperti baru saja teringat pada sesuatu yang sangat penting.
    “Kau jadi menemaniku ke acara pertunangan Nura kan?” tanya Adriana, sebelah alisnya terangkat.
    “Tentu saja,”
    Mendengar jawaban Agi, Adriana kembali tersenyum. “Terima kasih,” katanya pelan.
    ***
    Agi mengantar Adriana kembali ke rumah Nura. Ada Dhanny dan Nura di luar, sepertinya Dhanny baru akan pulang. Agi memarkir mobilnya tepat di belakang mobil Dhanny. Nura dan Dhanny langsung menoleh saat Agi turun dari mobil, berjalan memutar dan membukakan pintu untuk Adriana.
    “Kita harus double date kapan-kapan,” kata Nura ringan sambil tertawa.
    Agi hanya tersenyum saat mendapati Adriana melotot untuk memperingatkan sepupunya.
    “Kau langsung pulang?” tanya Adriana pelan.
    Agi melirik jam tangannya, masih belum terlalu malam, mungkin Lofa masih di cafe.
    “Aku akan ke cafe sebentar.”
    Adriana hanya mengangguk, raut cerianya sedikit pudar. Setelah diam beberapa detik, Adriana berhasil berkompromi dengan apa pun-yang-dia-pikirkan dan kembali tersenyum.
    “Sampaikan salamku untuk Lofa,” kata Adriana.
    Agi hanya mengangguk, “Aku pergi dulu.”
    Setelah berpamitan pada Nura dan Dhanny yang sepertinya tidak ingin berpisah barang sedetik, Agi meluncur pergi. Dia memacu mobilnya pelan melewati jalanan Jogja di malam hari yang lengang.
    Agi memelankan laju mobilnya di depan cafe, menyipitkan mata untuk melihat ke dalam cafe melalui pintu kaca. Sepertinya Lofa tidak membutuhkan bantuannya. Alih-alih memarkir mobilnya, Agi malah meluncur pergi. Memberikan waktu bagi Angga untuk menemani Lofa.