Rss Feed
  1. Cafe Lofa : Undangan Pertunangan

    Tuesday, February 11, 2014


    Lofa sudah menyimpan sisa bebek gorengnya di dalam lemari pendingin. Setelah membasuh wajahnya dengan air―Lofa berusaha menghapus jejak-jejak air matanya sebelum Agi melihatnya―gadis itu baru keluar menemani Agi di balik meja bar.
    “Sepertinya Laufan harus belajar main PES sendirian.”
    Itu hanya kalimat pancingan. Lofa memanfaatkan adiknya yang selalu bermain PES dengan Agi setiap malam Minggu sebagai umpan. Mungkin Agi akan tertarik. Mungkin Agi lebih tertarik bermain PES dengan Laufan dibanding melewatkan malam Minggunya dengan Adriana.
    Agi memasukkan ponselnya ke saku celana pendeknya. Tubuh Lofa mendadak kaku saat Agi merangkulnya. Setelah menghela nafas beberapa kali, Lofa baru bisa sedikit melenturkan otot-otot di tubuhnya.
    “Aku baru saja punya pacar Lofa, bukan pindah rumah ke negeri antah berantah. Aku masih akan sering datang ke rumahmu. Laufan tidak akan kehilangan partner bermain PES-nya. Kau tenang saja.”
    Syukurlah.
    Agi buru-buru melepaskan rangkulannya kemudian mengambil sesuatu dari saku celananya. Ponsel. Sepertinya ada yang menelepon karena Agi langsung menjauh dari Lofa. Menempelkan ponsel ke telinga kirinya dan mulai berbisik-bisik. Sebenarnya Lofa ingin sekali menguping pembicaraan Agi, tapi dia mengurungkan niatnya. Jika itu Adriana, pembicaraan mereka hanya akan membuat Lofa semakin patah hati.
    “Kau sudah menerima bunganya.”
    Kepala Lofa hampir saja terbentur meja bar saat tangan yang menyangganya merosot karena kaget. Sosok pemuda di hadapannya membuat Lofa lebih kaget lagi.
    “Dhanny? Kau yang mengirim bunga itu?” Lofa baru sadar bunga mana yang sedang dibicarakan pemuda ini.
    Sudah cukup lama Lofa tidak melihat pelanggan cafenya yang satu ini. Penampilannya masih sama. Sangat rapi.
    “Aku lupa berterima kasih padamu,” katanya saat duduk di salah satu kursi tinggi.
    Lofa melirik Agi sekilas. Dia masih sibuk berbisik-bisik pada seseorang dengan ponselnya. Agi bahkan tidak menyadari kehadiran Dhanny.
    “Terima kasih?” tanya Lofa saat kembali memusatkan perhatiannya pada Dhanny.
    “Untuk saran-saranmu waktu itu.” Dhanny menyodorkan sesuatu pada Lofa. Undangan. Warnanya sangat menarik, perpaduan merah marun dan emas. “Aku harap kau bisa datang ke acara pertunanganku.”
    Mata Lofa melebar saat menatap undangan itu. Lofa baru tahu sarannya bisa sangat berpengaruh pada seseorang. Mungkin dia bisa membuat acara televisi sendiri seperti Mario Teguh. Lofa membayangkan saran-sarannya dipublikasikan di media-media sosial oleh orang banyak.
    “Terima kasih kau sudah mengundangku,” kata Lofa sambil mengibaskan undangan itu. “Terima kasih juga kau mengirimiku bunga.”
    Dhanny tertawa, “Yah aku rasa bunga bisa mengubah mood seseorang dengan cepat.” Sepertinya Dhanny memiliki pengalaman khusus tentang hal itu.
    Tepat saat Dhanny turun dari kursi tingginya, Agi selesai menelepon. Mereka bersitatap untuk beberapa saat.
    “Kau datang kan, Gi?”
    Lofa melongo selama beberapa detik saat mendengar pertanyaan Dhanny. Mereka saling kenal?
    “Kalian saling kenal?” Lofa menyuarakan kebingungannya.
    “Dia tunangan sepupu Adriana. Harusnya aku yang bertanya.”
    Ah, Lofa lupa itu. Gadis itu menunduk untuk melihat nama pasangan yang tertera pada undangan. Lofa lupa calon tunangan Dhanny adalah sepupu Adriana. Bukankah mereka sudah berkenalan? Bagaimana bisa Lofa melupakan itu? Jadi Adriana dan Agi pasti akan ada di sana, sebagai sepasang kekasih. Lofa mendadak kehilangan seleranya untuk datang ke acara itu.
    “.....untukku.” Ternyata dari tadi Dhanny dan Agi membicarakan sesuatu. Lofa tidak mendengarnya.
    Lofa tersentak saat Agi menepuk bahunya, “Yah, dia memang motivator yang sangat hebat.” kata Agi.
    Lofa berasumsi Dhanny baru saja menceritakan bagaimana mereka bisa saling kenal.
    Dhanny melirik jam tangannya, “Kalau begitu aku permisi dulu. Jam istirahatku sudah hampir habis.” Pemuda itu berjalan tergopoh-gopoh ke pintu keluar. Dia berhenti sebelum keluar. “Pastikan kalian datang.”
    Hanya Agi yang mengangguk untuk menyanggupi permintaan itu.
    “Kalian sudah kenal lama?” tanya Lofa tanpa berpaling dari Dhanny yang sekarang sedang memundurkan mobilnya dan meluncur pergi. Lofa baru menoleh pada Agi.
    “Baru dua hari yang lalu. Adriana mengenalkanku pada sepupunya dan calon tunangannya saat kami makan siang.”
    Dua hari lalu, Agi makan siang dengan Adriana dan dikenalkan pada sepupunya. Lofa cukup yakin Adriana akan segera mengenalkan Agi pada orang tuanya. Atau...Agi sudah dekat dengan mereka juga? Pikiran itu membuat Lofa benar-benar kalut. Meskipun orang tua Lofa jelas-jelas sudah mengenal Agi dengan sangat baik, tapi mengenalkan seseorang dengan status sahabat dan kekasih jelas memiliki arti yang berbeda.
    ***
    Malam ini Agi tidak datang. Harusnya Lofa tahu Agi tidak akan bisa menemaninya malam ini saat dia datang ke cafe tadi siang. Tebak siapa yang datang malam ini. Ya, Angga datang seolah-olah sudah tugasnya membantu Lofa setiap malam. Sebenarnya Lofa sudah sedikit curiga sejak kedatangan Angga pertama kali. Kenapa orang asing itu merasa perlu membantu Lofa? Kenyataan bahwa Angga mengenal Agi sedikit mengganggu pikirannya. Dan sikap Agi yang dengan begitu mudah menitipkan Lofa pada Angga? Tapi apa pun kebetulan yang sedang terjadi, Lofa senang bisa mengenal Angga. Lofa senang ada yang menemaninya saat Agi tidak ada. Setidaknya ada yang mengajaknya ngobrol dan waktu Lofa untuk memikirkan hatinya yang hancur hanya tersisa sedikit.
    “Kau sudah bicara pada ayahmu?” tanya Lofa saat Angga kembali dari mengantarkan pesanan.
    Angga hanya mengangguk lesu.
    “Bagaimana?”
    Angga hanya tersenyum miring. Biasanya Lofa mengenali gelagat ini sebagai pertanda bahwa lawan bicaranya tidak ingin melanjutkan pembicaraan. Tapi kali ini Lofa sedang ingin egois. Lofa ingin Angga bicara, karena jika mereka diam bayangan Agi sedang bersama Adriana akan menari-nari di pikirannya. Lofa tidak peduli jika Angga enggan membicarakannya, Lofa hanya ingin diajak bicara.
    “Ayahmu setuju?” Lofa masih memaksa Angga untuk menjawab.
    Angga menggulung lengan kemejanya sampai siku sebelum menumpukan kedua lengannya pada meja bar. Angga baru pulang kerja, Lofa baru menyadarinya saat melihat penampilan Angga yang lumayan rapi.
    “Ayah menolaknya,” Angga bicara pelan, lebih terdengar seperti sedang bicara dengan dirinya sendiri.
    Lofa sudah membuka mulut untuk bicara saat Angga melanjutkan, “Aku baru berpikir, mungkin ayah benar. Menjadi seorang desainer grafis bukan hanya soal bisa melukis atau tidak. Desainer grafis harus bisa mengoperasikan berbagai macam aplikasi untuk membuat grafis yang menarik. Dan aku tidak menguasai itu. Aku tidak tahu apa-apa tentang itu.”
    “Jadi...”
    Angga mengangguk, “Aku akan tetap bekerja sebagai kontraktor. Aku akan memastikan setelah tiga bulan mendatang aku masih bekerja di perusahaan itu.” Dia diam sebentar, “Aku tetap bisa melukis.”
    Pemuda itu langsung berjalan ke balik meja bar untuk meraih tas ranselnya. Tangannya merogoh ke dalam, Angga mengeluarkan sebuah lukisan berbingkai dari dalam ranselnya. Itu sketsa Lofa. Angga merubahnya menjadi sebuah lukisan jadi, lengkap dengan perpaduan warna yang terlihat nyata.
    Lofa hanya melongo saat melihat Angga menyodorkan lukisan itu padanya.
    “Ini indah sekali. Terima kasih.” Lofa langsung meraih lukisan itu dan memperhatikannya lekat-lekat. Detailnya sempurna. Efek gelap terang yang waktu itu Angga jelaskan padanya benar-benar menonjolkan sosok Lofa pada lukisan itu.
    “Kau baik sekali.” Lofa masih belum bisa mengalihkan pandangannya dari lukisan itu. Gadis itu heran bagaimana dulu dia sempat mencurigai Angga sebagai seorang psikopat. Orang jahat mana yang bisa melukis sebagus ini?
    “Kau mau menemaniku?” tanya Lofa tiba-tiba saat teringat sesuatu.
    “Ke mana?” Angga sedang menutup kembali tas ranselnya dan menyusupkannya ke bawah meja bar, ke tempat yang tersembunyi.
    “Acara pertunangan temanku. Kau mau menemaniku?” Lofa mengulangi pertanyannya.
    Angga mengangguk sambil tersenyum, “Tentu saja.”

  2. 0 komentar:

    Post a Comment