Lofa sudah menyimpan sisa bebek gorengnya di dalam lemari
pendingin. Setelah membasuh wajahnya dengan air―Lofa berusaha menghapus
jejak-jejak air matanya sebelum Agi melihatnya―gadis itu baru keluar menemani Agi
di balik meja bar.
“Sepertinya Laufan harus belajar main PES sendirian.”
Itu hanya kalimat pancingan. Lofa memanfaatkan adiknya yang
selalu bermain PES dengan Agi setiap malam Minggu sebagai umpan. Mungkin Agi
akan tertarik. Mungkin Agi lebih tertarik bermain PES dengan Laufan dibanding
melewatkan malam Minggunya dengan Adriana.
Agi memasukkan ponselnya ke saku celana pendeknya. Tubuh Lofa
mendadak kaku saat Agi merangkulnya. Setelah menghela nafas beberapa kali, Lofa
baru bisa sedikit melenturkan otot-otot di tubuhnya.
“Aku baru saja punya pacar Lofa, bukan pindah rumah ke negeri
antah berantah. Aku masih akan sering datang ke rumahmu. Laufan tidak akan
kehilangan partner bermain PES-nya.
Kau tenang saja.”
Syukurlah.
Agi buru-buru melepaskan rangkulannya kemudian mengambil sesuatu
dari saku celananya. Ponsel. Sepertinya ada yang menelepon karena Agi langsung
menjauh dari Lofa. Menempelkan ponsel ke telinga kirinya dan mulai
berbisik-bisik. Sebenarnya Lofa ingin sekali menguping pembicaraan Agi, tapi
dia mengurungkan niatnya. Jika itu Adriana, pembicaraan mereka hanya akan
membuat Lofa semakin patah hati.
“Kau sudah menerima bunganya.”
Kepala Lofa hampir saja terbentur meja bar saat tangan yang
menyangganya merosot karena kaget. Sosok pemuda di hadapannya membuat Lofa
lebih kaget lagi.
“Dhanny? Kau yang mengirim bunga itu?” Lofa baru sadar bunga
mana yang sedang dibicarakan pemuda ini.
Sudah cukup lama Lofa tidak melihat pelanggan cafenya yang satu
ini. Penampilannya masih sama. Sangat rapi.
“Aku lupa berterima kasih padamu,” katanya saat duduk di salah
satu kursi tinggi.
Lofa melirik Agi sekilas. Dia masih sibuk berbisik-bisik pada
seseorang dengan ponselnya. Agi bahkan tidak menyadari kehadiran Dhanny.
“Terima kasih?” tanya Lofa saat kembali memusatkan perhatiannya
pada Dhanny.
“Untuk saran-saranmu waktu itu.” Dhanny menyodorkan sesuatu pada
Lofa. Undangan. Warnanya sangat menarik, perpaduan merah marun dan emas. “Aku
harap kau bisa datang ke acara pertunanganku.”
Mata Lofa melebar saat menatap undangan itu. Lofa baru tahu
sarannya bisa sangat berpengaruh pada seseorang. Mungkin dia bisa membuat acara
televisi sendiri seperti Mario Teguh. Lofa membayangkan saran-sarannya dipublikasikan
di media-media sosial oleh orang banyak.
“Terima kasih kau sudah mengundangku,” kata Lofa sambil mengibaskan
undangan itu. “Terima kasih juga kau mengirimiku bunga.”
Dhanny tertawa, “Yah aku rasa bunga bisa mengubah mood seseorang dengan cepat.” Sepertinya
Dhanny memiliki pengalaman khusus tentang hal itu.
Tepat saat Dhanny turun dari kursi tingginya, Agi selesai
menelepon. Mereka bersitatap untuk beberapa saat.
“Kau datang kan, Gi?”
Lofa melongo selama beberapa detik saat mendengar pertanyaan Dhanny.
Mereka saling kenal?
“Kalian saling kenal?” Lofa menyuarakan kebingungannya.
“Dia tunangan sepupu Adriana. Harusnya aku yang bertanya.”
Ah, Lofa lupa itu. Gadis itu menunduk untuk melihat nama
pasangan yang tertera pada undangan. Lofa lupa calon tunangan Dhanny adalah
sepupu Adriana. Bukankah mereka sudah berkenalan? Bagaimana bisa Lofa melupakan
itu? Jadi Adriana dan Agi pasti akan ada di sana, sebagai sepasang kekasih.
Lofa mendadak kehilangan seleranya untuk datang ke acara itu.
“.....untukku.” Ternyata dari tadi Dhanny dan Agi membicarakan
sesuatu. Lofa tidak mendengarnya.
Lofa tersentak saat Agi menepuk bahunya, “Yah, dia memang
motivator yang sangat hebat.” kata Agi.
Lofa berasumsi Dhanny baru saja menceritakan bagaimana mereka
bisa saling kenal.
Dhanny melirik jam tangannya, “Kalau begitu aku permisi dulu. Jam
istirahatku sudah hampir habis.” Pemuda itu berjalan tergopoh-gopoh ke pintu
keluar. Dia berhenti sebelum keluar. “Pastikan kalian datang.”
Hanya Agi yang mengangguk untuk menyanggupi permintaan itu.
“Kalian sudah kenal lama?” tanya Lofa tanpa berpaling dari
Dhanny yang sekarang sedang memundurkan mobilnya dan meluncur pergi. Lofa baru
menoleh pada Agi.
“Baru dua hari yang lalu. Adriana mengenalkanku pada sepupunya
dan calon tunangannya saat kami makan siang.”
Dua hari lalu, Agi makan siang dengan Adriana dan dikenalkan
pada sepupunya. Lofa cukup yakin Adriana akan segera mengenalkan Agi pada orang
tuanya. Atau...Agi sudah dekat dengan mereka juga? Pikiran itu membuat Lofa
benar-benar kalut. Meskipun orang tua Lofa jelas-jelas sudah mengenal Agi
dengan sangat baik, tapi mengenalkan seseorang dengan status sahabat dan kekasih jelas memiliki arti yang berbeda.
***
Malam ini Agi tidak datang. Harusnya Lofa tahu Agi tidak akan
bisa menemaninya malam ini saat dia datang ke cafe tadi siang. Tebak siapa yang
datang malam ini. Ya, Angga datang seolah-olah sudah tugasnya membantu Lofa
setiap malam. Sebenarnya Lofa sudah sedikit curiga sejak kedatangan Angga
pertama kali. Kenapa orang asing itu merasa perlu membantu Lofa? Kenyataan
bahwa Angga mengenal Agi sedikit mengganggu pikirannya. Dan sikap Agi yang dengan
begitu mudah menitipkan Lofa pada Angga? Tapi apa pun kebetulan yang sedang terjadi, Lofa senang bisa mengenal Angga.
Lofa senang ada yang menemaninya saat Agi tidak ada. Setidaknya ada yang
mengajaknya ngobrol dan waktu Lofa untuk memikirkan hatinya yang hancur hanya
tersisa sedikit.
“Kau sudah bicara pada ayahmu?” tanya Lofa saat Angga kembali
dari mengantarkan pesanan.
Angga hanya mengangguk lesu.
“Bagaimana?”
Angga hanya tersenyum miring. Biasanya Lofa mengenali gelagat
ini sebagai pertanda bahwa lawan bicaranya tidak ingin melanjutkan pembicaraan.
Tapi kali ini Lofa sedang ingin egois. Lofa ingin Angga bicara, karena jika
mereka diam bayangan Agi sedang bersama Adriana akan menari-nari di pikirannya.
Lofa tidak peduli jika Angga enggan membicarakannya, Lofa hanya ingin diajak
bicara.
“Ayahmu setuju?” Lofa masih memaksa Angga untuk menjawab.
Angga menggulung lengan kemejanya sampai siku sebelum menumpukan
kedua lengannya pada meja bar. Angga baru pulang kerja, Lofa baru menyadarinya
saat melihat penampilan Angga yang lumayan rapi.
“Ayah menolaknya,” Angga bicara pelan, lebih terdengar seperti
sedang bicara dengan dirinya sendiri.
Lofa sudah membuka mulut untuk bicara saat Angga melanjutkan, “Aku
baru berpikir, mungkin ayah benar. Menjadi seorang desainer grafis bukan hanya
soal bisa melukis atau tidak. Desainer grafis harus bisa mengoperasikan
berbagai macam aplikasi untuk membuat grafis yang menarik. Dan aku tidak
menguasai itu. Aku tidak tahu apa-apa tentang itu.”
“Jadi...”
Angga mengangguk, “Aku akan tetap bekerja sebagai kontraktor.
Aku akan memastikan setelah tiga bulan mendatang aku masih bekerja di
perusahaan itu.” Dia diam sebentar, “Aku tetap bisa melukis.”
Pemuda itu langsung berjalan ke balik meja bar untuk meraih tas
ranselnya. Tangannya merogoh ke dalam, Angga mengeluarkan sebuah lukisan
berbingkai dari dalam ranselnya. Itu sketsa Lofa. Angga merubahnya menjadi
sebuah lukisan jadi, lengkap dengan perpaduan warna yang terlihat nyata.
Lofa hanya melongo saat melihat Angga menyodorkan lukisan itu
padanya.
“Ini indah sekali. Terima kasih.” Lofa langsung meraih lukisan
itu dan memperhatikannya lekat-lekat. Detailnya sempurna. Efek gelap terang
yang waktu itu Angga jelaskan padanya benar-benar menonjolkan sosok Lofa pada
lukisan itu.
“Kau baik sekali.” Lofa masih belum bisa mengalihkan pandangannya
dari lukisan itu. Gadis itu heran bagaimana dulu dia sempat mencurigai Angga
sebagai seorang psikopat. Orang jahat mana yang bisa melukis sebagus ini?
“Kau mau menemaniku?” tanya Lofa tiba-tiba saat teringat
sesuatu.
“Ke mana?” Angga sedang menutup kembali tas ranselnya dan
menyusupkannya ke bawah meja bar, ke tempat yang tersembunyi.
“Acara pertunangan temanku. Kau mau menemaniku?” Lofa mengulangi
pertanyannya.
Angga mengangguk sambil tersenyum, “Tentu saja.”
0 komentar:
Post a Comment