BAGIAN 5
Adriana menghubungi Lofa siang itu. Menanyakan kapan biasanya
Agi datang ke cafe. Awalnya Lofa berniat untuk langsung menghapus pesan itu dan
pura-pura tidak tahu. Tapi sebagian sifat baiknya berontak. Dia sudah janji
untuk membantu Adriana mendekati Agi. Itu konsekuensinya.
Setiap
malam. Jawab Lofa dalam sebuah pesan singkat.
Di sinilah Adriana malam ini, dengan dandanannya yang entah
bagaimana selalu membuat gadis itu terlihat mencolok dibanding orang lain.
Kehadirannya bahkan membuat Agi tidak memperhatikan gambar sketsa yang sedang
ditunjuk Lofa. Menyebalkan. Rasanya ingin sekali Lofa memutar kembali waktu.
Menolak tawaran Agi untuk meminta bantuan Adriana waktu itu. Setidaknya, Adriana
tidak akan punya alasan untuk selalu datang ke cafe.
“Angga? Long time no see!” Sapa Adriana begitu
melihat Angga.
Angga juga mengenalnya? Lofa merasa dunia ini sempit sekali. Hampir
semua orang di sini mengenal Adriana. Apa Adriana memang seterkenal itu? Kenapa
dia tidak tahu keberadaan Adriana sama sekali sampai Agi mengenalkannya?
Agi mengajak Angga dan Adriana duduk di meja dekat rak buku.
Meninggalkan Lofa sendirian. Agi hanya meninggalkan catatan yang berisi pesanan
mereka bertiga. Lofa langsung membuatkan pesanan mereka. Pikiran jahat
menguasainya. Ingin sekali Lofa memasukkan garam sebanyak-banyaknya pada
pesanan Adriana. Gadis itu hanya mendesah. Melakukan akal busuk sekarang sama
saja menjatuhkan harga diri di hadapan Agi. Lofa mengurungkan niatnya.
Mereka sepertinya sedang membicarakan sesuatu tentang masa lalu.
Lofa sama sekali tidak mengerti pembicaraan mereka. Bahkan setelah berlama-lama
meletakkan pesanan, Lofa tetap tidak memahami satu pun cerita mereka.
“Kau tidak bergabung?” Tanya
Angga saat Lofa meletakkan pesanan terakhir, kopi.
Lofa lebih memilih jawaban, “Banyak pengunjung yang harus aku
urus.” Dibanding aku harus menjaga hatiku
agar tidak hancur.
Lofa mengedarkan pandangannya ke seisi cafe, berharap masih ada
pengunjung yang belum mendapatkan pesanannya. Setidaknya gadis itu tidak perlu
diam saja di balik meja bar, memandangi Agi dan Adriana dengan tatapan
menyedihkan. Semua pengunjungnya sudah mendapatkan yang mereka pesan. Gadis itu
memutuskan untuk mengelap gelas-gelas yang sudah dia lap tiga kali hari ini.
“Kenapa kau ke sini?
Tidak ikut reuni?” Tanya Lofa saat menyadari kehadiran Angga di dekatnya.
“Pertama, aku tidak terlalu dekat dengan mereka berdua.” Agak
aneh, bukankah tadi Adriana sangat senang saat melihat Angga? Bagaimana mungkin
mereka tidak terlalu dekat? Meskipun penasaran, Lofa diam saja.
“Kedua, aku tidak mau mengganggu kencan mereka.”
Lofa merasa ada yang aneh dalam dirinya saat mendengar alasan
yang kedua. Kencan? Agi dan Adriana kencan? Angga yang katanya tidak terlalu
mengenal mereka saja tahu kalau mereka sedang berkencan.
“Kau terlihat tidak
senang.”
Lofa berhenti mengelap sejenak, sejelas itu?.
“Aku tidak apa-apa.” Jawab lofa datar.
“Aku memutuskan untuk berhenti bekerja,” ternyata Angga orang
yang cukup peka dengan situasi. Dia mengubah topik pembicaraan yang membuat Lofa
sedikit tertarik.
Lofa berhenti mengelap gelas-gelasnya, kemudian mendongak.
“Kenapa?”
“Aku sedang mempertimbangkan untuk mewujudkan impianku menjadi
desainer grafis.”
Lofa hanya mengangguk.
“Tapi aku belum menemukan cara untuk memberitahu ayah tentang
keputusan ini.”
“Bicarakan saja.”
“Tidak semudah itu.”
Apa sulitnya membicarakan sesuatu dengan ayah? Lofa hanya perlu
mengumpulkan bukti-bukti yang meyakinkan dan kemampuan berargumen, ayah akan langsung
menyetujui permintaan Lofa. Semudah itu.
“Sebenarnya ayah juga
kurang setuju saat aku akan membuka cafe ini,” Lofa memutuskan untuk
menceritakan perjuangannya merajuk pada ayah agar mengijinkannya membuka cafe
sendiri. “Tapi setelah mengutarakan berbagai macam argumen, akhirnya ayah
setuju.”
“Kau tidak kenal ayahku,” kata Angga pelan seolah-olah ayahnya
adalah seseorang berhati batu yang tidak bisa diajak bicara.
“Kau juga tidak kenal ayahku.” Kata Lofa.
“Semuanya bisa dibicarakan. Kau hanya perlu yakin pada apa yang
kau inginkan.” Darimana Lofa menemukan kata-kata bijak itu?
“Aku akan mencoba bicara
pada ayah nanti,” kata Angga setelah diam cukup lama.
Lofa tidak menyadari kehadiran Agi dan Adriana selama
membicarakan keputusan Angga. Mereka sudah berdiri di dekat meja bar saat Lofa
selesai mengelap gelas terakhir. Agi meletakkan apronnya dan menyodorkan uang untuk
membayar pesanan mereka.
“Kami akan pergi ke warung steak. Kau ikut?” Tanya Adriana pada
Angga yang terlihat sama bingungnya dengan Lofa.
“Kau ikut?” Tanya Lofa pelan pada Agi. Gadis itu hampir tidak
bisa mengenali suaranya sendiri yang terdengar sangat menyedihkan.
Adriana terlihat kaget, “Oh, aku pinjam Agi sebentar Lofa. Dia
bilang akan menraktirku malam ini. Dia diterima kerja. Akhirnya!” Adriana
terlihat sangat bersyukur dengan kabar itu.
Yang membuat Lofa benar-benar kecewa bukan informasi tentang Agi
akan menraktir Adriana. Tapi kenyataan bahwa Agi diterima kerja dan sama sekali
tidak memberitahunya membuat Lofa sangat marah dan kecewa. Persahabatan yang
mereka jalin selama hampir lima tahun rusak hanya karena seorang Adriana.
Meskipun Lofa mengakui dirinya sudah mengkhianati persahabatan itu dengan
menyukai Agi, tapi sampai detik ini Lofa masih berusaha menutupi perasaannya.
Bahkan saat dia bisa merasakan hatinya sendiri hancur, Lofa tetap bertahan
untuk menyimpan perasaannya karena dia ingin status sahabat itu tetap ada. Tapi
Agi tidak mengerti. Pemuda itu terlalu menyukai Adriana untuk mengerti perasaan
Lofa.
“Aku tidak ikut,” suara itu berhasil menarik Lofa dari
penderitaan yang diciptakan imajinasinya. “Aku rasa Lofa butuh bantuan di
sini.”
Kenapa malah orang asing ini yang begitu peduli pada Lofa? Orang
asing bernama Angga yang sempat Lofa curigai sebagai seorang psikopat, ternyata
jauh lebih mampu memahami perasaan Lofa saat ini.
“Aku titipkan Lofa padamu,” kata Agi santai sambil menepuk lengan
Angga beberapa kali.
Dia
bahkan tega menitipkanku pada orang yang tidak terlalu dekat dengannya? pikir
Lofa kalut. Agi sangat menyukai Adriana, sudah pasti.
Agi membimbing Adriana keluar cafe. Adriana menoleh ke arah Lofa
saat berjalan ke luar. Maaf, aku pinjam Agi
sebentar, kata Adriana tanpa suara. Tapi ekspresi wajahnya sama sekali
tidak menunjukkan bahwa dia menyesal telah mengambil
Agi.
Lofa hanya mengangguk pelan, dengan senyum hambar yang
dipaksakan.
“Kau harus membuat kontrak yang jelas,” kata Angga. Membuat Lofa
langsung menoleh ke arahnya. Buru-buru memperbaiki ekspresi wajahnya agar tidak
terlihat kacau.
“Kontrak apa?”
“Agi. Dia bekerja di sini kan?” Tanya Angga sinis, sepertinya
dia juga tidak setuju dengan kepergian Agi yang tiba-tiba.
Lofa buru-buru menggeleng, “Dia tidak bekerja di sini. Dia hanya
membantuku. Kami...” butuh waktu lama bagi Lofa untuk mengeluarkan kata itu,
“sahabat.” Kata Lofa akhirnya.
Angga mengangkat bahunya sekilas, “Memang agak susah mencegahnya
pergi tiba-tiba seperti itu jika tidak ada kontrak resmi.”
Lofa hanya diam. Status sahabat
memang tidak bisa mencegah Agi dari menyukai Adriana.
“Baiklah. Kalau begitu ijinkan aku menebus kesalahan temanku
yang tidak tahu diri itu, Yang Mulia.” Kata Angga sambil menggerakkan tangannya
seperti seorang pelayan raja.
Lofa hanya tersenyum melihat tingkah Angga.
“Senang sekali bisa melihat Yang Mulia tersenyum.”
Lofa hanya menghadiahi Angga tatapan sinis, tapi bibirnya tetap
membentuk sebuah senyuman.
“Jadi apa yang bisa aku lakukan sekarang?” Kata pemuda itu
sambil menarik apron yang tadi diletakkan Agi di atas meja bar.
“Kau hanya perlu mencatat dan mengantarkan pesanan.” Akhirnya Lofa
mengalah. Dia butuh bantuan. Tidak, dia sedang membutuhkan seorang teman
sekarang.
0 komentar:
Post a Comment