Rss Feed
  1. Cafe Lofa : Agi Menyukainya, Sudah Pasti

    Sunday, February 9, 2014


    BAGIAN 5

    Adriana menghubungi Lofa siang itu. Menanyakan kapan biasanya Agi datang ke cafe. Awalnya Lofa berniat untuk langsung menghapus pesan itu dan pura-pura tidak tahu. Tapi sebagian sifat baiknya berontak. Dia sudah janji untuk membantu Adriana mendekati Agi. Itu konsekuensinya.
    Setiap malam. Jawab Lofa dalam sebuah pesan singkat.
    Di sinilah Adriana malam ini, dengan dandanannya yang entah bagaimana selalu membuat gadis itu terlihat mencolok dibanding orang lain. Kehadirannya bahkan membuat Agi tidak memperhatikan gambar sketsa yang sedang ditunjuk Lofa. Menyebalkan. Rasanya ingin sekali Lofa memutar kembali waktu. Menolak tawaran Agi untuk meminta bantuan Adriana waktu itu. Setidaknya, Adriana tidak akan punya alasan untuk selalu datang ke cafe.
     “Angga? Long time no see!” Sapa Adriana begitu melihat Angga.
    Angga juga mengenalnya? Lofa merasa dunia ini sempit sekali. Hampir semua orang di sini mengenal Adriana. Apa Adriana memang seterkenal itu? Kenapa dia tidak tahu keberadaan Adriana sama sekali sampai Agi mengenalkannya?
    Agi mengajak Angga dan Adriana duduk di meja dekat rak buku. Meninggalkan Lofa sendirian. Agi hanya meninggalkan catatan yang berisi pesanan mereka bertiga. Lofa langsung membuatkan pesanan mereka. Pikiran jahat menguasainya. Ingin sekali Lofa memasukkan garam sebanyak-banyaknya pada pesanan Adriana. Gadis itu hanya mendesah. Melakukan akal busuk sekarang sama saja menjatuhkan harga diri di hadapan Agi. Lofa mengurungkan niatnya.
    Mereka sepertinya sedang membicarakan sesuatu tentang masa lalu. Lofa sama sekali tidak mengerti pembicaraan mereka. Bahkan setelah berlama-lama meletakkan pesanan, Lofa tetap tidak memahami satu pun cerita mereka.
     “Kau tidak bergabung?” Tanya Angga saat Lofa meletakkan pesanan terakhir, kopi.
    Lofa lebih memilih jawaban, “Banyak pengunjung yang harus aku urus.” Dibanding aku harus menjaga hatiku agar tidak hancur.
    Lofa mengedarkan pandangannya ke seisi cafe, berharap masih ada pengunjung yang belum mendapatkan pesanannya. Setidaknya gadis itu tidak perlu diam saja di balik meja bar, memandangi Agi dan Adriana dengan tatapan menyedihkan. Semua pengunjungnya sudah mendapatkan yang mereka pesan. Gadis itu memutuskan untuk mengelap gelas-gelas yang sudah dia lap tiga kali hari ini.
     “Kenapa kau ke sini? Tidak ikut reuni?” Tanya Lofa saat menyadari kehadiran Angga di dekatnya.
    “Pertama, aku tidak terlalu dekat dengan mereka berdua.” Agak aneh, bukankah tadi Adriana sangat senang saat melihat Angga? Bagaimana mungkin mereka tidak terlalu dekat? Meskipun penasaran, Lofa diam saja.
    “Kedua, aku tidak mau mengganggu kencan mereka.”
    Lofa merasa ada yang aneh dalam dirinya saat mendengar alasan yang kedua. Kencan? Agi dan Adriana kencan? Angga yang katanya tidak terlalu mengenal mereka saja tahu kalau mereka sedang berkencan.
     “Kau terlihat tidak senang.”
    Lofa berhenti mengelap sejenak, sejelas itu?.
    “Aku tidak apa-apa.” Jawab lofa datar.
    “Aku memutuskan untuk berhenti bekerja,” ternyata Angga orang yang cukup peka dengan situasi. Dia mengubah topik pembicaraan yang membuat Lofa sedikit tertarik.
    Lofa berhenti mengelap gelas-gelasnya, kemudian mendongak. “Kenapa?”
    “Aku sedang mempertimbangkan untuk mewujudkan impianku menjadi desainer grafis.”
    Lofa hanya mengangguk.
    “Tapi aku belum menemukan cara untuk memberitahu ayah tentang keputusan ini.”
    “Bicarakan saja.”
    “Tidak semudah itu.”
    Apa sulitnya membicarakan sesuatu dengan ayah? Lofa hanya perlu mengumpulkan bukti-bukti yang meyakinkan dan kemampuan berargumen, ayah akan langsung menyetujui permintaan Lofa. Semudah itu.          
     “Sebenarnya ayah juga kurang setuju saat aku akan membuka cafe ini,” Lofa memutuskan untuk menceritakan perjuangannya merajuk pada ayah agar mengijinkannya membuka cafe sendiri. “Tapi setelah mengutarakan berbagai macam argumen, akhirnya ayah setuju.”
    “Kau tidak kenal ayahku,” kata Angga pelan seolah-olah ayahnya adalah seseorang berhati batu yang tidak bisa diajak bicara.
    “Kau juga tidak kenal ayahku.” Kata Lofa.
    “Semuanya bisa dibicarakan. Kau hanya perlu yakin pada apa yang kau inginkan.” Darimana Lofa menemukan kata-kata bijak itu?
     “Aku akan mencoba bicara pada ayah nanti,” kata Angga setelah diam cukup lama.
    Lofa tidak menyadari kehadiran Agi dan Adriana selama membicarakan keputusan Angga. Mereka sudah berdiri di dekat meja bar saat Lofa selesai mengelap gelas terakhir. Agi meletakkan apronnya dan menyodorkan uang untuk membayar pesanan mereka.
    “Kami akan pergi ke warung steak. Kau ikut?” Tanya Adriana pada Angga yang terlihat sama bingungnya dengan Lofa.
    “Kau ikut?” Tanya Lofa pelan pada Agi. Gadis itu hampir tidak bisa mengenali suaranya sendiri yang terdengar sangat menyedihkan.
    Adriana terlihat kaget, “Oh, aku pinjam Agi sebentar Lofa. Dia bilang akan menraktirku malam ini. Dia diterima kerja. Akhirnya!” Adriana terlihat sangat bersyukur dengan kabar itu.
    Yang membuat Lofa benar-benar kecewa bukan informasi tentang Agi akan menraktir Adriana. Tapi kenyataan bahwa Agi diterima kerja dan sama sekali tidak memberitahunya membuat Lofa sangat marah dan kecewa. Persahabatan yang mereka jalin selama hampir lima tahun rusak hanya karena seorang Adriana. Meskipun Lofa mengakui dirinya sudah mengkhianati persahabatan itu dengan menyukai Agi, tapi sampai detik ini Lofa masih berusaha menutupi perasaannya. Bahkan saat dia bisa merasakan hatinya sendiri hancur, Lofa tetap bertahan untuk menyimpan perasaannya karena dia ingin status sahabat itu tetap ada. Tapi Agi tidak mengerti. Pemuda itu terlalu menyukai Adriana untuk mengerti perasaan Lofa.
    “Aku tidak ikut,” suara itu berhasil menarik Lofa dari penderitaan yang diciptakan imajinasinya. “Aku rasa Lofa butuh bantuan di sini.”
    Kenapa malah orang asing ini yang begitu peduli pada Lofa? Orang asing bernama Angga yang sempat Lofa curigai sebagai seorang psikopat, ternyata jauh lebih mampu memahami perasaan Lofa saat ini.
    “Aku titipkan Lofa padamu,” kata Agi santai sambil menepuk lengan Angga beberapa kali.
    Dia bahkan tega menitipkanku pada orang yang tidak terlalu dekat dengannya? pikir Lofa kalut. Agi sangat menyukai Adriana, sudah pasti.
    Agi membimbing Adriana keluar cafe. Adriana menoleh ke arah Lofa saat berjalan ke luar. Maaf, aku pinjam Agi sebentar, kata Adriana tanpa suara. Tapi ekspresi wajahnya sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia menyesal telah mengambil Agi.
    Lofa hanya mengangguk pelan, dengan senyum hambar yang dipaksakan.
    “Kau harus membuat kontrak yang jelas,” kata Angga. Membuat Lofa langsung menoleh ke arahnya. Buru-buru memperbaiki ekspresi wajahnya agar tidak terlihat kacau.
    “Kontrak apa?”
    “Agi. Dia bekerja di sini kan?” Tanya Angga sinis, sepertinya dia juga tidak setuju dengan kepergian Agi yang tiba-tiba.
    Lofa buru-buru menggeleng, “Dia tidak bekerja di sini. Dia hanya membantuku. Kami...” butuh waktu lama bagi Lofa untuk mengeluarkan kata itu, “sahabat.” Kata Lofa akhirnya.
    Angga mengangkat bahunya sekilas, “Memang agak susah mencegahnya pergi tiba-tiba seperti itu jika tidak ada kontrak resmi.”
    Lofa hanya diam. Status sahabat memang tidak bisa mencegah Agi dari menyukai Adriana.
    “Baiklah. Kalau begitu ijinkan aku menebus kesalahan temanku yang tidak tahu diri itu, Yang Mulia.” Kata Angga sambil menggerakkan tangannya seperti seorang pelayan raja.
    Lofa hanya tersenyum melihat tingkah Angga.
    “Senang sekali bisa melihat Yang Mulia tersenyum.”
    Lofa hanya menghadiahi Angga tatapan sinis, tapi bibirnya tetap membentuk sebuah senyuman.
    “Jadi apa yang bisa aku lakukan sekarang?” Kata pemuda itu sambil menarik apron yang tadi diletakkan Agi di atas meja bar.
    “Kau hanya perlu mencatat dan mengantarkan pesanan.” Akhirnya Lofa mengalah. Dia butuh bantuan. Tidak, dia sedang membutuhkan seorang teman sekarang.

  2. 0 komentar:

    Post a Comment