Mata Lofa masih bengkak pagi harinya meskipun sudah dikompres
dengan es batu semalaman. Lofa mengacak-acak laci meja riasnya, mencari kaca
mata imitasi. Saat SMA dulu Lofa ingin sekali memakai kacamata agar terlihat
seperti anak jenius, jadilah dia membeli kacamata imitasi itu. Sekarang dia
membutuhkannya untuk menutupi matanya yang bengkak sebesar telor puyuh. Dia
tidak bisa ke cafe dengan keadaan seperti itu. Bagaimana jika pengunjung
cafenya berpikir macam-macam?
“Kak Lofa bintitan?” tanya Laufan saat melihat Lofa memakai
kacamata.
Tanpa menjawab Lofa langsung mencubit lengan Laufan. Bocah itu
hanya mengernyit kemudian diam saat melihat Lofa melotot. Laufan langsung menggumamkan
sumpah serapah begitu Lofa melepaskan cubitannya.
“Anak baik,” kata Lofa sambil mengusap puncak kepala Laufan.
“Aku langsung ke cafe ya,” pamit Lofa pada ibu yang sedang sibuk
menumis bawang.
“Kau tidak sarapan dulu?” tanya ibu sambil mengusapkan tangannya
pada apron untuk menyalami Lofa.
Gadis itu hanya menggeleng, “Aku sarapan di cafe.”
Lofa mengacak-acak rambut adiknya sebelum berjalan keluar, yang
dibalas dengan geraman pelan. Lofa hanya tersenyum mendengar adiknya menggeram.
Rutinitas kecil yang bisa sedikit menghiburnya. Saat Lofa melangkah keluar,
rasa sakit itu kembali menyerangnya.
***
Lofa masuk ke cafe dengan langkah berat. Cafe yang dulu sangat
dia impikan sekarang menjadi sarang kesedihannya. Tempat semuanya berawal.
Tempat pertama kali Lofa memandang Agi dengan sudut pandang yang berbeda.
Tempat di mana Lofa mulai membangun tiap inchi harapannya sampai setinggi
langit, yang akhirnya runtuh.
Lofa duduk di salah satu sofa di ruang baca, membiarkan tanda
CLOSE tetap terpasang pada pintu. Gadis itu masih butuh waktu untuk menenangkan
diri. Dia butuh waktu untuk menjahit luka-luka di hatinya. Sebentar lagi, dan
semuanya akan baik-baik saja. Memangnya sesulit apa sih melupakan Agi yang
selalu ada untuknya? Rasanya tidak akan sulit untuk melupakan Agi yang selalu
perhatian padanya. Tidak akan sulit menghilangkan nama Agi dari daftar lima
orang pertama yang bisa dihubungi jika Lofa mendapat masalah. Tidak akan sulit
menggantikan kehadiran Agi dengan kekosongan yang mengelilinginya. Lofa menangis
lagi. Memeluk tubuhnya sendiri seolah-olah dia bisa hancur kapan saja jika
melepaskan tangannya. Akan sangat sulit menghilangkan Agi dari hatinya.
Setelah merasa cukup meratapi nasibnya yang menyedihkan, Lofa
langsung bangkit dan pergi ke dapur untuk membasuh wajah. Dia bisa kehilangan
banyak pelanggan jika terlalu lama mengasihani diri sendiri. Setidaknya melihat
pelanggannya yang tersenyum bahagia bisa memberikan sedikit cahaya dalam
kegelapan pikirannya. Lofa menghela nafas panjang sebelum mengganti tulisan
CLOSE dengan tanda OPEN. Dia sudah siap.
Jam sepuluh tepat. Biasanya pengunjung cafe pada jam ini adalah
gerombolan anak SD yang hanya memesan satu-dua minuman dan menghabiskan waktu yang
lama untuk membaca komik. Agak siang, gerombolan anak SD itu akan digantikan
gerombolan remaja. Hari ini, belum ada satu pun yang muncul.
Lofa membuka laptopnya, dia membuka website yang akhir-akhir ini sering dikunjunginya. Pendaftaran registered dietitian. Lofa lebih sering
membuka website itu sejak tahu
peluangnya untuk mendapatkan Agi sudah mendekati nol. Kabur? Lofa hanya butuh
pengalih perhatian. Menyibukkan diri dengan rutinitas baru adalah satu-satunya
pilihan terbaik yang dia miliki. Berdiam diri di cafe dan bertemu Agi setiap
hari hanya akan merobek luka lama yang belum sembuh benar.
Lofa berpaling dari laptopnya saat melihat ada yang masuk ke
cafe. Itu Adriana. Mengelola cafe sendiri tanpa bantuan orang lain merupakan
sebuah kesalahan, Lofa tidak bisa kabur kemana-mana. Adriana pasti akan
menyadari ada yang tidak beres jika Lofa menghindarinya. Akhirnya Lofa hanya diam
di tempat. Adriana, seperti biasa, selalu tersenyum ramah saat bertemu Lofa. Gadis
itu duduk di salah satu kursi tinggi.
“Aku mau itu.” Adriana menunjuk papan hitam kecil yang
digantung. Minuman kebahagiaan. “Aku baru ingat belum pernah mencoba menu
spesial itu.” lanjutnya.
Lofa hanya mengangguk kemudian langsung pergi ke dapur. Lubang
yang ada di dinding antara dapur dan ruang utama cafe adalah kesalahan kedua. Lofa
tidak bisa bersembunyi sepenuhnya dari tatapan Adriana. Gadis itu masih bisa
melihat Lofa.
“Sebentar lagi Agi ulang tahun,” kata Adriana.
Lofa berusaha tetap menggerakkan tangannya untuk membuat
pesanan, meskipun otot-ototnya menegang. Tiga hari lagi Agi ulang tahun.
“Aku tidak tahu harus memberinya kado apa.”
Hanya itu? Adriana jauh-jauh datang ke sini hanya untuk menanyakan
hal sepele macam itu? Lofa cukup yakin Adriana sedang pamer tentang hubungannya
dengan Agi. Gadis itu buru-buru menggeleng, menghilangkan pikiran jahat itu.
Lofa sendiri yang menciptakan permainan imajiner itu. Lofa menamainya persaingan memenangkan hati Agi. Lofa
yang memberi Adriana peran sebagai musuh.
“Tidak ada yang namanya salah kado. Kenapa kau harus khawatir?”
tanya Lofa, berusaha menjaga suaranya tetap tenang, saat meletakkan pesanan Adriana
di atas meja bar.
Adriana hanya mengangkat bahunya sekilas, tangan kanannya
bergerak pelan searah jarum jam saat mengaduk minuman kebahagiaan itu.
“Maksudku, kalian tidak akan putus hanya karena kau memberinya sesuatu
yang tidak dia inginkan kan?”
Lofa berharap hubungan Adriana dan Agi memang serapuh itu.
Langsung berakhir hanya karena Adriana memberi Agi kado yang salah. Jika memang
begitu keadaannya, Lofa rela melakukan apa pun. Termasuk menipu Adriana agar
memberi kado yang salah. Lofa menggeleng lagi, sejak kapan dia jadi sepicik
itu?
“Tentu saja tidak,” jawab Adriana ringan.
Lofa menghembuskan nafas yang sedari tadi ditahannya. Dia sangat
kecewa.
Adriana tersenyum sekilas, “Kami bahkan belum resmi pacaran, bagaimana
mungkin kami bisa putus.” lanjutnya.
“Tapi dia bisa saja menjauhiku jika aku memberinya sesuatu yang
aneh-aneh...”
Adriana masih melanjutkan ceritanya, tapi Lofa tidak benar-benar
mendengarkan. Pikirannya dipenuhi satu hal yang sangat mengganggunya. Agi
berbohong.
“...apa dia suka?” Lofa kembali mendengar suara Adriana saat
tangannya disentuh.
“Maaf, apa?”
Adriana memutar bola matanya dengan tidak sabar, “Action figure, apa dia suka?”
Agi sangat suka. Lofa ingat benar lemari besar di rumah Agi yang
disediakan khusus untuk koleksi action
figure-nya. Tapi Lofa tidak tahu dari film apa makhluk-makhluk aneh itu
berasal. Gadis itu tidak pernah benar-benar memperhatikan saat Agi mengoceh
tentang koleksi kesayangannya itu.
“Tidak. Dia tidak suka hal kekanakan seperti itu.” Lofa
memutuskan untuk melancarkan aksi penipuannya. Dia masih punya kesempatan.
“Biasanya kau memberinya kado apa?” tanya Adriana antusias.
Lofa hanya mengangkat bahunya sekilas, “Aku tidak memberinya
apa-apa. Hanya menraktirnya bakso di kampus dulu.”
Adriana terlihat terkejut karena matanya melebar, “Hanya itu?”
Lofa mengangguk mantap. Seringnya malah Agi yang menraktirnya.
Jika diingat-ingat, Agi memang selalu baik padanya, sedangkan Lofa sedikit
sekali membalas kebaikan Agi.
Adriana mengangguk, seperti baru saja mendapat ide cemerlang. Gadis
itu menyesap minumannya sambil tersenyum. Sial! Lofa baru saja memberinya ide
bagus.
***
Lofa hanya memandangi punggung Agi yang sedang sibuk mencatat
pesanan. Informasi berharga yang didapatnya dari Adriana tadi siang benar-benar
membuat Lofa kembali merasa hidup. Meskipun kenyataan bahwa Agi membohonginya
membuat Lofa kesal. Tapi informasi itu membuat benih-benih di hati Lofa kembali
tumbuh.
Sampai detik ini tidak ada tanda-tanda Agi akan mengakui
kebohongannya. Setelah tanda CLOSE dipasang, Agi membantu Lofa membereskan
cafe. Ini kesempatan bagus. Lofa bisa menginterogasi Agi sekarang. Gadis itu
sudah menyusun kata-kata yang tepat di kepalanya. Belum sampai mengucapkannya,
Lofa sudah menelan kembali kata-katanya. Pasti ada alasan yang masuk akal
kenapa Agi berbohong. Bagaimana jika alasannya membuat Lofa sakit hati?
Lofa memutar otaknya, berusaha mencari berbagai macam alasan
kenapa Agi membohonginya. Tapi otaknya yang tidak terlalu cerdas membatasi
ruang berpikirnya. Lofa tidak menemukan satu pun alasan yang masuk akal. Satu-satunya
alasan yang terpikir olehnya adalah Agi sedang sakit keras. Dia sangat
mencintai Lofa, tapi penyakitnya tidak mengijinkan mereka bersama, jadilah Agi
berbohong untuk membuat Lofa berhenti memikirkannya. Tipikal sinetron.
Suara dehem Lofa membuat Agi menoleh padanya. Pemuda itu kembali
fokus pada kegiatannya merapikan kursi saat Lofa hanya diam. Lofa berdehem
lagi. Kali ini Agi menghampirinya, karena memang semua kursi sudah ditata rapi.
“Kenapa?” tanya Agi sambil mencondongkan tubuhnya, membuat Lofa
semakin gugup.
“Kau...” Lofa tergagap. “kau belum pernah menceritakan padaku
bagaimana kau menyatakan perasaanmu pada Adriana.” Diam-diam Lofa memuji
kemampuannya berbasa-basi. Permulaan yang
bagus, pikir Lofa bangga. “Apa seperti di film-film?” Lofa memutuskan untuk
menggoda Agi. Dengan begitu dia bisa menutupi perasaannya sekaligus mendapat
jawaban yang dia inginkan.
Agi memundurkan tubuhnya. Senyumnya sedikit memudar. Pemuda itu
hanya mengangkat bahunya.
“Kami sudah dewasa,” kata Agi pelan. “tidak perlu kata-kata
tersurat untuk tahu kami saling menyayangi.”
Cara Agi mengucapkan kata saling
menyayangi membuat Lofa cemburu. Aku
juga menyayangimu, teriak Lofa dalam hati.
“Sepertinya Adriana tidak tahu kau menyayanginya.” Kecemburuannya
sudah membuat Lofa hilang kendali. Skenarionya gagal.
Hanya satu detik, tapi Lofa bisa melihat bahu Agi menegang.
“Kau bohong padaku. Kenapa kau bohong?”
Agi tertunduk beberapa saat, kemudian dengan sikap dingin yang
tidak Lofa kenali, pemuda itu menatapnya.
“Karena aku ingin kita tetap bersahabat.”
Bukan jawaban yang Lofa inginkan. Tapi jawaban Agi sudah lebih
dari cukup untuk menjelaskan semuanya. Agi tahu. Dan sekarang Agi sedang
berusaha memberitahu Lofa, dia tidak pernah punya kesempatan sejak awal. Agi
tidak pernah memandangnya lebih dari sekedar sahabat.
Lofa menggeleng pelan, “Entahlah, Gi. Sahabat tidak berbohong.”
“Sahabat juga tidak mencintai.” Kata-kata Agi membuat Lofa
langsung mendongak.
Lofa menghela nafas panjang, “Aku rasa sebaiknya kau pulang. Aku
bisa membereskan semuanya sendiri.” kata Lofa pelan.
Tanpa mengatakan apa pun, Agi menuruti permintaan Lofa. Dia
melepas apronnya dan langsung berjalan keluar. Lofa ingin sekali memalingkan
pandangannya, tapi matanya tidak bisa berhenti menatap punggung Agi yang
semakin menjauh. Harapan bodohnya sudah menghancurkan semuanya. Lofa merosot,
air matanya kembali mengalir deras.
0 komentar:
Post a Comment