Rss Feed
  1. Game of Thrones

    Tuesday, June 24, 2014




    Malam iniiii, saya lagi kepengen banget bikin review tentang series favorit saya akhir-akhir ini....jeng jeng jeng!
    Yup! Game of Thrones sodara-sodara!, hahahaha. Banyak yang bilang kalau series yang satu ini tuh The Best Colossal Series Ever! Mark my words, THE BEST! Awalnya sih nggak percaya gitu. Memangnya apa sih yang bikin series Game of Thrones (selanjutnya kita singkat jadi GoT yah biar enak) ini menyandang gelar THE BEST itu. Awalnya iseng-iseng nonton di HBO, eh, nggak mudeng sodara-sodara, hahaha. Karena waktu itu nontonnya udah di tengah-tengah gitu, jadi belum kenal karakternya sama sekali. Cuma yang bikin tertarik adalah si ganteng berambut hitam yang belakangan saya baru tahu kalo namanya Jon Snow, hahaha. Yaudahlah yah, nggak usah kebanyakan prolog. Langsung ajah dimulai review nya. Cekidot!

    Sebelum kita mulai masuk ke series nya, cuma mau ngasih tahu kalo series GoT ini dibuat berdasarkan novel karya George R R Martin yang berjumlah 6 buku (sebenernya sih jumlah pasti bukunya saya kurang tahu, hihihi) ini dia bukunya
    Nah, buku ini akhirnya diangkat menjadi sebuah TV series oleh HBO yang ternyata menuai banyak pujian dan penghargaan nih. Keren yah. Sampai saat ini HBO baru menayangkan sampai season 4 sodara-sodara. Duh, nggak sabar nunggu season 5 nya. Setiap akhir season selalu bikin penonton gregetan dan penasaran.
    Jadi, review ini akan saya mulai dengan menjelaskan tentang family tree seluruh karakter yang ada di series tersebut (jadi dari tadi belum mulai?)
    Itu versi sederhana dan lucu dari family tree yang ada. Kalo mau versi yang lebih ribet dan serius, begini nih family tree nya
    Udah pusing? Hahahaha, saya juga sempet pusing pas nonton episode awal-awal. Pusing ngapalin nama-nama karakter dan "house of" nya. Jadi kalo boleh saya bilang, di series ini ada 4 "house of" yang saling bersengketa. Yang pertama adalah Targaryen selaku pewaris asli The Iron Throne. Terus ada Baratheon yang jaman dahulu kala merupakan keluarga pemberontak yang berhasil menggulingkan "Mad King" dari tahta nya dan akhirnya menggantikan posisi Mad King sebagai Raja di Westeros. *FYI, yang ngebunuh si Mad King ini adalah si Jaime Lannister, tapi itu nanti dijelasin di lain bagian yah biar nggak bingung*. Terus ada Stark (favorit sayaaa!!!). Keluarga Stark dengan tagline-nya "Winter is Coming" sebenernya nggak ada urusan sama yang namanya perebutan kekuasaan di Westeros. Bisa dibilang keluarga Stark ini adalah satu-satunya keluarga yang paling adem ayem di Westeros. Terus ada Lannister (I hate this family! Really hate them! Except for Tyrion, hahaha). Kalo tagline-nya si Lannister ini agak sombong nih "Always Pay Their Debts". Dari tagline-nya aja udah keliatan yah, tukang pamer banget ini si Lannister, hahahaha.

    Udah? Udah paham atau udah pusing? Hahahaha. Sekarang mau mulai cerita nih (dari tadi belum mulai juga?). Mungkin akan ada nama-nama yang bikin kalian pusing pas baca ceritanya, tapi nurut aja deh. Ini kan hasil review saya! Jadi nggak boleh ada yang protes, hahahaha *ketawa jahat*

    Jaman dulu kala si Mad King atau Aerys Targaryen ini adalah seorang penguasa di Westeros, nah karena kepemimpinannya yang bisa dibilang "menyengsarakan rakyat" alhasil terjadilah sebuah pemberontakan yang didalangi oleh Robert Baratheon. Dalam pemberontakan itu si Robert Baratheon ini dibantu oleh Ned Stark. Motivasi Ned Stark bantuin Robert ini cuma atas dasar persahabatan sodara-sodara. Jadi sama sekali nggak ada niatan si Ned Stark ini buat merebut kekuasaan atau menyandang gelar raja di Westeros. Nah dalam pemberontakan inilah keluarga Lannister berperan. Awalnya si Tywin Lannister ini berencana untuk menyerang si Mad King juga, nah padahal ada si Jaime Lannister yang saat itu menjabat sebagai knight of the Kingsguard, yang artinya dia ada di pihak kerajaan saat itu. Nah si Jaime ini ada di posisi sulit teman-teman! Dia harus melindungi raja sementara si raja yang sebenernya nggak baik-baik amat ini memerintahkan Jaime buat ngebakar semua pemberontak yang ada (termasuk bapaknya Jaime, si Tywin Lannister). Dalam situasi yang "buah simalakama" ini akhirnya Jaime lebih memilih melindungi keluarganya dan membunuh si Mad King. Dari kejadian inilah Jaime Lannister dinobatkan menjadi The King Slayer. Setelah pemberontakan itu, Robert Baratheon selaku ketua pemberontak dinobatkan menjadi raja baru, sementara keturunan Aerys Targaryen, yaitu: Daenerys dan Viserys Targaryen diusir dari Kingslanding. Dari sinilah intrik perebutan tahta ini mulai bergejolak.

    Singkat cerita, Robert akhirnya menikah dengan Cersei Lannister padahal si Cersei ini memiliki hubungan khusus dengan SODARA KEMBARNYA, yaitu si Jaime Lannister. Dan Robert sebenernya tahu tapi dia diem aja (tapi diam-diam dia juga mulai mencari-cari anak haram yang bener-bener keturunan dia biar bisa diwarisin tahta). Nah dari hubungan gelap ini, dihasilkan anak: Joffrey, Tommen, dan Myrcella Baratheon. Lihat deh, nama belakangnya tetep pake Baratheon meskipun sebenenya mereka itu anak-anak Lannister. Licik banget kan? Dari pernikahan ini si keluarga Lannister ini benar-benar berharap bisa mendapat tahta suatu hari nanti. Robert mengangkat Ned Stark sebagai Hand of The King setelah Hand of The King sebelumnya meninggal (curiganya sih yang ngeracuninnya itu si keluarga Lannister). Nah, sejak itu keluarga Stark ini jadi ikut-ikutan dalam intrik busuk perebutan tahta ini. Dalam proses penyatuan keluarga, si Sansa Stark dijodohin sama Joffrey Baratheon. Yup! Di Jaman itu memang masih ngetren banget nih budaya perjodohan. Nah, selama tinggal di King's Landing, Ned Stark ini udah curiga sama status anak-anak Cersei. Karena berdasarkan buku keluarga Baratheon, semua keturunannya berambut cokelat gelap. Sedangkan anak-anak Cersei ini berambut pirang semua. Dari sinilah Ned Stark tau kalo anak-anak itu bukan pewaris sah The Iron Throne. Makanya pas Robert Baratheon wafat dan nulis surat wasiat, ini jadi kesempatan Ned Stark buat menyampaikan berita itu pada pewaris sah The Iron Throne, yaitu Stannis Baratheon (adik pertama Robert Baratheon). Karena informasi dari Ned Stark itulah Stannis tau kalau dia yang seharusnya menjadi raja menggantikan Robert. Hasilnya, Ned Stark dianggap sebagai pengkhianat kerajaan dan dihukum penggal. Season 1 berakhir di sini.

    Konfliknya semakin complicated di season 2. Adiknya Robert yang kedua, Renley Baratheon (ganteng sih, tapi sayangnya homo. Dan yang jadi pasangan homonya, si Loras Tyrell, juga ganteeeng, huhuhu T.T), merasa dia punya hak yang sama untuk menjadi raja. Sebenernya ini merupakan hasutan dari si Loras juga sih. Akhirnya Renley memutuskan untuk pergi dari King's Landing dan menyatakan diri sebagai seorang raja, melawan kakaknya. Sejak meninggalnya Robert, ada banyak raja baru yang bermunculan di seluruh wilayah Westeros. Salah satunya adalah King of The North yaitu Robb Stark.
    Nah, setelah meninggalnya Robert dan Ned Stark, posisi penting di kerajaan diisi oleh orang-orang yang, ehm, menyebalkan sodara-sodara. Raja penggantinya adalah Joffrey, yang merupakan anak tertua Cersei (yang disangka hasil pembuahan dengan Robert, padahal bukan! Huh!) Dan posisi Hand of The King diisi oleh kakeknya, Tywin Lannister. Begitu mendengar kabar ayahnya, Ned Stark, dituduh sebagai pengkhianat, Robb Stark membawa pasukannya ke King's Landing untuk semacam bernegosiasi, ternyata di tengah perjalanan Robb dapet kabar kalo ayahnya udah dihukum penggal. Murka lah dia. Robb memutuskan untuk melakukan pemberontakan dan bekerja sama dengan Renley Baratheon. Melihat situasi ini, Tywin Lannister sendiri yang turun tangan memimpin pasukan dan posisi Hand of The King dilimpahkan sementara pada Tyrion Lannister. Selama menjabat posisi ini Tyrion menunjukkan kecerdasannya dalam mengakali "musuh dalam selimut". Tyrion mulai menerapkan tipu muslihatnya pada para dewan (atau kalo jaman sekarang menteri kali ye) untuk mengetahui siapa saja yang setia dan siapa yang "tukang ngadu" ke ratu Cersei. Konfliknya nggak cuma itu, di sini terjadi konflik lain yaitu Renley dan Stannis Baratheon yang saling bermusuhan, padahal mereka kakak adek. Akhirnya Stannis memanfaatkan bantuan dari Lady Melisandre (doi semacam penyembah kekuatan gelap gitu. Nah dengan bantuan kekuatan gelap ini si Stannis ngebunuh Renley). Jelas lah, kematian Renley ini menyebabkan Loras (si ganteng yang sayangnya homo) ini terpukul. Awalnya si Loras ini mau balas dendam langsung ke Stannis, tapi dicegah oleh adeknya, Maergery (doi ini istrinya Renley. Jadi meskipun homo Renley ini tetep punya istri untuk mencegah pendapat buruk tentang dirinya di mata orang luar). Si Maergery ini menyarankan Loras untuk balas dendam dari dalam. Jadi keluarga Tyrell ini memutuskan untuk membantu keluarga Lannister memenangkan peperangan. Nah kan kalo Lannister menang, nanti pasti Tyrell dapet posisi di kerajaan. Dalam hal ini, Loras menginginkan adiknya, si Maergery itu, untuk menikah dengan Joffrey.
    Singkat cerita, Stannis akhirnya berhasil mencapai King's Landing dan siap membumi hanguskan keluarga Lannister yang ada di sana. Berhubung yang ada di kerajaan cuma ada Cersei dan anak-anaknya plus Tyrion, jadi nggak ada yang bisa bertarung, soalnya Jaime lagi jadi tawanannya Robb Stark. Nah si Tyrion ini merencanakan strategi perang menggunakan peledak untuk menghalau pasukan Stannis. Awalnya sih berhasil, tapi ternyata Stannis punya banyak sekali pasukan. Waktu udah desperate banget, eh ternyata si Tywin dateng bawa pasukan. Didampingi Ksatria Loras Tyrell (episode ini yang bikin saya suka banget sama Loras, hahaha) dan pasukannya. Akhirnya Lannister berhasil mengalahkan pasukan Stannis. Season 2 ini diakhiri dengan adegan yang terjadi di North of The Wall. Kejadiannya adalah munculnya para White Walker yang jumlahnya ratusan, mungkin ribuan.

    Season 3 agak sulit diceritain karena fokusnya berpencar-pencar berdasarkan beberapa tokoh utama yang ada. Yang jelas di season ini Jon Snow lebih sering muncul :D Beberapa kejadian penting yang ada di season ini adalah: 1) Pernikahan Sansa dan Joffrey dibatalkan, karena Joffrey akhirnya menerima permintaan Loras untuk menikah dengan Maergery. 2) Setelah sebelumnya dijodohin sama Loras Tyrell, akhirnya Sansa malah menikah sama Tyrion karena paksaan dari Tywin Lannister, tujuannya jelas agar Lannister bisa menguasai Winterfell setelah Robb Stark mati. 3) Robb Stark dan istrinya, serta Catelyn Stark dibunuh secara sadis karena pengkhianatan yang mereka lakukan, yaitu Robb Stark lebih memilih melanggar janjinya dan menikah dengan perempuan lain yang dia cintai. 4) Jon Snow dapet love interest! Oh God! Setelah sekian lama dia berpendirian teguh untuk tidak jatuh cinta, akhirnya di season ini ada yang berhasil menggerakkan hatinya. Meskipun akhirnya mereka harus berpisah karena perbedaan prinsip.



    Hah! Capek juga ternyata. Sepanjang itu baru 3 season. Tapi udah dapet sedikit gambarannya kan? Siapa-siapa aja yang busuk dalam lingkaran tahta ini? Hahaha. Langsung aja yah ke review karakter :D

    Ini dia tokoh-tokoh yang ada di dalam series-nya
    Yup, itu baru tokoh-tokoh yang sedikit lebih utamanya, hahaha. Tokoh-tokoh pendamping yang nggak kalah penting juga masih buaanyaaaak sekali. Mari kita review satu-satu karakter utamanya. Akan saya mulai dari karakter yang paling saya suka sampe yang paling saya benci sampe ubun-ubun yah, hahaha

    1) JON SNOW
    Jon Snow ini sebenernya adalah anaknya Ned Stark, cuma karena dia adalah anak haram, jadi dia nggak bisa dapet nama keluarga di belakang namanya. Sedih :'(
    Tapi dari jaman bayi, si Jon Snow ini udah dirawat sama keluarga Stark, makannya dia jadi anak baik-baik. Alhamdulillah :D
    Yang membuat saya sangat suka karakter Jon Snow ini adalah: dia termasuk karakter yang strong dan konsisten. Dia tetap membela kebenaran dalam kondisi apa pun. Dan terlebih lagi, he's a good brother! Yeay!

    2) DAENERYS STOMBORN/ DAENERYS TARGARYEN/ KHALEESI
    She is the best queen ever! Daenerys ini merupakan karakter terfavorit sepanjang masa lah pokoknya. Awalnya emang agak kesel juga karena dia terlihat lemah, tapi seiring perkembangan alur cerita, karakternya juga ikut berkembang. Dia jadi cewek yang kuat, bijaksana dalam mengambil keputusan, dan adil. Sepertinya darah ratu memang sudah mengalir dalam tubuhnya sejak lahir.

    3) TYRION LANNISTER/ THE IMP
    Yes, he's a Lannister. But, he has a great character! Saya rasa Tyrion ini satu-satunya keluarga Lannister yang otaknya bersih dan, ehm maaf, dipake! Well, yeah dia memang ngebela keluarganya di setiap kesempatan. Tapi dia nggak sekonyong-konyong selalu ngebelain keluarganya. Kalo keluarganya salah, ya dia bilang salah, dan sebisa mungkin memperbaiki kesalahan itu. Dia punya sudut pandang yang luas dan open minded. Dia bisa memikirkan trik-trik yang ajaib buat ngebuktiin siapa kawan dan siapa lawan. Karena kondisi tubuhnya yang, maaf, cebol, Tyrion ini jadi dikucilkan di keluarganya, dianggap nggak berharga dan nggak berguna. Jangan salah man! Di dalam tubuh yang kecil tersimpan kecerdasan yang luar biasa. Nyatanya Tyrion yang bisa menyusun strategi buat ngelawan pasukannya Stannis Baratheon yang jumlahnya jelas lebih banyak daripada prajurit kerajaan yang tersisa saat itu. 

    4) ROBB STARK
    Robb Stark adalah putra sulung di keluarga Stark. Sepeninggal ayahnya, Robb Stark yang mengambil alih kekuasaan di wilayah utara. Dia diangkat menjadi King of The North karena kebijaksanaannya. Sama seperti ayahnya, Robb juga sangat bijaksana dalam mengambil keputusan. Nggak seenaknya main hukum penggal tawanan. Dia lebih suka melihat peluang-peluang yang bisa didapat dengan berbagai keputusan yang diambil (kayaknya sih dia pernah kuliah statistik kali ye, hahahaha). Dia hanya melakukan satu kesalahan dalam hidupnya: jatuh cinta. Robb Stark yang saat itu udah dijodohin sama anak gadis dari keluarga Frey, ternyata jatuh cinta sama Talisa. Mereka akhirnya menikah. Karena pernikahan ini akhirnya keluarga Frey sakit hati dan ngebunuh semua rombongan Robb (termasuk ibu dan pamannya).

    5) ARYA STARK

    Arya Stark termasuk salah satu tokoh yang perkembangan karakternya signifikan banget. Dari yang awalnya cuma gadis tomboy yang suka nyari ribut kalo diisengin, jadi karakter yang kuat, tabah, dan pintar mengendalikan emosi. Meninggalnya Ned Stark membuat Arya terpukul. Tapi rasa duka itu justru menjadi titik balik yang luar biasa buat Arya Stark.

    6) BRANDEN STARK
    Sama kayak Arya, Bran juga mengalami perkembangan karakter yang signifikan. Yang membedakan cuma nasib. Arya jadi cewek tangguh yang berkeliaran di seluruh Westeros untuk mencari keluarganya yang masih tersisa, sementara Branden berkeliaran sampai ke the other side of The Wall, buat mencari Three-Eyed Raven yang selama ini menghantui mimpinya. Munculnya gagak bermata tiga dalam mimpi Bran merupakan pertanda bahwa dia adalah seorang Warg (orang yang bisa masuk ke pikiran binatang tertentu dan mengendalikannya).

    7)JAIME LANNISTER
    Masih agak bingung sama karakter Jaime Lannister ini sebenernya. Dia kadang baik, kadang jahat. Kalo dari sudut pandang saya sih, dia orang yang logis tapi tetap mengutamakan keluarga. Jadi, selama suatu masalah itu nggak menyangkut keluarganya, Jaime tetap akan bersikap netral. Tapi kalo suatu masalah itu sudah melibatkan keluarganya, dia akan cenderung membela keluarganya meskipun keluarganya itu salah.

    8) SANSA STARK
    Kenapa Sansa saya taroh di bawah, padahal dia masuk ke dalam keluarga Stark? Soalnya Sansa ini satu-satunya keluarga Stark yang saya pikir nggak ada perkembangan karakternya. Sifatnya ya gitu-gitu aja. Kecuali satu, akhirnya dia sadar kalo Joffrey itu nggak pantes buat jadi pasangan hidupnya.

    9) CERSEI LANNISTER
    Sifatnya? Hampir mirip sama Jaime, dia akan selalu memihak keluarganya. Kalo dilihat dari sudut pandang seorang ibu, sebenarnya Cersei ini adalah seorang ibu yang mau melakukan apa pun demi anaknya. Tapi kalo dari sudut pandang seorang ratu, dia itu nggak ada baik-baiknya. Suka semaunya. Dia selalu mengambil keputusan yang hanya menguntungkan diri pribadi. Dan lagi, dia berhubungan sama sodaranya sendiri. Oh Please! And now she complains about her son, Joffrey? Yes, that's the karma, Cersei.

    10) JOFFREY BARATHEON
    Sebelum mulai nonton series GoT ini saya udah sering nyari-nyari review penonton tentang series ini untuk memastikan kevalidan tentang kualitas ceritanya. Ada satu comment tentang Joffrey Baratheon yang kurang lebih begini, "dia berhasil membuat seluruh dunia membencinya hanya dengan satu peran". Awalnya saya penasaran kenapa orang-orang ngasih comment begitu. Ternyataaaaa...memang nggak salah sih. Dia karakter paling nyebelin sedunia! Untung aja di season 4 akhirnya dia mati gegara diracun. Ngeselin! Suka semena-mena! Menyiksa orang-orang cuma demi kesenangan dia sendiri. Nggak memedulikan rakyatnya yang kelaparan, malah sibuk nyiksa orang. He has no respect to anyone.

    Sekian cuap-cuap dari saya. Kesimpulannya adalah......karakter favorit saya adalah keluarga Stark. Semua-muanya favorit dan baek-baek orangnya (sok kenal)
    HOUSE OF STARK

    Sejauh ini, saya cukup yakin kalau lima orang ini adalah main character yang nggak akan mati sampai season terakhir. TAADAAAAAA

    Silakan di comment, baik yang pro maupun kontra dengan cuap-cuap saya barusan. sekian dan TERIMA KASIH :D *bow*


  2. A Celebrity Twin #9

    Thursday, May 8, 2014


    Jumat, 11 Februari
    Konferensi pers! Itu artinya wajahku akan ada di semua media dalam waktu kurang dari satu hari. Menyebalkan!

    Dion sudah berdiri di samping mobil sedannya saat Sonia keluar. Tubuhnya yang jangkung bersandar pada pintu penumpang. Saat melihat Sonia keluar, Dion buru-buru melepaskan diri dan berjalan memutar, masuk ke dalam mobil. Sonia menarik nafas panjang sebelum masuk ke dalam mobil. Seperti biasa, Dion terlihat rapi dan lebih dewasa dari seharusnya. Pemuda itu memakai kacamata hitamnya, kemudian tersenyum pada Sonia sebelum memacu mobilnya ke jalanan.
    Hanya alunan piano klasik yang menemani perjalanan mereka. Sonia terlalu gugup untuk mengatakan apa pun. Keberaniannya mendadak luntur. Wajahnya akan terlihat di semua acara infotainment sebentar lagi. Dia tidak bisa menyembunyikan identitasnya lagi. Sekolah tidak akan terasa sama lagi. Sonia menggeleng, mungkin tidak ada anak di sekolahnya yang suka menonton acara gosip. Mungkin.
    “Kau kenapa?”
    Sonia langsung menoleh saat mendengar pertanyaan Dion. Gadis itu menggeleng sambil tersenyum. Senyumnya jelas tidak mencapai matanya karena Dion terlihat tidak percaya.
    “Kau gugup?” tanya Dion lagi.
    Kali ini Sonia tidak bisa tersenyum. Dia memutar tubuhnya agar menghadap Dion.
    “Apa yang akan terjadi padaku setelah konferensi pers ini?” tanya Sonia panik. Dia jarang menarik perhatian publik sebelum ini, dan dia cukup senang dengan keadaan itu. Dia benci mendapat sorotan lebih dari orang-orang asing.
    Dion mengerutkan dahinya, “Apa yang akan terjadi padamu?” Dion membeo.
    Sonia menarik nafas dengan tidak sabar, “Akan ada banyak wartawan. Apa yang akan terjadi padaku! Astaga! Aku tidak pernah menghadapi satu kamera pun seumur hidupku!” Sonia menyandarkan kepalanya dengan keras, berkali-kali.
    “Tidak satu pun?” tanya Dion tidak percaya. Sonia hanya menghadiahinya tatapan sinis. “Tenang saja, tidak akan ada yang memakanmu.” katanya ringan.
    “Bagaimana nasibku di sekolah? Semua orang akan tahu kau mengadopsiku!” kata Sonia lebih panik dari sebelumnya.
    “Kau tidak suka jadi kakak angkatku?” tanya Dion, suaranya terdengar sedih.
    “Bukan...bukan itu.” Sonia tergagap. “Kau tidak tahu teman-temanku.”
    Dion memelankan laju mobilnya, dia melirik Sonia dengan sudut matanya kemudian mendesah.
    “Kita bisa membeli es krim dan mengobrol lebih lama jika itu bisa sedikit menenangkanmu. Tapi mengulur waktu hanya akan memperlama kepanikanmu.” kata Dion tegas dan bijaksana. Detik itu Sonia merasa Dion yang lebih pantas menjadi seorang kakak. Pemuda itu sepertinya sudah sangat mahir mengeluarkan kata-kata bijak untuk menenangkan seorang adik.
    “Lebih baik kita cepat selesaikan ini.” kata Sonia mantap.
    Dion hanya tersenyum dan mempercepat laju mobilnya.
    ***
    Wanita paruh baya berkacamata dan berambut pendek sudah menanti kedatangan Sonia dan Dion di depan pintu masuk hotel. Dion langsung menyalami wanita itu begitu turun dari mobil. Sonia hanya memandangi ritual sopan santun itu tanpa berniat mengikuti.
    “Sonia, ini tante Meri. Adik mama sekaligus manajerku.”
    Saat wanita itu mengulurkan tangannya, Sonia baru menjabatnya.
    Aku punya tante juga, pikir Sonia.
    “Kau lebih cantik dari yang diceritakan Dion. Pantas saja Dion ngotot sekali untuk mengadopsimu.” kata tante Meri. Sonia bisa merasakan pipinya memanas karena mendengar pujian itu. Belum pernah ada yang memujinya cantik.
    “Ayo, para wartawan sudah menunggu kalian.” Hanya itu kalimat terakhir yang berhasil didengar Sonia. Selanjutnya Sonia hanya bisa mendengar suara degup jantungnya sendiri.
     Tangan Sonia mulai kebas karena keringat. Sonia terus meremas-remas tali tas slempangnya selama mengikuti Dion dan tante Meri masuk ke dalam hall room sebuah hotel bintang lima di Jakarta. Gadis itu berjalan pelan-pelan di belakang Dion yang melangkah dengan mantap. Tante Meri membuka pintu hall room dan menahannya agar Dion dan Sonia masuk lebih dulu. Pandangan Sonia disilaukan oleh puluhan lampu sorot yang berasal dari kamera-kamera yang berjajar di depan meja panjang. Seolah jumlah kamera yang banyak itu masih kurang mengintimidasi, ada puluhan microphone yang ditata rapi di atas meja panjang. Tiga orang security berdiri gagah di sudut-sudut ruangan.
    Sonia semakin memelankan langkahnya, terlalu takut untuk menghadapi puluhan kamera di hadapannya. Tangannya yang basah terasa hangat saat Dion menggandengnya dan membimbing Sonia agar duduk di sebelahnya. Di sisi lain Dion ada tante Meri yang selalu tersenyum sejak masuk ke dalam hall room. Seorang pria berpakaian rapi yang ada di samping meja panjang memberi isyarat pada para wartawan kapan acara konferensi pers akan dimulai agar kamera bisa dinyalakan bersamaan. Saat hitungan ketiga, semua cameraman sudah siap di belakang kamera masing-masing. Tante Meri mulai membuka acara konferensi pers itu. Setelah basa-basi yang terasa sangat cepat, wartawan mulai diizinkan untuk mengajukan pertanyaan. Satu pertanyaan yang berhasil mengalahkan suara degup jantung Sonia adalah: kenapa mengadopsi seorang kakak angkat?
    Sonia menoleh ke arah Dion. Pemuda itu terlihat sangat tenang dengan pertanyaan-pertanyaan yang menghujaninya. Senyum di wajahnya tidak lenyap sama sekali. Dengan suara lembutnya Dion menjawab dangan mantap, “Apa salahnya mengadopsi seorang kakak angkat? Saya ingin tahu rasanya memiliki seorang kakak, dan saya rasa mengadopsi seorang kakak tidak ada salahnya. Saya senang Sonia mau menjadi kakak angkat saya.” Dion menoleh untuk menatap Sonia sekilas sebelum kembali pada wartawan yang mengajukan pertanyaan tadi.
    Sonia hanya tersenyum sesekali. Pandangannya terlalu kabur oleh kilatan cahaya lampu kamera di hadapannya. Belum lagi banyak sekali lampu flash yang berkilatan saat puluhan fotografer mengambil gambar. Semua kemeriahan ini membuatnya pusing. Dia tidak bisa memaksa suaranya keluar dari tenggorokannya yang mendadak kering. Sonia mendongak saat Dion menyenggol lengannya. Pemuda itu mengarahkan dagunya ke depan, menunjuk salah satu wartawan yang ternyata sedang mengajukan pertanyaan pada Sonia. Wartawan wanita itu menatap Sonia dengan tatapan penasaran.
    “Ma...” suara Sonia serak, dia berdehem untuk menjernihkan suaranya. “maaf, apa?” Sonia berusaha memasang ekspresi tenang dan angkuh yang biasa dia gunakan saat menghadapi Clarisa. Tapi saat ini, gadis itu tidak lagi yakin ekspresi wajahnya terlihat seperti apa. Mungkin gugup, takut, dan menyedihkan. Entahlah.
    “Bagaimana perasaan anda saat Dion mengadopsi anda sebagai kakaknya?”
    Sonia tersenyum sekilas, berusaha mengumpulkan sisa-sisa keceriaan yang masih dimilikinya, “Saya senang. Akhirnya saya punya keluarga.” jawab Sonia singkat. Dulu dia juga punya keluarga, sebelum ibu memutuskan untuk membuangnya dan membiarkan Dion mengadopsinya.
    Suara-suara berikutnya kembali terdengar kabur. Kenangan wajah ibu saat hari Sonia pergi dari panti kembali membayangi pikirannya. Ibu membenciku. Ibu membenciku. Ibu membenciku. Kalimat itu tidak pernah benar-benar hilang dari pikirannya.
    Pikiran itu hilang saat cahaya di hadapan Sonia meredup. Gadis itu mendongak dan mendapati para wartawan sudah membereskan barang-barang mereka. Dia menoleh, Dion sudah berdiri di sampingnya. Tubuh Dion yang tinggi membuat Sonia harus mendongak saat menatap wajahnya. Pemuda itu tersenyum.
    “Sudah selesai.” katanya.
    Sonia mengangguk canggung kemudian bangkit dari kursinya. Seperti saat masuk tadi, sekarang tante Meri juga membimbing mereka keluar dari hall room. Aroma harum menyerbu indera penciuman Sonia saat mereka berjalan melewati koridor hotel. Sonia tidak sempat memperhatikan keadaan di luar hall room saat masuk tadi karena gugup. Sekarang dia baru sadar bahwa seluruh lantai di hotel ini dilapisi karpet tebal berwarna hijau tua yang sangat indah.
    Mereka berpisah di tempat parkir. Tante Meri masuk ke dalam mobil Avanza hitam dan meluncur pergi, sedangkan Dion dan Sonia masuk ke dalam mobil mereka. Seperti biasa, Dion memakai kacamata hitamnya sebelum menjalankan mobilnya keluar dari tempat parkir.
    “Masih siang. Kau mau main dulu?” tanya Dion saat mobil yang mereka tumpangi sudah berbaur dengan mobil-mobil lain, berebut sepetak jalanan beraspal untuk dilewati.
    “Main apa?” tanya Sonia. Dia tidak tahu Jakarta. Dia belum pernah ke kota besar ini sebelumnya. Seumur hidupnya hanya dihabiskan di panti asuhan dan sekolah.
    “Kau pernah bermain ice skating?” tanya Dion, sesekali pemuda itu menoleh untuk menatap Sonia.
    Sonia hanya menggeleng untuk menjawab pertanyaan Dion. Pemuda itu tersenyum lagi. Sonia tidak tahu Dion senang sekali tersenyum. Awalnya gadis itu pikir Dion hanya berusaha terlihat ramah saat di depan kamera, ternyata pemuda itu memang ramah.
    Dion membelokkan mobilnya dan masuk ke dalam sebuah mall yang sangat besar. Sonia mencondongkan tubuhnya dan mendongak untuk melihat tulisan yang ada di puncak gedung mall itu. Taman Anggrek, Sonia ingat pernah mendengar Clarisa menyebut nama itu. Mungkin tempat ini yang dimaksud Clarisa.
    Dion berjalan mantap memasuki mall itu, sementara Sonia berusaha untuk menciutkan dirinya dan mengekor di belakang Dion. Tidak ada orang yang mendekati mereka seperti dugaan Sonia, tapi banyak sekali orang yang menatapnya. Sesekali Sonia memberanikan diri untuk melirik orang-orang di sekitarnya. Beberapa perempuan yang berpapasan dengan mereka langsung menoleh dan menatap Sonia dengan tatapan penasaran. Tubuh Sonia menegang saat merasakan genggaman tangan Dion. Pemuda itu sedikit menarik Sonia agar berjalan sejajar dengannya.
    “Kau akan terlihat seperti pengasuhku jika berjalan seperti itu.” bisik Dion saat jarak mereka cukup dekat. “Tenang saja, mereka tidak menggigit.”
    Sonia mempererat genggamannya pada tali tas slempangnya, sementara tangan yang lain menggenggam tangan Dion. Gadis itu berusaha menegakkan bahunya dan mengangkat wajahnya. Sonia kembali melatih wajah angkuhnya dan tersenyum.
    “Begitu lebih baik.” bisik Dion lagi.
    Mereka berjalan beriringan ke tempat ice skating. Hawa dingin langsung merayapi lengan Sonia saat mereka masuk ke dalam. Dia tidak berencana mendekati area es seluas ini saat pergi tadi pagi. Sonia hanya memakai kemeja lengan pendek dan celana jeans, benar-benar salah kostum.
    “Ukur dulu kakimu.” kata Dion sambil menunjuk gambar telapak kaki di lantai untuk menunjukkan ukuran sepatu yang sesuai.
    Sonia langsung menggeleng, “Aku tunggu di sini saja.” katanya mantap sambil mengusap-usap kedua lengannya untuk menghilangkan hawa dingin yang masih menyelubunginya.
    Dion hanya memutar bola matanya kemudian mendorong bahu Sonia sampai kaki gadis itu berpijak pada gambar alas kaki yang sesuai. Dion langsung menghampiri tempat penyewaan sepatu tanpa menunggu komentar Sonia lagi. Pemuda itu menyodorkan sepasang sepatu skat pada Sonia. Setelah hanya memandangi sepatu itu selama beberapa menit, akhirnya Sonia setuju untuk memakainya. Dion bangkit, tubuhnya terlihat lebih tinggi setelah memakai sepatu skat. Pemuda itu melepas kemeja lengan panjang yang membalut tubuhnya, menunjukkan kaus putih lengan pendek yang ada di dalamnya.
    “Pakai ini.” katanya singkat sambil menyodorkan kemeja itu pada sonia. “Tidak terlalu hangat, tapi setidaknya kau tidak akan menggigil seperti itu.”
    Sonia menatap kemeja itu kemudian menatap Dion, “Dan kau tidak akan menggigil hanya memakai kaus lengan pendek setipis itu?”
    Dion tertawa ringan, “Kau tidak tahu aku ini yeti? Pakai saja.” katanya lagi.
    Sonia terlalu kedinginan untuk menolak tawaran Dion. Dia menerima kemeja itu dan memakainya. Bahan katunnya terasa hangat di tubuh Sonia. Gadis itu bangkit dan berusaha menyeimbangkan diri sebelum berjalan mengikuti Dion. Sepatu skat-nya terasa berat. Sonia berjalan seperti zombie mendekati pintu yang membatasi ruang tunggu dengan area es. Dion langsung meluncur ke tengah begitu mata pisau sepatunya menyentuh es, sementara Sonia hanya bersandar pada kusen pintu. Dia tidak pernah bermain ice skating sebelumnya. Sepatu roda pun tidak pernah. Bagaimana bisa dia menyeimbangkan diri di atas dua bilah pisau seperti itu?
    Dion berhenti meluncur saat melihat Sonia masih berdiri mematung di ambang pintu. Pemuda itu kembali meluncur untuk mendekati Sonia.
    “Kita sedang bermain ice skating, bukan petak umpet. Apa yang kau lakukan di situ?”
    “Aku tidak bisa.” jawab Sonia mantap.
    “Kau belum mencobanya!” kata Dion gemas. “Kau lihat dia?” Dion menunjuk seorang anak kecil yang dengan lancarnya berputar-putar di atas es dengan satu kaki. Satu kaki! “Dia bahkan lebih muda darimu.” lanjut Dion.
    Itu sama sekali tidak bisa meyakinkan Sonia untuk menginjakkan kakinya ke atas es. Gadis itu tetap menggeleng dan menggenggam erat kusen pintu.
    “Aku akan memegangimu.” kata Dion sambil mengulurkan tangannya.
    “Kau bermain saja sana. Aku baik-baik saja di sini.”
    Dion tertawa puas, “Bagaimana caranya memeluk kusen pintu seperti itu bisa dibilang baik-baik saja? Kau harus mencobanya.”
    Sonia menggeleng lagi.
    “Astaga, kau keras kepala sekali!” kata Dion frustasi. Pemuda itu langsung menarik Sonia agar melangkahkan kakinya di atas es.
    Sonia membungkuk untuk menyeimbangkan tubuhnya. Dion masih memegangi tangan kanannya agar Sonia tidak jatuh tengkurap di atas es. Jika kondisinya normal, Sonia pasti sudah akan memukul Dion dengan apa pun yang ada pada jangkauannya, tapi saat ini Sonia masih membutuhkan bantuan Dion untuk kembali ke ruang tunggu.
    “Kau harus berdiri tegak agar tubuhmu seimbang.” Dion mulai terdengar seperti seorang instruktur profesional.
    Sonia berusaha menegakkan tubuhnya, tapi kakinya meluncur ke depan tanpa diperintah. Dion menangkapnya dan membantu Sonia berdiri tegak. Gadis itu merentangkan tangan lain yang tidak memegangi Dion agar bisa berdiri. Dion mengulurkan tangan lainnya, Sonia sempat ragu tapi akhirnya meraih tangan itu.
    “Kau harus meluncur, bukan melangkah, oke?” kata Dion.
    Pemuda itu meluncur mundur, sementara Sonia mengikuti langkahnya dan meluncur perlahan. Rasanya sangat licin, Sonia tidak yakin dia akan bisa berdiri jika Dion tidak memeganginya.
    “Aku akan melepaskanmu, oke?” tanya Dion lagi.
    “Jangan!” jawab Sonia spontan.
    Dion tertawa lagi, entah karena dia senang atau dia sedang menertawakan kebodohan Sonia.
    “Aku akan jatuh.” kata Sonia pelan, malu dengan ketidakbisaannya sementara di sekelilingnya anak-anak usia sekolah dasar sudah meluncur bebas ke sana kemari.
    “Kau pesimis sekali.” kata Dion ceria. “Kau tidak pernah jatuh?”
    Dion melepaskan genggamannya, tapi Sonia masih menggenggam erat lengan Dion. Dion memberi isyarat pada Sonia agar melepaskan tangannya. Ada bekas merah pada lengan Dion, tempat di mana Sonia menggenggamnya terlalu kuat. Sonia melepaskan tangannya, tapi masih belum berani menjauhkan telapak tangannya dari lengan Dion. Saat yakin dia bisa berdiri, Sonia mulai merentangkan tangannya. Gadis itu tersenyum lebar saat tubuhnya berhasil berdiri tegak. Dion meluncur mundur dan memberi isyarat pada Sonia agar mengikutinya. Saat Sonia meluncur, tubuhnya kembali goyah, Dion langsung menangkapnya lagi.
    Proses jatuh bangun itu terus terjadi sampai akhirnya Sonia berhasil meluncur sedikit. Setelah beberapa langkah, dia kembali jatuh. Sonia sudah terlalu lelah untuk mencoba. Saat Sonia hanya berdiri mematung dan tidak mau bergerak lagi, Dion mendekat.
    “Aku tidak ada bakat. Tidak perlu memaksa. Kita pulang saja.” katanya sambil bersedekap, seperti anak kecil yang merajuk. Dia belum pernah bersikap seperti itu sebelumnya. Biasanya Sonia yang selalu mengalah pada adik-adiknya di panti. Sifat manjanya terasa sangat asing bahkan bagi dirinya sendiri.
    Dion hanya mengangguk dan membimbingnya kembali ke ruang tunggu. Mungkin Dion juga sudah lelah karena mengajari Sonia. Setelah mengembalikan sepatunya, Sonia melepas kemeja Dion dan menyodorkannya. Pemuda itu menerima kemeja itu dan hanya menyampirkannya ke bahu.
    “Kau lapar?” tanya Dion saat mereka berjalan melewati deretan restoran di dalam mall.
    Sonia menggeleng, “Aku ingin pulang.”
    Dion hanya diam. Jika pemuda itu kelaparan dan ingin protes, dia tidak menunjukkannya. Dion hanya melangkah ringan melewati orang-orang yang menatap mereka. Sonia bisa menangkap sosok-sosok yang berdiri ragu di dekat mereka. Mungkin orang-orang itu berniat menyapa Dion tapi tidak cukup berani untuk mengatakan apa pun. Sonia berusaha menyamakan langkahnya dengan Dion agar tidak tertinggal. Dia merasa jauh lebih tenang saat akhirnya masuk ke dalam mobil.
    Sorenya, kabar itu sudah menyebar di seluruh infotainment. Sonia melihatnya di televisi kecil yang ada di SPBU saat Dion mengisi bensin mobilnya. Gadis itu menyandarkan kepalanya pada sandaran jok dan menarik nafas panjang. Dia tidak akan merasa aman lagi di sekolah. Kehidupan normalnya sudah tamat.

  3. A Celebrity Twin #8

    Friday, April 25, 2014


    Kamis (lagi), 10 Februari
    GAGAL! Hah, alat pelacak! Mana ada alat semacam itu? Dion mengikutiku sejak awal! Itu penjelasan yang jauh lebih masuk akal dibanding alat pelacak fiktif yang dia ceritakan. Besok usahaku untuk kabur harus berhasil. Jika rumah Rina sudah tidak aman lagi, sepertinya aku harus mencari rumah penampungan lain.

    Dengan entengnya Dion menjelaskan bagaimana dia bisa menemukan rumah Rina. Dia sudah memasang alat pelacak pada ponsel yang diberikannya pada Sonia. Gadis itu langsung murka begitu mendengar penjelasan Dion yang sama sekali tidak masuk akal. Alat canggih semacam itu hanya ada di luar negeri! Hanya karena Dion artis bukan berarti dia bisa memiliki alat secanggih itu. Jika memang itu alasan Dion bisa menemukannya, Sonia berencana meninggalkan ponsel barunya di rumah besok.
    Sepulang sekolah tadi Sonia langsung mengurung dirinya di kamar. Rasanya ruangan persegi yang cukup luas itu adalah satu-satunya tempat yang aman di rumah ini. Bukan berarti Dion merupakan sebuah ancaman bagi dirinya, hanya saja Sonia merasa asing dengan kehidupan di luar kamarnya itu.
    Perut Sonia mulai berdendang nyaring saat langit mulai gelap. Dia tidak makan sejak tadi siang. Usahanya untuk melarikan diri dari kehidupan barunya membuat Sonia kehilangan selera makannya. Biasanya Dion akan memanggilnya untuk makan malam, tapi malam ini tidak ada tanda-tanda kehadiran pemuda itu. Mungkin dia sudah bosan dengan sikap Sonia yang selalu memberontak. Mungkin pemuda itu masih kesal karena Sonia memarahinya habis-habisan tentang teori alat pelacak itu tadi sore. Entahlah.
    Sonia membuka pintu kamarnya sedikit, kepalanya menyembul untuk melihat keadaan di luar kamarnya. Sepi. Sonia mendongak untuk melihat jam dinding di kamarnya, sudah pukul 8 malam. Mungkin Dion sudah mengunci diri di kamar. Sonia melangkah perlahan, melewati ruang keluarga yang sangat sepi. Dia menghentikan langkahnya saat sampai di dapur. Ada mak Ijah di sana, sedang mencuci piring-piring kotor. Mak Ijah hanya tersenyum saat melihat Sonia masuk.
    “Mana Dion?” tanya Sonia saat menarik sebuah kursi. Tangannya membuka tudung saji untuk melihat makanan apa yang tersisa untuknya. Yang dimaksud dengan “sisa” adalah sepiring penuh ayam goreng dan semangkuk besar sayur. Biasanya Sonia hanya mendapati sepotong sayap ayam goreng jika terlambat makan di panti. Di sini, sepertinya tidak ada orang yang terlalu antusias melihat makanan. Atau memang porsi makanan yang dibuat selalu berlebihan?
    “Mas Dion sudah masuk ke kamarnya sejak tadi.” jawab mak Ijah malu-malu.
    Sonia hanya mengangguk pelan.
    Sonia menghabiskan makanannya dalam diam. Setelah selesai makan, Sonia langsung membawa piring kosongnya ke tempat cucian. Dengan sigap mak Ijah langsung mengambil piring itu dari tangan Sonia.
    “Biar saya saja.” kata mak Ijah sebelum Sonia sempat berkata apa pun.
    Sonia hanya diam, berniat langsung mengurung diri di kamar lagi. Gadis itu melewati kamar Dion saat kembali ke kamarnya. Dia tidak pernah melihat isi kamar Dion. Mungkin berantakan seperti kapal pecah, biasanya anak laki-laki kan seperti itu. Sonia biasanya bertugas membereskan kamar adik-adiknya di panti. Kamar Bagus adalah kamar yang paling berantakan di dunia. Seprainya selalu lepas dari sisi-sisi kasur, berantakan di mana-mana.
    Sonia berhenti melangkah saat mendengar suara dentingan piano dari dalam kamar Dion. Gadis itu menempelkan telinganya pada daun pintu, suara dentingan piano itu terdengar lebih jelas. Dion sedang memainkan salah satu lagunya yang akhir-akhir ini sedang sangat populer. Kamarnya pasti sangat luas sampai bisa menampung piano di dalam, pikir Sonia.
    Tubuh Sonia merosot pada daun pintu. Gadis itu menekuk kakinya dan menyangga kepalanya di antara dua lutut. Dia selalu menyukai suara dentingan piano. Mendengarnya secara langsung membuat Sonia merasa sangat senang. Ada perasaan bahagia yang membuncah di dadanya. Sonia hanya menempelkan jari telunjuknya pada bibir saat mak Ijah menatapnya bingung.
    Sonia menutup matanya, mendengarkan setiap dentingan piano yang dimainkan Dion dengan penuh perasaan. Suara pemuda itu yang terdengar sangat lembut menambah keindahan lagunya. Sonia tidak pernah menyangka bisa mendengar Dion menyanyikan lagunya secara langsung seperti ini.
    Tubuh Sonia yang kecil terjengkang ke belakang saat pintu yang dia sandari dibuka. Matanya beradu dengan mata Dion yang menatapnya curiga. Sonia buru-buru bangkit dan merapikan pakaiannya. Dion hanya mengangkat sebelah alisnya, menuntut penjelasan.
    “Aku...aku...hanya...” Sonia tergagap. Penjelasan apa yang bisa dia berikan saat tertangkap basah sedang menguping saudara angkatnya bermain piano? “Permainan pianomu sangat bagus.” kata Sonia akhirnya.
    Dion hanya melipat tangannya di depan dada, sebelah bahunya bersandar pada kusen pintu kamarnya.
    “Besok kau izin sekolah.” katanya santai.
    Sonia langsung melotot. Dion jadi seperti diktator lagi.
    Sonia menggeleng keras sebelum menjawab, “Aku mau sekolah.”
    Sebenarnya bukan itu yang sangat dia inginkan, dia ingin kabur! Setidaknya di luar rumah ini Sonia merasa lebih bebas.
    “Ada konferensi pers di Jakarta. Kau harus ikut denganku.”
    Sonia mengangkat sebelah alisnya, “Kenapa aku harus ikut denganmu? Kau harus menyelesaikan masalahmu sendiri.”
    Sonia sudah bersiap meninggalkan Dion saat tangan pemuda itu menangkap lengannya.
    “Kau mau para wartawan itu menyingkir atau tidak?” tanya Dion tegas.
    Sonia hanya meliriknya sekilas, saat Dion tidak juga melepaskan lengannya, Sonia berbalik.
    “Mereka hanya ingin berita. Kita berikan apa yang mereka mau besok, setelah itu tidak akan ada wartawan yang mengganggu kita lagi.”
    Mendengar cara Dion menyebut kata “kita” membuat Sonia merasa seperti seorang selingkuhan yang sedang disembunyikan.
    “Apa yang akan kau katakan? Besok, maksudku.”
    Dion melepaskan genggaman tangannya dan kembali bersedekap. Matanya menatap langit-langit seperti sedang mencari contekan jawaban di sana.
    “Aku akan mengumumkan bahwa kau adik, maaf, kakak angkatku.” katanya ringan.
    “Kau pikir dengan begitu mereka tidak akan mengganggu kita lagi?” tanya Sonia untuk mengonfirmasi pikirannya sebelum menyanggupi untuk ikut konferensi pers besok.
    Dion mengendik, “Tidak akan benar-benar tidak mengganggu, tapi setidaknya mereka tidak akan menunggui gerbang rumah kita lagi.”
    Sonia merasa udara berhenti mengisi paru-parunya saat mendengar kata “rumah kita”. Dia tidak pernah mendengar kata itu seumur hidupnya. Rumah kita. Untuk pertama kalinya Sonia memiliki sesuatu untuk diklaim sebagai miliknya. Rumah kita. Kata itu berputar-putar di kepalanya. Saudara angkat. Entah kenapa beberapa hari terakhir Sonia sangat ingin kabur di saat dia sudah mendapatkan semua yang dia inginkan selama ini: rumah dan keluarga.
    “Baiklah. Aku ikut.” kata Sonia mantap.
    Dion hanya tersenyum saat mendengar jawaban Sonia.
    “Kau mau masuk?” tanya Dion saat Sonia akan berbalik untuk kembali ke kamarnya.
    Gadis itu hanya memicingkan matanya, menatap Dion dengan kecurigaan tingkat tinggi.
    “Kau mau menemaniku bermain piano?”
    Sonia menggeleng, “Aku tidak bisa main piano.”
    “Tapi kau bisa menyanyi. Ibu Rahma yang memberitahuku.”
    Sonia tertawa ringan, “Semua orang bisa menyanyi. Bahkan nenek-nenek di dekat panti sangat mahir menyanyi.”
    Tanpa menunggu persetujuan Sonia, Dion langsung menyeretnya masuk. Sonia mematung saat melihat kamar Dion yang super luas. Ada grand piano berwarna putih di tengah-tengah ruangan. Di sisi kirinya ada rak-rak tinggi yang berisi koleksi CD musik klasik dan jazz. Di sisi kanan ada ranjang besar dan kabinet di sampingnya. Di depannya, ada jendela besar yang ditutupi tirai warna merah marun. Kamarnya tidak seberantakan yang ada di dalam pikiran Sonia, bahkan sebaliknya, kamar Dion luar biasa rapi. Tidak ada barang-barang berserakan. Semuanya ditata pada tempatnya. Koleksi CD musiknya diletakkan pada rak-rak yang sudah diberi label tahun release.
    Dion memberi israyat pada Sonia untuk duduk di sampingnya, di bangku pendek pianonya. Dion merentangkan jemarinya sebelum mulai menekan tuts-tuts piano dengan lembut. Jemarinya yang panjang-panjang dan ramping menari-nari lincah di atas tuts hitam putih pianonya. Sebuah lagu yang sudah Sonia hafal liriknya di luar kepala karena sangat sering menyanyikannya.
    Pada bagian di mana seharusnya Dion mulai menyanyi, pemuda itu hanya diam. Dia hanya memberi isyarat pada Sonia untuk mulai bernyanyi. Sonia berusaha semampunya untuk tidak tertarik dengan dentingan piano itu dan tetap diam. Tapi permainan piano Dion membuat Sonia menyerah, gadis itu mulai membuka mulutnya dan menyanyikan lirik lagu itu. Dion tersenyum lebar saat mendengar Sonia bernyanyi. Suara gadis itu terdengar semakin lantang seiring dentingan nada piano. Untuk pertama kalinya sejak Sonia pindah ke rumah ini, rumah besar yang terasa menyiksa ini, gadis itu tersenyum dan merasakan kehangatan sebuah keluarga. Dia punya saudara kembar.

  4. HOW I MET YOUR MOTHER

    Thursday, April 17, 2014

    just finished watching this series. and this is sooo LEGEND...wait for it....DARY! LEGENDARY!
    it's not just about love. this series doesn't tell you about how someone met his/her future mother in law. well, actually that's what I thought when I saw the title for the first time. but apparently, it's not! it's about finding your true love and true friends. someone you may never imagine will be your true true true love, hahaha. it can be your neighbor, your boss, your old friend, your new friend or maybe it can be someone you don't know at all who suddenly show up in front of you one day. you don't know about that, I guess you'll never know about that. but the most important thing is, this series teach us how to appreciate the time you have with someone around you. you may not see them anymore, or you may end up with them forever. who knows, but THEY MUST BE MEAN SOMETHING FOR YOU.
    there is a quote from Ted, when he tried to track down Robin's locket. here is the quote:

    "Actually, there is a word for that. It’s love. I’m in love with her, okay? If you’re looking for the word that means caring about someone beyond all rationality and wanting them to have everything they want no matter how much it destroys you, it’s love. And when you love someone you just, you…you don’t stop, ever. Even when people roll their eyes, and call you crazy. Even then. Especially then. You just– you don’t give up. Because if I could just give up…if I could just, you know, take the whole world’s advice and– and move on and find someone else, that wouldn’t be love. That would be… that would be some other disposable thing that is not worth fighting for. But I– that is not what this is."

    I'm totally sure that you can see how much Ted loves Robin from that quote. THAT'S THE TRUE LOVE IS! you don't care whether you have to jump over the cliff or even go around the world just to find something important that belongs to someone you love, YOU WILL DO IT. and you will do it with all your heart.
    okay, so this series wasn't just tell us about how much Ted loves Robin, but also about how to let someone you love go. sometimes, separation is the best thing to do. even if it's hard, but I'm sure you will do it if that way can make her/him to be happier. but, fortunately, Ted's sacrifice does give him a beautiful ending. which remind me to the other quote:

    "If we're destined to be together, even if our love fails now, we will have another chance"

    And Ted does have another chance! six years after his wife passed away, his children asked him to confess his love to Robin again! that's his second chance to get his true love. and he used his second chance very well :)
    well, I guess enough from me. I don't think I can find another series like this. it's so touching, funny, romantic at the same time! And I'll never forget the life lesson they thought me :'(
    Thanks HOW I MET YOUR MOTHER for giving me a great time watching you.

  5. A Celebrity Twin #7

    Monday, April 7, 2014


    Kamis, 10 Februari
    Escape plan! Aku harus kabur dari rumah ini. Bukannya tidak senang hidup mewah seperti ini, tapi aku kurang nyaman tinggal di tempat sepi seperti ini. Dan Dion. aku tidak tahan dengan sikap keartisannya itu. Dia baik sih, tapi...pokoknya aku tidak suka.

    Pagi-pagi sekali Sonia sudah siap berangkat sekolah. Dia sudah memasukkan beberapa pakaiannya ke dalam ransel sekolah. Peralatan mandi, Sonia mempertimbangkan untuk membawanya juga, tapi akhirnya gadis itu meninggalkan peralatan mandinya di kamar mandi yang ada di dalam kamarnya. Akan sangat mencurigakan jika peralatan mandinya tidak ada di sana. Rencana pelariannya akan langsung ketahuan. Meskipun sebenarnya Sonia ragu Dion akan menggeledah sampai ke kamar mandi di kamar Sonia.
    Sonia berjalan mengendap-endap keluar dari kamar. Mak Ijah, begitu Dion memanggil wanita paruh baya yang menyiapkan semuanya di rumah ini, sedang menyirami tanaman di halaman belakang. Perut Sonia menendang-nendang saat mencium aroma nasi goreng yang menggelitik hidungnya. Dia sangat lapar. Tidak makan semalaman membuatnya sangat lapar. Tapi Sonia hanya menelan ludah dan melanjutkan misinya. Gadis itu membuka pintu depan perlahan, berusaha untuk tidak menimbulkan suara sepelan apa pun.
    Suara brak keras terdengar saat Sonia langsung menutup pintunya lagi. Ada banyak sekali wartawan di depan rumah Dion. Apa rumah Dion selalu didatangi wartawan seperti ini? Rasanya aneh melihat ada begitu banyak wartawan yang mengincarnya mengingat Dion tidak mengajak satu pun dari mereka saat datang ke panti waktu itu.
    “Ada jam tambahan sekolah?”
    Sonia langsung menoleh saat mendengar suara itu. Dion. Pemuda itu terlihat rapi meskipun baru bangun tidur. Tangan kanan Dion menggenggam segelas susu vanilla. Saat Sonia tidak juga menjawab, Dion menyesap susunya sambil berjalan mendekati Sonia.
    “Atau sekolahmu memang masuk sepagi ini?” tanya Dion lagi saat gelas susunya sudah kosong.
    “Ada jadwal piket.” jawab Sonia asal.
    “Rajin sekali.” kata Dion cuek. “Kenapa masih di sini?” tanya Dion saat melihat Sonia bergeming di dekat pintu.
    “Ada banyak sekali wartawan di depan rumahmu.”
    Mata Dion melebar, herannya dia terlihat senang. “Benarkah? Cepat sekali berita menyebar.”
    Sonia hanya mengerutkan dahi, “Berita apa?”
    Dion tidak menjawab. Dia mendekati jendela dan menyibakkan tirainya sedikit untuk mengintip keadaan di luar. Ada seberkas cahaya yang menyorot matanya saat Dion mengintip.
    “Berita kedatanganmu. Mereka sudah tahu ada anggota keluarga baru di rumah ini.”
    Sonia mendengus kesal, “Jadi itu tujuan utamamu? Meraih popularitas?”
    Dion terkekeh, “Bahasamu infotainment sekali.”
    Sonia tidak melihat kelucuan dari situasi ini. Gadis itu hanya memberengut kesal. Dia dimanfaatkan. Dia sudah tahu Dion tidak ada bedanya dengan yang lain. Dion mendadak diam saat melihat Sonia tidak ikut tertawa bersamanya.
    “Aku tulus mengadopsimu.” Sekarang Dion bicara serius. Tapi Sonia sudah terlanjur kesal.
    “Lalu apa itu?” Sonia menelengkan kepalanya ke arah pintu, merujuk pada puluhan wartawan yang rela ronda di depan rumah Dion hanya demi sebuah berita.
    “Kau tidak di sini pun mereka akan tetap ada.” jawab Dion santai.
    Sonia hanya mendengus kesal, dasar tukang pamer.
    “Makan dulu sarapanmu. Kita berangkat sebentar lagi.” Tanpa menunggu respon dari Sonia, Dion langsung melenggang pergi. Masuk ke kamarnya.
    Sonia berjalan malas ke ruang makan. Dia berniat untuk mendiamkan makanannya sebagai bentuk protes, tapi aroma nasi goreng buatan mak Ijah benar-benar tidak bisa disangkal. Seperti baru saja dihipnotis, Sonia langsung meraih sendok dan garpunya dan melahap habis nasi goreng di hadapannya.
    “Kau sudah selesai?”
    Sonia langsung mendorong piringnya yang sudah kosong saat mendengar suara Dion. Pemuda itu muncul dari balik ambang pintu kamarnya. Dion sudah memakai seragam sekolahnya. Baju seragam putih yang dilapisi jas warna hitam, ada dasi biru yang menyembul dari balik kerah jasnya. Diam-diam Sonia melirik seragam sekolahnya sendiri yang sudah kumal dan biasa saja. Tipikal anak SMA, putih abu-abu.
    Dion menyampirkan ranselnya ke bahu. Tas itu terlihat jauh lebih ringan dibanding ransel Sonia. Gadis itu mengekor saat Dion berjalan ke garasi. Ada dua mobil yang terparkir di sana. Satu mobil sedan yang sering dipakai Dion dan satu lagi mobil van.
    “Berapa baju yang kau bawa?” tanya Dion saat membuka pintu mobilnya.
    Sonia langsung kaku. Dion tahu?
    Tiba-tiba Dion terkekeh, “Bercanda. Tasmu kelihatan sangat berat.”
    Sonia menghembuskan nafas yang sedari tadi dia tahan.
    “Tentu saja tasku berat. Ada banyak buku yang aku bawa.” Bohong!
    “Bukannya sekarang sudah ada banyak ebook?” tanya Dion saat Sonia masuk ke dalam mobil.
    “Di sekolahku masih manual. Maaf.” kata Sonia pelan, seolah-olah keterbelakangan teknologi di sekolahnya adalah kesalahannya.
    Dion terlihat berbinar-binar saat mendengar informasi itu, “Kau bisa pindah ke sekolahku.” katanya ringan. Dia pikir pindah sekolah itu urusan sepele?
    “Aku sudah terlambat.” Sonia hanya mengatakan itu sebagai jawaban.
    Dion sudah menyalakan mesin mobilnya saat menggumam, “Sekolahku masuk jam sembilan.”
    ***
    Sekolah Dion selesai jam tiga sore. Itu artinya Sonia masih memiliki cukup waktu untuk kabur dari sekolah. Satu jam lagi Dion akan menjemputnya. Sonia buru-buru menarik Rina ke tempat parkir begitu mendengar bel tanda jam pelajaran berakhir. Sahabatnya itu tidak memprotes saat Sonia menyeretnya.
    “Kau harus mengizinkanku menginap di rumahmu.” kata Sonia panik saat Rina sedang berusaha menemukan kunci motornya di dalam tas.
    Untungnya Rina bukan salah satu dari para gadis pecinta gosip. Sepertinya dia sama sekali tidak menonton infotainment sejak kemarin. Rina sama sekali tidak tahu gosip tentang Dion yang mengadopsi saudara perempuan. Meskipun Sonia yakin berita itu masih belum terlalu merujuk pada dirinya karena masih belum ada yang heboh tentang berita itu. Dion berhasil menghindari gerombolan wartawan yang mengepung rumahnya tadi pagi dan untungnya sekolahnya masih lumayan sepi saat mereka sampai.
    “Memangnya kenapa? Kau bertengkar dengan ibu?” tanya Rina polos. Tadi pagi Sonia meminta Rina untuk tidak menjemputnya, jadi Rina masih belum tahu status Sonia yang sudah tidak tinggal di panti.
    “Iya, aku sedang ingin menenangkan diri.” dusta Sonia.
    Rina hanya mengendik, tidak bicara apa-apa lagi.
    Saat keluar dari gerbang sekolah, Sonia sibuk menyebarkan pandangannya ke seluruh penjuru. Saat tidak mendapati mobil Dion, Sonia menghembuskan nafas yang sedari tadi dia tahan. Dion belum datang, pikirnya tenang.
    Rumah Rina tidak terlalu jauh dari sekolah. Hanya butuh waktu lima belas menit. Mereka membicarakan banyak hal di dalam kamar Rina sampai ponsel Sonia tiba-tiba bergetar. Ponsel barunya. Nama Dion muncul pada layar ponsel. Berkedip-kedip cepat, tidak ingin diabaikan. Sonia hanya menyelipkan ponselnya ke bawah bantal. Ponselnya tetap berdengung sampai beberapa kali.
    “Itu ponsel baru?” tanya Rina saat melihat ponsel yang baru saja diselipkan Sonia ke bawah bantal.
    Sonia hanya menggeleng. Dalam hati dia berharap Dion berhenti meneleponnya agar ponsel sialan itu berhenti berdengung seperti lebah.
    “Kau tidak bilang punya ponsel baru!” kata Rina antusias. Kenapa Rina harus jadi anak-yang-antusias-dengan-gadget-baru sekarang. Biasanya dia tidak terlalu peduli dengan orang-orang yang membawa gadget baru setiap hari. Kenapa dia harus jadi orang yang peduli sekarang? Jerit Sonia dalam hati.
    Sonia langsung menekan tombol merah saat Rina membuka bantal yang menutupi ponselnya. Tepat saat Rina merebut ponsel itu dari tangan Sonia, ponsel itu bergetar lagi. Nama Dion berkedip-kedip tidak sabaran.
    “Dion? Siapa Dion?” tanya Rina penasaran.
    Sonia mendengus kesal. Rina jadi orang yang terlalu mau tahu di saat yang tidak tepat.
    “Anak panti.” jawab Sonia asal.
    Tangan Sonia berusaha menggapai ponsel itu, tapi Rina mengangkatnya tinggi-tinggi. Rina sudah menekan tombol hijau untuk mengangkat teleponnya sebelum Sonia sempat mencegahnya.
    Rina langsung menjauhkan ponselnya dari telinga saat mendengar suara di seberang sana. Sonia tidak bisa mendengar apa yang dikatakan Dion, tapi gadis itu cukup yakin Dion sedang berteriak-teriak marah. Rina langsung menyodorkan ponsel itu pada Sonia.
    “Aku sudah di depan.” Kalimat singkat itu membuat Sonia membeku untuk beberapa saat. Dia di depan sekolah kan? pikir Sonia.
    “Sebaiknya kau cepat keluar sebelum para wartawan itu sampai ke sini.” Kalimat Dion berikutnya membuat lidah Sonia kelu. “Itu jika kau ingin pulang tanpa ketahuan media.”
    “Kau di mana?” tanya Sonia untuk memastikan keberadaan Dion.
    “Di depan rumah temanmu.” jawab Dion santai.
    “Bagaimana...”
    “Akan aku jelaskan nanti. Keluar sekarang.” Seperti robot yang sudah diprogram, Sonia langsung menuruti perintah Dion. Setelah menutup teleponnya Sonia langsung membereskan barang-barangnya.
    “Apa yang dia katakan padamu tadi?” tanya Sonia pada Rina sebelum keluar kamar.
    “Dia bilang itu telepon penting. Kau harus mendengarnya langsung.” jawab Rina pelan, merasa bersalah.
    Dasar tukang paksa, pikir Sonia kesal.
    “Kau tidak perlu mengantarku keluar.” kata Sonia saat Rina akan mengikutinya.
    Sonia melirik ke belakang saat berlari-lari kecil menghampiri mobil Dion untuk memastikan Rina tidak mengikutinya. Untung saja kaca mobilnya gelap, jadi Dion tidak akan terlihat dari luar. Sonia langsung masuk ke bagian penumpang, kemudian bersedekap untuk menunjukkan kekesalannya. Dion hanya diam sambil membenarkan letak kacamata hitamnya. Tidak ada tanda-tanda pemuda itu akan segera menjalankan mobilnya dan pergi dari sini.
    “Apa lagi?” tanya Sonia tidak sabar.
    “Aku bukan sopir. Kita tidak akan pergi ke mana-mana sebelum kau pindah.” kata Dion angkuh. Sonia mendengus kesal, dia baru saja menemukan orang yang sama keras kepalanya.
    Sonia keluar dari mobil dan pindah ke samping Dion.
    “Terima kasih.” kata Dion pelan sambil tersenyum. Pemuda itu langsung menyalakan mesin mobilnya dan meluncur pergi.
    Sonia bisa menangkap sosok Rina yang berdiri mematung di jendela kamarnya.