Jumat, 11 Februari
Konferensi pers! Itu
artinya wajahku akan ada di semua media dalam waktu kurang dari satu hari. Menyebalkan!
Dion sudah berdiri di samping mobil sedannya saat Sonia keluar. Tubuhnya
yang jangkung bersandar pada pintu penumpang. Saat melihat Sonia keluar, Dion
buru-buru melepaskan diri dan berjalan memutar, masuk ke dalam mobil. Sonia
menarik nafas panjang sebelum masuk ke dalam mobil. Seperti biasa, Dion terlihat
rapi dan lebih dewasa dari seharusnya. Pemuda itu memakai kacamata hitamnya,
kemudian tersenyum pada Sonia sebelum memacu mobilnya ke jalanan.
Hanya alunan piano klasik yang menemani perjalanan mereka. Sonia
terlalu gugup untuk mengatakan apa pun. Keberaniannya mendadak luntur. Wajahnya
akan terlihat di semua acara infotainment sebentar lagi. Dia tidak bisa menyembunyikan
identitasnya lagi. Sekolah tidak akan terasa sama lagi. Sonia menggeleng,
mungkin tidak ada anak di sekolahnya yang suka menonton acara gosip. Mungkin.
“Kau kenapa?”
Sonia langsung menoleh saat mendengar pertanyaan Dion. Gadis itu
menggeleng sambil tersenyum. Senyumnya jelas tidak mencapai matanya karena Dion
terlihat tidak percaya.
“Kau gugup?” tanya Dion lagi.
Kali ini Sonia tidak bisa tersenyum. Dia memutar tubuhnya agar
menghadap Dion.
“Apa yang akan terjadi padaku setelah konferensi pers ini?” tanya
Sonia panik. Dia jarang menarik perhatian publik sebelum ini, dan dia cukup
senang dengan keadaan itu. Dia benci mendapat sorotan lebih dari orang-orang
asing.
Dion mengerutkan dahinya, “Apa yang akan terjadi padamu?” Dion
membeo.
Sonia menarik nafas dengan tidak sabar, “Akan ada banyak wartawan.
Apa yang akan terjadi padaku! Astaga! Aku tidak pernah menghadapi satu kamera
pun seumur hidupku!” Sonia menyandarkan kepalanya dengan keras, berkali-kali.
“Tidak satu pun?” tanya Dion tidak percaya. Sonia hanya
menghadiahinya tatapan sinis. “Tenang saja, tidak akan ada yang memakanmu.”
katanya ringan.
“Bagaimana nasibku di sekolah? Semua orang akan tahu kau
mengadopsiku!” kata Sonia lebih panik dari sebelumnya.
“Kau tidak suka jadi kakak angkatku?” tanya Dion, suaranya
terdengar sedih.
“Bukan...bukan itu.” Sonia tergagap. “Kau tidak tahu
teman-temanku.”
Dion memelankan laju mobilnya, dia melirik Sonia dengan sudut
matanya kemudian mendesah.
“Kita bisa membeli es krim dan mengobrol lebih lama jika itu bisa
sedikit menenangkanmu. Tapi mengulur waktu hanya akan memperlama kepanikanmu.”
kata Dion tegas dan bijaksana. Detik itu Sonia merasa Dion yang lebih pantas
menjadi seorang kakak. Pemuda itu sepertinya sudah sangat mahir mengeluarkan
kata-kata bijak untuk menenangkan seorang adik.
“Lebih baik kita cepat selesaikan ini.” kata Sonia mantap.
Dion hanya tersenyum dan mempercepat laju mobilnya.
***
Wanita paruh baya berkacamata dan berambut pendek sudah menanti
kedatangan Sonia dan Dion di depan pintu masuk hotel. Dion langsung menyalami
wanita itu begitu turun dari mobil. Sonia hanya memandangi ritual sopan santun
itu tanpa berniat mengikuti.
“Sonia, ini tante Meri. Adik mama sekaligus manajerku.”
Saat wanita itu mengulurkan tangannya, Sonia baru menjabatnya.
Aku punya tante juga, pikir Sonia.
“Kau lebih cantik dari yang diceritakan Dion. Pantas saja Dion
ngotot sekali untuk mengadopsimu.” kata tante Meri. Sonia bisa merasakan
pipinya memanas karena mendengar pujian itu. Belum pernah ada yang memujinya
cantik.
“Ayo, para wartawan sudah menunggu kalian.” Hanya itu kalimat terakhir
yang berhasil didengar Sonia. Selanjutnya Sonia hanya bisa mendengar suara degup
jantungnya sendiri.
Tangan Sonia mulai kebas
karena keringat. Sonia terus meremas-remas tali tas slempangnya selama
mengikuti Dion dan tante Meri masuk ke dalam hall room sebuah hotel bintang lima di Jakarta. Gadis itu berjalan
pelan-pelan di belakang Dion yang melangkah dengan mantap. Tante Meri membuka
pintu hall room dan menahannya agar
Dion dan Sonia masuk lebih dulu. Pandangan Sonia disilaukan oleh puluhan lampu
sorot yang berasal dari kamera-kamera yang berjajar di depan meja panjang. Seolah
jumlah kamera yang banyak itu masih kurang mengintimidasi, ada puluhan microphone yang ditata rapi di atas meja
panjang. Tiga orang security berdiri
gagah di sudut-sudut ruangan.
Sonia semakin memelankan langkahnya, terlalu takut untuk
menghadapi puluhan kamera di hadapannya. Tangannya yang basah terasa hangat
saat Dion menggandengnya dan membimbing Sonia agar duduk di sebelahnya. Di sisi
lain Dion ada tante Meri yang selalu tersenyum sejak masuk ke dalam hall room. Seorang pria berpakaian rapi
yang ada di samping meja panjang memberi isyarat pada para wartawan kapan acara
konferensi pers akan dimulai agar kamera bisa dinyalakan bersamaan. Saat
hitungan ketiga, semua cameraman
sudah siap di belakang kamera masing-masing. Tante Meri mulai membuka acara konferensi
pers itu. Setelah basa-basi yang terasa sangat cepat, wartawan mulai diizinkan
untuk mengajukan pertanyaan. Satu pertanyaan yang berhasil mengalahkan suara
degup jantung Sonia adalah: kenapa mengadopsi seorang kakak angkat?
Sonia menoleh ke arah Dion. Pemuda itu terlihat sangat tenang
dengan pertanyaan-pertanyaan yang menghujaninya. Senyum di wajahnya tidak
lenyap sama sekali. Dengan suara lembutnya Dion menjawab dangan mantap, “Apa
salahnya mengadopsi seorang kakak angkat? Saya ingin tahu rasanya memiliki
seorang kakak, dan saya rasa mengadopsi seorang kakak tidak ada salahnya. Saya
senang Sonia mau menjadi kakak angkat saya.” Dion menoleh untuk menatap Sonia
sekilas sebelum kembali pada wartawan yang mengajukan pertanyaan tadi.
Sonia hanya tersenyum sesekali. Pandangannya terlalu kabur oleh
kilatan cahaya lampu kamera di hadapannya. Belum lagi banyak sekali lampu flash yang berkilatan saat puluhan
fotografer mengambil gambar. Semua kemeriahan ini membuatnya pusing. Dia tidak
bisa memaksa suaranya keluar dari tenggorokannya yang mendadak kering. Sonia
mendongak saat Dion menyenggol lengannya. Pemuda itu mengarahkan dagunya ke
depan, menunjuk salah satu wartawan yang ternyata sedang mengajukan pertanyaan
pada Sonia. Wartawan wanita itu menatap Sonia dengan tatapan penasaran.
“Ma...” suara Sonia serak, dia berdehem untuk menjernihkan
suaranya. “maaf, apa?” Sonia berusaha memasang ekspresi tenang dan angkuh yang
biasa dia gunakan saat menghadapi Clarisa. Tapi saat ini, gadis itu tidak lagi
yakin ekspresi wajahnya terlihat seperti apa. Mungkin gugup, takut, dan
menyedihkan. Entahlah.
“Bagaimana perasaan anda saat Dion mengadopsi anda sebagai
kakaknya?”
Sonia tersenyum sekilas, berusaha mengumpulkan sisa-sisa keceriaan
yang masih dimilikinya, “Saya senang. Akhirnya saya punya keluarga.” jawab
Sonia singkat. Dulu dia juga punya keluarga, sebelum ibu memutuskan untuk
membuangnya dan membiarkan Dion mengadopsinya.
Suara-suara berikutnya kembali terdengar kabur. Kenangan wajah ibu
saat hari Sonia pergi dari panti kembali membayangi pikirannya. Ibu membenciku. Ibu membenciku. Ibu
membenciku. Kalimat itu tidak pernah benar-benar hilang dari pikirannya.
Pikiran itu hilang saat cahaya di hadapan Sonia meredup. Gadis itu
mendongak dan mendapati para wartawan sudah membereskan barang-barang mereka.
Dia menoleh, Dion sudah berdiri di sampingnya. Tubuh Dion yang tinggi membuat Sonia
harus mendongak saat menatap wajahnya. Pemuda itu tersenyum.
“Sudah selesai.” katanya.
Sonia mengangguk canggung kemudian bangkit dari kursinya. Seperti
saat masuk tadi, sekarang tante Meri juga membimbing mereka keluar dari hall room. Aroma harum menyerbu indera
penciuman Sonia saat mereka berjalan melewati koridor hotel. Sonia tidak sempat
memperhatikan keadaan di luar hall room
saat masuk tadi karena gugup. Sekarang dia baru sadar bahwa seluruh lantai di
hotel ini dilapisi karpet tebal berwarna hijau tua yang sangat indah.
Mereka berpisah di tempat parkir. Tante Meri masuk ke dalam mobil
Avanza hitam dan meluncur pergi, sedangkan Dion dan Sonia masuk ke dalam mobil
mereka. Seperti biasa, Dion memakai kacamata hitamnya sebelum menjalankan
mobilnya keluar dari tempat parkir.
“Masih siang. Kau mau main dulu?” tanya Dion saat mobil yang
mereka tumpangi sudah berbaur dengan mobil-mobil lain, berebut sepetak jalanan
beraspal untuk dilewati.
“Main apa?” tanya Sonia. Dia tidak tahu Jakarta. Dia belum pernah
ke kota besar ini sebelumnya. Seumur hidupnya hanya dihabiskan di panti asuhan
dan sekolah.
“Kau pernah bermain ice
skating?” tanya Dion, sesekali pemuda itu menoleh untuk menatap Sonia.
Sonia hanya menggeleng untuk menjawab pertanyaan Dion. Pemuda itu
tersenyum lagi. Sonia tidak tahu Dion senang sekali tersenyum. Awalnya gadis
itu pikir Dion hanya berusaha terlihat ramah saat di depan kamera, ternyata
pemuda itu memang ramah.
Dion membelokkan mobilnya dan masuk ke dalam sebuah mall yang
sangat besar. Sonia mencondongkan tubuhnya dan mendongak untuk melihat tulisan
yang ada di puncak gedung mall itu. Taman Anggrek, Sonia ingat pernah mendengar
Clarisa menyebut nama itu. Mungkin tempat ini yang dimaksud Clarisa.
Dion berjalan mantap memasuki mall itu, sementara Sonia berusaha
untuk menciutkan dirinya dan mengekor di belakang Dion. Tidak ada orang yang mendekati
mereka seperti dugaan Sonia, tapi banyak sekali orang yang menatapnya. Sesekali
Sonia memberanikan diri untuk melirik orang-orang di sekitarnya. Beberapa
perempuan yang berpapasan dengan mereka langsung menoleh dan menatap Sonia
dengan tatapan penasaran. Tubuh Sonia menegang saat merasakan genggaman tangan
Dion. Pemuda itu sedikit menarik Sonia agar berjalan sejajar dengannya.
“Kau akan terlihat seperti pengasuhku jika berjalan seperti itu.”
bisik Dion saat jarak mereka cukup dekat. “Tenang saja, mereka tidak
menggigit.”
Sonia mempererat genggamannya pada tali tas slempangnya, sementara
tangan yang lain menggenggam tangan Dion. Gadis itu berusaha menegakkan bahunya
dan mengangkat wajahnya. Sonia kembali melatih wajah angkuhnya dan tersenyum.
“Begitu lebih baik.” bisik Dion lagi.
Mereka berjalan beriringan ke tempat ice skating. Hawa dingin langsung merayapi lengan Sonia saat mereka
masuk ke dalam. Dia tidak berencana mendekati area es seluas ini saat pergi
tadi pagi. Sonia hanya memakai kemeja lengan pendek dan celana jeans,
benar-benar salah kostum.
“Ukur dulu kakimu.” kata Dion sambil menunjuk gambar telapak kaki
di lantai untuk menunjukkan ukuran sepatu yang sesuai.
Sonia langsung menggeleng, “Aku tunggu di sini saja.” katanya
mantap sambil mengusap-usap kedua lengannya untuk menghilangkan hawa dingin
yang masih menyelubunginya.
Dion hanya memutar bola matanya kemudian mendorong bahu Sonia
sampai kaki gadis itu berpijak pada gambar alas kaki yang sesuai. Dion langsung
menghampiri tempat penyewaan sepatu tanpa menunggu komentar Sonia lagi. Pemuda
itu menyodorkan sepasang sepatu skat pada Sonia. Setelah hanya memandangi
sepatu itu selama beberapa menit, akhirnya Sonia setuju untuk memakainya. Dion
bangkit, tubuhnya terlihat lebih tinggi setelah memakai sepatu skat. Pemuda itu
melepas kemeja lengan panjang yang membalut tubuhnya, menunjukkan kaus putih
lengan pendek yang ada di dalamnya.
“Pakai ini.” katanya singkat sambil menyodorkan kemeja itu pada
sonia. “Tidak terlalu hangat, tapi setidaknya kau tidak akan menggigil seperti
itu.”
Sonia menatap kemeja itu kemudian menatap Dion, “Dan kau tidak
akan menggigil hanya memakai kaus lengan pendek setipis itu?”
Dion tertawa ringan, “Kau tidak tahu aku ini yeti? Pakai saja.”
katanya lagi.
Sonia terlalu kedinginan untuk menolak tawaran Dion. Dia menerima
kemeja itu dan memakainya. Bahan katunnya terasa hangat di tubuh Sonia. Gadis
itu bangkit dan berusaha menyeimbangkan diri sebelum berjalan mengikuti Dion.
Sepatu skat-nya terasa berat. Sonia berjalan seperti zombie mendekati pintu
yang membatasi ruang tunggu dengan area es. Dion langsung meluncur ke tengah
begitu mata pisau sepatunya menyentuh es, sementara Sonia hanya bersandar pada
kusen pintu. Dia tidak pernah bermain ice
skating sebelumnya. Sepatu roda pun tidak pernah. Bagaimana bisa dia
menyeimbangkan diri di atas dua bilah pisau seperti itu?
Dion berhenti meluncur saat melihat Sonia masih berdiri mematung
di ambang pintu. Pemuda itu kembali meluncur untuk mendekati Sonia.
“Kita sedang bermain ice
skating, bukan petak umpet. Apa yang kau lakukan di situ?”
“Aku tidak bisa.” jawab Sonia mantap.
“Kau belum mencobanya!” kata Dion gemas. “Kau lihat dia?” Dion
menunjuk seorang anak kecil yang dengan lancarnya berputar-putar di atas es
dengan satu kaki. Satu kaki! “Dia bahkan lebih muda darimu.” lanjut Dion.
Itu sama sekali tidak bisa meyakinkan Sonia untuk menginjakkan
kakinya ke atas es. Gadis itu tetap menggeleng dan menggenggam erat kusen
pintu.
“Aku akan memegangimu.” kata Dion sambil mengulurkan tangannya.
“Kau bermain saja sana. Aku baik-baik saja di sini.”
Dion tertawa puas, “Bagaimana caranya memeluk kusen pintu seperti
itu bisa dibilang baik-baik saja? Kau harus mencobanya.”
Sonia menggeleng lagi.
“Astaga, kau keras kepala sekali!” kata Dion frustasi. Pemuda itu
langsung menarik Sonia agar melangkahkan kakinya di atas es.
Sonia membungkuk untuk menyeimbangkan tubuhnya. Dion masih
memegangi tangan kanannya agar Sonia tidak jatuh tengkurap di atas es. Jika
kondisinya normal, Sonia pasti sudah akan memukul Dion dengan apa pun yang ada
pada jangkauannya, tapi saat ini Sonia masih membutuhkan bantuan Dion untuk
kembali ke ruang tunggu.
“Kau harus berdiri tegak agar tubuhmu seimbang.” Dion mulai terdengar
seperti seorang instruktur profesional.
Sonia berusaha menegakkan tubuhnya, tapi kakinya meluncur ke depan
tanpa diperintah. Dion menangkapnya dan membantu Sonia berdiri tegak. Gadis itu
merentangkan tangan lain yang tidak memegangi Dion agar bisa berdiri. Dion
mengulurkan tangan lainnya, Sonia sempat ragu tapi akhirnya meraih tangan itu.
“Kau harus meluncur, bukan melangkah, oke?” kata Dion.
Pemuda itu meluncur mundur, sementara Sonia mengikuti langkahnya
dan meluncur perlahan. Rasanya sangat licin, Sonia tidak yakin dia akan bisa
berdiri jika Dion tidak memeganginya.
“Aku akan melepaskanmu, oke?” tanya Dion lagi.
“Jangan!” jawab Sonia spontan.
Dion tertawa lagi, entah karena dia senang atau dia sedang menertawakan
kebodohan Sonia.
“Aku akan jatuh.” kata Sonia pelan, malu dengan ketidakbisaannya
sementara di sekelilingnya anak-anak usia sekolah dasar sudah meluncur bebas ke
sana kemari.
“Kau pesimis sekali.” kata Dion ceria. “Kau tidak pernah jatuh?”
Dion melepaskan genggamannya, tapi Sonia masih menggenggam erat
lengan Dion. Dion memberi isyarat pada Sonia agar melepaskan tangannya. Ada
bekas merah pada lengan Dion, tempat di mana Sonia menggenggamnya terlalu kuat.
Sonia melepaskan tangannya, tapi masih belum berani menjauhkan telapak
tangannya dari lengan Dion. Saat yakin dia bisa berdiri, Sonia mulai
merentangkan tangannya. Gadis itu tersenyum lebar saat tubuhnya berhasil
berdiri tegak. Dion meluncur mundur dan memberi isyarat pada Sonia agar
mengikutinya. Saat Sonia meluncur, tubuhnya kembali goyah, Dion langsung
menangkapnya lagi.
Proses jatuh bangun itu terus terjadi sampai akhirnya Sonia
berhasil meluncur sedikit. Setelah beberapa langkah, dia kembali jatuh. Sonia
sudah terlalu lelah untuk mencoba. Saat Sonia hanya berdiri mematung dan tidak
mau bergerak lagi, Dion mendekat.
“Aku tidak ada bakat. Tidak perlu memaksa. Kita pulang saja.”
katanya sambil bersedekap, seperti anak kecil yang merajuk. Dia belum pernah bersikap
seperti itu sebelumnya. Biasanya Sonia yang selalu mengalah pada adik-adiknya
di panti. Sifat manjanya terasa sangat asing bahkan bagi dirinya sendiri.
Dion hanya mengangguk dan membimbingnya kembali ke ruang tunggu.
Mungkin Dion juga sudah lelah karena mengajari Sonia. Setelah mengembalikan
sepatunya, Sonia melepas kemeja Dion dan menyodorkannya. Pemuda itu menerima
kemeja itu dan hanya menyampirkannya ke bahu.
“Kau lapar?” tanya Dion saat mereka berjalan melewati deretan
restoran di dalam mall.
Sonia menggeleng, “Aku ingin pulang.”
Dion hanya diam. Jika pemuda itu kelaparan dan ingin protes, dia
tidak menunjukkannya. Dion hanya melangkah ringan melewati orang-orang yang
menatap mereka. Sonia bisa menangkap sosok-sosok yang berdiri ragu di dekat
mereka. Mungkin orang-orang itu berniat menyapa Dion tapi tidak cukup berani
untuk mengatakan apa pun. Sonia berusaha menyamakan langkahnya dengan Dion agar
tidak tertinggal. Dia merasa jauh lebih tenang saat akhirnya masuk ke dalam
mobil.
Sorenya, kabar itu sudah menyebar di seluruh infotainment. Sonia
melihatnya di televisi kecil yang ada di SPBU saat Dion mengisi bensin
mobilnya. Gadis itu menyandarkan kepalanya pada sandaran jok dan menarik nafas
panjang. Dia tidak akan merasa aman lagi di sekolah. Kehidupan normalnya sudah
tamat.
0 komentar:
Post a Comment