Rss Feed
  1. A Celebrity Twin #8

    Friday, April 25, 2014


    Kamis (lagi), 10 Februari
    GAGAL! Hah, alat pelacak! Mana ada alat semacam itu? Dion mengikutiku sejak awal! Itu penjelasan yang jauh lebih masuk akal dibanding alat pelacak fiktif yang dia ceritakan. Besok usahaku untuk kabur harus berhasil. Jika rumah Rina sudah tidak aman lagi, sepertinya aku harus mencari rumah penampungan lain.

    Dengan entengnya Dion menjelaskan bagaimana dia bisa menemukan rumah Rina. Dia sudah memasang alat pelacak pada ponsel yang diberikannya pada Sonia. Gadis itu langsung murka begitu mendengar penjelasan Dion yang sama sekali tidak masuk akal. Alat canggih semacam itu hanya ada di luar negeri! Hanya karena Dion artis bukan berarti dia bisa memiliki alat secanggih itu. Jika memang itu alasan Dion bisa menemukannya, Sonia berencana meninggalkan ponsel barunya di rumah besok.
    Sepulang sekolah tadi Sonia langsung mengurung dirinya di kamar. Rasanya ruangan persegi yang cukup luas itu adalah satu-satunya tempat yang aman di rumah ini. Bukan berarti Dion merupakan sebuah ancaman bagi dirinya, hanya saja Sonia merasa asing dengan kehidupan di luar kamarnya itu.
    Perut Sonia mulai berdendang nyaring saat langit mulai gelap. Dia tidak makan sejak tadi siang. Usahanya untuk melarikan diri dari kehidupan barunya membuat Sonia kehilangan selera makannya. Biasanya Dion akan memanggilnya untuk makan malam, tapi malam ini tidak ada tanda-tanda kehadiran pemuda itu. Mungkin dia sudah bosan dengan sikap Sonia yang selalu memberontak. Mungkin pemuda itu masih kesal karena Sonia memarahinya habis-habisan tentang teori alat pelacak itu tadi sore. Entahlah.
    Sonia membuka pintu kamarnya sedikit, kepalanya menyembul untuk melihat keadaan di luar kamarnya. Sepi. Sonia mendongak untuk melihat jam dinding di kamarnya, sudah pukul 8 malam. Mungkin Dion sudah mengunci diri di kamar. Sonia melangkah perlahan, melewati ruang keluarga yang sangat sepi. Dia menghentikan langkahnya saat sampai di dapur. Ada mak Ijah di sana, sedang mencuci piring-piring kotor. Mak Ijah hanya tersenyum saat melihat Sonia masuk.
    “Mana Dion?” tanya Sonia saat menarik sebuah kursi. Tangannya membuka tudung saji untuk melihat makanan apa yang tersisa untuknya. Yang dimaksud dengan “sisa” adalah sepiring penuh ayam goreng dan semangkuk besar sayur. Biasanya Sonia hanya mendapati sepotong sayap ayam goreng jika terlambat makan di panti. Di sini, sepertinya tidak ada orang yang terlalu antusias melihat makanan. Atau memang porsi makanan yang dibuat selalu berlebihan?
    “Mas Dion sudah masuk ke kamarnya sejak tadi.” jawab mak Ijah malu-malu.
    Sonia hanya mengangguk pelan.
    Sonia menghabiskan makanannya dalam diam. Setelah selesai makan, Sonia langsung membawa piring kosongnya ke tempat cucian. Dengan sigap mak Ijah langsung mengambil piring itu dari tangan Sonia.
    “Biar saya saja.” kata mak Ijah sebelum Sonia sempat berkata apa pun.
    Sonia hanya diam, berniat langsung mengurung diri di kamar lagi. Gadis itu melewati kamar Dion saat kembali ke kamarnya. Dia tidak pernah melihat isi kamar Dion. Mungkin berantakan seperti kapal pecah, biasanya anak laki-laki kan seperti itu. Sonia biasanya bertugas membereskan kamar adik-adiknya di panti. Kamar Bagus adalah kamar yang paling berantakan di dunia. Seprainya selalu lepas dari sisi-sisi kasur, berantakan di mana-mana.
    Sonia berhenti melangkah saat mendengar suara dentingan piano dari dalam kamar Dion. Gadis itu menempelkan telinganya pada daun pintu, suara dentingan piano itu terdengar lebih jelas. Dion sedang memainkan salah satu lagunya yang akhir-akhir ini sedang sangat populer. Kamarnya pasti sangat luas sampai bisa menampung piano di dalam, pikir Sonia.
    Tubuh Sonia merosot pada daun pintu. Gadis itu menekuk kakinya dan menyangga kepalanya di antara dua lutut. Dia selalu menyukai suara dentingan piano. Mendengarnya secara langsung membuat Sonia merasa sangat senang. Ada perasaan bahagia yang membuncah di dadanya. Sonia hanya menempelkan jari telunjuknya pada bibir saat mak Ijah menatapnya bingung.
    Sonia menutup matanya, mendengarkan setiap dentingan piano yang dimainkan Dion dengan penuh perasaan. Suara pemuda itu yang terdengar sangat lembut menambah keindahan lagunya. Sonia tidak pernah menyangka bisa mendengar Dion menyanyikan lagunya secara langsung seperti ini.
    Tubuh Sonia yang kecil terjengkang ke belakang saat pintu yang dia sandari dibuka. Matanya beradu dengan mata Dion yang menatapnya curiga. Sonia buru-buru bangkit dan merapikan pakaiannya. Dion hanya mengangkat sebelah alisnya, menuntut penjelasan.
    “Aku...aku...hanya...” Sonia tergagap. Penjelasan apa yang bisa dia berikan saat tertangkap basah sedang menguping saudara angkatnya bermain piano? “Permainan pianomu sangat bagus.” kata Sonia akhirnya.
    Dion hanya melipat tangannya di depan dada, sebelah bahunya bersandar pada kusen pintu kamarnya.
    “Besok kau izin sekolah.” katanya santai.
    Sonia langsung melotot. Dion jadi seperti diktator lagi.
    Sonia menggeleng keras sebelum menjawab, “Aku mau sekolah.”
    Sebenarnya bukan itu yang sangat dia inginkan, dia ingin kabur! Setidaknya di luar rumah ini Sonia merasa lebih bebas.
    “Ada konferensi pers di Jakarta. Kau harus ikut denganku.”
    Sonia mengangkat sebelah alisnya, “Kenapa aku harus ikut denganmu? Kau harus menyelesaikan masalahmu sendiri.”
    Sonia sudah bersiap meninggalkan Dion saat tangan pemuda itu menangkap lengannya.
    “Kau mau para wartawan itu menyingkir atau tidak?” tanya Dion tegas.
    Sonia hanya meliriknya sekilas, saat Dion tidak juga melepaskan lengannya, Sonia berbalik.
    “Mereka hanya ingin berita. Kita berikan apa yang mereka mau besok, setelah itu tidak akan ada wartawan yang mengganggu kita lagi.”
    Mendengar cara Dion menyebut kata “kita” membuat Sonia merasa seperti seorang selingkuhan yang sedang disembunyikan.
    “Apa yang akan kau katakan? Besok, maksudku.”
    Dion melepaskan genggaman tangannya dan kembali bersedekap. Matanya menatap langit-langit seperti sedang mencari contekan jawaban di sana.
    “Aku akan mengumumkan bahwa kau adik, maaf, kakak angkatku.” katanya ringan.
    “Kau pikir dengan begitu mereka tidak akan mengganggu kita lagi?” tanya Sonia untuk mengonfirmasi pikirannya sebelum menyanggupi untuk ikut konferensi pers besok.
    Dion mengendik, “Tidak akan benar-benar tidak mengganggu, tapi setidaknya mereka tidak akan menunggui gerbang rumah kita lagi.”
    Sonia merasa udara berhenti mengisi paru-parunya saat mendengar kata “rumah kita”. Dia tidak pernah mendengar kata itu seumur hidupnya. Rumah kita. Untuk pertama kalinya Sonia memiliki sesuatu untuk diklaim sebagai miliknya. Rumah kita. Kata itu berputar-putar di kepalanya. Saudara angkat. Entah kenapa beberapa hari terakhir Sonia sangat ingin kabur di saat dia sudah mendapatkan semua yang dia inginkan selama ini: rumah dan keluarga.
    “Baiklah. Aku ikut.” kata Sonia mantap.
    Dion hanya tersenyum saat mendengar jawaban Sonia.
    “Kau mau masuk?” tanya Dion saat Sonia akan berbalik untuk kembali ke kamarnya.
    Gadis itu hanya memicingkan matanya, menatap Dion dengan kecurigaan tingkat tinggi.
    “Kau mau menemaniku bermain piano?”
    Sonia menggeleng, “Aku tidak bisa main piano.”
    “Tapi kau bisa menyanyi. Ibu Rahma yang memberitahuku.”
    Sonia tertawa ringan, “Semua orang bisa menyanyi. Bahkan nenek-nenek di dekat panti sangat mahir menyanyi.”
    Tanpa menunggu persetujuan Sonia, Dion langsung menyeretnya masuk. Sonia mematung saat melihat kamar Dion yang super luas. Ada grand piano berwarna putih di tengah-tengah ruangan. Di sisi kirinya ada rak-rak tinggi yang berisi koleksi CD musik klasik dan jazz. Di sisi kanan ada ranjang besar dan kabinet di sampingnya. Di depannya, ada jendela besar yang ditutupi tirai warna merah marun. Kamarnya tidak seberantakan yang ada di dalam pikiran Sonia, bahkan sebaliknya, kamar Dion luar biasa rapi. Tidak ada barang-barang berserakan. Semuanya ditata pada tempatnya. Koleksi CD musiknya diletakkan pada rak-rak yang sudah diberi label tahun release.
    Dion memberi israyat pada Sonia untuk duduk di sampingnya, di bangku pendek pianonya. Dion merentangkan jemarinya sebelum mulai menekan tuts-tuts piano dengan lembut. Jemarinya yang panjang-panjang dan ramping menari-nari lincah di atas tuts hitam putih pianonya. Sebuah lagu yang sudah Sonia hafal liriknya di luar kepala karena sangat sering menyanyikannya.
    Pada bagian di mana seharusnya Dion mulai menyanyi, pemuda itu hanya diam. Dia hanya memberi isyarat pada Sonia untuk mulai bernyanyi. Sonia berusaha semampunya untuk tidak tertarik dengan dentingan piano itu dan tetap diam. Tapi permainan piano Dion membuat Sonia menyerah, gadis itu mulai membuka mulutnya dan menyanyikan lirik lagu itu. Dion tersenyum lebar saat mendengar Sonia bernyanyi. Suara gadis itu terdengar semakin lantang seiring dentingan nada piano. Untuk pertama kalinya sejak Sonia pindah ke rumah ini, rumah besar yang terasa menyiksa ini, gadis itu tersenyum dan merasakan kehangatan sebuah keluarga. Dia punya saudara kembar.

  2. 0 komentar:

    Post a Comment