Kamis (lagi), 10
Februari
GAGAL! Hah, alat
pelacak! Mana ada alat semacam itu? Dion mengikutiku sejak awal! Itu penjelasan
yang jauh lebih masuk akal dibanding alat pelacak fiktif yang dia ceritakan. Besok
usahaku untuk kabur harus berhasil. Jika rumah Rina sudah tidak aman lagi,
sepertinya aku harus mencari rumah penampungan lain.
Dengan entengnya Dion menjelaskan bagaimana dia bisa menemukan
rumah Rina. Dia sudah memasang alat pelacak pada ponsel yang diberikannya pada
Sonia. Gadis itu langsung murka begitu mendengar penjelasan Dion yang sama
sekali tidak masuk akal. Alat canggih semacam itu hanya ada di luar negeri!
Hanya karena Dion artis bukan berarti dia bisa memiliki alat secanggih itu. Jika
memang itu alasan Dion bisa menemukannya, Sonia berencana meninggalkan ponsel
barunya di rumah besok.
Sepulang sekolah tadi Sonia langsung mengurung dirinya di kamar. Rasanya
ruangan persegi yang cukup luas itu adalah satu-satunya tempat yang aman di
rumah ini. Bukan berarti Dion merupakan sebuah ancaman bagi dirinya, hanya saja
Sonia merasa asing dengan kehidupan di luar kamarnya itu.
Perut Sonia mulai berdendang nyaring saat langit mulai gelap. Dia
tidak makan sejak tadi siang. Usahanya untuk melarikan diri dari kehidupan
barunya membuat Sonia kehilangan selera makannya. Biasanya Dion akan
memanggilnya untuk makan malam, tapi malam ini tidak ada tanda-tanda kehadiran
pemuda itu. Mungkin dia sudah bosan dengan sikap Sonia yang selalu memberontak.
Mungkin pemuda itu masih kesal karena Sonia memarahinya habis-habisan tentang
teori alat pelacak itu tadi sore. Entahlah.
Sonia membuka pintu kamarnya sedikit, kepalanya menyembul untuk
melihat keadaan di luar kamarnya. Sepi. Sonia mendongak untuk melihat jam
dinding di kamarnya, sudah pukul 8 malam. Mungkin Dion sudah mengunci diri di
kamar. Sonia melangkah perlahan, melewati ruang keluarga yang sangat sepi. Dia
menghentikan langkahnya saat sampai di dapur. Ada mak Ijah di sana, sedang
mencuci piring-piring kotor. Mak Ijah hanya tersenyum saat melihat Sonia masuk.
“Mana Dion?” tanya Sonia saat menarik sebuah kursi. Tangannya
membuka tudung saji untuk melihat makanan apa yang tersisa untuknya. Yang
dimaksud dengan “sisa” adalah sepiring penuh ayam goreng dan semangkuk besar
sayur. Biasanya Sonia hanya mendapati sepotong sayap ayam goreng jika terlambat
makan di panti. Di sini, sepertinya tidak ada orang yang terlalu antusias
melihat makanan. Atau memang porsi makanan yang dibuat selalu berlebihan?
“Mas Dion sudah masuk ke kamarnya sejak tadi.” jawab mak Ijah
malu-malu.
Sonia hanya mengangguk pelan.
Sonia menghabiskan makanannya dalam diam. Setelah selesai makan,
Sonia langsung membawa piring kosongnya ke tempat cucian. Dengan sigap mak Ijah
langsung mengambil piring itu dari tangan Sonia.
“Biar saya saja.” kata mak Ijah sebelum Sonia sempat berkata apa
pun.
Sonia hanya diam, berniat langsung mengurung diri di kamar lagi.
Gadis itu melewati kamar Dion saat kembali ke kamarnya. Dia tidak pernah
melihat isi kamar Dion. Mungkin berantakan seperti kapal pecah, biasanya anak
laki-laki kan seperti itu. Sonia biasanya bertugas membereskan kamar adik-adiknya
di panti. Kamar Bagus adalah kamar yang paling berantakan di dunia. Seprainya
selalu lepas dari sisi-sisi kasur, berantakan di mana-mana.
Sonia berhenti melangkah saat mendengar suara dentingan piano dari
dalam kamar Dion. Gadis itu menempelkan telinganya pada daun pintu, suara
dentingan piano itu terdengar lebih jelas. Dion sedang memainkan salah satu
lagunya yang akhir-akhir ini sedang sangat populer. Kamarnya pasti sangat luas sampai bisa menampung piano di dalam,
pikir Sonia.
Tubuh Sonia merosot pada daun pintu. Gadis itu menekuk kakinya dan
menyangga kepalanya di antara dua lutut. Dia selalu menyukai suara dentingan
piano. Mendengarnya secara langsung membuat Sonia merasa sangat senang. Ada
perasaan bahagia yang membuncah di dadanya. Sonia hanya menempelkan jari telunjuknya
pada bibir saat mak Ijah menatapnya bingung.
Sonia menutup matanya, mendengarkan setiap dentingan piano yang
dimainkan Dion dengan penuh perasaan. Suara pemuda itu yang terdengar sangat
lembut menambah keindahan lagunya. Sonia tidak pernah menyangka bisa mendengar
Dion menyanyikan lagunya secara langsung seperti ini.
Tubuh Sonia yang kecil terjengkang ke belakang saat pintu yang dia
sandari dibuka. Matanya beradu dengan mata Dion yang menatapnya curiga. Sonia
buru-buru bangkit dan merapikan pakaiannya. Dion hanya mengangkat sebelah
alisnya, menuntut penjelasan.
“Aku...aku...hanya...” Sonia tergagap. Penjelasan apa yang bisa
dia berikan saat tertangkap basah sedang menguping saudara angkatnya bermain
piano? “Permainan pianomu sangat bagus.” kata Sonia akhirnya.
Dion hanya melipat tangannya di depan dada, sebelah bahunya
bersandar pada kusen pintu kamarnya.
“Besok kau izin sekolah.” katanya santai.
Sonia langsung melotot. Dion jadi seperti diktator lagi.
Sonia menggeleng keras sebelum menjawab, “Aku mau sekolah.”
Sebenarnya bukan itu yang sangat dia inginkan, dia ingin kabur!
Setidaknya di luar rumah ini Sonia merasa lebih bebas.
“Ada konferensi pers di Jakarta. Kau harus ikut denganku.”
Sonia mengangkat sebelah alisnya, “Kenapa aku harus ikut denganmu?
Kau harus menyelesaikan masalahmu sendiri.”
Sonia sudah bersiap meninggalkan Dion saat tangan pemuda itu menangkap
lengannya.
“Kau mau para wartawan itu menyingkir atau tidak?” tanya Dion
tegas.
Sonia hanya meliriknya sekilas, saat Dion tidak juga melepaskan
lengannya, Sonia berbalik.
“Mereka hanya ingin berita. Kita berikan apa yang mereka mau
besok, setelah itu tidak akan ada wartawan yang mengganggu kita lagi.”
Mendengar cara Dion menyebut kata “kita” membuat Sonia merasa
seperti seorang selingkuhan yang sedang disembunyikan.
“Apa yang akan kau katakan? Besok, maksudku.”
Dion melepaskan genggaman tangannya dan kembali bersedekap. Matanya
menatap langit-langit seperti sedang mencari contekan jawaban di sana.
“Aku akan mengumumkan bahwa kau adik, maaf, kakak angkatku.” katanya
ringan.
“Kau pikir dengan begitu mereka tidak akan mengganggu kita lagi?”
tanya Sonia untuk mengonfirmasi pikirannya sebelum menyanggupi untuk ikut
konferensi pers besok.
Dion mengendik, “Tidak akan benar-benar tidak mengganggu, tapi setidaknya mereka tidak akan menunggui gerbang
rumah kita lagi.”
Sonia merasa udara berhenti mengisi paru-parunya saat mendengar
kata “rumah kita”. Dia tidak pernah mendengar kata itu seumur hidupnya. Rumah
kita. Untuk pertama kalinya Sonia memiliki sesuatu untuk diklaim sebagai
miliknya. Rumah kita. Kata itu berputar-putar di kepalanya. Saudara angkat. Entah
kenapa beberapa hari terakhir Sonia sangat ingin kabur di saat dia sudah
mendapatkan semua yang dia inginkan selama ini: rumah dan keluarga.
“Baiklah. Aku ikut.” kata Sonia mantap.
Dion hanya tersenyum saat mendengar jawaban Sonia.
“Kau mau masuk?” tanya Dion saat Sonia akan berbalik untuk kembali
ke kamarnya.
Gadis itu hanya memicingkan matanya, menatap Dion dengan
kecurigaan tingkat tinggi.
“Kau mau menemaniku bermain piano?”
Sonia menggeleng, “Aku tidak bisa main piano.”
“Tapi kau bisa menyanyi. Ibu Rahma yang memberitahuku.”
Sonia tertawa ringan, “Semua orang bisa menyanyi. Bahkan
nenek-nenek di dekat panti sangat mahir menyanyi.”
Tanpa menunggu persetujuan Sonia, Dion langsung menyeretnya masuk.
Sonia mematung saat melihat kamar Dion yang super luas. Ada grand piano berwarna putih di
tengah-tengah ruangan. Di sisi kirinya ada rak-rak tinggi yang berisi koleksi
CD musik klasik dan jazz. Di sisi kanan ada ranjang besar dan kabinet di
sampingnya. Di depannya, ada jendela besar yang ditutupi tirai warna merah
marun. Kamarnya tidak seberantakan yang ada di dalam pikiran Sonia, bahkan
sebaliknya, kamar Dion luar biasa rapi. Tidak ada barang-barang berserakan. Semuanya
ditata pada tempatnya. Koleksi CD musiknya diletakkan pada rak-rak yang sudah
diberi label tahun release.
Dion memberi israyat pada Sonia untuk duduk di sampingnya, di
bangku pendek pianonya. Dion merentangkan jemarinya sebelum mulai menekan tuts-tuts
piano dengan lembut. Jemarinya yang panjang-panjang dan ramping menari-nari
lincah di atas tuts hitam putih pianonya. Sebuah lagu yang sudah Sonia hafal
liriknya di luar kepala karena sangat sering menyanyikannya.
Pada bagian di mana seharusnya Dion mulai menyanyi, pemuda itu
hanya diam. Dia hanya memberi isyarat pada Sonia untuk mulai bernyanyi. Sonia
berusaha semampunya untuk tidak tertarik dengan dentingan piano itu dan tetap
diam. Tapi permainan piano Dion membuat Sonia menyerah, gadis itu mulai membuka
mulutnya dan menyanyikan lirik lagu itu. Dion tersenyum lebar saat mendengar Sonia
bernyanyi. Suara gadis itu terdengar semakin lantang seiring dentingan nada
piano. Untuk pertama kalinya sejak Sonia pindah ke rumah ini, rumah besar yang
terasa menyiksa ini, gadis itu tersenyum dan merasakan kehangatan sebuah
keluarga. Dia punya saudara kembar.
0 komentar:
Post a Comment