Rss Feed
  1. "crushed" or "crush"

    Wednesday, November 27, 2013

    soooo, today I met him. the one that I crushed on..hahaha. see? I write word "crush" in past tense. it means that happened in past time right? hahahaha, it brings me back memory though ^.^

  2. VAZARD : Batu Burdeoux

    Saturday, November 16, 2013

    jeng jeng jeng!!! jadi ini dia nih calon cover buat VAZARD seri pertama (halah, sok sokan. beres aja belum, hahaha)

    cuma blurb aja nih buat VAZARD seri Batu Burdeoux ini.
    jadi ada anak sekolahan yang maniak sains bernama JULIA, yang dipaksa mamanya buat ikutan pesta. nah, pas lagi dandan itu si julia nemu kalung biru di kamar mamanya. eh, ternyata itu adalah kalung batu burdeoux sodara-sodara! batu apakah itu? batu burdeoux adalah batu warisan leluhur kaum penyihir burdeoux yang diciptakan dari seluruh elemen-elemen penting yang ada di VAZARD. itu sebabnya batu ini memiliki kekuatan yang LUAR BINASA, muahahahaha. cuma orang-orang yang kuat iman, mulia akhlak, prima prestasi (kayak visi sekolahan nih) aja yang bisa mengendalikan kekuatan batu ini. selain memiliki kekuatannya sendiri, batu ini juga bisa digunakan untuk menyimpan kekuatan pemiliknya. jadi kayak tempat kekuatan cadangan gitu deh. nah gegara batu ini nih, si julia sampe disamperin si Alex. panglima kaum Orsenvezk yang ditugaskan untuk menjemput "sang penyelamat". dan di situlah petualangannya di mulai. saat julia memutuskan untuk membantu Alex karena saking penasarannya sama batu itu dan akhirnya ikut Alex ke VAZARD. apa yang akan dia hadapi? tunggu saja ^.^


    #Akhir-akhir ini saya baru tahu kalau Blog saya dibaca sama orang Amerika juga, jadi mau ane translate ke bahasa inggris juga nih, hahaha


    It's about a girl name Julia who really likes science. One day, her mom ask her to come to a party which she hates the most. She finds a necklace while her mom's doing make up. It's not just an ordinary necklace, it's Burdeoux stone. Burdeoux stone is really precious thing of Burdeoux wizard. The stone was made of main elements of all over VAZARD. That's why the burdeoux stone has a very powerful magic. Because of the energy from the stone, Alex is able to find Julia. Alex is the commander in VAZARD whom asked by his queen to bring "the savior". And the adventure begin. Julia's willing to help Alex. What will she deal with? Just wait for the story ^.^

    #bahasa inggrisnya kacau! Gomen ne! :D#

  3. If You Could See me Now (Dad)

    Tuesday, November 12, 2013




    As always, this story just inspired by The Script's song "If You Could See Me Now"
    this is a present for the father in all over the world :)
    Happy Father's Day


    Suara riuh tepuk tangan menarikku kembali ke tempat aku berdiri sekarang. Sebuah panggung megah dengan sorotan lampu berwarna-warni yang mengarah tepat ke arahku. Aku mengangkat tangan dan meneriakkan kata-kata terima kasih untuk menghilangkan lamunan yang baru saja menguasaiku. Aku mengedarkan pandanganku ke seisi gedung. Melihat satu per satu wajah di hadapanku. Mereka terlihat sangat bersemangat, dan tak kenal lelah. Sebagaian besar dari mereka mengacungkan papan atau kertas bertuliskan namaku. Pandanganku menyapu satu persatu wajah asing itu, berharap bisa menemukan orang yang aku cari. Seseorang yang sangat aku harapkan kehadirannya.
    ***
    Aku menatap pecahan gelas itu dengan mata nanar. Pandanganku kabur karena berair. Telapak tanganku terasa panas dan dan perih karena memukul meja dan menghempaskan gelas itu ke lantai. Ayah masih berdiri di hadapanku, tanpa ekspresi.
    “Apa ayah tidak bisa percaya padaku?”
    “Tidak jika kau terus bersikap kekanakan seperti ini.”
    Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya lagi dengan frustasi. Pembicaraan konyol ini sudah berlangsung selama hampir dua jam. Aku hanya memohon pada ayah agar mengijinkanku memilih jurusan seni daripada jurusan marketing yang disarankannya.
    “Aku akan berhasil.”
    “Ya, Ayah tahu itu. Ayah tahu kau akan berusaha sekuat tenaga untuk berhasil di bidang itu, tapi kau tidak bisa mengandalkan hal itu selamanya.”
    “Aku tidak bisa melakukan sesuatu yang tidak aku sukai.”
    “Kau lebih baik dari itu.” katanya lantang kemudian meninggalkanku.
    Ibu hanya berdiri di sudut ruangan tanpa mengatakan apa pun. Ibu hanya menatapku dengan tatapan iba yang membuat dadaku sesak. Aku membutuhkan lebih dari sekedar tatapan itu.
    ***
    Alunan musik mulai terdengar mengiringi suara teriakan yang memenuhi gedung megah ini. Aku meraih stand mic yang ada di hadapanku dan melepas microphone-nya. Mataku terpejam saat berusaha menghayati cerita dalam lagu yang akan aku bawakan. Cerita tentang sebuah kekecewaan dan penyesalan. Kelebatan bayangan itu menyerangku tepat saat aku mulai bersuara. Wajahnya kembali menguasai pikiranku.
    ***
    “Kau harus berhenti merokok,”
    Aku langsung menoleh saat mendengar suara berat itu di belakangku. Ayah muncul dari balik tirai yang memisahkan dapur dengan teras belakang.
    “Aku ingin melihatmu berhasil, kau tahu.”
    Aku buru-buru mematikan rokok yang sedang aku hisap, kemudian bergeser agar ayah bisa duduk di sampingku.
    “Ayah masih sangat sehat, aku yakin Ayah akan melihatku sukses suatu hari nanti.”
    “Itu tidak akan terjadi jika kau mati lebih dulu.”
    Aku langsung menoleh ke arahnya karena kaget mendengar kata-katanya yang datar dan menusuk. Aku melirik rokokku yang sudah tergeletak di dekat kakiku. Butuh waktu untuk menghilangkan kebiasaan ini.
    “Bagaimana kuliahmu?” ayah bertanya sebelum menyesap kopi hitamnya.
    Aku membayangkan kelas marketing yang harus aku ikuti setiap hari. Membosankan. Hanya membahas tentang untung rugi finansial yang memuakkan.
    “Baik.” Jawabku singkat, berharap ayah tidak akan bertanya lebih jauh tentang hal membosankan itu.
    “Bagaimana musikmu?”
    Lagi-lagi ayah membuatku kaget. Ayah tertawa ringan saat meletakkan cangkir kopinya, “kau pikir ayah tidak peduli? Ayah senang kau tertarik pada musik.”
    Aku hanya menatapnya, mendengarkan.
    “Seorang lelaki membutuhkan musik sebagai tempat pelarian, kau tahu? Agar mentalmu tetap stabil.” Ayah menepuk bahuku beberapa kali sebelum bangkit kemudian kembali masuk ke dalam.
    Aku hanya tersenyum sekilas saat ayah sudah masuk ke dalam.
    ***
    Aku mengucapkan lirik demi lirik dengan penuh penghayatan. Mataku masih terus menjelajahi lautan manusia di hadapanku. Berharap, hanya berharap aku bisa melihat wajah itu. Aku menemukan wajah familiar itu di sana. Baris ketiga dari belakang. Aku tersenyum saat melihat wajah familiar itu tersenyum. Dadaku mendadak sesak saat melihat kursi di sebelahnya yang kosong.
    ***
    Aku membawa dua lembar kertas yang membuatku tidak bisa berhenti tersenyum hari ini. Aku sudah merangkai kata untuk menyampaikan berita menakjubkan ini selama perjalanan pulang ke rumah. Mataku tidak bisa beralih dari dua lembar kertas itu selama berada di bus kota. Tangan kananku memegang lembaran transkrip nilai semester ini yang menunjukkan hasil belajarku yang sempurna. Tangan kiriku memegang kertas kontrak yang ditawarkan perusahaan rekaman pada band indie yang aku bentuk.
    Aku menyelipkan kedua kertas itu ke dalam tas ransel sebelum turun dari bus. Aku harus memberikan kejutan ini pada ayah. Aku berlari dari halte menuju rumah yang berjarak cukup dekat. Aku berusaha mengatur nafasku sebelum membuka pintu. Aku melangkah masuk setelah nafasku kembali teratur dan tenang.
    Suasana di dalam rumah begitu sepi. Tidak seperti biasanya. Terdengar suara isakan dari dalam kamar ayah dan ibu. Aku langsung mempercepat langkahku dan masuk ke dalam kamar itu tanpa permisi. Ibu duduk di samping tempat tidur, tangannya menggenggam erat tangan ayah yang terbaring di tempat tidur. Aku hanya berdiri diam di dekat pintu, memperhatikan wajah ayah yang terlihat sangat damai. Matanya terpejam, bibirnya memucat. Aku memperhatikannya dengan lebih teliti, dadanya tidak bergerak naik turun seperti biasa. Ibu melepaskan genggaman tangannya dari tangan ayah kemudian mengulurkan tangannya padaku. Aku buru-buru melangkah maju dan meraih tangan ibu, duduk di dekatnya.
    “Serangan jantungnya begitu mendadak,”
    Hanya satu kalimat. Tapi aku tahu arti dari kalimat itu dengan begitu baik. Ayah pergi. Setelah perjuangannya selama ini, ayah memutuskan untuk pergi. Ayah benar-benar pergi sebelum aku bisa mewujudkan keinginannya. Aku tidak memiliki kesempatan untuk menunjukkan keberhasilanku padanya.
    ***
    Bahkan suara riuh para penonton yang mengikuti nyanyianku tidak mampu meredam kenangan akan suaranya yang tegas dan tenang dalam pikiranku. Aku berharap masih bisa mendengar suaranya saat mengingatkanku apa yang harus aku lakukan, apa yang tidak boleh aku lakukan. Bahkan aku sangat merindukan saat ayah menyuruhku berhenti merokok. Rasanya ingin sekali aku merokok sangat banyak dalam satu waktu, berharap ayah akan muncul untuk mengingatkanku atau bahkan memarahiku. Aku hanya ingin ayah ada di sini, meskipun hanya satu menit, satu detik. Aku hanya ingin ayah melihatku sekarang. Aku ingin ayah mendengar lagu-laguku. Tapi nyatanya ayah tidak di sini. Tidak peduli seberapa lama aku menatap kursi itu, kursi di samping ibu tetap saja kosong. Tidak akan pernah terisi.

  4. Marry Your Daughter

    Thursday, November 7, 2013

    "So, one day my prince will come and take me, Dad. But I swear to you, Dad, you will always be my king"

  5. Memoir of a shadow

    Tuesday, November 5, 2013


    Rumahnya sangat sempit. Bahkan untuk ukuran satu orang, rumah ini benar-benar terlalu sempit. Hanya ada dua petak ruangan yang dibatasi oleh rak tinggi. Ada kasur kecil di sisi sebelah kanan rak, dan ruangan kosong di sisi lainnya.
    Aku duduk bersandar pada tembok. Sensasi dingin menjalari punggungku saat pertama kali menempelkan tubuhku pada tembok bercat kusam itu. Aku tidak bisa berhenti mengedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan ini. Ruangan ini begitu pengap dan berbau apak, membuat dadaku sesak.
    Aku memperhatikan barang-barang aneh yang diletakkan pada rak tinggi yang membatasi ruangan kosong ini dengan kasur. Ada beberapa buku lama diletakkan secara sembarangan di rak bagian atas. Aku tahu itu buku lama dari sampulnya yang kusam dan robek-robek. Yang menarik perhatianku adalah setoples besar uang receh. Aku tidak yakin sejak kapan dia mulai mengumpulkan uang receh itu, tapi pasti butuh waktu yang cukup lama untuk memenuhi toples sebesar itu.
    “Kau ke sini untuk menemuiku atau meneliti rumahku sih?” suara parau itu menarikku kembali ke bumi. Aku sempat berpikir aku sedang tersesat di negeri antah berantah dan terkurung di ruangan sempit ini sendirian.
    “Maaf, aku hanya...”
    “Ya ya ya, aku tahu, rumahku memang sangat sempit iya kan?” seperti seorang paranormal handal, dia bisa membaca pikiranku dengan sangat tepat. Tangannya mengibas ringan untuk menunjukkan ketidakpeduliannya akan pendapatku.
    Gadis itu duduk bersila di hadapanku. Aku memperhatikannya sekilas, dia tidak berubah. Rambut hitamnya yang sepekat malam mendung dikepang dan disampirkan ke bahunya. Wajahnya terlihat kusam, tapi senyumnya bisa memberikan nilai tambah tersendiri pada wajah kusam itu. Dia memakai baju terusan berlengan pendek dengan motif bunga mawar warna kuning. Sangat kekanakan, tapi itu yang menjadi ciri khasnya, dia seperti...tidak bertambah usia. Bahkan setelah sepuluh tahun kami tidak bertemu, dia masih tetap sama.
    Pandanganku jatuh pada lengannya, ada beberapa bekas luka di siku tangan kanannya. Cukup panjang, aku yakin itu bekas luka sayat atau semacamnya. Gadis itu mengikuti arah pandanganku. Tangan kirinya secara otomatis terangkat dan mengusap bekas luka itu.
    “Terkena pisau saat aku sedang mencoba memanjat pohon kelapa.” Gadis itu menjelaskan bagaimana dia bisa mendapat bekas luka itu.
    Aku hanya menelengkan kepala, apa hubungannya memanjat pohon kelapa dengan pisau?
    “Aku sedang berusaha memetik kelapa waktu itu. Aku terpeleset saat memanjat pohonnya. Aku jatuh, dan pisau yang aku pegang melukaiku saat jatuh.”
    Penjelasannya masih tidak masuk akal, tapi aku hanya mengangguk.
    “Itu...” aku menunjuk setoples besar uang receh yang ada di rak tinggi. “Sejak kapan kau mengumpulkannya?”
    Gadis itu menatap langit-langit, seperti sedang mencari jawabannya di sana. Dahinya berkerut dalam saat dia mencoba mengingat kapan dia mulai melakukan kegiatan aneh itu.
    “Sudah hampir lima tahun, aku rasa.”
    “Selama itu?”
    Dia mengangguk mantap dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.
    “Kenapa tidak kau gunakan saja? Aku yakin uang itu...”
    “Tidak boleh.” Dia memotong pembicaraanku. “Aku sengaja menyimpannya untukmu.”
    Aku hanya mengangkat sebelah alisku.
    “Iya. Karena sekarang kau sudah kembali, aku rasa sudah saatnya untuk memberikan toples itu padamu.”
    Aku hanya diam. Aku ingat dulu kami pernah berjanji akan selalu bersama dalam keadaan susah maupun senang. Dia yang selalu menenangkanku saat aku menangis. Dia yang selalu berusaha mendapatkan uang saat aku merengek meminta mainan baru. Tapi nyatanya, aku mengkhianatinya. Aku diadopsi lebih dulu dan pindah ke tempat yang jauh. Sedangkan dia, tetap berada di panti asuhan.
    Butuh waktu cukup lama bagiku untuk mengumpulkan keberanian dan mengulurkan tanganku untuk menyentuh tangannya. Tangannya terasa dingin dalam genggamanku. Gadis itu hanya menunduk, menatap tanganku yang kini menggenggam erat tangannya. Beberapa detik kemudian, dia menarik tangannya dari genggamanku.
    “Sudah saatnya kau pulang.”
    Aku menatapnya tanpa ekspresi. Kami sudah begitu lama tidak bertemu dan dia dengan sangat mudah mengusirku.
    “Tenang saja, kali ini aku tidak akan ke mana-mana.” Katanya pelan. “Ambil toples koinmu dan pulanglah.”
    Sama seperti dulu, aku hanya menuruti apa yang dia katakan. Selalu seperti ini, aku tidak pernah bisa menolak perintahnya. Aku bangkit dan meraih toples uang receh itu. Toplesnya terasa dingin dan berat. Telapak tanganku bisa merasakan debu yang melingkupi toples itu.
    Saat aku berbalik gadis itu sudah tidak ada. Dia lenyap seperti di telan bumi.
    “Kau bilang kau tidak akan ke mana-mana,” gumamku pelan. “Tapi memang selalu seperti ini kan? Kau selalu pergi meninggalkanku. Apa kau dendam padaku karena aku yang lebih dulu diadopsi?” aku mengucapkan pertanyaan-pertanyaan itu pada udara lembab di sekitarku.
    “Kenapa kau tidak mengajakku saja saat bunuh diri dulu?”
    ***