Rss Feed

  1. Jemariku menyentuh butiran-butiran debu yang ada di pinggiran kusen jendela saat aku menyusurinya. Rasanya sudah sangat lama aku tidak melihat jendela besar ini. Jendela besar bergaya arsitektur Belanda kuno dengan daun jendela bewarna abu-abu terang. Aku menatap dua jendela yang berdampingan. Daun jendelanya terbuka lebar, menunjukkan jajaran bangku kosong di dalam ruangan itu. Aku menghabiskan sebagian besar waktuku di ruangan itu. Dulu.
    ***
    “Aku sudah memilih tempat ini!” kataku dengan nada suara yang meninggi.
    “Kapan?” nada suaranya tetap lembut, dengan mata bebinar-binar. Aku tahu dia hanya sedang menggodaku.
    “Kemarin.” Jawabku singkat, setengah malu-malu.
    “Kau sudah duduk di sini kemarin. Sekarang giliranku duduk di sini.” Dia masih saja memaksakan kehendaknya padaku meskipun dia tahu aku tidak akan pernah mengalah.
    Dia hanya menoleh menatap keluar melalui jendela yang terbuka lebar, tidak mengacuhkanku sama sekali. Aku meletakkan tas ransel hitamku di bangku kosong yang ada di sampingnya. Dia menoleh dan mengangkat sebelah alisnya.
    “Aku punya teman sebangku, kau tahu?”
    “Aku juga.” Aku masih saja keras kepala dan memaksa untuk duduk di tempat itu.
    “Aku datang duluan. Kenapa sih kau tidak mau mengalah? Lain kali datanglah lebih pagi dariku.”
    Oke, aku mendengar nada peperangan sekarang. Dia menantangku untuk berangkat lebih pagi darinya? Baiklah kalau itu yang dia mau.
    Aku mengambil tas ranselku dan memindahkannya ke bangku yang ada di sisi lain ruangan. Sama-sama dekat dengan jendela, hanya saja berbeda jenis jendela dan berbeda pemandangan. Jendela di sisi yang aku inginkan memiliki arsitektur belanda kuno dan sangat besar. Pemandangannya mengarah ke laboratorium biologi. Tidak ada maksud khusus. Aku hanya senang memandangi orang-orang yang sedang mengantuk di laboratorium itu saat jam praktikum siang. Sedangkan jendela yang ada di sisiku sekarang adalah jendela nako dengan beberapa kaca yang terbuka dan pemandangannya mengarah ke tempat parkir motor. Sangat tidak menyenangkan. Tapi tenang saja. Besok aku akan merebut tempatku kembali.
    ***
    Sudah sangat lama aku tidak mendengar kabar darinya. Hubungan kami baik-baik saja. Tidak ada yang aneh. Kami bahkan masih sering merencanakan acara kumpul bersama teman-teman yang lain saat liburan. Tapi akhir-akhir ini dia sangat sulit untuk dihubungi. Mungkin dia sedang sibuk merencanakan gelar spesialisnya. Entahlah, aku hanya bisa berasumsi.
    ***
    Dia senang sekali duduk di dekat jendela besar itu. Di tempatku. Sialnya sudah beberapa kali aku gagal berangkat lebih pagi darinya. Aku mengalah saja. Lagipula, aku tahu jelas alasannya memilih tempat itu. Dia ingin mengawasi kekasihnya. Dia selalu duduk di dekat jendela setiap pagi. Membawa sebuah penggaris panjang yang terbuat dari kayu, memainkannya seolah-olah penggaris itu adalah sebuah pedang. Setiap kali kekasihnya datang, dia akan langsung mengikutinya seperti seorang pengawal putri kerajaan.
    Tapi akhir-akhir ini, meskipun dia sudah merebut tempat faforitku, setiap jam istirahat dia selalu menghampiriku. Duduk tepat di sebelahku. Ya, di sisi jendela nako itu. Memandangi tempat parkir motor yang sepi.
    “Jarang sekali aku melihatmu di sini saat jam istirahat,” sindirku. Aku sendiri tidak terlalu tertarik berkeliaran keluar saat jam istirahat pertama. Belum terlalu lapar.
    Dia hanya tersenyum. Setiap kali kami duduk bersama seperti itu, dia selalu berhasil menemukan topik obrolan yang menarik. Kami terlalu larut dalam obrolan kami sampai lupa waktu. Dia terlihat malas-malasan jika harus kembali ke tempatnya. Tempatku di samping jendela besar.
    ***
    Aku langsung menoleh saat terdengar suara petir. Langit sore ini mulai menggelap. Warna abu-abu kelam menelan warna jingga yang seharusnya menguasai langit sore ini. Perlahan tetesan-tetesan air mulai turun dan membasahi dedaunan di depanku. Semakin lama tetesan air semakin besar dan rapat-rapat. Menciptakan suara gemuruh yang memekakan telinga.
    Tanpa sadar bibirku membentuk sebuah lengkungan di kedua sudutnya. Sudah cukup lama aku berusaha menutup kenangan itu rapat-rapat. Tapi hujan selalu berhasil membuka tutup bajanya dan memuntahkan kenangan itu seperti serbuk kopi pahit yang menutupi seluruh permukaan otakku. Aku mengingatnya lagi.
    ***
    “Siapa pasanganmu?” tanya salah satu teman kami.
    “Dia,” dia hanya mengarahkan ujung dagunya padaku.
    “Kalian terlihat cocok.”
    Aku hanya menunduk malu. Tidak. Kami bukan pasangan sebenarnya. Kami hanya memutuskan pergi bersama saat kelas kami melakukan konvoi. Aku tidak punya pilihan lain. Aku sedang perang dingin dengan sahabatku. Jadi aku memutuskan untuk pergi bersamanya, dan ternyata dia menyetujui permintaanku dengan begitu cepat. Aku sempat khawatir kekasihnya akan melarangnya, tapi dia bilang aku tidak perlu memikirkan hal itu. Jadi aku menurut saja.
    “Kau siap?” dia bertanya dengan nada selembut sutra. Aku hampir lupa kapan terakhir kali seseorang berkata selembut itu padaku.
    Aku hanya mengangguk. Saat menyadari dia tidak bisa melihat anggukanku, aku menjawab,“siap.”
    Dia mulai memacu motornya dengan kecepatan yang cukup tinggi. Angin siang itu langsung berhembus menerpanya. Membawa wangi tubuhnya tepat ke arahku. Aku suka wanginya. Bukan wangi sampo atau sabun seperti lelaki kebanyakan. Wanginya sangat khas.
    “Kenapa diam saja?”
    Tubuhku menegang saat mendengar suaranya. Sepertinya wangi tubuhnya benar-benar berhasil menghipnotisku.
    “Kau ingin aku bicara apa?”
    Dia hanya diam untuk beberapa saat. Kemudian dia mulai meceritakan sesuatu.
    “Kau lihat itu?” tangan kirinya menunjuk ke suatu arah. “Di sana pertama kali aku jatuh cinta padanya.”
    Aku hanya diam. Dia sedang menceritakan kisah cintanya padaku.
    “Kau bisa membuat sebuah cerita dari itu,” aku berusaha memaksakan suaraku agar terdengar ceria.
    “Tentu saja. Kau yang harus membuatkannya untukku.”
    Apa dia tidak bisa merasakan atmosfer yang sedang menguasaiku saat ini? Aku sendiri tidak tahu apa itu. Sudah bertahun-tahun aku menolak untuk mengatakan aku menyukainya, meskipun sudah banyak orang yang mengatakan perasaanku terlihat jelas di mataku saat menatapnya. Aku tidak setuju dengan pendapat itu. Aku yang memiliki perasaan ini. Dan perasaan ini masih belum bisa disebut cinta. Tapi saat mendengarnya menceritakan hal itu, rasa sakit yang aneh langsung merayapiku. Mendekapku terlalu erat sampai aku kesulitan untuk bernafas.
    “Akan aku pikirkan nanti,” jawabku pelan.
    Suara gemuruh di langit mendominasi perjalanan kami berikutnya. Hal selanjutnya yang terjadi adalah jalanan di hadapan kami sudah basah karena hujan. Hujan yang turun semakin deras dan hampir membuat kami basah kuyup.
    “Kau kedinginan?”aku tidak pernah menyangka dia akan menanyakan itu padaku.
    “Tidak. Kau menghalangi air hujannya.” Jawabku jujur. Aku memang belum merasa kedinginan saat ini. Tapi aku bisa melihat jaket yang dia gunakan sudah basah kuyup.
    Kami berhneti di suatu tempat. Ada beberapa teman kami yang membawa jas hujan lebih. Kami meminjamnya.
    “Kau pakai ini, hanya ada satu.” Dia menyerahkan jas hujan itu padaku meskipun sudah sangat jelas dia yang terkena air hujan paling banyak.
    “Kau saja yang memakainya. Kau menghalangi air hujannya. Aku tidak akan basah.”
    Aku mengulurkan jas hujan itu padanya. Dia menatapku tajam sebelum meraih jas hujan itu dari tanganku. Dia masih menatapku saat memakainya. Saat jas hujan itu sudah terpasang di tubuhnya, tangannya terulur dan menyentuh jaket yang aku gunakan.
    “Kain jaketmu tipis begini. Kau yakin tidak akan kedinginan?”
    Aku menggeleng kuat-kuat, “kau tenang saja dan bekendaralah dengan baik.”
    Kami melanjutkan perjalanan kami siang itu meskipun hujan lebat mengguyur kami tanpa ampun. Sesekali dia menoleh ke belakang dan menanyakan keadaanku.
    “Kau kedinginan?”
    Diam-diam aku selalu tersenyum setiap dia menanyakan hal itu. Apa dia benar-benar peduli padaku?
    ***
    Aku bersandar pada kusen jendela dan menatap tetesan-tetesan air hujan itu dengan sabar. Begitu banyak cerita di sini. Begitu banyak rahasia yang aku bisikkan diam-diam di sini. Ada begitu banyak perasaan yang aku tinggalkan di sini. Untuknya. Untuk dia yang selalu memilih tempat di belakangku jika aku berhasil menguasai tempatku. Dia yang selalu memberiku jawaban atas pertanyaan-pertanyaan bodoh yang aku ajukan. Dia yang selalu berbagi perasaannya padaku. Dia yang selalu mendengar cerita-ceritaku.
    Pandanganku semakin buram. Bukan karena air hujan yang menetes dengan begitu cepat, tapi karena air mata yang berkomplot untuk memenuhi pelupuk mataku. Aku selalu penasaran kenapa mengingatnya selalu membuatku menangis. Padahal dia sama sekali tidak pernah menyakitiku. Dia hanya...tidak menyadari perasaanku.
    ***
    “Kalian cocok, tahu.”
    Aku menoleh dan menatap sahabatku itu dengan bingung.
    “Kau dan sepupuku.”
    Aku hanya tersenyum saat mendengar pendapatnya.
    “Aku hanya ingin kau yang menjadi sepupu iparku.”
    Pernyataan itu aku dengar saat dia baru saja berpisah dengan kekasihnya. Aku tidak yakin apa sebabnya, tapi ada sebagian kecil dalam diriku yang bahagia mendengar kabar itu. Dan saat ini, sepupunya sedang mati-matian meyakinkanku untuk mengakui perasaanku. Tapi aku masih saja menolak.
    “Aku bukan tipenya, kau tahu?”
    “Siapa bilang? Kalian terlihat sangat cocok saat bersama. Aku tahu kalian ditakdirkan untuk bersama.”
    Benarkah? Aku sudah sangat sering mendengar kata-kata itu. Tapi sepertinya dia sama sekali tidak menghiraukan pendapat orang lain tentang kami. Karena jika dia memang menghiraukan pendapat orang, dia akan mempertimbangkanku sebagai seseorang yang lebih dari sekedar teman.
    ***
    Mereka jelas salah. Hubungan kami memang baik-baik saja. Tapi tidak pernah menjadi lebih dari sekedar baik. Dia berubah total. Dia dulu sangat sering menyapaku dan menceritakan apa pun yang dia alami padaku. Sekarang? Dia bahkan tidak pernah membalas pasanku.
    Aku menoleh saat ada yang memanggil namaku. Senyum lebar terbentuk saat melihat orang-orang itu mendekat.
    “Sudah lama?” tanya salah satu dari mereka.
    Aku menggeleng pelan. “Belum cukup lama untuk berlumut di sini.”
    Mereka tertawa bersamaan mendengar leluconku yang sebenarnya biasa saja. Kami berjanji untuk bertemu di sini sore ini. Hanya pertemuan kecil untuk mengingat masa-masa sekolah dulu. Kami berkumpul lagi di sini, di tempat semuanya berawal. Tapi dia tidak datang. Entah untuk keberapa kali aku merasa kecewa saat dia memutuskan untuk melewatkan pertemuan kami.
    “Apa besok kita akan pergi bersama?” tanya salah satu temanku.
    “Pergi kamana?” tanyaku bingung.
    Semuanya menoleh dan menatapku bingung.
    “Ada di bumi belahan mana kau selama ini?”
    Aku masih menatap mereka satu per satu. Berharap salah satu dari mereka mau memberitahuku apa yang sedang terjadi di sini.
    Dia akan menikah besok. Kau tidak mendapat undangannya?”
    Suara retakan itu terdengar lebih nyaring dari derai air hujan saat ini. Dia tidak hanya menghindariku. Dia bahkan tidak lagi menganggapku sebagai seorang teman? 

  2. Feeling

    Wednesday, October 16, 2013

         "Katakan padanya, tidak apa-apa untuk berhenti bersikap tegar."
         Baru kali ini aku melihat Tante Amanda sesedih itu. Dia tiba-tiba muncul di toko bunga milikku sore tadi. Tepat pukul lima sore, sebuah mobil avanza hitam terparkir di depan toko. Tante Amanda turun dengan terburu-buru dan langsung memelukku. kedua bola mataku sampai hampir meloncat keluar saking kagetnya. Sangat jarang Tante Amanda mampir ke tokoku. Dia hanya membeli beberapa tangkai bunga mawar sesekali untuk mengunjungi makam almarhum suaminya.
         "Tante minta tolong sama kamu, Di."
         Aku masih diam. sorot mata coklatnya telihat sendu. aku tidak yakin dengan apa yang sedang terjadi di sini. yang aku tahu, ada yang tidak beres. dan jika Tante Amanda sampai mendatangiku, itu artinya masalah ini menyangkut Agi.
         "Saya harus apa, Tante?" akhirnya aku mampu bersuara, meskipun terdengar serak.
        "Bicara pada Agi. katakan padanya tidak masalah untuk berhenti bersikap tegar di hadapan Tante."
    ***
         Aku hanya duduk diam saat Agi sedang memainkan gelasnya. Segelas sirup mocca yang tadi aku sajikan sudah habis diminumnya. dia hanya menelusurkan ujung jarinya pada bibir gelas yang kosong.
         "Ada masalah?"
         Agi hanya menggeleng. dahinya terlihat berkilap karena keringat. beberapa helai rambut lurusnya menempel pada sisi-sisi wajahnya. sorot matanya jelas-jelas menunjukkan pikirannya sedang berada di tempat lain. dia meninggalkan raga kosong untukku.
        tangan kananku terangkat secara otomatis dan menyentuh bahu Agi. dia langsung menoleh dan mengembangkan seulas senyum dengan terpaksa. agi menghela nafas panjang, mengendurkan dasinya kemudian kembali pada gelas kosongnya.
         "Aku sudah kenal kamu terlalu lama untuk dibohongi," kataku pelan.
         "Tadi sore mama kamu datang ke toko," aku memutuskan untuk memulai pembicaraan ini.
         Agi langsung menoleh. Matanya terlihat penasaran, tapi dia hanya diam.
         "Dia bilang, tidak masalah untuk berhenti bersikap tegar di hadapannya." aku menyampaikan pesan tante Amanda padanya, "dan di hadapanku." Aku menambahkan.
         Agi masih menelusurkan ujung jemarinya pada bibir gelas, "akhir-akhir ini aku ingat papa." Akhirnya dia angkat bicara.
         "Aku nggak tahu, Di. Ada sesuatu yang aneh di sini," Agi menepuk dadanya beberapa kali. Dasinya bergoyang-goyang saat Agi menepuk dadanya.
         "Rasanya seperti ada yang dicabut paksa, membiarkan darahnya mengalir deras dan tidak ada yang bisa menghentikannya. Membuatku sesak, Di."
         Aku bisa melihat kilatan air di kedua sudut matanya.
         "Tidak apa-apa kalau memang harus menangis. mengenang seseorang memang terkadang menyakitkan,"
         Agi menggeleng kuat-kuat, "aku tidak bisa terlihat sedih di depan Mama. Bagaimana perasaannya nanti jika orang yang dia andalkan ternyata lebih rapuh darinya?"
         "Selalu berusaha tegar akan membuatmu lebih rapuh lagi nantinya."
         "Kamu tidak tahu bagaimana rasanya,"
         Aku tahu. Aku sangat tahu perasaan itu. Perasaan kehilangan yang teramat sangat, tapi kau tidak boleh menunjukkannya pada orang terdekatmu. Aku tahu.
         Agi menghela nafas lagi, "mungkin kamu benar. Aku akan bicara pada Mama nanti."
         Agi melirik jam tangannya kemudian langsung bangkit berdiri, "aku terlambat." katanya panik dan langsung meraih jasnya yang dia sampirkan pada lengan kursi.
         "Tatiana sudah menungguku."
         Aku hanya mengangguk pelan.Agi menatapku sekali lagi sebelum pergi, "terima kasih karena sudah menjadi sahabat terbaikku, Di."
         Aku memaksakan seulas senyum di wajahku. Senyum itu mendadak luntur saat Agi berbalik dan pergi meninggalkanku. Seperti ini kan rasanya? Seperti ada sesuatu yang dicabut secara paksa dari dirimu dan darahnya terus mengalir tanpa henti. Aku tahu bagaimana rasanya, menyembunyikan perasaanku dan terus berpura-pura tegar di hadapanmu.