Baru kali ini aku melihat Tante Amanda sesedih itu. Dia tiba-tiba muncul di toko bunga milikku sore tadi. Tepat pukul lima sore, sebuah mobil avanza hitam terparkir di depan toko. Tante Amanda turun dengan terburu-buru dan langsung memelukku. kedua bola mataku sampai hampir meloncat keluar saking kagetnya. Sangat jarang Tante Amanda mampir ke tokoku. Dia hanya membeli beberapa tangkai bunga mawar sesekali untuk mengunjungi makam almarhum suaminya.
"Tante minta tolong sama kamu, Di."
Aku masih diam. sorot mata coklatnya telihat sendu. aku tidak yakin dengan apa yang sedang terjadi di sini. yang aku tahu, ada yang tidak beres. dan jika Tante Amanda sampai mendatangiku, itu artinya masalah ini menyangkut Agi.
"Saya harus apa, Tante?" akhirnya aku mampu bersuara, meskipun terdengar serak.
"Bicara pada Agi. katakan padanya tidak masalah untuk berhenti bersikap tegar di hadapan Tante."
***
Aku hanya duduk diam saat Agi sedang memainkan gelasnya. Segelas sirup mocca yang tadi aku sajikan sudah habis diminumnya. dia hanya menelusurkan ujung jarinya pada bibir gelas yang kosong."Ada masalah?"
Agi hanya menggeleng. dahinya terlihat berkilap karena keringat. beberapa helai rambut lurusnya menempel pada sisi-sisi wajahnya. sorot matanya jelas-jelas menunjukkan pikirannya sedang berada di tempat lain. dia meninggalkan raga kosong untukku.
tangan kananku terangkat secara otomatis dan menyentuh bahu Agi. dia langsung menoleh dan mengembangkan seulas senyum dengan terpaksa. agi menghela nafas panjang, mengendurkan dasinya kemudian kembali pada gelas kosongnya.
"Aku sudah kenal kamu terlalu lama untuk dibohongi," kataku pelan.
"Tadi sore mama kamu datang ke toko," aku memutuskan untuk memulai pembicaraan ini.
Agi langsung menoleh. Matanya terlihat penasaran, tapi dia hanya diam.
"Dia bilang, tidak masalah untuk berhenti bersikap tegar di hadapannya." aku menyampaikan pesan tante Amanda padanya, "dan di hadapanku." Aku menambahkan.
Agi masih menelusurkan ujung jemarinya pada bibir gelas, "akhir-akhir ini aku ingat papa." Akhirnya dia angkat bicara.
"Aku nggak tahu, Di. Ada sesuatu yang aneh di sini," Agi menepuk dadanya beberapa kali. Dasinya bergoyang-goyang saat Agi menepuk dadanya.
"Rasanya seperti ada yang dicabut paksa, membiarkan darahnya mengalir deras dan tidak ada yang bisa menghentikannya. Membuatku sesak, Di."
Aku bisa melihat kilatan air di kedua sudut matanya.
"Tidak apa-apa kalau memang harus menangis. mengenang seseorang memang terkadang menyakitkan,"
Agi menggeleng kuat-kuat, "aku tidak bisa terlihat sedih di depan Mama. Bagaimana perasaannya nanti jika orang yang dia andalkan ternyata lebih rapuh darinya?"
"Selalu berusaha tegar akan membuatmu lebih rapuh lagi nantinya."
"Kamu tidak tahu bagaimana rasanya,"
Aku tahu. Aku sangat tahu perasaan itu. Perasaan kehilangan yang teramat sangat, tapi kau tidak boleh menunjukkannya pada orang terdekatmu. Aku tahu.
Agi menghela nafas lagi, "mungkin kamu benar. Aku akan bicara pada Mama nanti."
Agi melirik jam tangannya kemudian langsung bangkit berdiri, "aku terlambat." katanya panik dan langsung meraih jasnya yang dia sampirkan pada lengan kursi.
"Tatiana sudah menungguku."
Aku hanya mengangguk pelan.Agi menatapku sekali lagi sebelum pergi, "terima kasih karena sudah menjadi sahabat terbaikku, Di."
Aku memaksakan seulas senyum di wajahku. Senyum itu mendadak luntur saat Agi berbalik dan pergi meninggalkanku. Seperti ini kan rasanya? Seperti ada sesuatu yang dicabut secara paksa dari dirimu dan darahnya terus mengalir tanpa henti. Aku tahu bagaimana rasanya, menyembunyikan perasaanku dan terus berpura-pura tegar di hadapanmu.
0 komentar:
Post a Comment