Rss Feed
  1. Cafe Lofa : Teman Lama

    Tuesday, January 21, 2014


    BAGIAN 4


    Angga menghela nafas panjang. Pemuda itu meregangkan tubuhnya, untuk menghilangkan pegal-pegal karena hanya duduk sejak tadi pagi. Dia mulai penat. Bosan dengan rutinitas yang itu-itu saja. Selalu berkutat dengan angka-angka yang mulai membuatnya mual.
    Sudah hampir satu tahun Angga bekerja di salah satu perusahaan kontraktor yang terkenal di ibu kota. Tim-nya sedang mendapat proyek fly over di Jogja sekarang. Kesempatan untuk pulang dan liburan. Itu rencananya. Tapi harapannya pupus sudah. Pimpinan tim-nya sangat tegas dan disiplin. Selalu pulang kantor tidak kurang dari jam tujuh malam. Hanya hari Sabtu yang mengijinkannya pulang lebih cepat.
    Sudah empat tahun Angga memaksa otaknya bersahabat dengan angka-angka yang membuatnya pusing. Memaksa dirinya untuk berdamai dengan keadaan. Angga menempuh pendidikan S1 teknik sipil di salah satu institut di Bandung. Bukan hal mudah. Itu bukan pilihannya. Hatinya tidak pernah memilih profesi itu. Tapi ayah ngotot sekali meminta Angga masuk jurusan itu. Mau jadi apa kau jika hanya bisa menggambar, itu kata ayah dulu saat musim pendaftaran universitas dibuka. Bukan keputusan yang salah. Angga tahu ayah akan selalu memberikan saran-saran terbaik. Pemuda itu hanya butuh waktu untuk beradaptasi dengan dunia yang belum disukainya itu. Dan sampai sekarang kemampuan adaptasinya masih sangat payah.
    Jam istirahat siang. Seorang bocah, umurnya mungkin sekitar lima belas tahun Angga tidak tahu pasti, mengantarkan jatah makan siang para staff. Angga hanya mengintip sekilas menu makan siangnya. Mendesah palan setelah mengintipnya. Dia bosan dengan menu yang itu-itu saja.
    “Jang!” Angga memanggil bocah itu. Semua orang memanggil bocah itu Ujang. Mungkin itu memang namanya, mungkin juga bukan. Bocah itu menoleh kemudian melangkah pelan mendekati Angga.
    “Ada apa, Mas?” Tanya bocah itu takut-takut.
    Angga menyodorkan nasi kotak itu, “Ini untukmu saja. Aku makan di luar siang ini.”
    Meski bingung, Ujang menerima nasi kotak itu juga. Meletakkannya di atas nampan kemudian mengangguk pelan sebelum keluar dari kantor sementara. Angga meraih jaketnya kemudian berjalan keluar. Menyapa beberapa teman satu tim-nya saat berpapasan di luar kantor sementara yang terbuat dari triplek.
    Angga memacu motor butut kesayangannya melewati area proyek. Mengangguk beberapa kali setiap melewati staff atau tukang proyek tersebut. Motor bututnya meraung protes saat Angga menambah kecepatannya. Meskipun sudah sangat butut, Angga tidak berniat untuk mengganti motornya. Motor butut itu adalah satu-satunya teman setia yang dia miliki sampai saat ini. Itu motor pertama yang dibelikan ayah saat kelas satu SMA. Dengan modal seadanya, ayah bahkan sampai menjual si bandot demi membelikan Angga motor. Anak SMA yang masih labil itu tidak pernah berhenti menyinggung masalah motor setiap kali berbincang dengan ayah. Jadilah ayah menjual si bandot dan membawa pulang motor butut itu esok paginya.
    Angga berhenti di salah satu warung gudeg di dekat lokasi proyek. Bukan menu istimewa, tapi setidaknya bisa jadi selingan daripada menu makan siang proyek yang sama setiap hari. Setelah menata rambutnya dengan tangan, Angga turun dari motor. Warung gudeg itu lumayan ramai. Ada pabrik di dekat sini. Kebanyakan pengunjung warung adalah pegawai pabrik yang sedang beristirahat. Angga menyingkir sejenak saat ada serombongan pegawai pabrik yang keluar warung. Sibuk bercakap-cakap sampai tidak menyadari Angga yang memasang ekspresi kesal dan tidak sabaran. Matanya menyipit saat terkena pantulan cahaya matahari. Pemuda itu berpindah posisi agar tidak terkena pantulan cahaya itu lagi. Cahaya matahari yang memantul pada kaca mobil di depan warung menyorot tepat ke arahnya. Angga buru-buru masuk setelah tidak ada lagi rombongan yang keluar warung.
    ***
    Angga mengetuk-ngetukkan ujung jemarinya pada meja selama menunggu pesanannya. Pandangannya menyapu seluruh warung. Kerupuk, pisang, tempe goreng, pernak-pernik umum yang selalu ada di warung mana pun. Matanya terhenti pada orang yang duduk di sudut warung, dua meja jaraknya. Angga menelengkan kepalanya untuk memastikan pandangannya. Setelah cukup yakin, Angga bangkit dan menghampiri orang itu dengan penuh semangat.
    “Kau jadi pagawai pabrik sekarang?” Tanya Angga penuh antusias sambil menepuk lengan orang itu, kemudian duduk di hadapannya.
    Setelah kaget untuk beberapa detik, orang itu tertawa. “Kau juga?” Pemuda itu tertawa ringan.
    Angga ikut tertawa, “Apa kabar?” Angga mengulurkan tangannya, yang disambut dengan tepukan keras.
    “Baik,” jawab pemuda itu singkat. “Gaji di pabrik sini lumayan besar,” lanjutnya sambil tertawa.
    “Aku serius, Gi. Kau jadi pegawai pabrik?”
    Itu Agi, sahabat lamanya. Rumah mereka bahkan berdekatan, hanya berbeda beberapa blok. Mereka selalu satu sekolah, sejak TK sampai SMA. Kecuali saat kuliah. Angga melanjutkan pendidikannya di Bandung dan Agi menetap di Jogja. Mereka berdua benar-benar seperti roda sepeda, selalu bersama.  Apa yang orang bilang? Best bro atau apalah istilah para remaja jaman sekarang. Mereka sudah seperti saudara sendiri. Semua yang terjadi dalam hidup Angga, Agi pasti tahu. Begitu juga sebaliknya.
    Agi menggeleng, “Aku ada wawancara kerja.”
    Angga mengangguk. Dia sudah tahu. Agi tidak mungkin berakhir sebagai pegawai pabrik. Sahabatnya itu tidak akan menyerah sebelum mendapatkan apa yang dia inginkan. Dan daftar keinginannya sungguh panjang. Angga tidak berani menginginkan bahkan satu dari daftar keinginan Agi. Terlalu mustahil untuk dicapai.
    “Bagaimana denganmu? Masih senang melukis?” Tanya Agi.
    “Itu satu-satunya hal yang tidak akan aku tinggalkan bahkan jika tanganku lumpuh.” Kata Angga dengan kemantapan luar biasa. Dia suka melukis. Melukis selalu mengingatkannya pada ibu.
    Agi hanya mengangguk.
    Pesanan Angga datang satu detik berikutnya. Pelayan warung itu sempat memasang ekspresi protes karena Angga pindah tempat duduk begitu saja. Untung saja pelayan itu mengenali wajah Angga.
    “Apa kau ada acara besok malam?” Tanya Agi saat Angga baru saja membuka mulutnya untuk suapan pertama.
    “Aku ada acara.” Jawab Angga singkat.
    Dia memang ada acara. Angga berniat menghabiskan waktu kosongnya besok malam untuk melukis sepuasnya. Dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya akhir-akhir ini. Tidak sempat menyentuh buku sketsa dan pensilnya sama sekali.
    “Benarkah?” Tanya Agi dengan tatapan menyelidik.
    “Kau mau apa? Sebegitu rindunya kau padaku sampai mau mengajak kencan atau apa?” Angga bertanya sekenanya sambil melahap makan siangnya. Waktu istirahatnya tidak lama.
    “Aku ada kencan dengan Adriana besok malam.” Jawab Agi enteng.
    Angga hampir saja tersedak gudeg-nya. “Adriana yang itu? Hubungan kalian masih berlanjut?”
    Agi menggeleng, “Baru akhir-akhir ini.”
    “Lalu kau mau aku melakukan apa besok malam?”
    Agi diam sebentar, “Kau belum pernah datang ke cafe temanku.”
    Angga mengerutkan dahinya, “Apa semua pembicaraan ini ada hubungannya?” Angga mulai bingung dengan arah pembicaraan Agi.
    “Aku biasa membantunya setiap malam. Cafe-nya sangat ramai saat malam. Tapi besok malam aku tidak bisa.”
    Angga mulai menangkap maksud pembicaraan Agi yang berputar-putar, “Dan kau pikir aku bisa menggantikanmu untuk membantunya?”
    Agi hanya mengangguk.
    “Kita baru bertemu setelah sekian lama dan kau sudah merepotkanku lagi,” kata Angga, bercanda.
    Agi hanya tertawa.
    Angga mendesah pelan, “Kau pikir akan seaneh apa jika ada orang asing yang tiba-tiba menawarkan bantuan?”
    Agi menyandarkan tubuhnya pada kursi. Duduk lebih santai, kemudian menggeleng. “Tidak akan terlalu aneh jika kau yang melakukannya. Kau sangat ahli memanipulasi jalan pikiran orang kan?”
    Angga hanya tertawa mendengar kata-kata Agi barusan. Pemuda itu teringat pada masa-masa SMA. Dulu dia tidak kenal malu dan selalu bertindak tanpa pertimbangan. Anehnya, orang-orang selalu menganggap apa yang dilakukannya itu benar hanya karena Angga memasang ekspresi “orang baik-baik”.
    “Entahlah, Gi. Aku sudah merencanakan acara besok malam sejak lama.”
    Agi mengangguk pelan, “Baiklah. Beritahu aku jika ada perubahan rencana.”
    Mereka berpisah di pintu warung. Angga pamit lebih dulu. Memacu motor bututnya kembali ke proyek. Kembali ke rutinitasnya yang mulai membosankan.
    ***
    Jam tujuh tepat. Angga meluncur ke rumahnya. Pemuda itu memacu motornya dengan kecepatan penuh. Sudah tidak sabar bertemu dengan kasurnya. Angga berguling di atas kasurnya. Menatap langit-langit yang dipenuhi gambar-gambar sketsa wajah ibu. Angga menempelnya saat SMP, sejak ibu meninggal. Tiga hari penuh Angga menuangkan semua memorinya tentang ibu ke dalam gambar. Saat ibu tersenyum, saat ibu diam, saat ibu marah, Angga berusaha mengabadikan semua emosi ibu yang bisa diingatnya ke dalam gambar-gambar sketsa. Ibu yang mengajarinya menggambar pertama kali. Ketertarikannya berkembang, dari sekedar gambar sketsa menjadi lukisan.
    Angga merogoh ke dalam tas ranselnya, meraih sebuah buku sketsa yang selalu dibawanya kemana-mana. Membuka halaman demi halaman. Hanya tiga lembar pertama yang terisi, sisanya kosong. Rasanya sudah sangat lama dia tidak menggambar. Pemuda itu melihat ke sekeliling kamarnya. Dia butuh suasana baru untuk mendapat inspirasi.
    Angga meraih ponselnya di saku celana. Mencari nomor Agi dengan cepat kemudian mengirim pesan
    Sepertinya rencanaku batal besok malam.
    Mungkin saja cafe teman Agi itu bisa memberinya inspirasi lebih untuk membuat gambar-gambar baru yang lebih segar. Dia lelah selalu membuat gambar-gambar sendu karena selalu teringat pada ibu. Tidak lama, ponselnya berdenting. Itu pesan dari Agi.
    Baiklah, aku akan memberitahu tugasmu nanti.
    Tugas? Macam misi rahasia saja. Angga hanya akan membantu seseorang di cafe, bukan jadi mata-mata. Angga mendesah pelan. Perlahan mulai menutup matanya, terlalu lelah.
    ***
    Angga membaca lagi pesan yang dikirim Agi semalam. Tugas-tugas yang harus dilakukan Angga di cafe nanti. Daftar yang cukup panjang. Tugas yang paling mencolok bagi Angga adalah lakukan senormal mungkin dan jangan sampai dia tahu kau temanku. Angga merasa sedikit tersinggung sebenarnya. Agi sudah membuatnya membantu seseorang yang tidak dia kenal dan Angga bahkan tidak diperbolehkan untuk mengaku sebagai teman Agi? Pemuda itu hanya tersenyum saat membaca ulang tugas-tugasnya, semakin penasaran dengan sosok ‘teman’ Agi yang sepertinya sangat spesial ini.
    Angga memarkir motor bututnya di depan sebuah cafe. Mengamati sekilas penampilan luar cafe sebelum masuk. Cafe Lofa. Tulisan hijau yang berkedip-kedip di jendela kaca besar menarik perhatiannya. Setelah mematut diri di spion motor cukup lama, akhirnya Angga turun dari motor. Berhenti sebentar di depan papan hitam besar yang terlihat ganjil di dekat pintu. Setelah membaca tulisan yang ada pada papan itu, Angga baru tahu itu papan menu. Pantas saja papan tulisnya besar sekali. Pemuda itu mengerutkan dahi saat membaca menu makanan dan minuman yang ada. Aneh. Tidak ada nama yang dia kenali selain kopi.
    Dengan modal ingatan seadanya, Angga melangkah masuk. Berniat memesan apa pun yang pertama kali melintas di ingatannya. Nama-nama makanan dan minumannya terlalu aneh untuk diingat. Keadaan di dalam cafe ramai sekali. Hampir semua kursi penuh, hanya tersisa deretan kursi tinggi di dekat meja bar. Angga melangkah masuk, duduk di salah satu kursi tinggi. Celingukan mencari pelayan cafe. Tidak ada seorang pun. Dia hanya duduk diam, memperhatikan keadaan sekelilingnya. Pemuda itu duduk diam cukup lama sampai akhirnya ada seorang perempuan yang memakai celemek mendekati meja bar. Terengah-engah. Angga melihat pin nama yang disematkan pada celemeknya. Lofa. Dia teman Agi?
    “Sepertinya kau sibuk sekali,” Angga mulai bersuara.
    Gadis di hadapannya hanya tersenyum, kemudian tersentak seperti teringat sesuatu.
    “Oh, kau mau pesan sesuatu?” Tanya gadis itu.
    Sial! Terlalu lama diam membuat Angga melupakan semua nama makanan dan minuman yang tertulis di papan besar itu. Dia hanya ingat kopi. Tapi Angga sedang tidak ingin kopi sekarang.
    “Aku sudah membaca itu tadi,” Angga menelengkan kepalanya ke arah papan besar di luar cafe. “Tapi aku lupa apa yang mau aku pesan.”
    “Kau bisa pesan menu spesial cafe ini,” gadis itu menunjuk papan hitam lain yang berukuran lebih kecil, menggantung di dekat meja bar. Minuman kebahagiaan. Nama aneh lagi.
    “Namanya...unik.” Angga tidak melihat menu itu di luar tadi. “Itu menu spesial?”
    Gadis itu mengangguk mantap, “Sangat spesial.”
    “Baiklah. Aku pesan satu.” Akan seburuk apa sih minuman kebahagiaan itu? Meskipun Angga tidak yakin minuman itu benar-benar bisa membuatnya bahagia.
    Hanya butuh waktu sebentar, minuman kebahagiaan itu sudah ada di mejanya. Warnanya jingga dan biru. Seperti langit siang dan senja yang menempel menjadi satu. Angga mengaduk minumannya, warnanya berubah menjadi hijau. Setelah yakin minumannya sudah tercampur sempurna, Angga mulai menyesapnya. Sensasi dingin dan rasa asam langsung menjalar ke otaknya. Membekukan sel-sel syaraf berpikirnya. Secara otomatis mata kanannya menyipit sebagai reaksi dari rasa asam yang mengontrol otaknya.
     “Asam,” kata Angga setelah mampu meraih kembali suaranya.
    Gadis itu hanya tertawa renyah.
    “Tapi enak.” Angga menambahkan.
    “Sudah aku bilang itu minuman spesial.” Kata gadis itu dengan sangat bangga. Terlihat dari senyumnya yang merekah.
    Angga baru akan mengatakan sesuatu saat gadis itu mengambil secarik kertas dari balik meja bar. Kertas bill.
     “Aku permisi dulu,” katanya.
    Angga hanya memperhatikan gadis itu yang sibuk mengurus para pengunjung yang silih berganti. Keluar satu, masuk lagi yang lain. Laris sekali cafe ini. Sekarang saatnya Angga beraksi.
     “Kau butuh bantuan?” Tanya pemuda itu dengan memasang ekspresi malaikat yang jadi andalannya.
    Gadis itu hanya tersenyum kemudian menggeleng.
    “Sepertinya kau sangat kerepotan.” Angga menambahkan.
    Gadis itu menggeleng lagi, “Ini sudah tugasku.”
    “Kau yakin?”
    Angga bisa melihat raut curiga di wajah gadis itu saat dia mengangguk.
     “Aku bosan hanya duduk diam di sini. Ayolah, pasti ada sesuatu yang bisa aku lakukan.” Ini alasan yang tidak masuk akal! Tentu saja tugasnya hanya duduk diam. Dia pengunjung!
     “Kau pengunjung. Sudah seharusnya kau duduk diam di situ dan menikmati pesananmu.” Gadis itu mengatakan hal yang persis sama dengan yang Angga pikirkan. Ternyata alasannya memang payah.
     “Tidak perlu. Terima kasih.”
    Angga hanya mengangkat bahunya sekilas. Mengalah. Tiba-tiba saja pemuda itu teringat sesuatu.
    “Kita belum berkenalan.” Kata Angga sambil mengulurkan tangannya.
    Gadis itu menatap tangan Angga untuk beberapa saat, kemudian menjabatnya.
    “Angga.” Pemuda itu mengucapkan namanya.
    “Lofa,” jawab gadis itu ragu.
    “Aku tahu,” kata Angga sambil tertawa ringan. Dia sudah tahu nama gadis itu bahkan sebelum bertemu dengannya. Perkenalan itu hanya basa-basi. Angga menunjuk pin nama yang melekat pada celemek Lofa untuk memberitahu bahwa semua orang bisa tahu namanya.
    Lofa sepertinya tidak menyadari keberadaan pin nama itu sama sekali. Lofa diam menatap pin itu cukup lama.
     “Kita sudah saling kenal,” kata Angga.
    Lofa langsung mendongak dengan ekspresi kaget.
    “Sekarang aku boleh membantumu?”
    Lofa mengangkat sebelah alisnya. Menatap penuh curiga. Angga hanya tertawa melihat ekspresi gadis itu, “Aku tidak berniat jahat.”
    Kecurigaan di wajah Lofa tidak berkurang sedikit pun.
    “Dengar, aku bisa membantumu mencatat pesanan dan mengantarkan pesanan. Kau terlihat sangat kerepotan. Aku hanya ingin membantu.” Angga teringat sesuatu, kemudian menambahkan, “Dan aku tidak minta bayaran.”
    Angga sedang memainkan peran “orang baik-baik” itu. Biasanya itu berhasil. Benar kata Agi, sejak dulu Angga sangat ahli memanipulasi jalan pikiran orang. Dia menjadi salah satu orang yang dianggap tidak akan pernah berbuat jahat hanya karena dia terlihat seperti “orang baik-baik”. Padahal, siapa yang tahu pikiran orang.
    Lofa tersenyum. Pertanda bagus. Dia akan menerima bantuannya.
    “Aku bisa melakukannya sendiri. Terima kasih. Kau baik sekali.”
    Senyum di wajah Angga luntur. Dia gagal. Untuk pertama kalinya, Angga gagal.


  2. Cafe Lofa : Malam Ini Tanpa Agi

    Sunday, January 19, 2014


    “Malam ini kau harus membantu Kakak di cafe.” Todong Lofa begitu Laufan menarik kursi untuk sarapan.
    Adiknya itu santai saja, tidak menanggapi sedikit pun. Setelah Lofa menyenggol pinggangnya sampai tersedak, Laufan baru melirik marah. Merasa terganggu.
    “Kau harus ke cafe malam ini,” Lofa menekankan kata perintahnya. Itu bukan permintaan tolong, tapi perintah. Lofa sedang memanfaatkan otoritasnya sebagai seorang kakak. Memaksa adiknya yang masih SMP itu menuruti apa saja yang Lofa mau. Gadis itu mendelik saat Laufan menggeleng.
    “Aku ada kencan malam ini,”
    Potongan telur yang baru saja dikunyah Lofa melesat masuk dengan cepat ke dalam tenggorokannya. Membuatnya tersedak. Lofa buru-buru meminum air putihnya untuk meredakan batuknya. Tenggorokannya terasa sakit karena telur itu masuk dengan paksa. Setelah sakitnya mereda, Lofa baru beraksi mencubit lengan adiknya.
    “Kau masih terlalu kecil untuk kencan,”
    “Hanya karena Kak Lofa belum punya pacar saat SMP bukan berarti aku juga tidak punya,”
    Adiknya itu semakin hari semakin menyebalkan saja. Lofa mempererat genggamannya pada sendok dan garpu, bersiap memukuli adiknya. Setelah menghela nafas panjang, Lofa berhasil menenangkan diri. Dia tidak mau masuk surat kabar sebagai pelaku KDRT dalam waktu dekat.
    “Bu...” Lofa merajuk pada ibu yang sedari tadi hanya memandangi kedua anaknya bertengkar tanpa mengatakan apa pun. Lofa sebisa mungkin memasang ekspresi menyedihkan agar ibu tersentuh.
    “Laufan, bantu kakakmu. Kalian kakak beradik harus saling membantu.”
    Lofa sudah hafal benar nasehat ibu yang satu ini. Biasanya Lofa yang mendapat nasehat ini karena tidak mau mengajari Laufan matematika. Masalahnya bukan Lofa tidak mau, tapi dia tidak bisa. Dia tidak mau terlihat lemah di hadapan adiknya itu, jadilah Lofa sibuk mencari alasan. Akibatnya ibu selalu menasehatinya seperti itu. Gadis itu hanya tersenyum selama ibu menasehati adiknya tentang arti persaudaraan. Senyumnya pudar saat Laufan bicara.
    “Aku sudah janji pada Tiara sejak tiga hari yang lalu. Aku harus menepati janji, kan? Ibu yang mengajariku untuk selalu menepati janji.”
    Lofa melotot menatap adiknya. Dari mana anak SMP mendapat kata-kata seperti itu? Lofa selalu diam saja setiap kali dinasehati ibu. Adiknya itu berani sekali menjawab. Lofa sudah siap mencubit adiknya saat ibu mengangguk.
    “Ya sudah kalau begitu.”
    Semudah itu?
    Ayah datang. Setelah ayah duduk di samping ibu, Lofa mulai mengeluarkan jurus rayuannya lagi. Sengaja melebih-lebihkan kesulitannya melayani pengunjung cafe malam ini karena Agi tidak bisa membantu. Bukannya menyuruh Laufan untuk membantu Lofa, ayah malah menasehati Lofa tentang tanggung jawabnya mengelola cafe dan memuji Laufan karena berhasil menaklukkan perempuan di usia semuda itu.
    Lofa hanya mendengus kesal. Usahanya sia-sia. Sebenarnya bukan bantuan Laufan yang dia harapkan. Tapi setidaknya, jika ada Laufan yang menemaninya malam ini, Lofa akan sibuk menghabiskan waktunya untuk bertengkar dengan adiknya itu. Bukannya memikirkan Agi yang sedang menikmati makan malam bersama Adriana.
    ***
    Rutinitas hari ini berjalan seperti biasanya. Lofa datang pagi ke cafe-nya. Menyapa tante Ratna yang sedang sibuk menyirami dan menata bunga-bunganya yang indah. Berharap dengan senyumnya Lofa berhasil menarik perhatian tante Ratna untuk datang ke cafe-nya sesekali. Ternyata tidak berhasil. Entah tante Ratna merasa tidak perlu berbasa-basi dengan tetangga tokonya, atau tante Ratna memang tidak suka cafe.
    Lofa menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bersih-bersih seperti biasa. Hanya saja kali ini gadis itu lebih sering melirik jam dinding. Berharap jarum pendek itu tidak buru-buru bergerak. Lofa berharap sore ini tidak pernah datang. Lofa menghela nafas. Apa jadinya jika hari selalu siang. Lofa membatalkan harapannya. Dia ingin hari ini berjalan normal. Ya, itu permintaan yang lebih masuk akal. Berjalan normal seperti biasa.
    Rombongan anak SMA datang di siang hari. Membawa suara berisik khas anak remaja tanggung yang sedang senang-senangnya membicarakan berbagai macam hal. Mulai dari fashion, pelajaran, cowok, film, apa pun. Matahari mulai tergelincir dari singgasananya, membawa suasana sore yang damai. Pengunjung semakin bertambah. Apalagi ini malam minggu.
    Tepat jam lima sore, Agi muncul. Lofa merasa luar biasa senang saat melihat Agi muncul seperti biasa. Doaku terkabul. Lofa buru-buru mencubit pipinya sendiri untuk meyakinkan diri ini semua bukan mimpi. Pipinya sakit dan memerah, tapi Agi tetap ada di hadapannya.
    “Kau sibuk?” Tanya pemuda itu. Agi menyandarkan tubuhnya pada meja bar. Bau shampo Agi mengisi atmosfer di sekeliling mereka. Lofa suka sekali bau ini.
    “Belum,” memang belum terlalu banyak pengunjung. Hanya ruang baca yang sudah mulai penuh.
    Kau tidak makan malam dengan Adriana? Ingin sekali Lofa menanyakan itu. Tapi sampai detik ini Agi tidak mengatakan apa pun tentang makan malam. Mungkin Adriana belum mengajaknya. Mungkin Adriana terlalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga batal mengajak Agi makan malam. Syukurlah.
    “Aku ada acara malam ini,’
    Kebahagiaan itu luntur.
    “Tidak apa-apa kan kalau aku tidak membantumu malam ini?”
    Lofa diam sejenak, “Tentu saja.” Bohong!
    Agi memicingkan matanya, memandang Lofa lekat-lekat, “Benar?”
    “Tidak masalah. Lagipula kau hanya akan menghabiskan makananku kalau di sini.” Bohong lagi!
    Agi tertawa ringan, “Kau yakin?”
    “Laufan akan membantuku malam ini. Kau tidak perlu khawatir.” Bohong lagi!
    Agi mengangguk mantap, “Baiklah. Aku pergi dulu. Lakukan tugasmu dengan baik.” Agi mengusap puncak kepala Lofa sebelum pergi.
    Senyum yang terkembang di wajah Lofa langsung lenyap begitu Agi keluar cafe. Dia pergi juga.
    ***
    Malam minggu yang ramai. Untung saja Lofa sudah makan cukup banyak siang tadi. Dia jadi punya cukup energi untuk bolak-balik melayani pengunjung. Satu minggu sejak pembukaan, akhirnya Cafe Lofa dipenuhi pengunjung. Sebagian besar adalah pasangan. Membuat Lofa sedikit iri sebenarnya. Meja-meja yang kosong cepat sekali terisi oleh pengunjung baru. Lofa berusaha menjaga senyumnya tetap terkembang sempurna.
    Lofa terlalu sibuk melayani pengunjung yang datang beramai-ramai sampai tidak menyadari ada satu pengunjung baru yang datang sendirian, duduk di salah satu kursi tinggi. Sebagian besar pengunjung yang datang berombongan, jadi deretan kursi tinggi itu kosong. Hanya ada satu orang yang baru Lofa sadari kehadirannya setelah gadis itu selesai mengantarkan semua pesanan.
    “Sepertinya kau sibuk sekali,”
    Lofa hanya tersenyum hambar sambil menarik nafas panjang untuk memulihkan tenaganya. Otot-otot kakinya sudah protes sejak tadi. Dia ingin duduk dan berselonjor.
    “Oh, kau mau pesan sesuatu?” Tanya Lofa saat menyadari belum ada makanan atau minuman apa pun di hadapan pemuda itu.
    Pemuda itu mengerutkan dahinya sekilas, seperti sedang berusaha keras mengingat sesuatu. “Aku sudah membaca itu tadi,” pemuda berkacamata itu menelengkan kepalanya ke arah papan besar di luar cafe. “Tapi aku lupa apa yang mau aku pesan.”
    “Kau bisa pesan menu spesial cafe ini,” Lofa menunjuk papan hitam kecil yang menggantung di dekat meja bar. Menu andalannya. Minuman kebahagiaan.
    Pemuda itu mengerutkan dahinya lagi, “Namanya...unik”
    Lofa cukup yakin pemuda itu akan mengatakan ‘aneh’.
    “Itu menu spesial?” Pemuda itu masih belum yakin.
    Lofa mengangguk mantap, “Sangat spesial.”
    “Baiklah. Aku pesan satu.”
    Lofa langsung melesat ke dapur dan membuat minuman kebahagiaan itu dalam sekejap. Hanya dalam waktu lima menit Lofa sudah kembali. Pemuda berkacamata itu memandangi minumannya sejenak. Kemudian mengaduk minuman itu sampai warna biru-orange cairan itu menyatu menjadi warna hijau tua. Pemuda itu bergidik sekilas setelah menyesapnya.
    “Asam,” katanya sambil menyipitkan sebelah matanya. Lofa tertawa melihat ekspresi pemuda itu. “Tapi enak.”
    Lofa membusungkan dadanya dengan bangga, “Sudah aku bilang itu minuman spesial.”
    Belum sempat pemuda itu menanggapi, Lofa melihat salah satu pengunjungnya mangangkat tangan.
    “Aku permisi dulu,” Lofa buru-buru menghampiri pengunjung itu. Memberikan bill-nya dan mengucapkan terima kasih saat mereka pergi. Berkurang dua pengunjung.
    Baru saja Lofa kembali ke meja bar, ada pengunjung lain yang mengangkat tangan. Lofa langsung menghampiri pengunjung itu. Melakukan hal yang sama, memberikan bill dan mengucapkan terima kasih.
    Meja-meja yang sempat kosong kembali terisi saat ada pengunjung baru yang datang. Malam ini ramai sekali. Lofa sudah membayangkan kasurnya yang empuk. Dia ingin merebahkan tubuhnya. Setelah menghela nafas panjang, Lofa kembali menghampiri pengunjung baru untuk menanyakan pesanan mereka.
    Rasanya sudah ratusan kali Lofa bolak-balik untuk menanyakan pesanan, mengantarkan pesanan, memberikan bill dan membungkuk untuk mengucapkan terima kasih. Dia butuh bantuan. Tapi omset cafe-nya masih belum cukup untuk membayar orang lain. Hanya Agi yang mau berbaik hati membantunya dengan bayaran kopi dan panekuk.
    “Kau butuh bantuan?”
    Lofa sedikit kaget saat menyadari pemuda berkacamata itu masih di sana. Lofa menggeleng sambil tersenyum.
    “Sepertinya kau sangat kerepotan.”
    Lofa menggeleng lagi, “Ini sudah tugasku.”
    “Kau yakin?”
    Lofa mengangguk, setengah takut. Pemuda asing itu mencurigakan.
    “Aku bosan hanya duduk diam di sini. Ayolah, pasti ada sesuatu yang bisa aku lakukan.”
    Lofa mengangkat sebelah alisnya, “Kau pengunjung. Sudah seharusnya kau duduk diam di situ dan menikmati pesananmu.” Lofa menjaga suaranya tetap datar meskipun sebenarnya dia sangat ingin membentak pemuda asing itu.
    Pemuda macam apa yang tiba-tiba menawarkan bantuan pada seorang perempuan jika tidak bermaksud jahat? Lofa teringat pada film-film pembunuhan yang sering ditontonnya. Bisa saja pemuda itu adalah seorang psikopat. Dia ingin membantu Lofa agar semua pekerjaannya cepat selesai. Saat semua pengunjung sudah pulang, pemuda itu akan melakukan tindakan kriminal atau kemungkinan terburuknya membunuh Lofa. Gadis itu bergidik membayangkan kemungkinan itu. Dia belum siap mati muda.
    Lofa mengamati penampilan pemuda itu. Berkacamata, rambut sedikit acak-acakan, memakai sweater hitam yang terlihat kebesaran di tubuhnya. Pemuda itu tidak terlihat seperti orang jahat.
    “Tidak perlu. Terima kasih.”
    Pemuda itu hanya mengangkat bahunya sekilas. Mengalah. Tiba-tiba saja pemuda itu terkesiap, seperti baru saja teringat sesuatu.
    “Kita belum berkenalan.” Pemuda itu mengulurkan tangannya. Lofa menatap tangan pemuda itu untuk beberapa saat, kemudian menjabat tangan pemuda itu. “Angga.” Katanya pelan.
    “Lofa,” jawab Lofa ragu.
    “Aku tahu,” kata pemuda itu sambil tertawa ringan, kemudian menunjuk apron yang dipakai Lofa.
    Lofa benar-benar lupa kalau dia selalu memakai pin nama itu ke mana-mana. Pantas saja orang-orang selalu tahu siapa namanya.
    “Kita sudah saling kenal,” kata Angga, menyadarkan Lofa dari lamunannya tentang pin nama itu. “Sekarang aku boleh membantumu?”

  3. Cafe Lofa : Bunga Itu, Tumbuhkah?

    Friday, January 17, 2014


    Lofa menatap cahaya jingga yang perlahan menguasai langit Jogja sore ini. Pandangannya kembali beralih pada layar laptop di hadapannya saat cahaya jingga itu sudah mulai membosankan. Sepi. Tidak ada banyak pengunjung hari ini. Sepertinya Lofa harus mencari cara lain untuk menarik perhatian orang-orang untuk mengunjungi cafenya. Tante Ratna, pemilik toko bunga di sebelah cafe-nya bahkan belum pernah sekali pun mengunjungi Cafe Lofa. Padahal Lofa sudah berkali-kali setor muka ke toko bunganya. Pura-pura membeli tiga empat tangkai bunga lili untuk dipajang di dekat meja bar. Pada akhirnya bunga itu hanya merusak pemandangan karena tidak sesuai dengan tema interior cafe.
    Lingkaran kecil di layar laptopnya terus saja berputar-putar dengan sangat lambat. Sudah hampir lima belas menit Lofa menunggu dan halaman website yang ingin dilihatnya belum juga terbuka. Internet siput, umpat Lofa dalam hati. Akhirnya halaman website itu terbuka tepat saat seseorang melangkah memasuki cafe. Itu Agi. Pakaiannya rapi. Dia baru saja wawancara kerja, lagi, hari ini.
    Lofa menyangga kepalanya dengan sebelah tangan, memandangi Agi yang melangkah masuk tanpa minat. Setelah selesai dengan Agi, Lofa kembali pada layar laptopnya. Membaca dengan seksama informasi yang ada pada website itu. Gadis itu hanya melirik sekilas saat Agi masuk dan melewatinya, menuju mesin pembuat kopi. Mengambil cangkir dan menuangkan kopi seperti di rumah sendiri.
    “Kau harus membayar, tahu.” Kata Lofa tanpa berpaling dari kesibukannya.
    Agi mengabaikannya. Pemuda itu menyesap kopinya beberapa kali kemudian meletakkan cangkirnya yang setengah kosong di atas meja bar. Agi berdiri di samping Lofa. Memandangi layar laptop dan membaca informasi yang sedang dibaca Lofa.
    Registered Dietitian?” Tanya Agi. “Kau mau jadi konsultan?”
    Lofa mengangkat bahunya dengan malas. “Hanya iseng.”
    “Seharusnya kau merencanakan semuanya dengan matang sebelum mengambil keputusan.”
    Lofa tahu Agi sedang menyindirnya. Keputusan membuka cafe memang sebuah keputusan impulsif. Meskipun memiliki cafe sendiri adalah salah satu impian Lofa, tapi gadis itu tidak pernah berpikiran untuk benar-benar mewujudkannya. Dia hanya kesal karena ditolak oleh beberapa rumah sakit incarannya. Lofa bisa saja langsung mengikuti tes untuk masuk pendidikan profesi saat dia lulus, tapi saat itu, ide itu sama sekali tidak terpikirkan olehnya.
    Pembicaraan ini mengingatkan Lofa pada sesuatu, “Tadi Adriana mampir.” Katanya singkat. Lofa penasaran apakah Adriana sudah mengajak Agi makan malam besok. Ke mana Adriana mengajaknya? Apa tempat itu menyediakan makanan pedas seperti yang Lofa sarankan?
    Lofa hanya mengamati gerak-gerik Agi dengan sudut matanya. Pemuda itu terlihat biasa saja.
    “Dia bilang kau mendapat tawaran kerja di sebuah rumah sakit.”
    Agi memainkan cangkir kopinya, “Tidak perlu dibahas. Aku sudah menolaknya.”
    Agi menolak TAWARAN KERJA?! Untuk yang satu ini, Lofa benar-benar tidak mengerti.
    “Kau seharusnya memikirkannya matang-matang.” Lofa mengutip saran Agi sebelumnya.
    “Aku sudah memikirkannya matang-matang. Dan aku memutuskan untuk menolaknya.”
    Lofa memutar posisi duduknya agar bisa menatap Agi lebih jelas. Pemuda itu membungkuk di atas meja bar, menumpukan beban tubuhnya pada dua lengan. Tangan kanannya masih sibuk memutar-mutar cangkir kopi. Lofa merasa sedikit kesal saat menyadari Agi dan Adriana memiliki kebiasaan yang sama. Lofa mengalihkan perhatiannya pada papan hitam kecil yang ada di balik tubuh Agi, setelah pikirannya tenang, Lofa kembali menatap sahabatnya itu.
    “Kenapa kau tidak memberitahuku?” Lofa terdengar seperti seseorang yang sangat posesif. Lofa bukannya ingin tahu tentang segala hal dalam kehidupan Agi. Tapi pemuda itu selalu memberitahunya tentang hal-hal kecil, kenapa dia malah menyembunyikan berita besar seperti ini. Yang membuat Lofa jengkel adalah Agi lebih memilih memberitahu Adriana daripada dirinya.
    “Aku pasti akan meyakinkanmu untuk menerima tawaran itu.” Lofa mengangkat bahunya sekilas.
    Agi menunduk, “Justru karena aku tahu kau akan melakukan itu, makanya aku tidak memberitahumu.”
    “Kau lebih senang menjadi pengangguran ya?” Lofa masih belum bisa mengikuti jalan pikiran Agi yang seperti labirin. Tepat di saat Lofa mengira Agi berpikir tentang sesuatu, pemuda itu malah melakukan yang sebaliknya. Dia sulit ditebak.
    Agi menegakkan tubunya, tangannya berhenti memainkan cangkir kopi. “Tidak ada salahnya berusaha lebih keras untuk sesuatu yang kau senangi daripada melakukan hal yang mudah tapi tidak kau senangi, iya kan?”
    Lofa hanya mendengus kesal saat mendengar jawaban Agi. Senjata makan tuan. Itu kata-kata yang selalu dikatakan Lofa setiap kali gagal melakukan sesuatu. Sekarang Agi menggunakan kalimatnya sebagai petuah.
    Terdengar suara beep dua kali. Agi terkesiap kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celananya. Ponsel. Ada pesan masuk. Agi membaca pesan di layar ponselnya sambil tersenyum sekilas. Lofa penasaran apa pemuda itu pernah tersenyum saat membaca pesan darinya.
    “Siapa? Kau terlihat senang.” Sisi posesif itu kembali lagi.
    Setelah mengetik sesuatu, Agi memasukkan ponselnya kembali, menggeleng untuk menjawab pertanyaan Lofa. Itu Adriana. Entah kenapa Lofa merasa sangat yakin itu Adriana. Mengajak Agi makan malam besok.
    Lofa langsung menoleh ke arah pintu saat melihat ada beberapa orang yang berdiri di depan papan menu. Setelah berunding beberapa saat, rombongan empat orang itu masuk ke dalam cafe. Tanpa basa-basi mereka berjalan menuju ruang baca. Lofa buru-buru mengambil buku catatan kecil dan sebuah pulpen untuk mencatat pesanan mereka. Satu-satunya lelaki yang ada dalam rombongan itu sudah mengeluarkan laptop saat Lofa mencapai tempat duduk mereka.
    Gadis itu menyiapkan semua pesanan dengan cekatan. Diam-diam memandangi pungung Agi yang berdiri tegap di dekat meja bar seperti patung selamat datang. Lofa terkesiap saat Agi tiba-tiba bergerak. Gadis itu buru-buru menunduk agar tidak ketahuan baru saja memandangi Agi dari belakang. Pemuda itu mengambil sebuah apron kemudian meraih buku catatan kecil dan sebuah pulpen. Lofa tersenyum saat Agi melakukan itu. Rutinitas itu sudah biasa dilakukan Agi selama seminggu terakhir. Membantu Lofa tiap malam karena ada lebih banyak pengunjung dari yang mampu ditangani Lofa.
    Gadis itu tersenyum puas saat semua pengunjungnya malam ini sudah mendapat pesanan mereka tepat waktu. Perhatian Lofa kembali tertuju pada pintu cafe saat ada dua orang yang masuk. Itu Dhanny, bersama seorang perempuan berambut panjang yang cantik. Kali ini Dhanny tidak duduk di kursi tinggi, pemuda itu langsung mengarahkan perempuan yang bersamanya untuk duduk di dekat jendela. Itu pacarnya, pikir Lofa sangat yakin.
    Lofa buru-buru menghampiri mereka. Dhanny tersenyum saat Lofa mendekat, membuat perempuan yang bersamanya menoleh. Dhanny menelengkan kepalanya ke arah Lofa untuk mengenalkannya pada perempuan itu sebagai pemilik cafe. Rasanya sangat istimewa mendengar istilah itu, pemilik cafe.
    “Lofa.” Lofa mengucapkan namanya sekaligus mengulurkan tangan.
    Perempuan di hadapannya terlihat berbinar-binar kemudian menyambut uluran tangan Lofa, “Nura.” Lofa sudah akan melepaskan jabatan tangannya saat perempuan itu menambahkan informasi kecil tentang identitasnya. “Sepupu Adriana. Kau mengenalnya?”
    Tentu saja aku mengenalnya, pikir Lofa kesal. Senyum di wajahnya luntur sedikit demi sedikit. Dunia ini sempit sekali. Mengapa Lofa merasa semua orang ada hubungannya dengan Adriana.
    Lofa mengangkat kembali sudut-sudut bibirnya, membentuk senyuman palsu. “Tentu saja. Rancangan interiornya sangat hebat.” Tidak ada salahnya menyenangkan hati sepupu saingan terbesarnya. Nura tidak ada hubungannya dengan beban batin yang sedang ditanggung Lofa.
    “Kalian mau pesan sesuatu?” Lofa buru-buru mengalihkan pembicaraan sebelum Nura mulai membicarakan sepupunya lagi.
    ***
    Lofa melihat cincin perak yang melingkar di jari manis Nura. Teringat pada cerita Dhanny bahwa gadis itu selalu menyentuh jari manisnya seolah-olah ada cincin di sana. Lofa tersenyum saat menyadari sesuatu. Setelah membungkuk sekilas, Lofa kembali ke balik meja bar. Meninggalkan mereka untuk menikmati pesanannya.
    Dhanny berhasil menemukan cara untuk menyelesaikan masalahnya dengan Nura. Apa kata-kata pamungkas Lofa waktu itu? Jangan perlakukan dia seperti seorang pembaca pikiran, katanya? Kali ini gadis itu benar-benar merasa seperti seorang motivator melompong. Dia sendiri selalu memperlakukan Agi seolah-olah pemuda itu bisa membaca pikirannya. Tahu apa yang Lofa mau tanpa perlu mengatakannya. Mendadak kesal jika Agi tidak juga mengerti apa maunya. Tapi toh Agi begitu sabar menghadapinya. Begitu sabar menangani sahabatnya yang banyak mau. Alasan itu juga yang membuat Lofa mengkhianati persahabatan mereka. Diam-diam menyirami benih perasaan itu sampai akhirnya tumbuh subur. Lofa tahu perasaannya ini akan membawa konsekuensi yang besar jika pada akhirnya benih itu tidak berbunga. Tapi saat ini, Lofa tidak begitu peduli.
    Bahkan setelah Lofa mendapat tanda-tanda bunga itu tidak akan pernah mekar, gadis itu tetap tidak peduli.

  4. Cafe Lofa : Mak Comblang

    Tuesday, January 14, 2014


    BAGIAN 3


    Adriana datang. Dan hari ini tidak ada Agi. Pemuda itu sedang sibuk melamar pekerjaan lain sejak ditolak oleh perusahaan yang mewawancarainya beberapa hari yang lalu. Mau tidak mau Lofa yang harus mengobrol dengan Adriana. Ya, Adriana. Gadis yang selalu membuat Lofa merasa jadi gadis paling jelek sedunia.  Suara langkah kakinya yang berirama memenuhi cafe yang sepi. Sudah hampir satu minggu sejak pembukaan Cafe Lofa, pengunjung cafe itu masih kurang dari yang diharapkan Lofa. Kecuali saat malam hari, memang ada cukup banyak pengunjung. Tapi saat siang, Lofa menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bersih-bersih.
    Lofa sedang berusaha bersikap senatural mungkin. Memikirkan kata-kata apa yang sebaiknya dia ucapkan. Merilekskan tubuhnya agar terlihat biasa-biasa saja. Terlambat. Adriana sudah mencapai meja bar saat Lofa sedang menggerak-gerakkan bahunya.
    “Hai!” Sapa Adriana ringan seolah-olah mereka adalah teman lama yang sudah sangat akrab.
    “Hai.” Lofa berusaha mengimbangi ketenangan Adriana. Tapi gagal. Suaranya serak karena terlalu lama diam. Dia selalu gugup jika berhadapan langsung dengan Adriana.
    “Agi tidak datang?” Tanya Adriana sambil duduk di sebuah kursi tinggi.
    Lofa menggeleng pelan, “Dia sedang sibuk menyiapkan berkas-berkas untuk melamar pekerjaan lagi.”
    “Lagi? Bukankah dia ditawari pekerjaan di sebuah rumah sakit?”
    Agi? Ditawari pekerjaan di rumah sakit? Kenapa Adriana bisa tahu informasi sepenting itu sedangkan Lofa tidak?
    Adriana mendesah frustasi, “Kenapa sih dia itu pemilih sekali? Selalu seperti itu.”
    Lofa hanya memberikan setengah perhatiannya untuk mendengar pembicaraan Adriana. Setengah pikirannya yang lain sibuk memikirkan berbagai macam alasan kenapa Agi tidak memberitahunya, malah memberitahu Adriana. Itu kesempatan besar. Jika Agi memberitahunya, Lofa pasti akan berusaha mati-matian untuk meyakinkan Agi agar menerima tawaran itu.
    “....dan akhirnya dia malah tidak mendapatkan apa pun karena terlalu perfeksionis tentang pilihannya.” Adriana mengakhiri ceritanya.
    “Bagaimana saat kuliah? Apa sifatnya tidak berubah? Kalian teman dekat kan?” Adriana menodong Lofa dengan begitu banyak pertanyaan sejak pertama kali datang dan semuanya memiliki satu tema utama. Agi. Lofa bahkan belum sempat bertanya apa yang ingin dipesan Adriana.
    “Kau mau pesan sesuatu?” Tanya Lofa tanpa menjawab pertanyaan-pertanyaan Adriana.
    “Kopi saja.” Katanya singkat. “Kau belum menjawab pertanyaanku.”
    Lofa mengenal Agi sejak kuliah. Dan dia tidak begitu mendengarkan paparan Adriana tentang sifat Agi semasa SMA. Bagaimana dia bisa tahu ada yang berubah atau tidak dari sifat Agi?
    “Dia baik.” Jawaban netral. Lofa tidak menjelaskannya secara spesifik. Hanya satu sifat yang dia tahu pasti tentang Agi. Dia baik.
    Lofa mengambil sebuah cangkir kemudian menuangkan kopi dari mesin pembuat kopi. Asap putih mengepul dari permukaan cairan hitam yang ada di dalam cangkir. Seolah-olah baru saja mendapat kebebasan, asap-asap itu membumbung tinggi sampai ke langit-langit kemudian lenyap.
    Gadis itu menyodorkan secangkir kopi pada Adriana, kemudian pura-pura mengelap meja. Lofa sudah mengelap meja itu berkali-kali hari ini. Dia tidak tahu harus bagaimana. Lofa sudah pasti akan salah tingkah jika tidak melakukan sesuatu.
    “Sejak kapan kau dekat dengan Agi?” Tanya Adriana setelah menyesap kopinya sekali. Dia beralih profesi menjadi wartawan atau apa?
    “Semester tiga,” Lofa masih berusaha memusatkan perhatiannya pada kain lap yang ada di tangannya. “Kami satu kelompok kulinari. Kami dekat sejak itu.” Lofa berusaha mengatur suaranya agar terdengar tenang dan berwibawa. Bukan cempreng dan manja seperti biasanya.
    “Kalian sangat dekat ya?” Adriana memutar-mutar cangkirnya di atas tatakan.
    Kali ini Lofa benar-benar berharap ada pengunjung lain yang datang agar dia bisa terbebas dari obrolan ini. Siapa pun. Pemuda rapi, Dhanny, yang waktu itu meminta sarannya juga tidak masalah. Diam-diam Lofa ingin tahu kelanjutan masalah Dhanny dengan pacarnya itu. Jadi dia benar-benar berharap pemuda itu datang lagi hari ini. Setidaknya akan ada orang lain yang bisa Lofa ajak bicara selain Adriana.
    “Cukup dekat untuk tahu semua tentangnya.” Lofa sudah melipat lap-nya. Dia berusaha nampak sekeren mungkin. Angkuh dan berwibawa. Seperti sosok tuan Darcy saat sedang berhadapan dengan Lizzy.
    Adriana menyingkirkan cangkir kopinya kemudian mencondongkan tubuhnya. “Kau mau membantuku?”
    Tidak akan. Aku tidak mau ada yang dekat dengan Agi selain aku!
    “Tentu saja.”
    Bodoh! Lofa benci mulutnya yang tidak pernah bisa mengutarakan isi pikirannya dengan benar. Satu detik kemudian Lofa teringat pada tips bisnis yang dibacanya di salah satu buku motivasi koleksi ayah. Tips itu mengatakan, jadikan musuh terbesarmu sebagai teman terbaik. Ya, mungkin itu yang sedang dilakukan Lofa sekarang. Menjadikan Adriana, saingannya yang paling potensial, teman baik.
    Adriana tersenyum lebar. Dia memundurkan tubuhnya kemudian kembali memainkan cangkir kopinya. Seperti sedang memikirkan rencana-rencana jahat yang hebat, Adriana tersenyum sendiri saat jemarinya menyusuri bibir cangkir. Lofa sibuk berdebat dengan dirinya sendiri selama memandangi tingkah Adriana. Kenapa dia harus menyetujui permintaan itu? Lofa menggeleng. Mungkin saja bantuan yang diharapkan Adriana berbeda dengan yang dia pikirkan. Mungkin itu tidak ada hubungannya dengan Agi. Lofa perlu tahu sebenarnya bantuan macam apa yang Adriana inginkan. Pertanyaan Adriana berikutnya mengonfirmasi ketakutan Lofa.
    “Menurutmu ke mana sebaiknya aku mengajak Agi makan malam besok?”
    Lofa menciut, bukan secara harfiah. Tapi segala sesuatu dalam dirinya terasa menciut. Adriana bukan tandingannya. Secara fisik Adriana jelas akan menang. Lelaki mana sih yang tidak menyukai perempuan macam Adriana? Badan tinggi langsing bak model dan sikap percaya diri yang memesona?
    “Bagaimana kalau aku mengajaknya ke Super Choco?”
    Kenapa tidak mengajaknya ke sini saja agar aku bisa memata-matai kalian? Pikir Lofa kesal.
    Lofa buru-buru menggeleng, “Terlalu manis. Agi takut diabetes.”
    Adriana mengangguk kemudian menyangga kepalanya dengan sebelah tangan sementara tangan lainnya masih memutar-mutar cangkir kopi di atas tatakannya.
    “Agi suka makanan apa?”
    “Pedas.” Jawab Lofa cepat.
    Bohong! Agi benci makanan pedas. Terakhir kali Lofa mengajaknya ke rumah makan padang, Agi langsung diare.
    “Dia suka membuat makanan pedas.” Untuk yang satu ini Lofa tidak berbohong. Agi memang suka sekali membuat makanan pedas. Itu karena Lofa yang memintanya. Agi tidak pernah menyentuh makanan itu sedikit pun.
    Seperti baru saja mendapat ide cemerlang, Adriana langsung mengangkat kepalanya sambil tersenyum lebar. “Aku tahu akan membawanya ke mana.”
    Belum sempat Lofa menanyakan tempat yang dimaksud, Adriana sudah panik melihat jam tangannya. Gadis berambut pendek itu melompat turun dari kursi tinggi kemudian merapikan pakaian kerjanya.
    “Jam makan siangku sudah habis. Aku pergi dulu.” Adriana menyodorkan selembar uang untuk membayar kopinya kemudian tersenyum lagi, “Terima kasih.” Setelah mengucapkan itu Adriana langsung berjalan cepat keluar cafe.
    Lofa merasa sangat bersalah. Ada sebagian dalam dirinya yang mengutuki kebohongannya. Tapi sebagian dirinya yang lain benar-benar ingin membuat Adriana terlihat buruk di hadapan Agi. Lofa hanya mendesah frustasi. Dia sudah berbohong. Sekarang Lofa hanya perlu menunggu hasil dari kebohongannya.