Sikap Nura masih belum berubah. Gadis itu hanya
tersenyum simpul saat berpapasan dengan Dhanny di koridor rumah sakit. Nura
bahkan tidak menyapanya sama sekali. Hanya melewatinya, seolah-olah mereka
orang asing.
“Nura!” Dhanny memutuskan untuk menyapanya
lebih dulu.
Nura berhenti. Butuh waktu beberapa detik
sebelum akhirnya gadis itu berbalik. Dhanny bisa melihat Nura menghela nafas
panjang sebelum berbalik dan menatapnya. Bibir merahnya membentuk sebuah
lengkungan tipis. Setidaknya dia masih
berusaha tersenyum, pikir Dhanny.
“Kau ada waktu saat makan siang nanti?”
Pertanyaan basa-basi. Tentu saja Nura ada waktu, itu jam istirahat.
“Aku ada janji dengan Rena.” Jawabannya membuat
Dhanny kecewa.
“Baiklah.”
Nura menelengkan kepalanya, menatap Dhanny
dengan tatapan setengah curiga. “Kau mau membicarakan sesuatu yang penting? Aku
bisa...”
“Tidak. Bukan sesuatu yang penting.” Kata
Dhanny kemudian tersenyum. Dia sendiri masih belum yakin apa yang akan
dibicarakannya. Dia hanya berpikir mungkin lebih baik membicarakan masalah itu
lagi sekarang.
Nura menunjuk ke balik bahunya, “Aku harus
memeriksa pasien.”
“Oke. Sampai ketemu nanti.” Kata Dhanny
canggung.
Nura berbalik tanpa mengatakan apa pun. Dari
tatapan gadis itu, jelas Nura masih merasa kecewa dengan hasil pembicaraan
semalam. Dhanny meneruskan langkahnya, menuju ruangan dokter pembimbingnya.
***
Dhanny memutuskan untuk pergi ke Cafe Lofa
lagi. Dia merasa cukup nyaman di tempat itu, meskipun alasan sebenarnya Dhanny
pergi ke sana adalah karena Nura sudah ada janji dan tidak bisa menemaninya makan
siang. Kali ini Dhanny memarkir mobilnya di depan Cafe Lofa dengan sengaja.
Cafe itu sangat sepi. Tidak ada satu kendaraan pun yang diparkir di luar cafe.
Dhanny berhenti sebentar di depan papan tulis
hitam berukuran besar yang dipasang di sebelah kanan pintu masuk. Dhanny ingin
memastikan dia tahu apa yang akan dipesan saat masuk. Tidak ada makanan berat
dalam menu itu. Sebagian besar menu makanan terdiri dari kue atau pie. Begitu juga dengan menu minumannya.
Tidak ada nama yang wajar dalam menu itu selain kopi. Setelah memilih satu menu
yang dia inginkan, Dhanny melangkah masuk.
Gadis yang ada di balik meja bar, Lofa,
langsung menoleh saat Dhanny mendorong pintu kacanya sampai terbuka.
“Selamat datang!” Teriaknya dengan suara
lantang. “Oh, kau!” Katanya penuh semangat. Senyum lebar menghiasi wajahnya
yang bulat dan kecil.
Dhanny sedikit terkejut saat Lofa mengenalinya.
Pemuda itu sudah cukup sering makan di cafe atau restoran, tapi sepertinya
tidak satu pun pegawai di tempat-tempat itu yang mengingatnya setelah kunjungan
pertama. Butuh waktu sangat lama untuk akhirnya dikenali oleh pegawai di
tempat-tempat itu sebagai pelanggan tetap.
“Kau beruntung!” Kata Lofa lagi, masih dengan
semangat yang sama. Dhanny penasaran apa gadis itu selalu bersikap sepositif itu
pada semua orang. Jika iya, sepertinya gadis itu memiliki persediaan energi
yang cukup banyak.
“Cafe Lofa membagikan minuman gratis setiap
hari Selasa!” Lanjut gadis itu sambil menunjuk papan hitam yang ada di dekat
meja bar. “Tapi kau harus memesan menu lain untuk mendapatkannya.” Lofa terlihat
lesu saat menjelaskan persyaratan untuk mendapatkan minuman gratis itu.
“Minuman kebahagiaan?” Itu menu yang ditawarkan
Lofa kemarin.
Gadis itu mengangguk, “Itu menu spesial. Tapi
kami membagikannya gratis setiap hari Selasa. Tentu saja setelah kau memesan sesuatu.”
Caranya menyebut kata kami terdengar
aneh bagi Dhanny, mengingat Lofa hanya sendirian di sini. Dan memang tidak ada
orang lain di cafe ini sekarang.
“Apa kau sudah melihat menu?” Lofa menelengkan
kepalanya ke arah papan yang ada di luar cafe.
Dhanny tersenyum sekilas, “aku mau pie apel.”
“Baiklah. Pie
apel dan minuman kebahagiaan akan segera datang.” Lofa langsung meluncur ke
dapur.
Dhanny mengedarkan pandangannya ke seisi cafe.
Dia melanjutkan pengamatannya yang kemarin belum selesai. Kali ini Dhanny
menyadari ada ruangan terpisah di sebelah kanan, dibatasi oleh sebuah rak kayu
tinggi yang dipenuhi buku-buku. Dhanny mengamati furniture yang ada di dalam cafe itu dengan lebih teliti. Ini semua sepupu Nura yang merancangnya?
Pikir Dhanny dalam hati. Dia penasaran juga bagaimana sepupu Nura bisa
merancang semua furniture itu. Desainnya
minimalis dan elegan, sangat menyatu dengan suasana di dalam cafe ini.
Dhanny menoleh demi mendapati Lofa sudah
berdiri di hadapannya. Gadis itu menyodorkan sepiring pie apel berukuran kecil dan segelas minuman kebahagiaan. Dhanny
hanya memotong-motong pie apelnya. Dia
sudah kehilangan selera makannya sama sekali.
“Apa ada yang salah dengan pie apelnya?” Tanya Lofa di sela-sela kegiatannya mengelap
gelas-gelas. Suaranya terdengar khawatir.
Dhanny hanya menggeleng. Bukan pie-nya yang salah. Pikirannya yang
sedang tidak fokus. Dia masih bingung bagaimana menghadapi sikap Nura yang berubah
dingin sejak pembicaraan mereka semalam.
“Aku belum siap menikahinya.” Kata Dhanny
tiba-tiba. Lofa terlihat kaget dan menghentikan kegiatannya. “Pacarku. Aku
belum siap menikahinya.”
Gadis di hadapannya terlihat bingung tapi
kemudian tersenyum, jadi Dhanny melanjutkan ceritanya. Dia sudah tidak tahu
harus menceritakan hal ini pada siapa lagi. Semua orang yang mendengar ceritanya
selalu membela Nura. Tidak ada yang melihat masalah ini dari sudut pandangnya.
“Dia memintaku untuk menikahinya.” Dhanny
menghela nafas panjang sebelum mengoreksi kalimatnya. “Dia tidak mengatakannya
secara langsung. Tapi aku tahu dia ingin itu.”
“Bagaimana kau tahu?” Tanya Lofa. Dia
mengangkat sebelah alisnya saat menatap Dhanny. Bagaimana bisa semua orang
melakukan hal itu sedangkan Dhanny tidak? Diam-diam Dhanny berniat mencobanya
di rumah nanti.
“Aku tahu. Nura selalu menyentuh jari manisnya
seolah-olah ada cincin di sana.”
Jemari Dhanny basah karena memainkan embun yang
ada di dinding gelas minumannya. Dhanny mendongak saat mendengar Lofa tertawa
pelan.
“Maaf.” Gadis itu berhenti tertawa dan berusaha
menunjukkan ekspresi serius. “Apa pekerjaanmu?”
“Itu masalahnya. Aku belum bekerja. Aku masih
menjalani coass untuk mendapat gelar
dokterku. Dan aku masih ingin melanjutkan ke tingkat spesialis. Aku belum siap
menikah.”
Lofa diam selama beberapa saat setelah
mendengar begitu banyak informasi tentang kehidupan Dhanny. Gadis itu menghela
nafas panjang sebelum mulai mengatakan sesuatu.
“Dia kan perempuan!” Lofa mengatakannya
seolah-olah Dhanny bisa tahu perasaan semua perempuan di seluruh dunia saat berada
dalam situasi seperti ini. Itu masalahnya. Dia tidak tahu. Dia sama sekali
tidak tahu kenapa Nura terlihat begitu sedih bahkan setelah Dhanny memaparkan
rencananya beberapa tahun ke depan pada Nura berkali-kali. Apa sih yang perempuan pikirkan?
“Kecuali jika aku salah mengira pacarmu adalah
seorang perempuan,” Lofa menambahkan sambil mengangkat bahunya sekilas. Dalam
situasi seperti ini gadis itu masih bisa membuat lelucon yang sama sekali tidak
lucu. Dhanny hanya menghadiahinya sebuah tatapan yang bermakna kau serius?
“Perempuan mana sih yang mau menunggu begitu
lama untuk sesuatu yang tidak pasti? Dia hanya ingin kepastian darimu.” Lofa
mulai menjelaskan apa yang dimaksud dengan kalimat dia kan perempuan. Tapi tetap saja itu tidak memberi pencerahan apa
pun pada Dhanny.
“Kepastian?”
Apa lagi yang perlu dipastikan? Jika Dhanny
akan menikah, sudah pasti Nura yang akan menjadi pasangannya. Dia hanya butuh
waktu lebih lama dari yang Nura harapkan.
“Kepastian kau tidak akan meninggalkannya
setelah menunggumu begitu lama.”
“Kenapa dia berpikir begitu?”
Lofa menghela nafas lagi. Kali ini dengan tidak
sabar.
“Apa kau pernah menyatakan niatmu untuk
menikahinya?”
Dhanny menerawang ke beberapa waktu yang lalu,
saat dia dan Nura mulai membicarakan rencana itu.
“Kami sempat membahas hal itu beberapa kali.”
Lofa menelengkan kepalanya, “Apa kau pernah
mengatakan akan menikahinya?”
Dahi Dhanny berkerut dalam. Dia tidak melihat
hubungan antara pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Lofa dengan masalahnya. Jika
gadis itu berniat mewawancarainya, Dhanny tidak akan meneruskan pembicaraan
ini. Dia butuh solusi.
“Kami sudah sering membicarakannya. Apa itu
masih perlu dilakukan?” Tanya Dhanny dengan nada kesal.
“Kau tahu apa yang akan aku buat untuk makan
malam nanti?” Kali ini Lofa menanyakan sesuatu yang benar-benar tidak ada
hubungannya dengan masalah Dhanny.
“Bagaimana aku bisa tahu jika kau tidak
memberitahuku.” Jawab Dhanny emosi, tapi dia masih berusaha menahan suaranya
agar tidak meninggi.
“Sama saja! Bagaimana dia tahu kau akan
benar-benar menikahinya jika kau tidak pernah mengatakannya!” Di luar dugaan,
ternyata Lofa yang memarahinya habis-habisan. Meskipun suara gadis itu tidak
senyaring yang diharapkan, tapi kata-katanya menusuk Dhanny tepat ke jantung. Membuat
pemuda itu mematung untuk beberapa saat. Baru kali ini Dhanny mendapat teguran
dari orang yang belum dia kenal baik. “Jangan perlakukan dia seperti seorang
pembaca pikiran.”
“Apa yang harus aku lakukan?” Tanya Dhanny
setelah mendapat kesadarannya kembali.
Lofa mengangkat bahunya sekilas, “Lakukan
sesuatu yang membuatmu nyaman dan bisa meyakinkannya.”
“Apa?” Tanya Dhanny lemas. Dia sudah kehabisan
kata-kata.
“Kau yang lebih tahu.” Jawab Lofa singkat.
Dhanny memainkan tetesan-tetesan air yang ada di
atas meja bar. Membentuk gambar-gambar abstrak yang terlintas di pikirannya. Pikirannya
sekarang memang sedang seabstrak gambarnya. Tiba-tiba saja ide itu melintas. Sebuah
ide yang seharusnya dia pikirkan sejak lama. Keputusan spontan dan beresiko. Tapi
Dhanny rasa cukup layak untuk dilakukan.
***
Nura hanya diam sepanjang perjalanan pulang. Mood-nya masih belum membaik. Entah
berapa lama waktu yang dibutuhkan seorang perempuan untuk kembali ceria seperti
biasa. Mungkin sikap diamnya itu akibat akumulasi kekecewaan yang dia rasakan
selama ini. Atau mungkin ada masalah di rumah sakit yang memperburuk
perasaannya. Entahlah. Dhanny tidak begitu pandai membaca situasi. Dia merasa
lebih baik jika Nura memarahinya daripada hanya diam seperti ini. Membuat
Dhanny selalu salah tingkah. Setiap hal yang dikatakan Dhanny hanya ditanggapi
dengan “hem” oleh Nura. Atau sesekali gadis itu mengangguk atau menggeleng,
tapi tidak benar-benar menanggapi pembicaraan yang sedang berlangsung.
Dhanny menahan tangan Nura saat gadis itu akan
turun dari mobil. Nura menatap tangan Dhanny yang menggenggamnya erat, kemudian
menatap tepat ke arah mata Dhanny. Jantung pemuda itu berdebar dua kali lipat
lebih kencang dari biasanya. Tadi siang dia begitu yakin dengan apa yang akan
dikatakannya, tapi saat menatap Nura seperti ini, keberaniaannya menciut. Dia
takut jawaban yang akan diberikan Nura tidak sesuai dengan yang dia bayangkan
selama ini.
Dhanny melepaskan genggaman tangannya. Tubuh
Nura merileks.
“Kenapa?” Tanya Nura bingung.
Dhanny menghela nafas panjang dan menatap mata
Nura lekat-lekat. Dia ingin menatap mata hitam itu untuk beberapa saat. Untuk
meyakinkan dirinya. Nura menelengkan kepalanya saat Dhanny tidak juga
mengatakan apa pun.
“Apa...” Dhanny mulai terbata-bata. “Apa...aku
boleh datang ke rumahmu malam ini?”
Nura tersenyum meskipun raut wajahnya terlihat bingung.
“Kau sudah datang ke rumahku ratusan kali,
Dhan. Apa yang membuatmu berpikir harus minta ijin kali ini?”
Dhanny mengangkat sebelah bahunya, “Karena kau
terlihat sangat murung hari ini. Aku takut kau akan mengusirku jika tiba-tiba
muncul di depan pintu rumahmu.”
Nura tertawa ringan. Itu tawa pertamanya yang
Dhanny lihat selama seharian ini.
“Pintu rumahku akan selalu terbuka untukmu,”
kata Nura lembut. “Selama kau membawa bingkisan.” Gadis itu menambahkan sambil
tertawa.
Dhanny mengangguk mantap, “Baiklah. Aku akan
memastikan kau mendapat bingkisan paling istimewa malam ini.”
“Aku sudah tidak sabar menunggu bingkisanmu.” Canda
Nura.
Gadis itu melambai saat Dhanny meluncur pergi.
Dhanny masih mengawasinya melalui kaca spion sampai akhirnya Nura masuk. Pemuda
itu menghela nafas panjang saat menginjak pedal gas-nya lebih dalam. Ada satu
tempat yang harus dia datangi sebelum malam ini.
***
Dhanny mematut dirinya di depan kaca spion lama
sekali. Sudah hampir lima belas menit sejak pemuda itu memarkir mobilnya di
dekat rumah Nura. Dia sengaja memarkirnya beberapa rumah dari rumah Nura agar
gadis itu tidak melihat kedatangannya. Dhanny masih butuh waktu. Pemuda itu
menatap pantulan dirinya di kaca spion. Merapikan rambutnya berkali-kali. Mengendus
aroma tubuhnya untuk memastikan tidak ada bau aneh yang melekat di tubuhnya.
Dhanny membenarkan posisi blazer yang menutupi kaus putihnya. Setelah menghela
nafas panjang, Dhanny memajukan mobilnya dan menghentikannya tepat di samping
gerbang rumah Nura.
Dhanny menyembunyikan sebuket mawar merah di
balik punggungnya saat menekan bel. Hanya dalam hitungan detik, pintu rumah Nura
terbuka lebar. Sosok Nura berdiri di ambang pintu. Rambut panjangnya terurai
bebas. Gadis itu hanya memakai kaus oblong begambar Hello Kitty dan celana
panjang katun warna hijau tua. Dhanny langsung menyodorkan buket mawar merahnya
pada Nura begitu gadis itu keluar. Dalam cahaya temaram di teras rumah Nura,
Dhanny bisa melihat semburat merah muda di kedua pipi gadis itu.
“Apa ini?” Tanya Nura bingung sambil menghirup
aroma bunga mawar itu.
“Kau bilang aku harus membawa bingkisan.”
Dhanny berusaha nampak selugu mungkin.
Nura mengamatinya dari ujung rambut sampai
ujung kaki.
“Kau rapi sekali.” Katanya masih bingung,
kemudian gadis itu memicingkan sebelah matanya. “Kau baru kencan dengan
perempuan lain?”
Dhanny tersenyum sekilas, “Kalau aku baru saja
kencan dengan perempuan lain, kau hanya akan mendapatkan satu tangkai bunga.”
Nura tertawa ringan. Sikap murungnya sudah
hilang. Jika Dhanny tahu sejak dulu bunga bisa merubah mood secepat itu, dia akan sering-sering membelikan Nura bunga. Gadis
itu terlihat luar biasa cantik saat tersenyum.
“Ayo masuk.” Nura menelengkan kepalanya untuk
mengajak Dhanny masuk.
Rumah yang biasa. Ruangan yang biasa. Semuanya
serba biasa. Tapi jantung Dhanny berdetak dengan cara yang tidak biasa malam
ini. Detakan yang terlalu cepat dan...aneh. Dia panik. Dia takut. Tapi Dhanny
ingin segera memberi kepastian pada Nura. Dia ingin secepatnya mengatakan pada
gadis itu bahwa Dhanny tidak akan berpaling pada siapa pun. Tidak akan.
Dhanny duduk dengan tidak tenang di ruang tamu.
Kakinya bergerak-gerak gelisah selama menunggu Nura meletakkan bunga mawarnya
ke dalam vas kaca bening berisi air. Nura duduk di hadapan Dhanny. Membuat pemuda
itu semakin merasa gugup. Sialnya kegugupan Dhanny menjadi objek yang sangat menarik
bagi Nura. Gadis itu tidak mengalihkan pandangannya sedikit pun dari Dhanny.
“Katakan padaku, apa yang sebenarnya kau
rencanakan sampai berpakaian sangat rapi seperti itu.”
“Apa ada masalah dengan kostumku?” Dhanny
berusaha menjaga suaranya tetap tenang.
Nura menggeleng sambil tersenyum geli, “Aku
benci saat kau berpakaian seperti itu.” Katanya ringan.
Dhanny melotot, nyalinya semakin menciut.
“Kenapa?”
“Kau terlihat semakin tampan. Aku tidak mau kau
keluar dengan pakaian seperti itu.” Nura terlihat sangat menggemaskan saat
sedang cemburu.
“Baiklah. Untuk menyenangkanmu, mulai besok aku
akan berpakaian seperti gembel.” Dhanny menanggapi candaan Nura. Ketegangannya
mulai menghilang sedikit demi sedikit.
Dhanny melirik jam tangannya. Sudah cukup
malam. Dia tidak boleh mengulur waktu lebih lama lagi.
“Apa orang tuamu ada di rumah?” Tanya Dhanny
sambil melongok ke balik bahu Nura. Ruang keluarga tidak akan terlihat dari
ruang tamu, tapi Dhanny bisa mendengar suara televisi yang menyala dari dalam
sana.
Nura hanya mengangguk, “Kenapa?”
“Aku ingin bertemu dengan orang tuamu.” Jawab
Dhanny dengan kemantapan yang sudah tidak bisa diragukan lagi.
Nura mengangkat sebelah alisnya, “Kenapa?” Pertanyaan
yang sama, tapi Dhanny memiliki jawaban yang berbeda untuk pertanyaan ini.
“Aku juga punya bingkisan untuk mereka,”
katanya pelan.
***
Dentuman yang diciptakan jantungnya lebih
nyaring daripada musik perkusi yang membahana. Dhanny sangat gugup. Kedua orang
tua Nura ada di hadapannya. Menanti. Penasaran dengan apa yang sebenarnya
Dhanny inginkan dengan datang ke rumah malam ini. Nura duduk di sampingnya.
Dhanny berusaha mengabaikan tatapan penuh kecurigaan Nura yang sedari tadi
hanya diam.
“Maaf mengganggu waktu Om dan Tante malam ini,”
Dhanny mengatakan kalimat pembukanya. Suaranya terdengar serak. Pemuda itu berdehem
untuk menjernihkan suaranya sebelum melanjutkan. “Ada sesuatu yang ingin saya
utarakan malam ini.”
Om Nugraha menyandarkan tubuhnya. Terlihat
tetap rileks meskipun Dhanny bisa menangkap rasa penasaran yang tinggi di
wajahnya. Tante Reni terlihat lebih natural, hanya duduk tegak dan memandangi
Dhanny seolah-olah tahu pemuda itu akan mengatakan sesuatu yang sangat penting.
“Saya akan melanjutkan pendidikan spesialis
saya di Australia. Minimal butuh waktu tiga tahun untuk menyelesaikannya.”
Dhanny mengutarakan pikirannya dengan begitu lancar seperti sudah melatihnya
ratusan kali. Tidak. Kata-kata itu baru saja terlintas di pikirannya sore tadi.
Saat dia berdiri di depan etalase yang berkilauan karena ratusan cincin yang
ditata di sana. Bahkan sampai satu detik yang lalu Dhanny masih ragu dengan
perkataannya. “Tapi saya janji akan menyelesaikannya secepat yang saya bisa. Saya
akan berusaha lebih keras agar bisa menyelesaikan pendidikan saya lebih cepat
dari itu.”
Om Nugraha dan tante Reni masih diam. Mereka terlihat
begitu berpengalaman dengan hal semacam ini. Tidak ada raut bingung, hanya
penasaran. Mereka seperti sedang menanti kata-kata akhir Dhanny yang sudah
mereka duga sebelumnya. Itu sebabnya mereka hanya diam. Untuk memastikan dugaan
mereka benar.
“Saya di sini malam ini...” Dhanny menghela
nafas panjang. Setelah selama beberapa waktu berusaha mengabaikan tatapan Nura,
kali ini Dhanny menoleh ke arahnya. Tangan kanannya merogoh saku blazer-nya. Jemarinya
menyentuh kotak kecil beludru dan meraihnya. Mengeluarkan kotak itu perlahan
kemudian menggenggamnya kuat-kuat dengan kedua tangan. Tatapan matanya menatap
lurus ke arah om Nugraha. “Ingin meminta izin Om dan Tante untuk menikahi Nura
segera setelah saya menyelesaikan pendidikan saya.”
Dhanny bisa melihat tubuh Nura yang mendadak
kaku dengan sudut matanya. Rasanya ingin sekali Dhanny menoleh untuk melihat
ekspresi Nura. Tapi pemuda itu urung melakukannya. Dia belum selesai. Dia belum
mendapat jawaban. Dhanny masih terus menatap om Nugraha dengan kemantapan diri
yang tidak dia kenali.
“Begitu?”
Dhanny menahan nafasnya begitu lama. Mendengar
detak jantungnya yang seperti genderang perang demi sebuah pertanyaan singkat
yang terucap dari om Nugraha. Dhanny hanya mengangguk. Dia sudah mengutarakan
maksud kedatangannya malam ini.
Om Nugraha melepaskan tubuhnya dari sandaran
sofa. Duduk tegak dan menatap lurus ke arah Dhanny.
“Kalau memang itu tujuanmu datang kemari, kau
salah orang.” Jawab om Nugraha ringan. Membuat Dhanny terperangah. Sepertinya tante
Reni tidak kalah kagetnya dengan Dhanny. Tante Reni hanya menatap suaminya dengan
kebingungan.
“Kau sudah mendapat izin kami sejak lama. Kau
perlu bertanya pada yang bersangkutan secara langsung jika berniat melamarnya.”
Om Nugraha sedang menggodanya.
Dhanny menghela nafas lega. Dia sudah mengantongi
izin dari orang tua Nura. Sudah sejak lama, katanya? Dhanny bahkan tidak
manyadari hal itu. Sekarang Dhanny berpaling pada Nura yang masih duduk diam
dengan kekagetan yang luar biasa. Dhanny bisa melihat setitik air mata di
sudut-sudut matanya.
Pemuda itu membuka kotak kecil beludru yang
digenggamnya. Kotak biru itu membuka. Menunjukkan cincin perak bertahtakan sebuah
batu permata kecil yang terselip pada pilinan peraknya. Minimalis. Dhanny
merasa cincin itu akan sangat cocok di jari Nura.
Nura menutupi mulutnya dengan kedua tangan.
“Apa kau mau menungguku sampai aku lulus?”
Dhanny menghela nafas panjang. “Sepertinya aku menanyakan pertanyaan yang salah
selama ini.” Nura masih menatapnya tanpa mengatakan apa pun.
“Apa kau mau menikah denganku setelah aku
lulus?” Dhanny mengulangi pertanyaannya.
Nura tersenyum di sela-sela tangisnya, “Setelah
selama ini kau masih bertanya? Tentu saja aku mau.”
Dhanny mengeluarkan cincin perak itu dari
kotaknya kemudian memakaikannya ke jari manis tangan kiri Nura. Gadis itu masih
saja tersenyum di sela-sela tangisnya. Menatapi cincin perak yang sekarang
benar-benar melingkar di jari manisnya. Pemuda itu hanya tersenyum memandangi
calon pasangannya yang terlihat luar biasa bahagia. Dia sudah melakukannya. Dia
berhasil memberikan kepastian pada Nura.
0 komentar:
Post a Comment