Rss Feed
  1. Cafe Lofa : Komitmen

    Saturday, January 11, 2014


    Sikap Nura masih belum berubah. Gadis itu hanya tersenyum simpul saat berpapasan dengan Dhanny di koridor rumah sakit. Nura bahkan tidak menyapanya sama sekali. Hanya melewatinya, seolah-olah mereka orang asing.
    “Nura!” Dhanny memutuskan untuk menyapanya lebih dulu.
    Nura berhenti. Butuh waktu beberapa detik sebelum akhirnya gadis itu berbalik. Dhanny bisa melihat Nura menghela nafas panjang sebelum berbalik dan menatapnya. Bibir merahnya membentuk sebuah lengkungan tipis. Setidaknya dia masih berusaha tersenyum, pikir Dhanny.
    “Kau ada waktu saat makan siang nanti?” Pertanyaan basa-basi. Tentu saja Nura ada waktu, itu jam istirahat.
    “Aku ada janji dengan Rena.” Jawabannya membuat Dhanny kecewa.
    “Baiklah.”
    Nura menelengkan kepalanya, menatap Dhanny dengan tatapan setengah curiga. “Kau mau membicarakan sesuatu yang penting? Aku bisa...”
    “Tidak. Bukan sesuatu yang penting.” Kata Dhanny kemudian tersenyum. Dia sendiri masih belum yakin apa yang akan dibicarakannya. Dia hanya berpikir mungkin lebih baik membicarakan masalah itu lagi sekarang.
    Nura menunjuk ke balik bahunya, “Aku harus memeriksa pasien.”
    “Oke. Sampai ketemu nanti.” Kata Dhanny canggung.
    Nura berbalik tanpa mengatakan apa pun. Dari tatapan gadis itu, jelas Nura masih merasa kecewa dengan hasil pembicaraan semalam. Dhanny meneruskan langkahnya, menuju ruangan dokter pembimbingnya.
    ***
    Dhanny memutuskan untuk pergi ke Cafe Lofa lagi. Dia merasa cukup nyaman di tempat itu, meskipun alasan sebenarnya Dhanny pergi ke sana adalah karena Nura sudah ada janji dan tidak bisa menemaninya makan siang. Kali ini Dhanny memarkir mobilnya di depan Cafe Lofa dengan sengaja. Cafe itu sangat sepi. Tidak ada satu kendaraan pun yang diparkir di luar cafe.
    Dhanny berhenti sebentar di depan papan tulis hitam berukuran besar yang dipasang di sebelah kanan pintu masuk. Dhanny ingin memastikan dia tahu apa yang akan dipesan saat masuk. Tidak ada makanan berat dalam menu itu. Sebagian besar menu makanan terdiri dari kue atau pie. Begitu juga dengan menu minumannya. Tidak ada nama yang wajar dalam menu itu selain kopi. Setelah memilih satu menu yang dia inginkan, Dhanny melangkah masuk.
    Gadis yang ada di balik meja bar, Lofa, langsung menoleh saat Dhanny mendorong pintu kacanya sampai terbuka.
    “Selamat datang!” Teriaknya dengan suara lantang. “Oh, kau!” Katanya penuh semangat. Senyum lebar menghiasi wajahnya yang bulat dan kecil.
    Dhanny sedikit terkejut saat Lofa mengenalinya. Pemuda itu sudah cukup sering makan di cafe atau restoran, tapi sepertinya tidak satu pun pegawai di tempat-tempat itu yang mengingatnya setelah kunjungan pertama. Butuh waktu sangat lama untuk akhirnya dikenali oleh pegawai di tempat-tempat itu sebagai pelanggan tetap.
    “Kau beruntung!” Kata Lofa lagi, masih dengan semangat yang sama. Dhanny penasaran apa gadis itu selalu bersikap sepositif itu pada semua orang. Jika iya, sepertinya gadis itu memiliki persediaan energi yang cukup banyak.
    “Cafe Lofa membagikan minuman gratis setiap hari Selasa!” Lanjut gadis itu sambil menunjuk papan hitam yang ada di dekat meja bar. “Tapi kau harus memesan menu lain untuk mendapatkannya.” Lofa terlihat lesu saat menjelaskan persyaratan untuk mendapatkan minuman gratis itu.
    “Minuman kebahagiaan?” Itu menu yang ditawarkan Lofa kemarin.
    Gadis itu mengangguk, “Itu menu spesial. Tapi kami membagikannya gratis setiap hari Selasa. Tentu saja setelah kau memesan sesuatu.” Caranya menyebut kata kami terdengar aneh bagi Dhanny, mengingat Lofa hanya sendirian di sini. Dan memang tidak ada orang lain di cafe ini sekarang.
    “Apa kau sudah melihat menu?” Lofa menelengkan kepalanya ke arah papan yang ada di luar cafe.
    Dhanny tersenyum sekilas, “aku mau pie apel.”
    “Baiklah. Pie apel dan minuman kebahagiaan akan segera datang.” Lofa langsung meluncur ke dapur.
    Dhanny mengedarkan pandangannya ke seisi cafe. Dia melanjutkan pengamatannya yang kemarin belum selesai. Kali ini Dhanny menyadari ada ruangan terpisah di sebelah kanan, dibatasi oleh sebuah rak kayu tinggi yang dipenuhi buku-buku. Dhanny mengamati furniture yang ada di dalam cafe itu dengan lebih teliti. Ini semua sepupu Nura yang merancangnya? Pikir Dhanny dalam hati. Dia penasaran juga bagaimana sepupu Nura bisa merancang semua furniture itu. Desainnya minimalis dan elegan, sangat menyatu dengan suasana di dalam cafe ini.
    Dhanny menoleh demi mendapati Lofa sudah berdiri di hadapannya. Gadis itu menyodorkan sepiring pie apel berukuran kecil dan segelas minuman kebahagiaan. Dhanny hanya memotong-motong pie apelnya. Dia sudah kehilangan selera makannya sama sekali.
    “Apa ada yang salah dengan pie apelnya?” Tanya Lofa di sela-sela kegiatannya mengelap gelas-gelas. Suaranya terdengar khawatir.
    Dhanny hanya menggeleng. Bukan pie-nya yang salah. Pikirannya yang sedang tidak fokus. Dia masih bingung bagaimana menghadapi sikap Nura yang berubah dingin sejak pembicaraan mereka semalam.
    “Aku belum siap menikahinya.” Kata Dhanny tiba-tiba. Lofa terlihat kaget dan menghentikan kegiatannya. “Pacarku. Aku belum siap menikahinya.”
    Gadis di hadapannya terlihat bingung tapi kemudian tersenyum, jadi Dhanny melanjutkan ceritanya. Dia sudah tidak tahu harus menceritakan hal ini pada siapa lagi. Semua orang yang mendengar ceritanya selalu membela Nura. Tidak ada yang melihat masalah ini dari sudut pandangnya.
    “Dia memintaku untuk menikahinya.” Dhanny menghela nafas panjang sebelum mengoreksi kalimatnya. “Dia tidak mengatakannya secara langsung. Tapi aku tahu dia ingin itu.”
    “Bagaimana kau tahu?” Tanya Lofa. Dia mengangkat sebelah alisnya saat menatap Dhanny. Bagaimana bisa semua orang melakukan hal itu sedangkan Dhanny tidak? Diam-diam Dhanny berniat mencobanya di rumah nanti.
    “Aku tahu. Nura selalu menyentuh jari manisnya seolah-olah ada cincin di sana.”
    Jemari Dhanny basah karena memainkan embun yang ada di dinding gelas minumannya. Dhanny mendongak saat mendengar Lofa tertawa pelan.
    “Maaf.” Gadis itu berhenti tertawa dan berusaha menunjukkan ekspresi serius. “Apa pekerjaanmu?”
    “Itu masalahnya. Aku belum bekerja. Aku masih menjalani coass untuk mendapat gelar dokterku. Dan aku masih ingin melanjutkan ke tingkat spesialis. Aku belum siap menikah.”
    Lofa diam selama beberapa saat setelah mendengar begitu banyak informasi tentang kehidupan Dhanny. Gadis itu menghela nafas panjang sebelum mulai mengatakan sesuatu.
    “Dia kan perempuan!” Lofa mengatakannya seolah-olah Dhanny bisa tahu perasaan semua perempuan di seluruh dunia saat berada dalam situasi seperti ini. Itu masalahnya. Dia tidak tahu. Dia sama sekali tidak tahu kenapa Nura terlihat begitu sedih bahkan setelah Dhanny memaparkan rencananya beberapa tahun ke depan pada Nura berkali-kali. Apa sih yang perempuan pikirkan?
    “Kecuali jika aku salah mengira pacarmu adalah seorang perempuan,” Lofa menambahkan sambil mengangkat bahunya sekilas. Dalam situasi seperti ini gadis itu masih bisa membuat lelucon yang sama sekali tidak lucu. Dhanny hanya menghadiahinya sebuah tatapan yang bermakna kau serius?
    “Perempuan mana sih yang mau menunggu begitu lama untuk sesuatu yang tidak pasti? Dia hanya ingin kepastian darimu.” Lofa mulai menjelaskan apa yang dimaksud dengan kalimat dia kan perempuan. Tapi tetap saja itu tidak memberi pencerahan apa pun pada Dhanny.
    “Kepastian?”
    Apa lagi yang perlu dipastikan? Jika Dhanny akan menikah, sudah pasti Nura yang akan menjadi pasangannya. Dia hanya butuh waktu lebih lama dari yang Nura harapkan.
    “Kepastian kau tidak akan meninggalkannya setelah menunggumu begitu lama.”
    “Kenapa dia berpikir begitu?”
    Lofa menghela nafas lagi. Kali ini dengan tidak sabar.
    “Apa kau pernah menyatakan niatmu untuk menikahinya?”
    Dhanny menerawang ke beberapa waktu yang lalu, saat dia dan Nura mulai membicarakan rencana itu.
    “Kami sempat membahas hal itu beberapa kali.”
    Lofa menelengkan kepalanya, “Apa kau pernah mengatakan akan menikahinya?”
    Dahi Dhanny berkerut dalam. Dia tidak melihat hubungan antara pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Lofa dengan masalahnya. Jika gadis itu berniat mewawancarainya, Dhanny tidak akan meneruskan pembicaraan ini. Dia butuh solusi.
    “Kami sudah sering membicarakannya. Apa itu masih perlu dilakukan?” Tanya Dhanny dengan nada kesal.
    “Kau tahu apa yang akan aku buat untuk makan malam nanti?” Kali ini Lofa menanyakan sesuatu yang benar-benar tidak ada hubungannya dengan masalah Dhanny.
    “Bagaimana aku bisa tahu jika kau tidak memberitahuku.” Jawab Dhanny emosi, tapi dia masih berusaha menahan suaranya agar tidak meninggi.
    “Sama saja! Bagaimana dia tahu kau akan benar-benar menikahinya jika kau tidak pernah mengatakannya!” Di luar dugaan, ternyata Lofa yang memarahinya habis-habisan. Meskipun suara gadis itu tidak senyaring yang diharapkan, tapi kata-katanya menusuk Dhanny tepat ke jantung. Membuat pemuda itu mematung untuk beberapa saat. Baru kali ini Dhanny mendapat teguran dari orang yang belum dia kenal baik. “Jangan perlakukan dia seperti seorang pembaca pikiran.”
    “Apa yang harus aku lakukan?” Tanya Dhanny setelah mendapat kesadarannya kembali.
    Lofa mengangkat bahunya sekilas, “Lakukan sesuatu yang membuatmu nyaman dan bisa meyakinkannya.”
    “Apa?” Tanya Dhanny lemas. Dia sudah kehabisan kata-kata.
    “Kau yang lebih tahu.” Jawab Lofa singkat.
    Dhanny memainkan tetesan-tetesan air yang ada di atas meja bar. Membentuk gambar-gambar abstrak yang terlintas di pikirannya. Pikirannya sekarang memang sedang seabstrak gambarnya. Tiba-tiba saja ide itu melintas. Sebuah ide yang seharusnya dia pikirkan sejak lama. Keputusan spontan dan beresiko. Tapi Dhanny rasa cukup layak untuk dilakukan.
    ***
    Nura hanya diam sepanjang perjalanan pulang. Mood-nya masih belum membaik. Entah berapa lama waktu yang dibutuhkan seorang perempuan untuk kembali ceria seperti biasa. Mungkin sikap diamnya itu akibat akumulasi kekecewaan yang dia rasakan selama ini. Atau mungkin ada masalah di rumah sakit yang memperburuk perasaannya. Entahlah. Dhanny tidak begitu pandai membaca situasi. Dia merasa lebih baik jika Nura memarahinya daripada hanya diam seperti ini. Membuat Dhanny selalu salah tingkah. Setiap hal yang dikatakan Dhanny hanya ditanggapi dengan “hem” oleh Nura. Atau sesekali gadis itu mengangguk atau menggeleng, tapi tidak benar-benar menanggapi pembicaraan yang sedang berlangsung.
    Dhanny menahan tangan Nura saat gadis itu akan turun dari mobil. Nura menatap tangan Dhanny yang menggenggamnya erat, kemudian menatap tepat ke arah mata Dhanny. Jantung pemuda itu berdebar dua kali lipat lebih kencang dari biasanya. Tadi siang dia begitu yakin dengan apa yang akan dikatakannya, tapi saat menatap Nura seperti ini, keberaniaannya menciut. Dia takut jawaban yang akan diberikan Nura tidak sesuai dengan yang dia bayangkan selama ini.
    Dhanny melepaskan genggaman tangannya. Tubuh Nura merileks.
    “Kenapa?” Tanya Nura bingung.
    Dhanny menghela nafas panjang dan menatap mata Nura lekat-lekat. Dia ingin menatap mata hitam itu untuk beberapa saat. Untuk meyakinkan dirinya. Nura menelengkan kepalanya saat Dhanny tidak juga mengatakan apa pun.
    “Apa...” Dhanny mulai terbata-bata. “Apa...aku boleh datang ke rumahmu malam ini?”
    Nura tersenyum meskipun raut wajahnya terlihat bingung.
    “Kau sudah datang ke rumahku ratusan kali, Dhan. Apa yang membuatmu berpikir harus minta ijin kali ini?”
    Dhanny mengangkat sebelah bahunya, “Karena kau terlihat sangat murung hari ini. Aku takut kau akan mengusirku jika tiba-tiba muncul di depan pintu rumahmu.”
    Nura tertawa ringan. Itu tawa pertamanya yang Dhanny lihat selama seharian ini.
    “Pintu rumahku akan selalu terbuka untukmu,” kata Nura lembut. “Selama kau membawa bingkisan.” Gadis itu menambahkan sambil tertawa.
    Dhanny mengangguk mantap, “Baiklah. Aku akan memastikan kau mendapat bingkisan paling istimewa malam ini.”
    “Aku sudah tidak sabar menunggu bingkisanmu.” Canda Nura.
    Gadis itu melambai saat Dhanny meluncur pergi. Dhanny masih mengawasinya melalui kaca spion sampai akhirnya Nura masuk. Pemuda itu menghela nafas panjang saat menginjak pedal gas-nya lebih dalam. Ada satu tempat yang harus dia datangi sebelum malam ini.
    ***
    Dhanny mematut dirinya di depan kaca spion lama sekali. Sudah hampir lima belas menit sejak pemuda itu memarkir mobilnya di dekat rumah Nura. Dia sengaja memarkirnya beberapa rumah dari rumah Nura agar gadis itu tidak melihat kedatangannya. Dhanny masih butuh waktu. Pemuda itu menatap pantulan dirinya di kaca spion. Merapikan rambutnya berkali-kali. Mengendus aroma tubuhnya untuk memastikan tidak ada bau aneh yang melekat di tubuhnya. Dhanny membenarkan posisi blazer yang menutupi kaus putihnya. Setelah menghela nafas panjang, Dhanny memajukan mobilnya dan menghentikannya tepat di samping gerbang rumah Nura.
    Dhanny menyembunyikan sebuket mawar merah di balik punggungnya saat menekan bel. Hanya dalam hitungan detik, pintu rumah Nura terbuka lebar. Sosok Nura berdiri di ambang pintu. Rambut panjangnya terurai bebas. Gadis itu hanya memakai kaus oblong begambar Hello Kitty dan celana panjang katun warna hijau tua. Dhanny langsung menyodorkan buket mawar merahnya pada Nura begitu gadis itu keluar. Dalam cahaya temaram di teras rumah Nura, Dhanny bisa melihat semburat merah muda di kedua pipi gadis itu.
    “Apa ini?” Tanya Nura bingung sambil menghirup aroma bunga mawar itu.
    “Kau bilang aku harus membawa bingkisan.” Dhanny berusaha nampak selugu mungkin.
    Nura mengamatinya dari ujung rambut sampai ujung kaki.
    “Kau rapi sekali.” Katanya masih bingung, kemudian gadis itu memicingkan sebelah matanya. “Kau baru kencan dengan perempuan lain?”
    Dhanny tersenyum sekilas, “Kalau aku baru saja kencan dengan perempuan lain, kau hanya akan mendapatkan satu tangkai bunga.”
    Nura tertawa ringan. Sikap murungnya sudah hilang. Jika Dhanny tahu sejak dulu bunga bisa merubah mood secepat itu, dia akan sering-sering membelikan Nura bunga. Gadis itu terlihat luar biasa cantik saat tersenyum.
    “Ayo masuk.” Nura menelengkan kepalanya untuk mengajak Dhanny masuk.
    Rumah yang biasa. Ruangan yang biasa. Semuanya serba biasa. Tapi jantung Dhanny berdetak dengan cara yang tidak biasa malam ini. Detakan yang terlalu cepat dan...aneh. Dia panik. Dia takut. Tapi Dhanny ingin segera memberi kepastian pada Nura. Dia ingin secepatnya mengatakan pada gadis itu bahwa Dhanny tidak akan berpaling pada siapa pun. Tidak akan.
    Dhanny duduk dengan tidak tenang di ruang tamu. Kakinya bergerak-gerak gelisah selama menunggu Nura meletakkan bunga mawarnya ke dalam vas kaca bening berisi air. Nura duduk di hadapan Dhanny. Membuat pemuda itu semakin merasa gugup. Sialnya kegugupan Dhanny menjadi objek yang sangat menarik bagi Nura. Gadis itu tidak mengalihkan pandangannya sedikit pun dari Dhanny.
    “Katakan padaku, apa yang sebenarnya kau rencanakan sampai berpakaian sangat rapi seperti itu.”
    “Apa ada masalah dengan kostumku?” Dhanny berusaha menjaga suaranya tetap tenang.
    Nura menggeleng sambil tersenyum geli, “Aku benci saat kau berpakaian seperti itu.” Katanya ringan.
    Dhanny melotot, nyalinya semakin menciut. “Kenapa?”
    “Kau terlihat semakin tampan. Aku tidak mau kau keluar dengan pakaian seperti itu.” Nura terlihat sangat menggemaskan saat sedang cemburu.
    “Baiklah. Untuk menyenangkanmu, mulai besok aku akan berpakaian seperti gembel.” Dhanny menanggapi candaan Nura. Ketegangannya mulai menghilang sedikit demi sedikit.
    Dhanny melirik jam tangannya. Sudah cukup malam. Dia tidak boleh mengulur waktu lebih lama lagi.
    “Apa orang tuamu ada di rumah?” Tanya Dhanny sambil melongok ke balik bahu Nura. Ruang keluarga tidak akan terlihat dari ruang tamu, tapi Dhanny bisa mendengar suara televisi yang menyala dari dalam sana.
    Nura hanya mengangguk, “Kenapa?”
    “Aku ingin bertemu dengan orang tuamu.” Jawab Dhanny dengan kemantapan yang sudah tidak bisa diragukan lagi.
    Nura mengangkat sebelah alisnya, “Kenapa?” Pertanyaan yang sama, tapi Dhanny memiliki jawaban yang berbeda untuk pertanyaan ini.
    “Aku juga punya bingkisan untuk mereka,” katanya pelan.
    ***
    Dentuman yang diciptakan jantungnya lebih nyaring daripada musik perkusi yang membahana. Dhanny sangat gugup. Kedua orang tua Nura ada di hadapannya. Menanti. Penasaran dengan apa yang sebenarnya Dhanny inginkan dengan datang ke rumah malam ini. Nura duduk di sampingnya. Dhanny berusaha mengabaikan tatapan penuh kecurigaan Nura yang sedari tadi hanya diam.
    “Maaf mengganggu waktu Om dan Tante malam ini,” Dhanny mengatakan kalimat pembukanya. Suaranya terdengar serak. Pemuda itu berdehem untuk menjernihkan suaranya sebelum melanjutkan. “Ada sesuatu yang ingin saya utarakan malam ini.”
    Om Nugraha menyandarkan tubuhnya. Terlihat tetap rileks meskipun Dhanny bisa menangkap rasa penasaran yang tinggi di wajahnya. Tante Reni terlihat lebih natural, hanya duduk tegak dan memandangi Dhanny seolah-olah tahu pemuda itu akan mengatakan sesuatu yang sangat penting.
    “Saya akan melanjutkan pendidikan spesialis saya di Australia. Minimal butuh waktu tiga tahun untuk menyelesaikannya.” Dhanny mengutarakan pikirannya dengan begitu lancar seperti sudah melatihnya ratusan kali. Tidak. Kata-kata itu baru saja terlintas di pikirannya sore tadi. Saat dia berdiri di depan etalase yang berkilauan karena ratusan cincin yang ditata di sana. Bahkan sampai satu detik yang lalu Dhanny masih ragu dengan perkataannya. “Tapi saya janji akan menyelesaikannya secepat yang saya bisa. Saya akan berusaha lebih keras agar bisa menyelesaikan pendidikan saya lebih cepat dari itu.”
    Om Nugraha dan tante Reni masih diam. Mereka terlihat begitu berpengalaman dengan hal semacam ini. Tidak ada raut bingung, hanya penasaran. Mereka seperti sedang menanti kata-kata akhir Dhanny yang sudah mereka duga sebelumnya. Itu sebabnya mereka hanya diam. Untuk memastikan dugaan mereka benar.
    “Saya di sini malam ini...” Dhanny menghela nafas panjang. Setelah selama beberapa waktu berusaha mengabaikan tatapan Nura, kali ini Dhanny menoleh ke arahnya. Tangan kanannya merogoh saku blazer-nya. Jemarinya menyentuh kotak kecil beludru dan meraihnya. Mengeluarkan kotak itu perlahan kemudian menggenggamnya kuat-kuat dengan kedua tangan. Tatapan matanya menatap lurus ke arah om Nugraha. “Ingin meminta izin Om dan Tante untuk menikahi Nura segera setelah saya menyelesaikan pendidikan saya.”
    Dhanny bisa melihat tubuh Nura yang mendadak kaku dengan sudut matanya. Rasanya ingin sekali Dhanny menoleh untuk melihat ekspresi Nura. Tapi pemuda itu urung melakukannya. Dia belum selesai. Dia belum mendapat jawaban. Dhanny masih terus menatap om Nugraha dengan kemantapan diri yang tidak dia kenali.
    “Begitu?”
    Dhanny menahan nafasnya begitu lama. Mendengar detak jantungnya yang seperti genderang perang demi sebuah pertanyaan singkat yang terucap dari om Nugraha. Dhanny hanya mengangguk. Dia sudah mengutarakan maksud kedatangannya malam ini.
    Om Nugraha melepaskan tubuhnya dari sandaran sofa. Duduk tegak dan menatap lurus ke arah Dhanny.
    “Kalau memang itu tujuanmu datang kemari, kau salah orang.” Jawab om Nugraha ringan. Membuat Dhanny terperangah. Sepertinya tante Reni tidak kalah kagetnya dengan Dhanny. Tante Reni hanya menatap suaminya dengan kebingungan.
    “Kau sudah mendapat izin kami sejak lama. Kau perlu bertanya pada yang bersangkutan secara langsung jika berniat melamarnya.” Om Nugraha sedang menggodanya.
    Dhanny menghela nafas lega. Dia sudah mengantongi izin dari orang tua Nura. Sudah sejak lama, katanya? Dhanny bahkan tidak manyadari hal itu. Sekarang Dhanny berpaling pada Nura yang masih duduk diam dengan kekagetan yang luar biasa. Dhanny bisa melihat setitik air mata di sudut-sudut matanya.
    Pemuda itu membuka kotak kecil beludru yang digenggamnya. Kotak biru itu membuka. Menunjukkan cincin perak bertahtakan sebuah batu permata kecil yang terselip pada pilinan peraknya. Minimalis. Dhanny merasa cincin itu akan sangat cocok di jari Nura.
    Nura menutupi mulutnya dengan kedua tangan.
    “Apa kau mau menungguku sampai aku lulus?” Dhanny menghela nafas panjang. “Sepertinya aku menanyakan pertanyaan yang salah selama ini.” Nura masih menatapnya tanpa mengatakan apa pun.
    “Apa kau mau menikah denganku setelah aku lulus?” Dhanny mengulangi pertanyaannya.
    Nura tersenyum di sela-sela tangisnya, “Setelah selama ini kau masih bertanya? Tentu saja aku mau.”
    Dhanny mengeluarkan cincin perak itu dari kotaknya kemudian memakaikannya ke jari manis tangan kiri Nura. Gadis itu masih saja tersenyum di sela-sela tangisnya. Menatapi cincin perak yang sekarang benar-benar melingkar di jari manisnya. Pemuda itu hanya tersenyum memandangi calon pasangannya yang terlihat luar biasa bahagia. Dia sudah melakukannya. Dia berhasil memberikan kepastian pada Nura.

  2. 0 komentar:

    Post a Comment