“Malam ini kau harus membantu Kakak di cafe.” Todong
Lofa begitu Laufan menarik kursi untuk sarapan.
Adiknya itu santai saja, tidak menanggapi
sedikit pun. Setelah Lofa menyenggol pinggangnya sampai tersedak, Laufan baru
melirik marah. Merasa terganggu.
“Kau harus
ke cafe malam ini,” Lofa menekankan kata perintahnya. Itu bukan permintaan
tolong, tapi perintah. Lofa sedang memanfaatkan otoritasnya sebagai seorang
kakak. Memaksa adiknya yang masih SMP itu menuruti apa saja yang Lofa mau. Gadis
itu mendelik saat Laufan menggeleng.
“Aku ada kencan malam ini,”
Potongan telur yang baru saja dikunyah Lofa
melesat masuk dengan cepat ke dalam tenggorokannya. Membuatnya tersedak. Lofa
buru-buru meminum air putihnya untuk meredakan batuknya. Tenggorokannya terasa
sakit karena telur itu masuk dengan paksa. Setelah sakitnya mereda, Lofa baru
beraksi mencubit lengan adiknya.
“Kau masih terlalu kecil untuk kencan,”
“Hanya karena Kak Lofa belum punya pacar saat
SMP bukan berarti aku juga tidak punya,”
Adiknya itu semakin hari semakin menyebalkan
saja. Lofa mempererat genggamannya pada sendok dan garpu, bersiap memukuli
adiknya. Setelah menghela nafas panjang, Lofa berhasil menenangkan diri. Dia tidak
mau masuk surat kabar sebagai pelaku KDRT dalam waktu dekat.
“Bu...” Lofa merajuk pada ibu yang sedari tadi
hanya memandangi kedua anaknya bertengkar tanpa mengatakan apa pun. Lofa sebisa
mungkin memasang ekspresi menyedihkan agar ibu tersentuh.
“Laufan, bantu kakakmu. Kalian kakak beradik
harus saling membantu.”
Lofa sudah hafal benar nasehat ibu yang satu
ini. Biasanya Lofa yang mendapat nasehat ini karena tidak mau mengajari Laufan
matematika. Masalahnya bukan Lofa tidak mau, tapi dia tidak bisa. Dia tidak mau
terlihat lemah di hadapan adiknya itu, jadilah Lofa sibuk mencari alasan. Akibatnya
ibu selalu menasehatinya seperti itu. Gadis itu hanya tersenyum selama ibu
menasehati adiknya tentang arti persaudaraan. Senyumnya pudar saat Laufan
bicara.
“Aku sudah janji pada Tiara sejak tiga hari
yang lalu. Aku harus menepati janji, kan? Ibu yang mengajariku untuk selalu
menepati janji.”
Lofa melotot menatap adiknya. Dari mana anak
SMP mendapat kata-kata seperti itu? Lofa selalu diam saja setiap kali
dinasehati ibu. Adiknya itu berani sekali menjawab. Lofa sudah siap mencubit
adiknya saat ibu mengangguk.
“Ya sudah kalau begitu.”
Semudah itu?
Ayah datang. Setelah ayah duduk di samping ibu,
Lofa mulai mengeluarkan jurus rayuannya lagi. Sengaja melebih-lebihkan
kesulitannya melayani pengunjung cafe malam ini karena Agi tidak bisa membantu.
Bukannya menyuruh Laufan untuk membantu Lofa, ayah malah menasehati Lofa
tentang tanggung jawabnya mengelola cafe dan memuji Laufan karena berhasil menaklukkan
perempuan di usia semuda itu.
Lofa hanya mendengus kesal. Usahanya sia-sia. Sebenarnya
bukan bantuan Laufan yang dia harapkan. Tapi setidaknya, jika ada Laufan yang
menemaninya malam ini, Lofa akan sibuk menghabiskan waktunya untuk bertengkar
dengan adiknya itu. Bukannya memikirkan Agi yang sedang menikmati makan malam
bersama Adriana.
***
Rutinitas hari ini berjalan seperti biasanya.
Lofa datang pagi ke cafe-nya. Menyapa tante Ratna yang sedang sibuk menyirami
dan menata bunga-bunganya yang indah. Berharap dengan senyumnya Lofa berhasil
menarik perhatian tante Ratna untuk datang ke cafe-nya sesekali. Ternyata tidak
berhasil. Entah tante Ratna merasa tidak perlu berbasa-basi dengan tetangga
tokonya, atau tante Ratna memang tidak suka cafe.
Lofa menghabiskan sebagian besar waktunya untuk
bersih-bersih seperti biasa. Hanya saja kali ini gadis itu lebih sering melirik
jam dinding. Berharap jarum pendek itu tidak buru-buru bergerak. Lofa berharap
sore ini tidak pernah datang. Lofa menghela nafas. Apa jadinya jika hari selalu
siang. Lofa membatalkan harapannya. Dia ingin hari ini berjalan normal. Ya, itu
permintaan yang lebih masuk akal. Berjalan normal seperti biasa.
Rombongan anak SMA datang di siang hari. Membawa
suara berisik khas anak remaja tanggung yang sedang senang-senangnya membicarakan
berbagai macam hal. Mulai dari fashion,
pelajaran, cowok, film, apa pun. Matahari mulai tergelincir dari singgasananya,
membawa suasana sore yang damai. Pengunjung semakin bertambah. Apalagi ini
malam minggu.
Tepat jam lima sore, Agi muncul. Lofa merasa
luar biasa senang saat melihat Agi muncul seperti biasa. Doaku terkabul. Lofa buru-buru mencubit pipinya sendiri untuk
meyakinkan diri ini semua bukan mimpi. Pipinya sakit dan memerah, tapi Agi
tetap ada di hadapannya.
“Kau sibuk?” Tanya pemuda itu. Agi menyandarkan
tubuhnya pada meja bar. Bau shampo Agi mengisi atmosfer di sekeliling mereka.
Lofa suka sekali bau ini.
“Belum,” memang belum terlalu banyak
pengunjung. Hanya ruang baca yang sudah mulai penuh.
Kau tidak makan malam dengan Adriana? Ingin sekali Lofa menanyakan itu. Tapi sampai detik ini Agi
tidak mengatakan apa pun tentang makan malam. Mungkin Adriana belum
mengajaknya. Mungkin Adriana terlalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga batal
mengajak Agi makan malam. Syukurlah.
“Aku ada acara malam ini,’
Kebahagiaan itu luntur.
“Tidak apa-apa kan kalau aku tidak membantumu
malam ini?”
Lofa diam sejenak, “Tentu saja.” Bohong!
Agi memicingkan matanya, memandang Lofa lekat-lekat,
“Benar?”
“Tidak masalah. Lagipula kau hanya akan menghabiskan
makananku kalau di sini.” Bohong lagi!
Agi tertawa ringan, “Kau yakin?”
“Laufan akan membantuku malam ini. Kau tidak
perlu khawatir.” Bohong lagi!
Agi mengangguk mantap, “Baiklah. Aku pergi
dulu. Lakukan tugasmu dengan baik.” Agi mengusap puncak kepala Lofa sebelum
pergi.
Senyum yang terkembang di wajah Lofa langsung lenyap
begitu Agi keluar cafe. Dia pergi juga.
***
Malam minggu yang ramai. Untung saja Lofa sudah
makan cukup banyak siang tadi. Dia jadi punya cukup energi untuk bolak-balik
melayani pengunjung. Satu minggu sejak pembukaan, akhirnya Cafe Lofa dipenuhi
pengunjung. Sebagian besar adalah pasangan. Membuat Lofa sedikit iri sebenarnya.
Meja-meja yang kosong cepat sekali terisi oleh pengunjung baru. Lofa berusaha menjaga
senyumnya tetap terkembang sempurna.
Lofa terlalu sibuk melayani pengunjung yang
datang beramai-ramai sampai tidak menyadari ada satu pengunjung baru yang
datang sendirian, duduk di salah satu kursi tinggi. Sebagian besar pengunjung
yang datang berombongan, jadi deretan kursi tinggi itu kosong. Hanya ada satu
orang yang baru Lofa sadari kehadirannya setelah gadis itu selesai mengantarkan
semua pesanan.
“Sepertinya kau sibuk sekali,”
Lofa hanya tersenyum hambar sambil menarik
nafas panjang untuk memulihkan tenaganya. Otot-otot kakinya sudah protes sejak
tadi. Dia ingin duduk dan berselonjor.
“Oh, kau mau pesan sesuatu?” Tanya Lofa saat
menyadari belum ada makanan atau minuman apa pun di hadapan pemuda itu.
Pemuda itu mengerutkan dahinya sekilas, seperti
sedang berusaha keras mengingat sesuatu. “Aku sudah membaca itu tadi,” pemuda
berkacamata itu menelengkan kepalanya ke arah papan besar di luar cafe. “Tapi
aku lupa apa yang mau aku pesan.”
“Kau bisa pesan menu spesial cafe ini,” Lofa
menunjuk papan hitam kecil yang menggantung di dekat meja bar. Menu andalannya.
Minuman kebahagiaan.
Pemuda itu mengerutkan dahinya lagi, “Namanya...unik”
Lofa cukup yakin pemuda itu akan mengatakan ‘aneh’.
“Itu menu spesial?” Pemuda itu masih belum
yakin.
Lofa mengangguk mantap, “Sangat spesial.”
“Baiklah. Aku pesan satu.”
Lofa langsung melesat ke dapur dan membuat
minuman kebahagiaan itu dalam sekejap. Hanya dalam waktu lima menit Lofa sudah
kembali. Pemuda berkacamata itu memandangi minumannya sejenak. Kemudian
mengaduk minuman itu sampai warna biru-orange
cairan itu menyatu menjadi warna hijau tua. Pemuda itu bergidik sekilas setelah
menyesapnya.
“Asam,” katanya sambil menyipitkan sebelah
matanya. Lofa tertawa melihat ekspresi pemuda itu. “Tapi enak.”
Lofa membusungkan dadanya dengan bangga, “Sudah
aku bilang itu minuman spesial.”
Belum sempat pemuda itu menanggapi, Lofa
melihat salah satu pengunjungnya mangangkat tangan.
“Aku permisi dulu,” Lofa buru-buru menghampiri
pengunjung itu. Memberikan bill-nya dan mengucapkan terima kasih saat mereka
pergi. Berkurang dua pengunjung.
Baru saja Lofa kembali ke meja bar, ada
pengunjung lain yang mengangkat tangan. Lofa langsung menghampiri pengunjung
itu. Melakukan hal yang sama, memberikan bill dan mengucapkan terima kasih.
Meja-meja yang sempat kosong kembali terisi
saat ada pengunjung baru yang datang. Malam ini ramai sekali. Lofa sudah membayangkan
kasurnya yang empuk. Dia ingin merebahkan tubuhnya. Setelah menghela nafas
panjang, Lofa kembali menghampiri pengunjung baru untuk menanyakan pesanan
mereka.
Rasanya sudah ratusan kali Lofa bolak-balik
untuk menanyakan pesanan, mengantarkan pesanan, memberikan bill dan membungkuk
untuk mengucapkan terima kasih. Dia butuh bantuan. Tapi omset cafe-nya masih
belum cukup untuk membayar orang lain. Hanya Agi yang mau berbaik hati
membantunya dengan bayaran kopi dan panekuk.
“Kau butuh bantuan?”
Lofa sedikit kaget saat menyadari pemuda
berkacamata itu masih di sana. Lofa menggeleng sambil tersenyum.
“Sepertinya kau sangat kerepotan.”
Lofa menggeleng lagi, “Ini sudah tugasku.”
“Kau yakin?”
Lofa mengangguk, setengah takut. Pemuda asing
itu mencurigakan.
“Aku bosan hanya duduk diam di sini. Ayolah,
pasti ada sesuatu yang bisa aku lakukan.”
Lofa mengangkat sebelah alisnya, “Kau
pengunjung. Sudah seharusnya kau duduk diam di situ dan menikmati pesananmu.”
Lofa menjaga suaranya tetap datar meskipun sebenarnya dia sangat ingin
membentak pemuda asing itu.
Pemuda macam apa yang tiba-tiba menawarkan
bantuan pada seorang perempuan jika tidak bermaksud jahat? Lofa teringat pada
film-film pembunuhan yang sering ditontonnya. Bisa saja pemuda itu adalah
seorang psikopat. Dia ingin membantu Lofa agar semua pekerjaannya cepat
selesai. Saat semua pengunjung sudah pulang, pemuda itu akan melakukan tindakan
kriminal atau kemungkinan terburuknya membunuh Lofa. Gadis itu bergidik
membayangkan kemungkinan itu. Dia belum siap mati muda.
Lofa mengamati penampilan pemuda itu. Berkacamata,
rambut sedikit acak-acakan, memakai sweater
hitam yang terlihat kebesaran di tubuhnya. Pemuda itu tidak terlihat seperti
orang jahat.
“Tidak perlu. Terima kasih.”
Pemuda itu hanya mengangkat bahunya sekilas.
Mengalah. Tiba-tiba saja pemuda itu terkesiap, seperti baru saja teringat
sesuatu.
“Kita belum berkenalan.” Pemuda itu mengulurkan
tangannya. Lofa menatap tangan pemuda itu untuk beberapa saat, kemudian
menjabat tangan pemuda itu. “Angga.” Katanya pelan.
“Lofa,” jawab Lofa ragu.
“Aku tahu,” kata pemuda itu sambil tertawa
ringan, kemudian menunjuk apron yang dipakai Lofa.
Lofa benar-benar lupa kalau dia selalu memakai
pin nama itu ke mana-mana. Pantas saja orang-orang selalu tahu siapa namanya.
“Kita sudah saling kenal,” kata Angga,
menyadarkan Lofa dari lamunannya tentang pin nama itu. “Sekarang aku boleh
membantumu?”
0 komentar:
Post a Comment