Rss Feed
  1. Cafe Lofa : Malam Ini Tanpa Agi

    Sunday, January 19, 2014


    “Malam ini kau harus membantu Kakak di cafe.” Todong Lofa begitu Laufan menarik kursi untuk sarapan.
    Adiknya itu santai saja, tidak menanggapi sedikit pun. Setelah Lofa menyenggol pinggangnya sampai tersedak, Laufan baru melirik marah. Merasa terganggu.
    “Kau harus ke cafe malam ini,” Lofa menekankan kata perintahnya. Itu bukan permintaan tolong, tapi perintah. Lofa sedang memanfaatkan otoritasnya sebagai seorang kakak. Memaksa adiknya yang masih SMP itu menuruti apa saja yang Lofa mau. Gadis itu mendelik saat Laufan menggeleng.
    “Aku ada kencan malam ini,”
    Potongan telur yang baru saja dikunyah Lofa melesat masuk dengan cepat ke dalam tenggorokannya. Membuatnya tersedak. Lofa buru-buru meminum air putihnya untuk meredakan batuknya. Tenggorokannya terasa sakit karena telur itu masuk dengan paksa. Setelah sakitnya mereda, Lofa baru beraksi mencubit lengan adiknya.
    “Kau masih terlalu kecil untuk kencan,”
    “Hanya karena Kak Lofa belum punya pacar saat SMP bukan berarti aku juga tidak punya,”
    Adiknya itu semakin hari semakin menyebalkan saja. Lofa mempererat genggamannya pada sendok dan garpu, bersiap memukuli adiknya. Setelah menghela nafas panjang, Lofa berhasil menenangkan diri. Dia tidak mau masuk surat kabar sebagai pelaku KDRT dalam waktu dekat.
    “Bu...” Lofa merajuk pada ibu yang sedari tadi hanya memandangi kedua anaknya bertengkar tanpa mengatakan apa pun. Lofa sebisa mungkin memasang ekspresi menyedihkan agar ibu tersentuh.
    “Laufan, bantu kakakmu. Kalian kakak beradik harus saling membantu.”
    Lofa sudah hafal benar nasehat ibu yang satu ini. Biasanya Lofa yang mendapat nasehat ini karena tidak mau mengajari Laufan matematika. Masalahnya bukan Lofa tidak mau, tapi dia tidak bisa. Dia tidak mau terlihat lemah di hadapan adiknya itu, jadilah Lofa sibuk mencari alasan. Akibatnya ibu selalu menasehatinya seperti itu. Gadis itu hanya tersenyum selama ibu menasehati adiknya tentang arti persaudaraan. Senyumnya pudar saat Laufan bicara.
    “Aku sudah janji pada Tiara sejak tiga hari yang lalu. Aku harus menepati janji, kan? Ibu yang mengajariku untuk selalu menepati janji.”
    Lofa melotot menatap adiknya. Dari mana anak SMP mendapat kata-kata seperti itu? Lofa selalu diam saja setiap kali dinasehati ibu. Adiknya itu berani sekali menjawab. Lofa sudah siap mencubit adiknya saat ibu mengangguk.
    “Ya sudah kalau begitu.”
    Semudah itu?
    Ayah datang. Setelah ayah duduk di samping ibu, Lofa mulai mengeluarkan jurus rayuannya lagi. Sengaja melebih-lebihkan kesulitannya melayani pengunjung cafe malam ini karena Agi tidak bisa membantu. Bukannya menyuruh Laufan untuk membantu Lofa, ayah malah menasehati Lofa tentang tanggung jawabnya mengelola cafe dan memuji Laufan karena berhasil menaklukkan perempuan di usia semuda itu.
    Lofa hanya mendengus kesal. Usahanya sia-sia. Sebenarnya bukan bantuan Laufan yang dia harapkan. Tapi setidaknya, jika ada Laufan yang menemaninya malam ini, Lofa akan sibuk menghabiskan waktunya untuk bertengkar dengan adiknya itu. Bukannya memikirkan Agi yang sedang menikmati makan malam bersama Adriana.
    ***
    Rutinitas hari ini berjalan seperti biasanya. Lofa datang pagi ke cafe-nya. Menyapa tante Ratna yang sedang sibuk menyirami dan menata bunga-bunganya yang indah. Berharap dengan senyumnya Lofa berhasil menarik perhatian tante Ratna untuk datang ke cafe-nya sesekali. Ternyata tidak berhasil. Entah tante Ratna merasa tidak perlu berbasa-basi dengan tetangga tokonya, atau tante Ratna memang tidak suka cafe.
    Lofa menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bersih-bersih seperti biasa. Hanya saja kali ini gadis itu lebih sering melirik jam dinding. Berharap jarum pendek itu tidak buru-buru bergerak. Lofa berharap sore ini tidak pernah datang. Lofa menghela nafas. Apa jadinya jika hari selalu siang. Lofa membatalkan harapannya. Dia ingin hari ini berjalan normal. Ya, itu permintaan yang lebih masuk akal. Berjalan normal seperti biasa.
    Rombongan anak SMA datang di siang hari. Membawa suara berisik khas anak remaja tanggung yang sedang senang-senangnya membicarakan berbagai macam hal. Mulai dari fashion, pelajaran, cowok, film, apa pun. Matahari mulai tergelincir dari singgasananya, membawa suasana sore yang damai. Pengunjung semakin bertambah. Apalagi ini malam minggu.
    Tepat jam lima sore, Agi muncul. Lofa merasa luar biasa senang saat melihat Agi muncul seperti biasa. Doaku terkabul. Lofa buru-buru mencubit pipinya sendiri untuk meyakinkan diri ini semua bukan mimpi. Pipinya sakit dan memerah, tapi Agi tetap ada di hadapannya.
    “Kau sibuk?” Tanya pemuda itu. Agi menyandarkan tubuhnya pada meja bar. Bau shampo Agi mengisi atmosfer di sekeliling mereka. Lofa suka sekali bau ini.
    “Belum,” memang belum terlalu banyak pengunjung. Hanya ruang baca yang sudah mulai penuh.
    Kau tidak makan malam dengan Adriana? Ingin sekali Lofa menanyakan itu. Tapi sampai detik ini Agi tidak mengatakan apa pun tentang makan malam. Mungkin Adriana belum mengajaknya. Mungkin Adriana terlalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga batal mengajak Agi makan malam. Syukurlah.
    “Aku ada acara malam ini,’
    Kebahagiaan itu luntur.
    “Tidak apa-apa kan kalau aku tidak membantumu malam ini?”
    Lofa diam sejenak, “Tentu saja.” Bohong!
    Agi memicingkan matanya, memandang Lofa lekat-lekat, “Benar?”
    “Tidak masalah. Lagipula kau hanya akan menghabiskan makananku kalau di sini.” Bohong lagi!
    Agi tertawa ringan, “Kau yakin?”
    “Laufan akan membantuku malam ini. Kau tidak perlu khawatir.” Bohong lagi!
    Agi mengangguk mantap, “Baiklah. Aku pergi dulu. Lakukan tugasmu dengan baik.” Agi mengusap puncak kepala Lofa sebelum pergi.
    Senyum yang terkembang di wajah Lofa langsung lenyap begitu Agi keluar cafe. Dia pergi juga.
    ***
    Malam minggu yang ramai. Untung saja Lofa sudah makan cukup banyak siang tadi. Dia jadi punya cukup energi untuk bolak-balik melayani pengunjung. Satu minggu sejak pembukaan, akhirnya Cafe Lofa dipenuhi pengunjung. Sebagian besar adalah pasangan. Membuat Lofa sedikit iri sebenarnya. Meja-meja yang kosong cepat sekali terisi oleh pengunjung baru. Lofa berusaha menjaga senyumnya tetap terkembang sempurna.
    Lofa terlalu sibuk melayani pengunjung yang datang beramai-ramai sampai tidak menyadari ada satu pengunjung baru yang datang sendirian, duduk di salah satu kursi tinggi. Sebagian besar pengunjung yang datang berombongan, jadi deretan kursi tinggi itu kosong. Hanya ada satu orang yang baru Lofa sadari kehadirannya setelah gadis itu selesai mengantarkan semua pesanan.
    “Sepertinya kau sibuk sekali,”
    Lofa hanya tersenyum hambar sambil menarik nafas panjang untuk memulihkan tenaganya. Otot-otot kakinya sudah protes sejak tadi. Dia ingin duduk dan berselonjor.
    “Oh, kau mau pesan sesuatu?” Tanya Lofa saat menyadari belum ada makanan atau minuman apa pun di hadapan pemuda itu.
    Pemuda itu mengerutkan dahinya sekilas, seperti sedang berusaha keras mengingat sesuatu. “Aku sudah membaca itu tadi,” pemuda berkacamata itu menelengkan kepalanya ke arah papan besar di luar cafe. “Tapi aku lupa apa yang mau aku pesan.”
    “Kau bisa pesan menu spesial cafe ini,” Lofa menunjuk papan hitam kecil yang menggantung di dekat meja bar. Menu andalannya. Minuman kebahagiaan.
    Pemuda itu mengerutkan dahinya lagi, “Namanya...unik”
    Lofa cukup yakin pemuda itu akan mengatakan ‘aneh’.
    “Itu menu spesial?” Pemuda itu masih belum yakin.
    Lofa mengangguk mantap, “Sangat spesial.”
    “Baiklah. Aku pesan satu.”
    Lofa langsung melesat ke dapur dan membuat minuman kebahagiaan itu dalam sekejap. Hanya dalam waktu lima menit Lofa sudah kembali. Pemuda berkacamata itu memandangi minumannya sejenak. Kemudian mengaduk minuman itu sampai warna biru-orange cairan itu menyatu menjadi warna hijau tua. Pemuda itu bergidik sekilas setelah menyesapnya.
    “Asam,” katanya sambil menyipitkan sebelah matanya. Lofa tertawa melihat ekspresi pemuda itu. “Tapi enak.”
    Lofa membusungkan dadanya dengan bangga, “Sudah aku bilang itu minuman spesial.”
    Belum sempat pemuda itu menanggapi, Lofa melihat salah satu pengunjungnya mangangkat tangan.
    “Aku permisi dulu,” Lofa buru-buru menghampiri pengunjung itu. Memberikan bill-nya dan mengucapkan terima kasih saat mereka pergi. Berkurang dua pengunjung.
    Baru saja Lofa kembali ke meja bar, ada pengunjung lain yang mengangkat tangan. Lofa langsung menghampiri pengunjung itu. Melakukan hal yang sama, memberikan bill dan mengucapkan terima kasih.
    Meja-meja yang sempat kosong kembali terisi saat ada pengunjung baru yang datang. Malam ini ramai sekali. Lofa sudah membayangkan kasurnya yang empuk. Dia ingin merebahkan tubuhnya. Setelah menghela nafas panjang, Lofa kembali menghampiri pengunjung baru untuk menanyakan pesanan mereka.
    Rasanya sudah ratusan kali Lofa bolak-balik untuk menanyakan pesanan, mengantarkan pesanan, memberikan bill dan membungkuk untuk mengucapkan terima kasih. Dia butuh bantuan. Tapi omset cafe-nya masih belum cukup untuk membayar orang lain. Hanya Agi yang mau berbaik hati membantunya dengan bayaran kopi dan panekuk.
    “Kau butuh bantuan?”
    Lofa sedikit kaget saat menyadari pemuda berkacamata itu masih di sana. Lofa menggeleng sambil tersenyum.
    “Sepertinya kau sangat kerepotan.”
    Lofa menggeleng lagi, “Ini sudah tugasku.”
    “Kau yakin?”
    Lofa mengangguk, setengah takut. Pemuda asing itu mencurigakan.
    “Aku bosan hanya duduk diam di sini. Ayolah, pasti ada sesuatu yang bisa aku lakukan.”
    Lofa mengangkat sebelah alisnya, “Kau pengunjung. Sudah seharusnya kau duduk diam di situ dan menikmati pesananmu.” Lofa menjaga suaranya tetap datar meskipun sebenarnya dia sangat ingin membentak pemuda asing itu.
    Pemuda macam apa yang tiba-tiba menawarkan bantuan pada seorang perempuan jika tidak bermaksud jahat? Lofa teringat pada film-film pembunuhan yang sering ditontonnya. Bisa saja pemuda itu adalah seorang psikopat. Dia ingin membantu Lofa agar semua pekerjaannya cepat selesai. Saat semua pengunjung sudah pulang, pemuda itu akan melakukan tindakan kriminal atau kemungkinan terburuknya membunuh Lofa. Gadis itu bergidik membayangkan kemungkinan itu. Dia belum siap mati muda.
    Lofa mengamati penampilan pemuda itu. Berkacamata, rambut sedikit acak-acakan, memakai sweater hitam yang terlihat kebesaran di tubuhnya. Pemuda itu tidak terlihat seperti orang jahat.
    “Tidak perlu. Terima kasih.”
    Pemuda itu hanya mengangkat bahunya sekilas. Mengalah. Tiba-tiba saja pemuda itu terkesiap, seperti baru saja teringat sesuatu.
    “Kita belum berkenalan.” Pemuda itu mengulurkan tangannya. Lofa menatap tangan pemuda itu untuk beberapa saat, kemudian menjabat tangan pemuda itu. “Angga.” Katanya pelan.
    “Lofa,” jawab Lofa ragu.
    “Aku tahu,” kata pemuda itu sambil tertawa ringan, kemudian menunjuk apron yang dipakai Lofa.
    Lofa benar-benar lupa kalau dia selalu memakai pin nama itu ke mana-mana. Pantas saja orang-orang selalu tahu siapa namanya.
    “Kita sudah saling kenal,” kata Angga, menyadarkan Lofa dari lamunannya tentang pin nama itu. “Sekarang aku boleh membantumu?”

  2. 0 komentar:

    Post a Comment