BAGIAN 2
Dhanny baru saja membawa pasiennya ke ruang periksa. Dia baru
saja akan melakukan pemeriksaan subjektif pada pasien yang didapatnya di daerah
Bantul itu. Kegiatan coass memang
mengharuskannya mencari pasiennya sendiri. Setelah mendapat persetujuan dari
dosen pembimbingnya, sekarang Dhanny membawa pasien itu ke rumah sakit gigi dan
mulut.
Jas putih yang dipakai Dhanny bergerak-gerak tidak sabar saat
pemuda itu berjalan cepat ke ruang pemeriksaan. Langkahnya melambat saat
berpapasan dengan Nura. Gadis itu tersenyum saat memandangi Dhanny.
“Kau sudah dapat pasien?” Tanya gadis itu dengan suara lembut
yang Dhanny sukai.
Dhanny mengangguk sekilas, “Dia sudah menunggu di ruang
pemeriksaan.”
Nura tersenyum lebar, gadis itu menunjukkan ketulusan murni yang
membuat jantung Dhanny selalu berdegup kencang setiap kali melihatnya.
“Mama mengundangmu makan malam,” kata Nura mantap dengan senyum
yang masih terkembang di wajahnya.
“Tentu saja,” jawab Dhanny tegas meskipun hatinya bergejolak. Ini bisa jadi pembicaraan serius, pikirnya
panik. “Aku harus ke ruang pemeriksaan.”
“Oh, baiklah. Selamat bekerja.” Nura menepuk lengan Dhanny
sekilas kemudian berlalu. Suara ketukan lembut yang beirama terdengar saat Nura
berjalan mantap menjauh darinya. Suara ketukan itu terdengar semakin samar
kemudian menghilang saat Nura berbelok.
Dhanny menghela nafas panjang sebelum melanjutkan langkahnya.
Pasiennya sudah menunggu. Wanita paruh baya itu duduk gelisah di kursinya.
Dhanny hanya memamerkan senyum ramahnya saat masuk ke ruang pemeriksaan. Setelah
melakukan pemeriksaan subjektif, sekarang saatnya dia melakukan pemeriksaan
objektif untuk menentukan diagnosis yang tepat untuk pasiennya.
Nekrosis
pulpa totalis. Itu adalah diagnosa yang diberikan Dhanny pada pasien
pilihannya. Ada gigi mati pada geraham bawahnya, molar 1. Dhanny segera
menyuntikkan anestesi pada pasien tersebut untuk memberikan bius lokal. Dengan
sangat cekatan Dhanny mencabut gigi mati itu. Bunyi kelontang pelan terdengar
saat gigi geraham yang baru saja dia cabut diletakkan pada wadah aluminium.
Setelah berbasa-basi, akhirnya urusan Dhanny dengan wanita itu
selesai juga. Dia sendirian di ruang pemeriksaan sekarang. Dhanny mengeluarkan
laptopnya dari dalam tas untuk melanjutkan laporan yang sedang dia kerjakan. Dia
hanya mendapat satu pasien hari ini. Berbeda dengan kedokteran umum, coass untuk kedokteran gigi mengharuskan
para sarjana kedokteran ini mencari pasiennya sendiri.
Mata Dhanny tertuju pada layar laptopnya. Pemuda itu selalu
membuka website yang sama akhir-akhir
ini. Adelaide University, di sana
Dhanny berencana untuk mendapatkan gelar spesialis bedah mulutnya. Tapi selalu
ada satu hal yang menahannya, mengacaukan kemantapannya akan pilihan itu. Nura.
***
Dhanny mengemudikan mobilnya tanpa tujuan yang jelas. Pemuda itu
hanya ingin menghabiskan waktu istirahatnya di luar rumah sakit. Dia ingin
menjernihkan pikirannya untuk memantapkan kembali keputusannya. Mobilnya melaju
di jalanan Jogja yang lumayan ramai siang ini.
Dhanny menghentikan mobilnya di depan sebuah cafe. Dia tidak
ingat pernah melihat cafe ini sebelumnya. Dhanny bahkan tidak benar-benar
berniat mampir ke cafe ini, tapi hanya ini lahan parkir yang kosong. Dhanny
menumpukan kepalanya pada tangan yang ada di atas setir.
Waktu istirahatnya sudah hampir habis. Dhanny langsung mencabut
kunci mobilnya kemudian keluar. Pemuda itu berjalan memasuki cafe tanpa memperhatikan
keadaan sekitarnya. Di dalam cafe, Dhanny merasa lebih nyaman. Cafe itu sepi
meskipun sedang jam makan siang, berbeda dengan kantin rumah sakit yang selalu
penuh. Dhanny hanya melihat ke sekeliling cafe sekilas. Dia sedang tidak
berselera untuk mengomentari apa pun yang ada di dalam cafe itu.
Dhanny melihat ada dua pengunjung lain di sudut cafe saat
berjalan menuju meja bar yang terlihat minimalis. Perpaduan warna hitam dan
silver. Kebetulan sekali, hitam adalah warna favoritnya. Dhanny duduk di sebuah
kursi tinggi di depan meja bar itu. Setelah mendapat posisi yang nyaman,
pikiran Dhanny kembali berkelana. Dia memikirkan dua hal yang akan menjadi masa
depannya, Nura dan gelar spesialisnya.
“Kau mau pesan sesuatu?”
Dhanny langsung mendongak, pikirannya buyar semuanya. Suara pramusaji
di hadapannya meninggi. Mungkin dia sudah bertanya beberapa kali sebelum
akhirnya salah satu pertanyaan itu berhasil membuyarkan lamunan Dhanny.
Dhanny langsung mencari-cari papan menu yang biasanya di pasang
di dinding. Hanya ada jam dinding dan papan hitam kecil di dekat meja bar. Di mana menunya? pikir Dhanny heran. Bagaimana
dia bisa memesan sesuatu jika tidak ada menu yang bisa dipilih? Dhanny
mencari-cari buku menu yang mungkin diletakkan di atas meja di suatu tempat. Dia
tidak menemukan apa pun.
“Tidak ada menu?” Dhanny menyerah mencari dan akhirnya
menanyakan langsung pada si pramusaji.
“Menunya ada di luar,” kata gadis itu dengan suara ringan,
seolah-olah meletakkan menu di luar cafe adalah hal yang wajar.
Dhanny mengikuti arah yang ditunjuk gadis itu. Ada sebuah papan
hitam besar di luar cafe. Dia tidak melihat papan itu sama sekali saat masuk tadi.
Pikirannya pasti terlalu kacau sampai begitu buta untuk melihat keadaan di
sekitarnya.
“Oh...” Hanya sepotong kata itu yang berhasil terucap. Dhanny
berharap akan mendapat petunjuk lebih hanya dengan sepotong kata itu. Dia sama
sekali tidak berniat untuk segera turun dari kursinya dan berlari ke luar hanya
untuk melihat menu yang seharusnya ada di
dalam.
“Aku bisa menyarankan menu spesial cafe ini,” gadis itu menunjuk
papan hitam kecil yang ada di dekat meja bar dengan memiringkan kepalanya.
Dhanny mengerutkan dahinya saat membaca tulisan pada papan hitam
kecil itu. Papan itu bertuliskan menu
spesial, minuman kebahagiaan. Menu apa pula minuman kebahagiaan itu? Apa gadis ini sedang mempermainkanku?
“Minuman kebahagiaan? Menurutmu aku terlihat sedih?”
Dhanny tidak merasa dirinya sesedih itu sampai harus diberi minuman kebahagiaan olah orang asing di
cafe yang asing pula baginya. Tapi gadis di hadapannya malah tertawa. Tawanya terdengar
renyah dan tulus. Bibirnya yang kecil membentuk lengkungan lebar saat gadis itu
tertawa.
“Siapa saja bisa memesan minuman itu.” Kata gadis itu enteng,
seolah-olah ingin memberitahukan tidak diperlukan kesedihan untuk memesan minuman kebahagiaan.
“Aku tidak tahu menu apa pun di sini. Jadi ya, aku rasa aku akan
memesan yang itu.” Akhirnya Dhanny mengikuti saran si pramusaji. Tidak ada
ruginya mencoba menu baru.
Gadis itu hanya mengangguk sekilas kemudian langsung masuk ke
dapur. Dhanny masih bisa melihatnya dari lubang besar yang ada di dinding
pemisah antara ruang utama cafe dengan dapur. Gadis itu menyiapkan bahan-bahan
minumannya dengan sangat cekatan. Setelah bosan mengamati gadis pramusaji itu,
Dhanny mengamati keadaan di sekelilingnya. Pemuda itu memandangi lampu LED yang
menyala pada kaca depan cafe. Cafe Lofa, Dhanny mengulangi nama itu dalam
pikirannya. Dia belum pernah mendengar nama itu sebelumnya.
Pandangannya beralih pada tanaman yang ada di bawah tulisan. Equisetum Hyemale atau lebih terkenal
dengan istilah bambu air. Kebiasaannya menghafal anatomi membuat Dhanny mampu
menghafal nama-nama ilmiah berbagai macam makhluk hidup. Kebetulan di rumahnya
juga ada tanaman bambu air itu, jadi Dhanny tahu persis nama ilmiahnya. Pemuda
itu juga sering menyebut kucing Nura dengan nama ilmiahnya, Felis Domesticus. Meskipun Nura berkali-kali memberi tahu nama
kucingnya, Alexis, tapi Dhanny lebih suka memanggil kucing itu dengan jati diri
sebenarnya.
Dhanny sedang memandangi dua sejoli yang ada di
dekat kaca depan. Seorang pemuda berambut ikal yang memiliki garis-garis wajah
tegas dan seorang gadis berambut super pendek yang terlihat seperti model
majalah remaja. Dhanny pasti akan berargumen lebih jauh tentang dua orang itu
jika minumannya tidak segera datang. Si pramusaji tadi menyodorkan segelas
minuman pada Dhanny. Pemuda itu mengamati minumannya dari dekat. Perpaduan
warnanya sangat lucu, warna jingga dan biru. Dhanny mengaduk minuman itu dengan
sedotan agar warnanya menyatu menjadi warna hijau tua yang aneh.
Rasa asam dan manis berpadu menjadi satu saat
cairan dingin itu meluncur ke tenggorokan Dhanny. Samar-samar Dhanny bisa
mengecap rasa air kelapa pada minumannya. Pemuda itu berhenti menyesap
minumannya saat melihat pin nama pada pakaian si pramusaji.
“Kau pemilik cafe ini?” Tanya Dhanny penasaran.
Si pramusaji menunduk untuk mengikuti arah
tatapan Dhanny. Gadis itu terlihat kaget saat melihat pin nama yang ada di
pakaiannya. Sepertinya gadis itu lupa sudah memasang pin itu. Setelah menyadari
tulisan yang ada pada pin itu, si pramusaji mengangguk kemudian mengulurkan
tangannya.
“Lofa,” katanya dengan nada riang.
Meskipun canggung, Dhanny tetap menjabat tangan
gadis itu. “Dhanny.”
“Kau bekerja di dekat sini?”
Dhanny tidak menyangka gadis itu, Lofa, akan
melanjutkan obrolan yang tidak sengaja ini. Tapi Dhanny hanya menggeleng pelan.
Mata Lofa yang sedikit sipit melotot saat Dhanny menggeleng.
“Aku tidak sengaja sampai ke sini,” Dhanny
menjelaskan bagaimana dia bisa terdampar di cafe ini.
Lofa hanya mengangguk. Gadis itu sepertinya
tidak berniat mengajukan pertanyaan lain karena terlalu sibuk dengan
kegiatannya mengelap gelas-gelas. Dhanny bisa mendengar gadis itu bersenandung
pelan diiringi suara alunan piano romantis dari tape hitam besar yang ada di dekat meja bar.
Minuman Dhanny sudah hampir habis saat dia
mendengar suara langkah kaki di dekatnya. Ternyata dua pengunjung lain yang
tadi dilihatnya sudah selesai makan dan akan membayar. Si gadis berambut pendek
mengeluarkan dompet dari tas jinjingnya tapi kemudian tangannya ditahan oleh
pemuda berambut ikal. Klise. Dari gelagatnya, Dhanny yakin mereka belum
pacaran, hanya cukup dekat untuk makan siang bersama.
“Kau pulang juga?” Tanya Lofa.
Ini menarik. Dhanny hanya diam memperhatikan
situasi yang sedang terjadi di hadapannya. Dari air mukanya, Lofa terlihat
sedih saat pemuda ini pamit pulang, sedangkan gadis berambut pendek itu
terlihat senang-senang saja. Dari cara Lofa menatap pemuda itu, sepertinya
mereka sudah kenal cukup lama.
“Sudah siang. Aku akan kembali lagi nanti sore.”
Kata pemuda itu.
Lofa hanya mengangguk pasrah. Gadis berambut
pendek itu hanya tersenyum dan melambai sekilas ke arah Lofa saat berjalan
keluar. Langkahnya terlihat mantap dan penuh percaya diri.
“Mereka temanmu?” Tanya Dhanny. Dia hanya ingin
basa-basi dan mengingatkan Lofa masih ada orang lain di cafe-nya.
Lofa hanya mengangguk pelan.
Dhanny melirik jam tangannya. Waktu
istirahatnya tinggal 10 menit lagi. Dhanny menyesap minumannya sampai habis
kemudian turun dari kursi tinggi. Dia merogoh saku belakang celananya untuk
mengambil dompet. Setelah membayar minumannya, Dhanny pamit pulang. Entah
kenapa dia merasa harus berpamitan pada Lofa. Mungkin karena Dhanny merasa
tidak enak meninggalkan Lofa sendirian setelah kedua temannya pulang. Lofa
hanya memamerkan senyum formal yang, menurut Dhanny, tidak terlalu tulus
kemudian berpesan untuk mampir lagi kapan-kapan.
Dhanny hanya memandangi setir mobil untuk
beberapa saat sebelum akhirnya memindahkan persneling dan meluncur pergi. Dia
kembali ke rumah sakit. Kembali ke kehidupan dan masalahnya yang masih belum
mendapatkan solusi.
0 komentar:
Post a Comment