Rss Feed
  1. Cafe Lofa : Minuman Kebahagiaan

    Saturday, January 4, 2014

    BAGIAN 2


    Dhanny baru saja membawa pasiennya ke ruang periksa. Dia baru saja akan melakukan pemeriksaan subjektif pada pasien yang didapatnya di daerah Bantul itu. Kegiatan coass memang mengharuskannya mencari pasiennya sendiri. Setelah mendapat persetujuan dari dosen pembimbingnya, sekarang Dhanny membawa pasien itu ke rumah sakit gigi dan mulut.
    Jas putih yang dipakai Dhanny bergerak-gerak tidak sabar saat pemuda itu berjalan cepat ke ruang pemeriksaan. Langkahnya melambat saat berpapasan dengan Nura. Gadis itu tersenyum saat memandangi Dhanny.
    “Kau sudah dapat pasien?” Tanya gadis itu dengan suara lembut yang Dhanny sukai.
    Dhanny mengangguk sekilas, “Dia sudah menunggu di ruang pemeriksaan.”
    Nura tersenyum lebar, gadis itu menunjukkan ketulusan murni yang membuat jantung Dhanny selalu berdegup kencang setiap kali melihatnya.
    “Mama mengundangmu makan malam,” kata Nura mantap dengan senyum yang masih terkembang di wajahnya.
    “Tentu saja,” jawab Dhanny tegas meskipun hatinya bergejolak. Ini bisa jadi pembicaraan serius, pikirnya panik. “Aku harus ke ruang pemeriksaan.”
    “Oh, baiklah. Selamat bekerja.” Nura menepuk lengan Dhanny sekilas kemudian berlalu. Suara ketukan lembut yang beirama terdengar saat Nura berjalan mantap menjauh darinya. Suara ketukan itu terdengar semakin samar kemudian menghilang saat Nura berbelok.
    Dhanny menghela nafas panjang sebelum melanjutkan langkahnya. Pasiennya sudah menunggu. Wanita paruh baya itu duduk gelisah di kursinya. Dhanny hanya memamerkan senyum ramahnya saat masuk ke ruang pemeriksaan. Setelah melakukan pemeriksaan subjektif, sekarang saatnya dia melakukan pemeriksaan objektif untuk menentukan diagnosis yang tepat untuk pasiennya.
    Nekrosis pulpa totalis. Itu adalah diagnosa yang diberikan Dhanny pada pasien pilihannya. Ada gigi mati pada geraham bawahnya, molar 1. Dhanny segera menyuntikkan anestesi pada pasien tersebut untuk memberikan bius lokal. Dengan sangat cekatan Dhanny mencabut gigi mati itu. Bunyi kelontang pelan terdengar saat gigi geraham yang baru saja dia cabut diletakkan pada wadah aluminium.
    Setelah berbasa-basi, akhirnya urusan Dhanny dengan wanita itu selesai juga. Dia sendirian di ruang pemeriksaan sekarang. Dhanny mengeluarkan laptopnya dari dalam tas untuk melanjutkan laporan yang sedang dia kerjakan. Dia hanya mendapat satu pasien hari ini. Berbeda dengan kedokteran umum, coass untuk kedokteran gigi mengharuskan para sarjana kedokteran ini mencari pasiennya sendiri.
    Mata Dhanny tertuju pada layar laptopnya. Pemuda itu selalu membuka website yang sama akhir-akhir ini. Adelaide University, di sana Dhanny berencana untuk mendapatkan gelar spesialis bedah mulutnya. Tapi selalu ada satu hal yang menahannya, mengacaukan kemantapannya akan pilihan itu. Nura.
    ***
    Dhanny mengemudikan mobilnya tanpa tujuan yang jelas. Pemuda itu hanya ingin menghabiskan waktu istirahatnya di luar rumah sakit. Dia ingin menjernihkan pikirannya untuk memantapkan kembali keputusannya. Mobilnya melaju di jalanan Jogja yang lumayan ramai siang ini.
    Dhanny menghentikan mobilnya di depan sebuah cafe. Dia tidak ingat pernah melihat cafe ini sebelumnya. Dhanny bahkan tidak benar-benar berniat mampir ke cafe ini, tapi hanya ini lahan parkir yang kosong. Dhanny menumpukan kepalanya pada tangan yang ada di atas setir.
    Waktu istirahatnya sudah hampir habis. Dhanny langsung mencabut kunci mobilnya kemudian keluar. Pemuda itu berjalan memasuki cafe tanpa memperhatikan keadaan sekitarnya. Di dalam cafe, Dhanny merasa lebih nyaman. Cafe itu sepi meskipun sedang jam makan siang, berbeda dengan kantin rumah sakit yang selalu penuh. Dhanny hanya melihat ke sekeliling cafe sekilas. Dia sedang tidak berselera untuk mengomentari apa pun yang ada di dalam cafe itu.
    Dhanny melihat ada dua pengunjung lain di sudut cafe saat berjalan menuju meja bar yang terlihat minimalis. Perpaduan warna hitam dan silver. Kebetulan sekali, hitam adalah warna favoritnya. Dhanny duduk di sebuah kursi tinggi di depan meja bar itu. Setelah mendapat posisi yang nyaman, pikiran Dhanny kembali berkelana. Dia memikirkan dua hal yang akan menjadi masa depannya, Nura dan gelar spesialisnya.
    “Kau mau pesan sesuatu?”
    Dhanny langsung mendongak, pikirannya buyar semuanya. Suara pramusaji di hadapannya meninggi. Mungkin dia sudah bertanya beberapa kali sebelum akhirnya salah satu pertanyaan itu berhasil membuyarkan lamunan Dhanny.
    Dhanny langsung mencari-cari papan menu yang biasanya di pasang di dinding. Hanya ada jam dinding dan papan hitam kecil di dekat meja bar. Di mana menunya? pikir Dhanny heran. Bagaimana dia bisa memesan sesuatu jika tidak ada menu yang bisa dipilih? Dhanny mencari-cari buku menu yang mungkin diletakkan di atas meja di suatu tempat. Dia tidak menemukan apa pun.
    “Tidak ada menu?” Dhanny menyerah mencari dan akhirnya menanyakan langsung pada si pramusaji.
    “Menunya ada di luar,” kata gadis itu dengan suara ringan, seolah-olah meletakkan menu di luar cafe adalah hal yang wajar.
    Dhanny mengikuti arah yang ditunjuk gadis itu. Ada sebuah papan hitam besar di luar cafe. Dia tidak melihat papan itu sama sekali saat masuk tadi. Pikirannya pasti terlalu kacau sampai begitu buta untuk melihat keadaan di sekitarnya.
    “Oh...” Hanya sepotong kata itu yang berhasil terucap. Dhanny berharap akan mendapat petunjuk lebih hanya dengan sepotong kata itu. Dia sama sekali tidak berniat untuk segera turun dari kursinya dan berlari ke luar hanya untuk melihat menu yang seharusnya ada di dalam.
    “Aku bisa menyarankan menu spesial cafe ini,” gadis itu menunjuk papan hitam kecil yang ada di dekat meja bar dengan memiringkan kepalanya.
    Dhanny mengerutkan dahinya saat membaca tulisan pada papan hitam kecil itu. Papan itu bertuliskan menu spesial, minuman kebahagiaan. Menu apa pula minuman kebahagiaan itu? Apa gadis ini sedang mempermainkanku?
    “Minuman kebahagiaan? Menurutmu aku terlihat sedih?”
    Dhanny tidak merasa dirinya sesedih itu sampai harus diberi minuman kebahagiaan olah orang asing di cafe yang asing pula baginya. Tapi gadis di hadapannya malah tertawa. Tawanya terdengar renyah dan tulus. Bibirnya yang kecil membentuk lengkungan lebar saat gadis itu tertawa.
    “Siapa saja bisa memesan minuman itu.” Kata gadis itu enteng, seolah-olah ingin memberitahukan tidak diperlukan kesedihan untuk memesan minuman kebahagiaan.
    “Aku tidak tahu menu apa pun di sini. Jadi ya, aku rasa aku akan memesan yang itu.” Akhirnya Dhanny mengikuti saran si pramusaji. Tidak ada ruginya mencoba menu baru.
    Gadis itu hanya mengangguk sekilas kemudian langsung masuk ke dapur. Dhanny masih bisa melihatnya dari lubang besar yang ada di dinding pemisah antara ruang utama cafe dengan dapur. Gadis itu menyiapkan bahan-bahan minumannya dengan sangat cekatan. Setelah bosan mengamati gadis pramusaji itu, Dhanny mengamati keadaan di sekelilingnya. Pemuda itu memandangi lampu LED yang menyala pada kaca depan cafe. Cafe Lofa, Dhanny mengulangi nama itu dalam pikirannya. Dia belum pernah mendengar nama itu sebelumnya.
    Pandangannya beralih pada tanaman yang ada di bawah tulisan. Equisetum Hyemale atau lebih terkenal dengan istilah bambu air. Kebiasaannya menghafal anatomi membuat Dhanny mampu menghafal nama-nama ilmiah berbagai macam makhluk hidup. Kebetulan di rumahnya juga ada tanaman bambu air itu, jadi Dhanny tahu persis nama ilmiahnya. Pemuda itu juga sering menyebut kucing Nura dengan nama ilmiahnya, Felis Domesticus. Meskipun Nura berkali-kali memberi tahu nama kucingnya, Alexis, tapi Dhanny lebih suka memanggil kucing itu dengan jati diri sebenarnya.
    Dhanny sedang memandangi dua sejoli yang ada di dekat kaca depan. Seorang pemuda berambut ikal yang memiliki garis-garis wajah tegas dan seorang gadis berambut super pendek yang terlihat seperti model majalah remaja. Dhanny pasti akan berargumen lebih jauh tentang dua orang itu jika minumannya tidak segera datang. Si pramusaji tadi menyodorkan segelas minuman pada Dhanny. Pemuda itu mengamati minumannya dari dekat. Perpaduan warnanya sangat lucu, warna jingga dan biru. Dhanny mengaduk minuman itu dengan sedotan agar warnanya menyatu menjadi warna hijau tua yang aneh.
    Rasa asam dan manis berpadu menjadi satu saat cairan dingin itu meluncur ke tenggorokan Dhanny. Samar-samar Dhanny bisa mengecap rasa air kelapa pada minumannya. Pemuda itu berhenti menyesap minumannya saat melihat pin nama pada pakaian si pramusaji.
    “Kau pemilik cafe ini?” Tanya Dhanny penasaran.
    Si pramusaji menunduk untuk mengikuti arah tatapan Dhanny. Gadis itu terlihat kaget saat melihat pin nama yang ada di pakaiannya. Sepertinya gadis itu lupa sudah memasang pin itu. Setelah menyadari tulisan yang ada pada pin itu, si pramusaji mengangguk kemudian mengulurkan tangannya.
    “Lofa,” katanya dengan nada riang.
    Meskipun canggung, Dhanny tetap menjabat tangan gadis itu. “Dhanny.”
    “Kau bekerja di dekat sini?”
    Dhanny tidak menyangka gadis itu, Lofa, akan melanjutkan obrolan yang tidak sengaja ini. Tapi Dhanny hanya menggeleng pelan. Mata Lofa yang sedikit sipit melotot saat Dhanny menggeleng.
    “Aku tidak sengaja sampai ke sini,” Dhanny menjelaskan bagaimana dia bisa terdampar di cafe ini.
    Lofa hanya mengangguk. Gadis itu sepertinya tidak berniat mengajukan pertanyaan lain karena terlalu sibuk dengan kegiatannya mengelap gelas-gelas. Dhanny bisa mendengar gadis itu bersenandung pelan diiringi suara alunan piano romantis dari tape hitam besar yang ada di dekat meja bar.
    Minuman Dhanny sudah hampir habis saat dia mendengar suara langkah kaki di dekatnya. Ternyata dua pengunjung lain yang tadi dilihatnya sudah selesai makan dan akan membayar. Si gadis berambut pendek mengeluarkan dompet dari tas jinjingnya tapi kemudian tangannya ditahan oleh pemuda berambut ikal. Klise. Dari gelagatnya, Dhanny yakin mereka belum pacaran, hanya cukup dekat untuk makan siang bersama.
    “Kau pulang juga?” Tanya Lofa.
    Ini menarik. Dhanny hanya diam memperhatikan situasi yang sedang terjadi di hadapannya. Dari air mukanya, Lofa terlihat sedih saat pemuda ini pamit pulang, sedangkan gadis berambut pendek itu terlihat senang-senang saja. Dari cara Lofa menatap pemuda itu, sepertinya mereka sudah kenal cukup lama.
    “Sudah siang. Aku akan kembali lagi nanti sore.” Kata pemuda itu.
    Lofa hanya mengangguk pasrah. Gadis berambut pendek itu hanya tersenyum dan melambai sekilas ke arah Lofa saat berjalan keluar. Langkahnya terlihat mantap dan penuh percaya diri.
    “Mereka temanmu?” Tanya Dhanny. Dia hanya ingin basa-basi dan mengingatkan Lofa masih ada orang lain di cafe-nya.
    Lofa hanya mengangguk pelan.
    Dhanny melirik jam tangannya. Waktu istirahatnya tinggal 10 menit lagi. Dhanny menyesap minumannya sampai habis kemudian turun dari kursi tinggi. Dia merogoh saku belakang celananya untuk mengambil dompet. Setelah membayar minumannya, Dhanny pamit pulang. Entah kenapa dia merasa harus berpamitan pada Lofa. Mungkin karena Dhanny merasa tidak enak meninggalkan Lofa sendirian setelah kedua temannya pulang. Lofa hanya memamerkan senyum formal yang, menurut Dhanny, tidak terlalu tulus kemudian berpesan untuk mampir lagi kapan-kapan.
    Dhanny hanya memandangi setir mobil untuk beberapa saat sebelum akhirnya memindahkan persneling dan meluncur pergi. Dia kembali ke rumah sakit. Kembali ke kehidupan dan masalahnya yang masih belum mendapatkan solusi.

  2. 0 komentar:

    Post a Comment