Rss Feed
  1. "tahu diri" - maudy ayunda

    Tuesday, September 10, 2013



    baru dengerin lagi nih lagu. kayak kenal nih ceritanya. hayoooo ngaku siapa yang pernah ngalamin cerita kayak gini? suka sama orang tapi orangnya kayak nggak ngasih respon terus akhirnya kita memutuskan untuk menghindar tapi orang yang kita suka malah nongol mulu. sebel kan? iya, sebel. apalagi kalo masih ada rasa. udah sih cuma mau curhat gitu doang, hehehe

  2. SILENT MELODY

    Thursday, September 5, 2013

    Terinspirasi dari lagu "The Man Who Can't Be Moved" by The Script


    Langkahnya mulai melambat. Rambut cepaknya yang mulai berantakan bergerak-gerak pelan saat angin sore menerpanya. Rio sudah lelah melangkah lebar-lebar hanya untuk mengejar bus trans Jakarta yang ternyata sudah berangkat bahkan sebelum Rio berhasil mencapai halte. Dia hanya menghembuskan nafas frustasi sambil menggeleng kesal. Dia terlambat lagi. Sekarang dia harus membuang waktunya untuk menunggu bus trans Jakarta yang berikutnya.
    Rio mendesah kesal saat melihat keadaan halte yang penuh sesak. Jam pulang kantor. Banyak orang-orang yang berpenampilan sama dengannya di dalam halte. Kemeja rapi, dasi, celana bahan, dan wajah berminyak. Atmosfer yang terasa di dalam halte benar-benar membuat Rio penat. Dia benci dengan rutinitas hidupnya. Bangun pagi, pergi ke kantor dan mengejar bus yang selalu meninggalkannya.
    Rio melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. Masih ada waktu, pikirnya. Rio memutuskan untuk berkeliling daripada berdiam diri di halte. Melihat wajah-wajah muram yang tidak sabaran membuat Rio bertambah pusing. Udara Jakarta memang sudah berpolusi, tapi setidaknya berada di luar sini jauh lebih baik daripada berdesak-desakkan di dalam halte.
    Suara itu menarik perhatiannya. Suara yang dikenalnya sejak lama. Rio mempercepat langkahnya. Rasanya sudah lama sekali Rio tidak mendengar suara biola seindah itu. Mengingatkanya pada masa kecilnya dulu. Saat ibu menyuruhnya untuk memilih kursus musik, Rio langsung masuk ke kelas biola begitu saja. Tidak ada pertimbangan khusus. Rio hanya sangat menyukai suara biola.
    Rio mendekati kerumunan yang sepertinya sedang mengelilingi suara indah itu. Dia harus menyikut dan menyenggol beberapa orang untuk membiarkannya lewat dan melihat si pemain biola. Rio hanya tertegun saat melihat sosok di hadapannya. Seorang gadis berwajah Indonesia asli. Dari garis wajahnya Rio tahu gadis ini keturunan Jawa. Kulitnya hitam manis. Rambutnya yang panjang dan bergelombang hanya diikat seadanya. Rio bisa melihat warna matanya yang hitam pekat saat gadis itu menyebarkan pandangan pada seluruh penonton di sekelilingnya sambil tersenyum.
    Suara tepuk tangan yang cukup riuh menyadarkan Rio dari kekagumannya. Gadis itu menunduk sekilas kemudian membuka case biolanya. Beberapa orang memberikan selembar uang seribuan dan beberapa yang lain hanya memberikan recehan. Tidak menghargai seni, pikir Rio kesal.
    Setelah kerumunan orang-orang mulai membubarkan diri, gadis itu membereskan uang dari case biolanya dan memasukkannya ke dalam tas kain kecil. Rio berjongkok di hadapan gadis itu dan menyodorkan selembar uang seratus ribu.
    “Permainan biolamu luar biasa,” ucap Rio tulus.
    Gadis itu masih menatap Rio bingung.
    “Kau pantas mendapatkan lebih dari ini,” Rio kembali menyodorkan uang itu.
    Gadis itu meraih uang itu dengan ragu-ragu kemudian tersenyum sekilas pada Rio.
    “Sejak kapan kau belajar biola?” Rio mulai penasaran berapa lama gadis itu belajar memainkan biola sampai bisa menghasilkan susunan nada seindah itu.
    Alih-alih menjawab pertanyaan Rio, gadis itu langsung membereskan biolanya kemudian bangkit berdiri. Dia sudah bersiap melangkah pergi saat Rio menghalanginya.
    “Kau belum menjawab pertanyaanku.”
    Gadis itu hanya menangkupkan kedua tangannya, memohon maaf, kemudian melangkah pergi. Suara gemerincing nyaring terdengar saat gadis itu berlari-lari kecil. Rio melihat sebuah lonceng kecil yang menggantung pada case biola gadis itu.
    Mengejarnya hanya akan membuatnya takut, Rio memutuskan untuk membiarkan gadis itu pergi tanpa menjawab pertanyaannya.
    “Sial! Berapa lama aku di sini!” Rio mengutuki dirinya sendiri saat teringat apa yang dia lakukan sebelum bertemu gadis itu.
    Dia mempercepat langkahnya dan mendapati halte sudah kosong. “Shit! Lagi?!”
    Rio memutuskan untuk berdiam diri di halte trans Jakarta yang mulai sepi agar tidak tertinggal lagi.
    ***
    Rio menumpuk berkas-berkas yang membuatnya tidak tidur selama beberapa hari ini. Rencana pembangunan supermall di kawasan Jakarta Selatan yang berhasil menguras tenaga dan pikirannya, akhirnya selesai juga. Rio buru-buru membereskan mejanya setelah yakin semua pekerjaannya sudah selesai dengan sempurna. Alsannya sudah cukup jelas, Rio tidak ingin pulang malam lagi hanya karena tertinggal bus trans Jakarta.
    Rio menghentikan langkahnya saat sudah berada di ambang pintu halte. Masih ada cukup waktu sampai bus berikutnya datang. Rio berbalik kemudian melangkah mantap ke tempat gadis biola itu duduk kemarin sore. Sepi. Tidak ada siapa pun.
    Mungkin gadis itu hanya seniman nomaden, pikir Rio kecewa.
    Dia berbalik dan memutuskan untuk duduk diam di halte sebelum dipenuhi orang-orang yang baru pulang kerja. Langkahnya terhenti saat terdengar suara gemerincing yang dikenalnya. Dia menoleh dan mendapati gadis biola itu sedang berjalan menuju tempatnya kemarin sore. Tangan kanannya menenteng case biola.
    Rio hanya berdiri diam di tempatnya. Memperhatikan yang dilakukan gadis itu dengan seksama. Melihatnya membuka lipatan kain dan menggelarnya. Dia menjadikan sapu tangan sebagai alas duduk? pikir Rio aneh. Gadis itu mulai mengeluarkan biolanya, meletakkannya di atas pangkuan. Gadis itu tertunduk diam cukup lama. Entah apa yang dia lakukan, mungkin berdoa. Setelah selesai dengan ritualnya, gadis itu mulai meletakkan biolanya di bahu kanan.
    Dia kidal! Rio baru menyadarinya. Kemarin dia terlalu tertegun mendengar permainan biola gadis itu sampai tidak menyadari tangan kiri gadis itu yang menggesek biola.
    “Kidal tapi bisa memainkan biola dengan sempurna,” gumam Rio mengagumi kemampuan gadis itu.
    Gadis itu memejamkan mata dan mulai memainkan nada-nada indah dengan biolanya. Rio mengenali lagu yang dimainkan gadis itu. Sudah sangat lama Rio tidak mendengar lagu itu dimainkan. Lagu yang sangat terkenal di masanya. Smile, ayah yang mengenalkan lagu itu pada Rio. Soundtrack film komedi favorit ayah, Chaplin.
    Setelah si gadis biola selesai memainkan lagu lawas itu, Rio memutuskan untuk mendekatinya. Mungkin hari ini adalah hari keberuntungannya. Mungkin hari ini gadis itu mau berbicara dengannya.
    Rio berjongkok di hadapan si gadis biola. Membuat gadis itu tersentak kaget saat membuka mata dan mendapati Rio di hadapannya.
    “Kau belum menjawab pertanyaanku kemarin,”
    Gadis itu menatap Rio tajam. Dia hanya menelengkan kepalanya tanpa menjawab apa pun.
    “Baiklah jika kau memang tidak mau bicara padaku.”
    Gadis itu terlihat bingung.
    “Lagu apa lagi yang bisa kau mainkan?”
    Rio melihat sebuah buku catatan terbuka di hadapan gadis itu dan sudah bersiap membuka halaman berikutnya saat gadis itu menghentikannya. Dengan gerakan cepat dia mengambil buku catatan itu, membuat Rio tersentak kaget.
    “Whoa! Maaf, aku tidak tahu buku itu sangat rahasia.”
    Gadis itu kembali menatap tajam. Detik itu Rio merasa gadis itu sangat membencinya. Memangnya aku salah apa? Pikir Rio frustasi. Dia hanya ingin belajar dari gadis itu. Permainan biolanya sangat bagus untuk ukuran seorang seniman jalanan. Tapi dia malah mendapat tatapan menusuk seperti itu.
    Tiba-tiba saja ekspresi wajah gadis itu berubah. Dia langsung mengangkat biolanya ke bahu kanan dan mulai memainkan sebuah lagu. Ada sebuah bayangan yang menaungi Rio, membuatnya mendongak dan mendapati sudah ada beberapa orang yang berdiri di sampingnya.
    Gadis ini sudah punya penggemar tetap rupanya, pikir Rio sambil tersenyum. Gadis itu memang layak dikagumi, tambahnya dalam hati.
    ***
    Hari ketiga, Rio semakin penasaran dengan gadis biola itu. Gadis itu lebih dari sekedar seniman jalanan bagi Rio. Caranya memainkan biola dengan penuh penghayatan, caranya menatap Rio tajam, semuanya masih terekam jelas. Hari ini Rio memutuskan untuk mendatangi gadis itu lagi. Dia tidak peduli jika gadis itu menghujaninya dengan tatapan setajam pisau. Rio sudah kecanduan permainan biola gadis itu.
    Hari ini dia pulang lebih sore dari biasanya. Atasannya meminta Rio untuk menyiapkan bahan rapat mingguan. Dengan langkah gontai Rio berjalan menyusuri trotoar menuju halte bus trans Jakarta. Dia melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. Sudah hampir malam, gadis itu pasti sudah pulang, pikir Rio kecewa.
    Tapi rasa penasaran menuntun langkahnya melewati halte bus dan berjalan menuju tempat gadis itu biasa duduk. Tidak ada suara biola yang mengalun, tapi Rio tahu gadis itu masih di sana. Dia bisa mendengar suara gemerincing lonceng yang menggantung pada case biola gadis itu. Rio mempercepat langkahnya. Gadis itu sudah bersiap-siap untuk pulang.
    Tanpa pikir panjang Rio langsung mendekati gadis itu dan menyentuh bahunya. Gadis itu langsung menoleh dan terkejut mendapati Rio di belakangnya. Gadis itu menggerakkan kedua tangannya dengan cepat.
    Rio hanya menelengkan kepalanya. Dia mengenali gerakan-gerakan itu. Semacam isyarat.
    Lagi-lagi gadis itu menggerakkan kedua tangannya. Kali ini dia berusaha mengatakan sesuatu “a-u i-ak e-e-al-mu”
    Dia tuna wicara? Pikir Rio terkejut. Dia masih belum bisa memberikan respon apa pun atas apa yang dilihatnya barusan. Gadis yang selama ini memainkan biola dengan begitu indah ternyata seorang tuna wicara?
    Saat Rio tidak juga menjawab, gadis itu berbalik dan langsung berlari meninggalkan Rio yang masih tertegun. Gadis itu sudah berlari cukup jauh saat Rio tersadar dan memutuskan untuk mengikutinya.
    Rio sengaja menjaga jarak agar gadis itu tidak menyedari keberadaannya. Rio tidak berniat jahat. Dia hanya penasaran dengan kehidupan gadis itu. Apa yang gadis itu lakukan saat pulang, dimana dia tinggal, dimana dia mempelajari teknik bermain biola dengan begitu sempurna.
    Rio menghentikan langkahnya secara mendadak saat gadis itu berbelok ke sebuah tempat makan. Si penjual terlihat sangat mengerti apa yang diinginkan gadis itu. Mungkin itu tempat makan langganannya. Setelah mendapat apa yang diinginkan, gadis itu keluar dari tempat makan dan melanjutkan perjalanan. Rio masih setia mengikutinya. Rasa lelah yang sedari tadi membebaninya hilang seketika, digantikan rasa penasaran yang membabi buta.
    Gadis itu berhenti di depan gerbang sebuah rumah besar. Dia menghela nafas pelan sebelum membuka pintu gerbangnya sampai terdengar suara berderit saat pintu besinya berayun ke dalam.
    Dia tinggal di sini? pikir Rio penasaran, rumahnya besar sekali.
    Setelah yakin gadis itu tidak akan melihatnya, Rio mendekati rumah besar itu. matanya melebar saat melihat papan nama yang terpampang di samping pagar rumah itu. Rio tidak melihat papan nama itu sebelumnya.
    “Rumah Singgah. Tempat singgah dan penanganan para penderita kanker.” Rio menggumamkan papan nama itu dengan tubuh gemetar.
    Gadis itu penderita kanker? Pikirnya panik, dia tidak terlihat sakit. Rio masih saja berdebat dengan pikirannya tentang gadis itu. Membuatnya berdiri selama beberapa saat di depan rumah itu.
    ***
    Dia tuna wicara dan menderita kanker. Sejauh ini hanya itu yang Rio tahu tentang gadis itu. Hari ini Rio memutuskan untuk mengenal gadis itu lebih dekat. Tujuannya bukan lagi mengetahui bagaimana bisa gadis itu memainkan biola dengan sempurna. Tujuannya sekarang adalah mengenal gadis itu secara personal.
    Rio sengaja menyelesaikan semua tugasnya dengan cepat dan tidak istirahat saat jam makan siang agar dia bisa pulang cepat. Agar dia bisa mendekati gadis itu sebelum ada banyak orang yang mengelilinginya. Rio hanya bisa berharap gadis itu tidak menghindarinya lagi.
    Sudah hampir jam lima sore. Rio mempercepat langkahnya. Tanpa melirik halte bus yang biasa didatanginya, Rio langsung melangkah ke tempat gadis itu biasa membuka lapak. Sepi. Tidak ada siapa pun di sana.
    Rio menghela nafas sekilas. Dia lega gadis itu belum datang. Itu artinya ada kesempatan untuk mengobrol berdua dengan gadis itu. Rio memutuskan untuk menunggu.
    Entah sudah berapa kali Rio melirik jam tangannya. Sudah hampir malam dan gadis itu tidak muncul juga. Apa dia pindah tempat karena takut padaku? Pikir Rio panik.
    Mungkin hari ini dia sedang malas keluar rumah, Rio mencoba menghibur dirinya sendiri.
    Tapi bagaimana jika terjadi sesuatu? Dia sakit kanker kan? Pikiran tentang penyakit yang diderita gadis itu mulai menghantui Rio.
    “Apa aku harus ke rumah singgah itu?” gumam Rio berdebat dengan pikirannya sendiri.
    “Bodoh! Untuk apa? Aku bahkan tidak mengenalnya,”
    Rio menggeleng untuk menghapus pikiran-pikiran aneh yang mungkin menimpa gadis itu. Meskipun sebagian dirinya, yang entah seberapa besar, memang mengkhawatirkan gadis itu. Rio berusaha untuk meyakinkan dirinya bahwa tidak ada hal buruk yang terjadi.
    Gadis itu hanya sedang malas keluar hari ini, putusnya. Kemudian dia berbalik, duduk diam di dalam halte bus. Menunggu bus trans Jakarta berikutnya.
    ***
    Sudah tiga hari dan gadis itu belum muncul juga. Kali ini Rio benar-benar tidak bisa membendung kekhawatirannya. Pasti ada hal buruk yang terjadi, Rio mengonfirmasi kekhawatirannya.
    Hari Minggu itu Rio memutuskan untuk datang ke rumah singgah. Dia tidak peduli reaksi apa yang akan dia dapat saat gadis itu melihatnya. Rio hanya ingin melihat gadis itu dan memastikan dia baik-baik saja. Beberapa lama Rio hanya berdiri di depan pagar rumah singgah yang terbuat dari besi. Dia menghela nafas berkali-kali untuk mengumpulkan keberanian. Sudah sejak tadi malam Rio berusaha menyusun kata-kata yang tepat untuk menemui gadis itu. Gadis biola yang bahkan namanya pun Rio tidak tahu.
    Sensasi dingin langsung menjalar ke kedua tangan Rio saat dia menyentuh pagar besi rumah singgah. Perlahan dia mulai mendorongnya sampai terbuka. Menciptakan suara berderit lirih yang memecah keheningan.
    Rio melangkah pelan melewati pekarangan luas yang ditanami berbagai macam tanaman. Mulai dari mawar, sampai tanaman gelombang cinta yang dulu sempat terkenal. Rio celingukan mencari tanda-tanda kehidupan di rumah itu. Dia melirik jam tangannya untuk memastikan sekarang bukanlah waktu yang salah untuk berkunjung.
    “Ada yang bisa saya bantu, Mas?”
    Rio langsung menoleh saat mendengar suara di dekatnya. Untung saja dia tidak langsung terjungkal karena kaget. Kapan Ibu ini muncul?
    “Eh, saya...”
    “Mas reporter ya?” Ibu itu langsung memberi Rio jabatan baru tanpa bertanya lebih dulu.
    “Bu...bukan, Bu. Saya ingin bertemu teman saya.”
    Ibu itu hanya mengangguk sekilas, meskipun tatapannya masih berkata jelas pasti orang ini reporter.
    “Ada siapa, Bi?” ada suara asing lagi yang muncul dari dalam rumah.
    Seorang wanita paruh baya. Lebih muda dari Ibu yang menuduh Rio seorang reporter, dan wajahnya terlihat lebih ramah. Sepertinya Ibu itu pengurus rumah singgah ini. Terlihat dari pembawaannya yang kalem dan bijaksana.
    “Eh, ini Bu ada reporter.”
    Ingin sekali Rio membungkam Ibu sok tahu itu. Jika tidak mengenal sopan santun Rio pasti sudah memarahinya habis-habisan.
     “Bu...bukan Bu. Saya ingin bertemu teman saya.” Sepertinya lebih baik Rio langsung menjelaskan maksud kedatangannya pada Ibu yang lebih ramah itu.
    “Siapa ya?”
    Siapa namanya? Aku tidak tahu! Rio berusaha memutar otaknya untuk menjawab pertanyaan itu. Pertanyaan sederhana tapi membuat Rio berkeringat dingin. Dia tidak tahu siapa nama gadis itu.
    “Rambutnya panjang ikal, kulit hitam manis, dan sangat pandai memainkan biola.” Rio memutuskan untuk memberikan deskripsi tentang gadis itu daripada berbasa-basi lebih lama.
    “Oh, Gendis.”
    Gendis? Itu namanya?
    Ibu itu mengulurkan tangannya, “Saya Ratna. Koordinator di rumah singgah ini. Silakan masuk.”
    Rio mengikuti Ibu Ratna ke dalam rumah singgah. Keadaan di dalam rumah sangat nyaman. Benar-benar berbeda dengan apa yang dia bayangkan. Bau obat-obatan antiseptik dan cat serba putih seperti rumah sakit, rumah singgah sama sekali tidak seperti itu. Cat di ruang tamu berwarna hijau lembut lengkap dengan furniture kayu yang mengkilap.
    Setelah selesai mengagumi seisi rumah singgah, Rio mengembalikan fokusnya pada Ibu Ratna yang ternyata sudah duduk di hadapannya.
    “Jadi...” Bu Ratna memulai pembicaraan. “Dimana Nak...”
    “Rio. Nama saya Rio.”
    “Ah, di mana Nak Rio mengenal Gendis.”
    “Sebenarnya saya belum benar-benar mengenalnya, Bu. Saya bertemu Gendis setiap sore saat pulang kerja. Gendis memainkan biola dengan sangat sempurna. Saya tertarik untuk belajar darinya.”
    Ibu Ratna mengangguk pelan, “dia memang berbakat.”
    Rio mulai tidak sabar. Sampai kapan Bu Ratna akan berbasa-basi seperti ini? Kenapa tidak langsung saja beliau memanggil Gendis.
    “Apa Nak Rio ini tahu kalau Gendis itu tuna wicara?”
    “Saya tahu Bu.”
    Lagi-lagi Bu Ratna mengangguk pelan.
    “Apa Gendis sudah lama di rawat di sini?”
    Ibu Ratna tersenyum sekilas sambil menggeleng, “bukan Gendis yang dirawat di sini. Ibunya.”
    Tanpa sadar Rio menghela nafas lega. Bukan Gendis yang sakit. Itu artinya kekhawatirannya selama ini terbukti salah.
    “Ibunya sakit...kanker?”
    Ibu Ratna menghela nafas.
    Tentu saja, bodoh! Ini rumah singgah untuk penderita kanker.
    “Ibunya menderita kelainan jantung. Mereka berdua datang ke Jakarta untuk berobat. Tapi sepertinya kartu askes yang mereka miliki tidak bisa membantu meringankan biaya operasi. Rumah sakit menolak untuk melakukan operasi jika tidak ada biaya yang cukup.”
    Tatapan Bu Ratna menerawang ke masa lalu, “siapa yang tega melihat mereka di luar sana. Seorang gadis dengan ibu yang sakit. Kami memutuskan untuk memberikan tempat singgah sampai operasi dapat dilaksanakan. Lagipula itu kan tujuan rumah singgah?”
    Rio hanya mengangguk sambil tersenyum.
    “Gendis berusaha mengumpulkan uang dengan menjadi seniman di jalan. Dia sangat berbakat memainkan biolanya.”
    “Ya, saya penasaran bagaimana Gendis belajar memainkan biola.” Rio langsung terkesiap begitu menyadari kata-katanya, “maaf, saya tidak bermaksud...”
    Bu Ratna hanya tersenyum, “saya juga penasaran. Saya pernah melihatnya berlatih waktu itu. Dia menyalakan sebuah lagu pada tape dan dia akan menyentuh speaker-nya. Dia mempelajari nada-nada sebuah lagu dengan cara menghafal getarannya.”
    Rio membayangkan bagaimana sulitnya melakukan hal itu. Dia yang mampu mendengar dengan baik saja terkadang malas untuk menghafal deretan nada-nada. Biolanya sudah berdebu karena terlalu lama tak tersentuh.
    “Hmm...ngomong-ngomong Gendis...”
    Mata Bu Ratna melebar seperti teringat sesuatu, “oh, maaf. Saya terlalu asyik bercerita sampai lupa memberitahu Nak Rio kalau Gendis sudah tidak di sini.”
    “Sudah tidak...”
    Raut wajah Bu Ratna berubah. Rio tahu ada yang tidak beres. Dia sudah sering melihat ekspresi seperti itu sebelumnya. Dia sudah hafal.
    “Ibunya meninggal tiga hari yang lalu. Operasinya tidak pernah dilaksanakan karena masalah biaya.”
    “Lalu Gendis?”
    “Dia pulang ke Jogja.”
    “Jogja?”
    ***
    Rio membuka case biolanya perlahan. Dia menghela nafas saat melihat biola hitam di dalamnya. Sudah sangat lama Rio tidak menyentuhnya. Kapan terakhir kali dia memainkan biolanya? Lima tahun yang lalu? Entahlah, yang Rio tahu itu sudah sangat lama sekali.
    Dia mengangkat biola itu, mengusapnya beberapa kali sebelum meletakkannya ke bahu kiri. Rio mulai menggesek senarnya. Memainkan sebuah lagu yang paling dia hafal, November Rain. Lagu yang dia mainkan saat resital di sekolahnya dulu. Rio memejamkan mata untuk mengenang masa-masa itu.
    Rio membuka matanya dan menghela nafas setelah selesai memainkan biolanya. Dia sudah siap untuk menyusul Gendis ke Jogja. Entah hantu apa yang merasuki Rio sampai dia senekat itu untuk mencari gadis yang belum dia kenal baik. Tapi dia merasa yakin dengan keputusannya. Dia ingin bertemu dengan Gendis lagi. Karena rasa simpati? Entahlah, Rio hanya ingin bertemu dengannya.
    Dia memasukkan biolanya kemudian bangkit dan meraih tas ransel yang sudah dia siapkan sejak tadi malam. Rio sudah mengurus surat cutinya sejak dua hari yang lalu. Meskipun atasannya benar-benar heran saat Rio mengajukan ijin cuti, tapi akhirnya disetujui juga.
    Pemandangan di luar kereta bahkan tidak bisa mengalihkan pikiran Rio dari kepanikan yang dia rasakan sekarang. Kenapa dia langsung memutuskan untuk pergi ke Jogja setelah tahu gadis itu ada di sana? Jogja begitu luas, bagaimana Rio mencarinya? Rio sama sekali tidak memiliki rencana bagaimana cara menemukan Gendis di kota seluas itu. Lagi-lagi Rio hanya menghela nafas dan mencoba fokus pada pemandangan di luar.
    Rio keluar dari kereta dan mengikuti arus orang-orang yang berjalan ke pintu keluar. Perjalanannya dimulai dari sini. Dia sudah di Jogja dan belum menemukan cara untuk mencari Gendis. Rio mendongak untuk melihat langit sore Jogja yang masih cerah.
    Stasiun Tugu terlihat sangat ramai sore ini. Beberapa rombongan terlihat memakai kaos seragam bertuliskan nama sebuah perusahaan. Sepertinya orang-orang itu sedang dalam perjalanan bisnis atau semacamnya.
    “Mas, becak Mas?” Rio tersentak saat mendengar suara di dekatnya. Seorang lelaki paruh baya sudah berdiri di sampingnya dengan senyum lebar.
    Rio langsung mengangguk saja saat mendengar penawaran itu. Dia tidak tahu jalan menuju hotel tempat dia menginap malam ini.
    “Hotel Ibis, Pak.” Rio menyebutkan nama hotel yang sudah dipesannya sejak kemarin.
    ***
    Hari kedua Rio di Jogja. Semalam dia sudah berkeliling di kawasan Malioboro untuk mempelajari lingkungannya. Rasanya sangat lebih mudah menemukan orang asing di kota ini daripada Gendis. Dia sudah berkeliling dan tidak menemukan petunjuk apa pun. Bagaimana jika Gendis tidak tinggal di sini? Bagaimana jika Gendis tinggal di kawasan pedesaan? Rio sama sekali tidak tahu ada berapa banyak desa di sini. Pikiran itu yang membuat Rio tidak bisa tidur semalaman.
    Hari ini Rio memutuskan untuk mencoba cara lain. Jika dia tidak bisa menemukan Gendis, mungkin Gendis bisa menemukannya. Dia akan melakukan apa yang dilakukan Gendis. Rio menenteng biolanya keluar dan mulai mencari tempat strategis untuk membuka lapak.
    Rio memutuskan alun-alun selatan kota Jogja adalah tempat yang cukup strategis. Ada banyak orang di sana. Rio sangat berterima kasih pada dua pohon beringin kembar di sana yang berhasil menarik banyak pengunjung. Rio mulai menggelar alas duduknya. Dia membuka case biola dan mengeluarkan biola hitamnya. Dia menatap biola itu untuk beberapa saat. Dulu dia cukup yakin dengan kemampuannya memainkan biola. Bagaimana sekarang? Bagaimana jika dia malah akan mendapat cacian karena permainan biolanya yang biasa saja?
    Rio memejamkan mata dan membayangkan bagaimana Gendis memainkan biolanya. Dia mulai meletakkan biolanya ke bahu kiri dan menggesek senarnya perlahan. Memainkan lagu yang dimainkan Gendis waktu itu. Dia berusaha memainkan biolanya dengan perasaan. Dia benar-benar berharap Gendis bisa menemukannya di sini. Mungkin usahanya akan butuh waktu lama karena Gendis tidak bisa mendengar lagu yang dia mainkan.
    Sudah hari ketiga dan tidak ada perkembangan apa pun. Sepertinya apa yang dilakukan Rio sia-sia. Tapi dia memutuskan untuk tetap berada di sana sampai masa cutinya berakhir. Tempat ini cukup terkenal. Mungkin saja kebetulan ada reporter televisi yang datang ke tempat ini dan meliputnya. Mungkin jika dia tetap di tempatnya sekarang, Gendis akan melihatnya secara tidak sengaja dan mendatanginya. Banyak sekali kemungkinan mustahil yang dipikirkan Rio, tapi setidaknya pikiran-pikiran itu yang membuatnya tetap bertahan. Membuat Rio tetap berharap Gendis akan menemukannya di sini.
    ***
    Hari terakhir masa cutinya. Rio harus pulang sekarang. Dia harus kembali ke dunia nyata dan menjalani rutinitas hidupnya yang biasa. Dia harus mengakui satu hal, Gendis hanya sebagian kecil dari bagian kehidupan yang harus Rio jalani. Menemukan Gendis bukanlah hal mudah seperti yang dia bayangkan.
    Rio memainkan biolanya untuk terakhir kali di alun-alun selatan kota Jogja sebelum pulang malam ini. Dia memainkan lagu November Rain dengan penuh penghayatan. Sampai detik ini dia masih berharap. Rio berharap saat dia membuka mata Gendis ada di hadapannya.
    Rio selesai memainkan lagu terakhirnya. Dia menghela nafas sebelum membuka matanya. Rio tersenyum saat melihat kerumunan orang di hadapannya. Tapi dia tidak mendapati Gendis ada di sana. Sudah waktunya pulang, Rio memantapkan hatinya.
    Rio memutuskan untuk berjalan kaki pulang ke hotel. Dia sudah menolak beberapa tawaran becak selama perjalanan. Dia ingin berkeliling kota Jogja untuk terakhir kalinya. Rio ingin menikmati suasana Jogja sebelum kembali pada tumpukan tugas yang membuatnya bosan.
    Rio menghentikan langkahnya saat mencapai alun-alun utara kota Jogja. Tempat yang tidak dia pikirkan sebelumnya. Rio berdiri diam di sana untuk beberapa saat, kemudian melanjutkan langkahnya.
    “Kita berada di dua ujung yang berbeda,” kata Rio pelan.
    Gadis di hadapannya menurunkan biolanya dan menelengkan kepala. Menatap Rio kebingungan.
    Selama ini dia ada di sini?
    ***