Terinspirasi dari lagu "The Man Who Can't Be Moved" by The Script
Langkahnya mulai melambat. Rambut cepaknya yang mulai berantakan
bergerak-gerak pelan saat angin sore menerpanya. Rio sudah lelah melangkah
lebar-lebar hanya untuk mengejar bus trans Jakarta yang ternyata sudah
berangkat bahkan sebelum Rio berhasil mencapai halte. Dia hanya menghembuskan
nafas frustasi sambil menggeleng kesal. Dia terlambat lagi. Sekarang dia harus
membuang waktunya untuk menunggu bus trans Jakarta yang berikutnya.
Rio mendesah kesal saat melihat keadaan halte yang penuh sesak. Jam pulang
kantor. Banyak orang-orang yang berpenampilan sama dengannya di dalam halte.
Kemeja rapi, dasi, celana bahan, dan wajah berminyak. Atmosfer yang terasa di
dalam halte benar-benar membuat Rio penat. Dia benci dengan rutinitas hidupnya.
Bangun pagi, pergi ke kantor dan mengejar bus yang selalu meninggalkannya.
Rio melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. Masih ada waktu, pikirnya. Rio
memutuskan untuk berkeliling daripada berdiam diri di halte. Melihat
wajah-wajah muram yang tidak sabaran membuat Rio bertambah pusing. Udara
Jakarta memang sudah berpolusi, tapi setidaknya berada di luar sini jauh lebih
baik daripada berdesak-desakkan di dalam halte.
Suara itu menarik perhatiannya. Suara yang dikenalnya sejak lama. Rio
mempercepat langkahnya. Rasanya sudah lama sekali Rio tidak mendengar suara biola
seindah itu. Mengingatkanya pada masa kecilnya dulu. Saat ibu menyuruhnya untuk
memilih kursus musik, Rio langsung masuk ke kelas biola begitu saja. Tidak ada
pertimbangan khusus. Rio hanya sangat menyukai suara biola.
Rio mendekati kerumunan yang sepertinya sedang mengelilingi suara indah
itu. Dia harus menyikut dan menyenggol beberapa orang untuk membiarkannya lewat
dan melihat si pemain biola. Rio hanya tertegun saat melihat sosok di
hadapannya. Seorang gadis berwajah Indonesia asli. Dari garis wajahnya Rio tahu
gadis ini keturunan Jawa. Kulitnya hitam manis. Rambutnya yang panjang dan
bergelombang hanya diikat seadanya. Rio bisa melihat warna matanya yang hitam
pekat saat gadis itu menyebarkan pandangan pada seluruh penonton di
sekelilingnya sambil tersenyum.
Suara tepuk tangan yang cukup riuh menyadarkan Rio dari kekagumannya. Gadis
itu menunduk sekilas kemudian membuka case
biolanya. Beberapa orang memberikan selembar uang seribuan dan beberapa yang
lain hanya memberikan recehan. Tidak
menghargai seni, pikir Rio kesal.
Setelah kerumunan orang-orang mulai membubarkan diri, gadis itu membereskan
uang dari case biolanya dan
memasukkannya ke dalam tas kain kecil. Rio berjongkok di hadapan gadis itu dan
menyodorkan selembar uang seratus ribu.
“Permainan biolamu luar biasa,” ucap Rio tulus.
Gadis itu masih menatap Rio bingung.
“Kau pantas mendapatkan lebih dari ini,” Rio kembali menyodorkan uang itu.
Gadis itu meraih uang itu dengan ragu-ragu kemudian tersenyum sekilas pada
Rio.
“Sejak kapan kau belajar biola?” Rio mulai penasaran berapa lama gadis itu
belajar memainkan biola sampai bisa menghasilkan susunan nada seindah itu.
Alih-alih menjawab pertanyaan Rio, gadis itu langsung membereskan biolanya
kemudian bangkit berdiri. Dia sudah bersiap melangkah pergi saat Rio
menghalanginya.
“Kau belum menjawab pertanyaanku.”
Gadis itu hanya menangkupkan kedua tangannya, memohon maaf, kemudian
melangkah pergi. Suara gemerincing nyaring terdengar saat gadis itu berlari-lari
kecil. Rio melihat sebuah lonceng kecil yang menggantung pada case biola gadis itu.
Mengejarnya hanya
akan membuatnya takut, Rio memutuskan untuk membiarkan gadis itu pergi tanpa
menjawab pertanyaannya.
“Sial! Berapa lama aku di sini!” Rio mengutuki dirinya sendiri saat
teringat apa yang dia lakukan sebelum bertemu gadis itu.
Dia mempercepat langkahnya dan mendapati halte sudah kosong. “Shit! Lagi?!”
Rio memutuskan untuk berdiam diri di halte trans Jakarta yang mulai sepi
agar tidak tertinggal lagi.
***
Rio menumpuk berkas-berkas yang membuatnya tidak tidur selama beberapa hari
ini. Rencana pembangunan supermall di
kawasan Jakarta Selatan yang berhasil menguras tenaga dan pikirannya, akhirnya
selesai juga. Rio buru-buru membereskan mejanya setelah yakin semua
pekerjaannya sudah selesai dengan sempurna. Alsannya sudah cukup jelas, Rio
tidak ingin pulang malam lagi hanya karena tertinggal bus trans Jakarta.
Rio menghentikan langkahnya saat sudah berada di ambang pintu halte. Masih
ada cukup waktu sampai bus berikutnya datang. Rio berbalik kemudian melangkah
mantap ke tempat gadis biola itu duduk kemarin sore. Sepi. Tidak ada siapa pun.
Mungkin gadis itu
hanya seniman nomaden, pikir Rio kecewa.
Dia berbalik dan memutuskan untuk duduk diam di halte sebelum dipenuhi
orang-orang yang baru pulang kerja. Langkahnya terhenti saat terdengar suara
gemerincing yang dikenalnya. Dia menoleh dan mendapati gadis biola itu sedang
berjalan menuju tempatnya kemarin sore. Tangan kanannya menenteng case biola.
Rio hanya berdiri diam di tempatnya. Memperhatikan yang dilakukan gadis itu
dengan seksama. Melihatnya membuka lipatan kain dan menggelarnya. Dia menjadikan sapu tangan sebagai alas
duduk? pikir Rio aneh. Gadis itu mulai mengeluarkan biolanya, meletakkannya
di atas pangkuan. Gadis itu tertunduk diam cukup lama. Entah apa yang dia
lakukan, mungkin berdoa. Setelah selesai dengan ritualnya, gadis itu mulai
meletakkan biolanya di bahu kanan.
Dia kidal! Rio baru
menyadarinya. Kemarin dia terlalu tertegun mendengar permainan biola gadis itu
sampai tidak menyadari tangan kiri gadis itu yang menggesek biola.
“Kidal tapi bisa memainkan biola dengan sempurna,” gumam Rio mengagumi
kemampuan gadis itu.
Gadis itu memejamkan mata dan mulai memainkan nada-nada indah dengan
biolanya. Rio mengenali lagu yang dimainkan gadis itu. Sudah sangat lama Rio
tidak mendengar lagu itu dimainkan. Lagu yang sangat terkenal di masanya. Smile, ayah yang mengenalkan lagu itu
pada Rio. Soundtrack film komedi
favorit ayah, Chaplin.
Setelah si gadis biola selesai memainkan lagu lawas itu, Rio memutuskan
untuk mendekatinya. Mungkin hari ini adalah hari keberuntungannya. Mungkin hari
ini gadis itu mau berbicara dengannya.
Rio berjongkok di hadapan si gadis biola. Membuat gadis itu tersentak kaget
saat membuka mata dan mendapati Rio di hadapannya.
“Kau belum menjawab pertanyaanku kemarin,”
Gadis itu menatap Rio tajam. Dia hanya menelengkan kepalanya tanpa menjawab
apa pun.
“Baiklah jika kau memang tidak mau bicara padaku.”
Gadis itu terlihat bingung.
“Lagu apa lagi yang bisa kau mainkan?”
Rio melihat sebuah buku catatan terbuka di hadapan gadis itu dan sudah
bersiap membuka halaman berikutnya saat gadis itu menghentikannya. Dengan gerakan
cepat dia mengambil buku catatan itu, membuat Rio tersentak kaget.
“Whoa! Maaf, aku tidak tahu buku itu sangat rahasia.”
Gadis itu kembali menatap tajam. Detik itu Rio merasa gadis itu sangat
membencinya. Memangnya aku salah apa?
Pikir Rio frustasi. Dia hanya ingin belajar dari gadis itu. Permainan biolanya
sangat bagus untuk ukuran seorang seniman jalanan. Tapi dia malah mendapat
tatapan menusuk seperti itu.
Tiba-tiba saja ekspresi wajah gadis itu berubah. Dia langsung mengangkat
biolanya ke bahu kanan dan mulai memainkan sebuah lagu. Ada sebuah bayangan
yang menaungi Rio, membuatnya mendongak dan mendapati sudah ada beberapa orang
yang berdiri di sampingnya.
Gadis ini sudah
punya penggemar tetap rupanya, pikir Rio sambil tersenyum. Gadis
itu memang layak dikagumi, tambahnya dalam hati.
***
Hari ketiga, Rio semakin penasaran dengan gadis biola itu. Gadis itu lebih
dari sekedar seniman jalanan bagi Rio. Caranya memainkan biola dengan penuh
penghayatan, caranya menatap Rio tajam, semuanya masih terekam jelas. Hari ini
Rio memutuskan untuk mendatangi gadis itu lagi. Dia tidak peduli jika gadis itu
menghujaninya dengan tatapan setajam pisau. Rio sudah kecanduan permainan biola
gadis itu.
Hari ini dia pulang lebih sore dari biasanya. Atasannya meminta Rio untuk menyiapkan bahan rapat
mingguan. Dengan langkah gontai Rio berjalan menyusuri trotoar menuju halte bus
trans Jakarta. Dia melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. Sudah hampir malam, gadis itu pasti sudah
pulang, pikir Rio kecewa.
Tapi rasa penasaran menuntun langkahnya melewati halte bus dan berjalan
menuju tempat gadis itu biasa duduk. Tidak ada suara biola yang mengalun, tapi
Rio tahu gadis itu masih di sana. Dia bisa mendengar suara gemerincing lonceng
yang menggantung pada case biola
gadis itu. Rio mempercepat langkahnya. Gadis itu sudah bersiap-siap untuk
pulang.
Tanpa pikir panjang Rio langsung mendekati gadis itu dan menyentuh bahunya.
Gadis itu langsung menoleh dan terkejut mendapati Rio di belakangnya. Gadis itu
menggerakkan kedua tangannya dengan cepat.
Rio hanya menelengkan kepalanya. Dia mengenali gerakan-gerakan itu. Semacam
isyarat.
Lagi-lagi gadis itu menggerakkan kedua tangannya. Kali ini dia berusaha
mengatakan sesuatu “a-u i-ak e-e-al-mu”
Dia tuna wicara? Pikir Rio terkejut.
Dia masih belum bisa memberikan respon apa pun atas apa yang dilihatnya
barusan. Gadis yang selama ini memainkan biola dengan begitu indah ternyata seorang
tuna wicara?
Saat Rio tidak juga menjawab, gadis itu berbalik dan langsung berlari
meninggalkan Rio yang masih tertegun. Gadis itu sudah berlari cukup jauh saat
Rio tersadar dan memutuskan untuk mengikutinya.
Rio sengaja menjaga jarak agar gadis itu tidak menyedari keberadaannya. Rio
tidak berniat jahat. Dia hanya penasaran dengan kehidupan gadis itu. Apa yang
gadis itu lakukan saat pulang, dimana dia tinggal, dimana dia mempelajari
teknik bermain biola dengan begitu sempurna.
Rio menghentikan langkahnya secara mendadak saat gadis itu berbelok ke
sebuah tempat makan. Si penjual terlihat sangat mengerti apa yang diinginkan
gadis itu. Mungkin itu tempat makan langganannya. Setelah mendapat apa yang
diinginkan, gadis itu keluar dari tempat makan dan melanjutkan perjalanan. Rio
masih setia mengikutinya. Rasa lelah yang sedari tadi membebaninya hilang
seketika, digantikan rasa penasaran yang membabi buta.
Gadis itu berhenti di depan gerbang sebuah rumah besar. Dia menghela nafas
pelan sebelum membuka pintu gerbangnya sampai terdengar suara berderit saat
pintu besinya berayun ke dalam.
Dia tinggal di
sini? pikir Rio penasaran, rumahnya besar
sekali.
Setelah yakin gadis itu tidak akan melihatnya, Rio mendekati rumah besar
itu. matanya melebar saat melihat papan nama yang terpampang di samping pagar
rumah itu. Rio tidak melihat papan nama itu sebelumnya.
“Rumah Singgah. Tempat singgah dan penanganan para penderita kanker.” Rio
menggumamkan papan nama itu dengan tubuh gemetar.
Gadis itu penderita
kanker? Pikirnya panik, dia tidak terlihat
sakit. Rio masih saja berdebat dengan pikirannya tentang gadis itu. Membuatnya
berdiri selama beberapa saat di depan rumah itu.
***
Dia tuna wicara dan menderita kanker. Sejauh ini hanya itu yang Rio tahu
tentang gadis itu. Hari ini Rio memutuskan untuk mengenal gadis itu lebih
dekat. Tujuannya bukan lagi mengetahui bagaimana bisa gadis itu memainkan biola
dengan sempurna. Tujuannya sekarang adalah mengenal gadis itu secara personal.
Rio sengaja menyelesaikan semua tugasnya dengan cepat dan tidak istirahat
saat jam makan siang agar dia bisa pulang cepat. Agar dia bisa mendekati gadis
itu sebelum ada banyak orang yang mengelilinginya. Rio hanya bisa berharap
gadis itu tidak menghindarinya lagi.
Sudah hampir jam lima sore. Rio mempercepat langkahnya. Tanpa melirik halte
bus yang biasa didatanginya, Rio langsung melangkah ke tempat gadis itu biasa
membuka lapak. Sepi. Tidak ada siapa pun di sana.
Rio menghela nafas sekilas. Dia lega gadis itu belum datang. Itu artinya
ada kesempatan untuk mengobrol berdua dengan gadis itu. Rio memutuskan untuk
menunggu.
Entah sudah berapa kali Rio melirik jam tangannya. Sudah hampir malam dan
gadis itu tidak muncul juga. Apa dia
pindah tempat karena takut padaku? Pikir Rio panik.
Mungkin hari ini
dia sedang malas keluar rumah, Rio mencoba menghibur dirinya sendiri.
Tapi bagaimana jika
terjadi sesuatu? Dia sakit kanker kan? Pikiran tentang penyakit yang
diderita gadis itu mulai menghantui Rio.
“Apa aku harus ke rumah singgah itu?” gumam Rio berdebat dengan pikirannya
sendiri.
“Bodoh! Untuk apa? Aku bahkan tidak mengenalnya,”
Rio menggeleng untuk menghapus pikiran-pikiran aneh yang mungkin menimpa
gadis itu. Meskipun sebagian dirinya, yang entah seberapa besar, memang
mengkhawatirkan gadis itu. Rio berusaha untuk meyakinkan dirinya bahwa tidak
ada hal buruk yang terjadi.
Gadis itu hanya
sedang malas keluar hari ini, putusnya. Kemudian dia berbalik,
duduk diam di dalam halte bus. Menunggu bus trans Jakarta berikutnya.
***
Sudah tiga hari dan gadis itu belum muncul juga. Kali ini Rio benar-benar
tidak bisa membendung kekhawatirannya. Pasti
ada hal buruk yang terjadi, Rio mengonfirmasi kekhawatirannya.
Hari Minggu itu Rio memutuskan untuk datang ke rumah singgah. Dia tidak
peduli reaksi apa yang akan dia dapat saat gadis itu melihatnya. Rio hanya
ingin melihat gadis itu dan memastikan dia baik-baik saja. Beberapa lama Rio
hanya berdiri di depan pagar rumah singgah yang terbuat dari besi. Dia menghela
nafas berkali-kali untuk mengumpulkan keberanian. Sudah sejak tadi malam Rio
berusaha menyusun kata-kata yang tepat untuk menemui gadis itu. Gadis biola
yang bahkan namanya pun Rio tidak tahu.
Sensasi dingin langsung menjalar ke kedua tangan Rio saat dia menyentuh
pagar besi rumah singgah. Perlahan dia mulai mendorongnya sampai terbuka.
Menciptakan suara berderit lirih yang memecah keheningan.
Rio melangkah pelan melewati pekarangan luas yang ditanami berbagai macam
tanaman. Mulai dari mawar, sampai tanaman gelombang cinta yang dulu sempat terkenal.
Rio celingukan mencari tanda-tanda kehidupan di rumah itu. Dia melirik jam tangannya
untuk memastikan sekarang bukanlah waktu yang salah untuk berkunjung.
“Ada yang bisa saya bantu, Mas?”
Rio langsung menoleh saat mendengar suara di dekatnya. Untung saja dia
tidak langsung terjungkal karena kaget. Kapan
Ibu ini muncul?
“Eh, saya...”
“Mas reporter ya?” Ibu itu langsung memberi Rio jabatan baru tanpa bertanya
lebih dulu.
“Bu...bukan, Bu. Saya ingin bertemu teman saya.”
Ibu itu hanya mengangguk sekilas, meskipun tatapannya masih berkata jelas pasti orang ini reporter.
“Ada siapa, Bi?” ada suara asing lagi yang muncul dari dalam rumah.
Seorang wanita paruh baya. Lebih muda dari Ibu yang menuduh Rio seorang
reporter, dan wajahnya terlihat lebih ramah. Sepertinya Ibu itu pengurus rumah
singgah ini. Terlihat dari pembawaannya yang kalem dan bijaksana.
“Eh, ini Bu ada reporter.”
Ingin sekali Rio membungkam Ibu sok tahu itu. Jika tidak mengenal sopan
santun Rio pasti sudah memarahinya habis-habisan.
“Bu...bukan Bu. Saya ingin bertemu
teman saya.” Sepertinya lebih baik Rio langsung menjelaskan maksud
kedatangannya pada Ibu yang lebih ramah itu.
“Siapa ya?”
Siapa namanya? Aku
tidak tahu! Rio berusaha memutar otaknya untuk menjawab pertanyaan itu.
Pertanyaan sederhana tapi membuat Rio berkeringat dingin. Dia tidak tahu siapa
nama gadis itu.
“Rambutnya panjang ikal, kulit hitam manis, dan sangat pandai memainkan
biola.” Rio memutuskan untuk memberikan deskripsi tentang gadis itu daripada
berbasa-basi lebih lama.
“Oh, Gendis.”
Gendis? Itu
namanya?
Ibu itu mengulurkan tangannya, “Saya Ratna. Koordinator di rumah singgah
ini. Silakan masuk.”
Rio mengikuti Ibu Ratna ke dalam rumah singgah. Keadaan di dalam rumah
sangat nyaman. Benar-benar berbeda dengan apa yang dia bayangkan. Bau obat-obatan
antiseptik dan cat serba putih seperti rumah sakit, rumah singgah sama sekali
tidak seperti itu. Cat di ruang tamu berwarna hijau lembut lengkap dengan
furniture kayu yang mengkilap.
Setelah selesai mengagumi seisi rumah singgah, Rio mengembalikan fokusnya
pada Ibu Ratna yang ternyata sudah duduk di hadapannya.
“Jadi...” Bu Ratna memulai pembicaraan. “Dimana Nak...”
“Rio. Nama saya Rio.”
“Ah, di mana Nak Rio mengenal Gendis.”
“Sebenarnya saya belum benar-benar mengenalnya, Bu. Saya bertemu Gendis
setiap sore saat pulang kerja. Gendis memainkan biola dengan sangat sempurna. Saya
tertarik untuk belajar darinya.”
Ibu Ratna mengangguk pelan, “dia memang berbakat.”
Rio mulai tidak sabar. Sampai kapan Bu Ratna akan berbasa-basi seperti ini?
Kenapa tidak langsung saja beliau memanggil Gendis.
“Apa Nak Rio ini tahu kalau Gendis itu tuna wicara?”
“Saya tahu Bu.”
Lagi-lagi Bu Ratna mengangguk pelan.
“Apa Gendis sudah lama di rawat di sini?”
Ibu Ratna tersenyum sekilas sambil menggeleng, “bukan Gendis yang dirawat
di sini. Ibunya.”
Tanpa sadar Rio menghela nafas lega. Bukan Gendis yang sakit. Itu artinya
kekhawatirannya selama ini terbukti salah.
“Ibunya sakit...kanker?”
Ibu Ratna menghela nafas.
Tentu saja, bodoh!
Ini rumah singgah untuk penderita kanker.
“Ibunya menderita kelainan jantung. Mereka berdua datang ke Jakarta untuk
berobat. Tapi sepertinya kartu askes yang mereka miliki tidak bisa membantu
meringankan biaya operasi. Rumah sakit menolak untuk melakukan operasi jika
tidak ada biaya yang cukup.”
Tatapan Bu Ratna menerawang ke masa lalu, “siapa yang tega melihat mereka
di luar sana. Seorang gadis dengan ibu yang sakit. Kami memutuskan untuk
memberikan tempat singgah sampai operasi dapat dilaksanakan. Lagipula itu kan
tujuan rumah singgah?”
Rio hanya mengangguk sambil tersenyum.
“Gendis berusaha mengumpulkan uang dengan menjadi seniman di jalan. Dia
sangat berbakat memainkan biolanya.”
“Ya, saya penasaran bagaimana Gendis belajar memainkan biola.” Rio langsung
terkesiap begitu menyadari kata-katanya, “maaf, saya tidak bermaksud...”
Bu Ratna hanya tersenyum, “saya juga penasaran. Saya pernah melihatnya
berlatih waktu itu. Dia menyalakan sebuah lagu pada tape dan dia akan menyentuh speaker-nya. Dia mempelajari nada-nada sebuah lagu
dengan cara menghafal getarannya.”
Rio membayangkan bagaimana sulitnya melakukan hal itu. Dia yang mampu mendengar
dengan baik saja terkadang malas untuk menghafal deretan nada-nada. Biolanya
sudah berdebu karena terlalu lama tak tersentuh.
“Hmm...ngomong-ngomong Gendis...”
Mata Bu Ratna melebar seperti teringat sesuatu, “oh, maaf. Saya terlalu
asyik bercerita sampai lupa memberitahu Nak Rio kalau Gendis sudah tidak di
sini.”
“Sudah tidak...”
Raut wajah Bu Ratna berubah. Rio tahu ada yang tidak beres. Dia sudah
sering melihat ekspresi seperti itu sebelumnya. Dia sudah hafal.
“Ibunya meninggal tiga hari yang lalu. Operasinya tidak pernah dilaksanakan
karena masalah biaya.”
“Lalu Gendis?”
“Dia pulang ke Jogja.”
“Jogja?”
***
Rio membuka case biolanya
perlahan. Dia menghela nafas saat melihat biola hitam di dalamnya. Sudah sangat
lama Rio tidak menyentuhnya. Kapan terakhir kali dia memainkan biolanya? Lima
tahun yang lalu? Entahlah, yang Rio tahu itu sudah sangat lama sekali.
Dia mengangkat biola itu, mengusapnya beberapa kali sebelum meletakkannya
ke bahu kiri. Rio mulai menggesek senarnya. Memainkan sebuah lagu yang paling
dia hafal, November Rain. Lagu yang dia mainkan saat resital di sekolahnya
dulu. Rio memejamkan mata untuk mengenang masa-masa itu.
Rio membuka matanya dan menghela nafas setelah selesai memainkan biolanya.
Dia sudah siap untuk menyusul Gendis ke Jogja. Entah hantu apa yang merasuki
Rio sampai dia senekat itu untuk mencari gadis yang belum dia kenal baik. Tapi
dia merasa yakin dengan keputusannya. Dia ingin bertemu dengan Gendis lagi. Karena
rasa simpati? Entahlah, Rio hanya ingin bertemu dengannya.
Dia memasukkan biolanya kemudian bangkit dan meraih tas ransel yang sudah
dia siapkan sejak tadi malam. Rio sudah mengurus surat cutinya sejak dua hari
yang lalu. Meskipun atasannya benar-benar heran saat Rio mengajukan ijin cuti,
tapi akhirnya disetujui juga.
Pemandangan di luar kereta bahkan tidak bisa mengalihkan pikiran Rio dari
kepanikan yang dia rasakan sekarang. Kenapa dia langsung memutuskan untuk pergi
ke Jogja setelah tahu gadis itu ada di sana? Jogja begitu luas, bagaimana Rio
mencarinya? Rio sama sekali tidak memiliki rencana bagaimana cara menemukan
Gendis di kota seluas itu. Lagi-lagi Rio hanya menghela nafas dan mencoba fokus
pada pemandangan di luar.
Rio keluar dari kereta dan mengikuti arus orang-orang yang berjalan ke
pintu keluar. Perjalanannya dimulai dari sini. Dia sudah di Jogja dan belum
menemukan cara untuk mencari Gendis. Rio mendongak untuk melihat langit sore
Jogja yang masih cerah.
Stasiun Tugu terlihat sangat ramai sore ini. Beberapa rombongan terlihat
memakai kaos seragam bertuliskan nama sebuah perusahaan. Sepertinya orang-orang
itu sedang dalam perjalanan bisnis atau semacamnya.
“Mas, becak Mas?” Rio tersentak saat mendengar suara di dekatnya. Seorang
lelaki paruh baya sudah berdiri di sampingnya dengan senyum lebar.
Rio langsung mengangguk saja saat mendengar penawaran itu. Dia tidak tahu
jalan menuju hotel tempat dia menginap malam ini.
“Hotel Ibis, Pak.” Rio menyebutkan nama hotel yang sudah dipesannya sejak
kemarin.
***
Hari kedua Rio di Jogja. Semalam dia sudah berkeliling di kawasan Malioboro
untuk mempelajari lingkungannya. Rasanya sangat lebih mudah menemukan orang
asing di kota ini daripada Gendis. Dia sudah berkeliling dan tidak menemukan
petunjuk apa pun. Bagaimana jika Gendis tidak tinggal di sini? Bagaimana jika
Gendis tinggal di kawasan pedesaan? Rio sama sekali tidak tahu ada berapa
banyak desa di sini. Pikiran itu yang membuat Rio tidak bisa tidur semalaman.
Hari ini Rio memutuskan untuk mencoba cara lain. Jika dia tidak bisa
menemukan Gendis, mungkin Gendis bisa menemukannya. Dia akan melakukan apa yang
dilakukan Gendis. Rio menenteng biolanya keluar dan mulai mencari tempat
strategis untuk membuka lapak.
Rio memutuskan alun-alun selatan kota Jogja adalah tempat yang cukup
strategis. Ada banyak orang di sana. Rio sangat berterima kasih pada dua pohon
beringin kembar di sana yang berhasil menarik banyak pengunjung. Rio mulai
menggelar alas duduknya. Dia membuka case
biola dan mengeluarkan biola hitamnya. Dia menatap biola itu untuk beberapa
saat. Dulu dia cukup yakin dengan kemampuannya memainkan biola. Bagaimana
sekarang? Bagaimana jika dia malah akan mendapat cacian karena permainan
biolanya yang biasa saja?
Rio memejamkan mata dan membayangkan bagaimana Gendis memainkan biolanya.
Dia mulai meletakkan biolanya ke bahu kiri dan menggesek senarnya perlahan.
Memainkan lagu yang dimainkan Gendis waktu itu. Dia berusaha memainkan biolanya
dengan perasaan. Dia benar-benar berharap Gendis bisa menemukannya di sini.
Mungkin usahanya akan butuh waktu lama karena Gendis tidak bisa mendengar lagu
yang dia mainkan.
Sudah hari ketiga dan tidak ada perkembangan apa pun. Sepertinya apa yang
dilakukan Rio sia-sia. Tapi dia memutuskan untuk tetap berada di sana sampai
masa cutinya berakhir. Tempat ini cukup terkenal. Mungkin saja kebetulan ada
reporter televisi yang datang ke tempat ini dan meliputnya. Mungkin jika dia
tetap di tempatnya sekarang, Gendis akan melihatnya secara tidak sengaja dan
mendatanginya. Banyak sekali kemungkinan mustahil yang dipikirkan Rio, tapi
setidaknya pikiran-pikiran itu yang membuatnya tetap bertahan. Membuat Rio
tetap berharap Gendis akan menemukannya di sini.
***
Hari terakhir masa cutinya. Rio harus pulang sekarang. Dia harus kembali ke
dunia nyata dan menjalani rutinitas hidupnya yang biasa. Dia harus mengakui
satu hal, Gendis hanya sebagian kecil dari bagian kehidupan yang harus Rio
jalani. Menemukan Gendis bukanlah hal mudah seperti yang dia bayangkan.
Rio memainkan biolanya untuk terakhir kali di alun-alun selatan kota Jogja
sebelum pulang malam ini. Dia memainkan lagu November Rain dengan penuh
penghayatan. Sampai detik ini dia masih berharap. Rio berharap saat dia membuka
mata Gendis ada di hadapannya.
Rio selesai memainkan lagu terakhirnya. Dia menghela nafas sebelum membuka
matanya. Rio tersenyum saat melihat kerumunan orang di hadapannya. Tapi dia
tidak mendapati Gendis ada di sana. Sudah
waktunya pulang, Rio memantapkan hatinya.
Rio memutuskan untuk berjalan kaki pulang ke hotel. Dia sudah menolak
beberapa tawaran becak selama perjalanan. Dia ingin berkeliling kota Jogja
untuk terakhir kalinya. Rio ingin menikmati suasana Jogja sebelum kembali pada
tumpukan tugas yang membuatnya bosan.
Rio menghentikan langkahnya saat mencapai alun-alun utara kota Jogja.
Tempat yang tidak dia pikirkan sebelumnya. Rio berdiri diam di sana untuk
beberapa saat, kemudian melanjutkan langkahnya.
“Kita berada di dua ujung yang berbeda,” kata Rio pelan.
Gadis di hadapannya menurunkan biolanya dan menelengkan kepala. Menatap Rio
kebingungan.
Selama ini dia ada
di sini?
***
0 komentar:
Post a Comment