Rss Feed
  1. kenangan dalam kata

    Monday, November 16, 2015



    Kenapa kau senang bermain bola?
    Aku menatap layar ponselku, menunggu jawaban untuk pertanyaanku.
    Pertanyaan yang sama untukmu
    Aku baru akan menuliskan jawaban, aku tidak menyukai bola, saat mendapat pesan baru darinya.
    Kenapa kau begitu senang menulis?
    Pertanyaan yang sangat mudah. Aku bahkan tidak membutuhkan waktu lama untuk menuliskan jawabannya. Aku menatap tulisan di ponselku sebelum menekan tanda "kirim". Bukan jawaban yang tepat untuk saat ini. Aku menghapus satu per satu huruf yang sudah tertulis, memutuskan bahwa pesan itu akan menjadi salah satu dari banyak pesan yang tidak akan aku kirimkan.

    Karena aku menyukai Er.
    ***
    Aku tahu ini sejak dulu: keabadian hanya omong kosong. Pada dasarnya, semua yang bernyawa pasti mati lalu pada akhirnya dilupakan. Mengerikan? Aku mendapat penjelasan ini saat berumur enam tahun. Ama, nenekku, meninggal saat sedang mengajakku bermain boneka beruang.
    Tidak pernah ada yang siap menghadapi kematian. Bahkan jika seseorang sudah sakit-sakitan dan berkata dia siap mati, aku yakin sebenarnya dia tidak siap. Karena kematian datang tiba-tiba dan tanpa permisi. Begitu juga dengan cinta. Siapa yang pernah siap jatuh cinta?
    ***
    "Kenapa kau memanggilku Er?" tanya Erlangga suatu pagi, saat kami sedang mengatur napas setelah berlari mengelilingi GBK satu kali. Kami memang selemah itu. Oh, aku memang selemah itu, Er hanya mengimbangiku.
    Aku meliriknya, mengelap keringat yang menetes dari alis kiri ke mataku. "Keberatan?" tanyaku tak acuh.
    Pemuda yang sudah menjadi sahabatku sejak dua tahun lalu itu hanya mengedikkan bahu. Setelah selama itu dia baru bertanya? Er mengeringkan keringat yang membasahi rambutnya dengan handuk kecil. "Hanya penasaran."
    Perhatianku tidak terfokus pada wajah Er yang tampan, maupun rahangnya yang tegas. Mataku tidak berkedip memerhatikan handuk putih kecil di tangannya.
    "Aku membuat tanda." kataku sembari meluruskan kaki dan mendongak untuk menatap gumpalan-gumpalan awan putih konyol yang bergerak lambat. "Apa ada yang memanggilmu begitu selain aku?"
    Handuk Er mengucurkan beberapa tetes keringat saat dia memerasnya. Menjijikan. Tapi, cowok kan memang seperti itu. "Tidak ada."
    Senyumku terkembang, sangat lebar sampai aku yakin orang akan mengira aku adalah serigala yang memakan nenek si kerudung merah.
    "Lihat kan? Sebuah tanda. Jadi, jika ada yang memanggilmu Er, bahkan dari jarak ribuan kilo, kau akan langsung tahu itu aku."
    "Mustahil." sergahnya cepat.
    Aku langsung menelengkan kepalaku, menusuk Er dengan tatapanku yang sialnya tidak mematikan. "Jadi kau akan memikirkan orang lain jika mendengar panggilan 'Er'?"
    Er langsung terkekeh kemudian menggeleng. "Tentu saja aku tahu itu kau. Aku hanya ragu bisa mendengar panggilanmu dari jarak ribuan kilo."
    Aku hanya memutar bola mata, "Kau sudah mengenalku berapa lama sih? Saat aku bilang begitu, harusnya kau tahu maksudku adalah via telepon."
    "Oooo." jawab Er tak acuh. Dia selalu begitu, menjawab antusiasmeku yang berlebihan dengan satu suara monoton yang menyebalkan.
    Pembicaraan kami berakhir. Begitu saja. Selalu begitu. Tapi, dia selalu membuatku rindu.
    ***
    Sesekali aku mendongak untuk memerhatikan cara Er menggiring bola atau menendang bola. Asal tahu saja, aku tidak suka sepak bola. Menurutku, 20 orang (aku tidak menghitung keeper) yang berlari ke sana kemari memperebutkan satu bola itu sangat kurang kerjaan. Tapi ya, di sinilah aku, menyelesaikan draf novelku sambil menemani Er latihan untuk pertandingan lusa, melawan tim fakultas hukum.
    Aku hanya tersenyum saat Er berhasil mencetak gol dan meringis saat kakinya ditekel pemain lain, membuatnya tersungkur. Tapi, permainan bola kan memang beresiko. Aku heran kenapa mereka masih mau bermain bola setelah jatuh seperti itu. Jatuh itu kan sakit.
    "Hei, Ara, bisa tolong ambilkan minumku?" Aku langsung meraih botol minum di sampingku tanpa melihat. Aku sedang sangat fokus dengan tulisanku. Saat sedang mendapat ide, aku tidak ingin diganggu. Bahkan jika itu Er yg sedang sekarat karena dehidrasi.
    "Aww!" Aku langsung mendongak saat mendengar teriakan Er. Aku baru saja melemparkan botol minumnya tanpa melihat. Mungkin aku berhasil mengenai kepala bulatnya.
    Er hanya memamerkan cengirannya. Dia hanya menggodaku. Seharusnya aku tidak tertipu. Seharusnya aku tahu Er tidak akan gagal menangkap lemparanku. Dia sangat ahli.
    "Kau di sini, tapi tidak di sini." protes Er.
    Aku sudah kembali fokus pada duniaku di laptop. Aku memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan kisah kehidupan tokoh-tokohku. "Hemmm." gumamku sebagai tanggapan.
    "Aku masih hidup, Ara." Er protes lagi. Aku bisa membayangkan ekspresinya saat mengatakan itu, jadi aku tidak perlu repot-repot mendongak untuk memberinya perhatian. "Tidak baik mendiamkan orang yang masih hidup."
    "Aku tidak diam." jawabku tanpa berpaling dari layar putih yang sudah dipenuhi 6583 kata.
    "Kau bicara pada siapa?" tanya Er.
    "Hemmm." jawabku.
    "Baiklah. Aku akan mencari teman baru saja. Yang bisa bicara." kata Er. Dari suaranya yang semakin merendah, aku tahu Er sudah pergi, kembali pada teman-teman satu timnya. Dia hanya bercanda tentang mencari teman baru itu. Aku tahu. Dia tidak mungkin bisa menemukan penggantiku. Kalau pun bisa, aku sudah menyiapkan donat beracun untuk orang itu.
    ***
    Aku benar tentang Er tidak mungkin bisa menemukan penggantiku. Buktinya, sore ini dia muncul di depan kosanku sambil menenteng tas sepatu NIKE kebanggaannya. Dia tidak akan muncul di sini jika sudah mendapat teman baru.
    "Kenapa sih kau tetap mau bermain bola?" tanyaku saat melihat kakinya yang sedikit memar. Kami sedang berjalan ke lapangan kampus. Jaraknya tidak terlalu jauh dari kosanku. Hanya, ehm, sekitar 20 menit, ditempuh dengan jalan kaki. "Memangnya kau tidak kesakitan terus-terusan terkena bola seperti itu?" Aku masih merujuk pada memar di kakinya.
    Alih-alih menjawab pertanyaanku, Er mengambil ponselnya, mencari sesuatu.
    Mataku melebar saat melihat foto yang ditunjukkan Er. "Kau menangis saat mendapat ini." katanya, mengingatkanku pada surat penolakan dari penerbit yang kuterima minggu lalu. Naskah novel yang kutulis selama dua bulan, ditolak. "Kenapa kau masih senang menulis jika penolakan membuatmu kecewa dan sakit hati?"
    Aku terdiam. Tentunya itu hal yang berbeda. Kecewa adalah rasa sakit yang abstrak. Meskipun semua rasa sakit sebenarnya abstrak. Tapi kecewa tidak merusak fisik, sedangkan luka secara harfiah bisa merusak fisik. Jadi aku bertahan dengan pendapatku. Sakit hati dan sakit fisik tidak bisa dibandingkan.
    "Aku tidak terluka secara fisik." kataku. "Kecewa hanya membuatku bersedih selama beberapa waktu, selanjutnya kekecewaan bisa menjadi pemicu untuk menghasilkan karya yang lebih baik." Aku mulai berorasi seperti seorang motivator andal.
    Er memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku celana pendeknya. "Sama saja kan?" Aku sudah akan menyergahnya ketika Er melanjutkan, "Memar memar ini adalah penyemangat dan pengingat untuk tidak melakukan kesalahan yang sama, menuntutku untuk semakin lincah menghadapi lawan-lawanku."
    Aku mengangguk setuju. "Cukup adil."
    Er hanya tersenyum dengan ujung bibirnya sebagai balasan. Satu hal lain yang kurindukan.
    ***
    Akhirnya usahaku terbayarkan. Naskahku akan segera diterbitkan. Biar kuceritakan sedikit tentang bagaimana aku memulai karirku sebagai penulis (pemula). Aku senang menulis sejak masih SMA, mungkin itu sebabnya aku dipilih sebagai sekretaris kelas. Hanya corat-coret tentang cinta monyet, guru galak atau hukuman akibat datang terlambat. Tidak ada kisah penting. Lalu, kesenanganku pada bidang tulis menulis meningkat saat aku mengikuti talkshow salah seorang penulis muda berbakat yang tampan. Sebenarnya, saat itu aku tidak tahu pemuda tampan itu adalah seorang penulis. Aku hanya melihat posternya di sebuah kafe di Kemang. Jadi, aku masuk ke kafe itu dan mencuri dengar apa yang dikatakan si tampan tentang dunia tulis menulis. Tapi, saat itu aku tidak tergerak sama sekali untuk menulis sebuah kisah. Baru dua tahun setelahnya, saat aku mengenal Er, aku mulai tertarik untuk membuat sebuah kisah. Karena orang bilang, "jika seorang penulis jatuh cinta padamu, kau tidak akan pernah mati." tentu saja. Karena seorang penulis akan selalu menyertakan orang yang dicintainya dalam setiap karya karyanya. Itu sebabnya aku ingin menjadi seorang penulis. Karena aku ingin menyertakan Er dalam setiap karyaku. Karena aku tidak ingin Er mati.
    ***
    Seperti biasanya, aku menemani Er ke lapangan kampus. Aku tidak pernah lagi membawa laptopku saat menemani Er. Aku ingin ada di kehidupan nyata saat bersamanya. Dia lebih membutuhkanku. Aku akan memberikan perhatianku sepenuhnya pada Er. Karena ternyata nasib baik mengabaikannya. Aku pikir Er akan selalu baik-baik saja. Tapi nyatanya, makhluk jahat bernama osteosarkoma merenggut aset yang selalu Er banggakan: kakinya. Tidak satu, tapi dua sekaligus. Jika ada dokter super cerdas yang bisa menciptakan kaki palsu yang bisa digunakan untuk bermain bola tanpa menyakiti Er, aku akan menemui orang itu. Meskipun jika orang seperti itu hanya hidup di kutub utara sekalipun. Aku akan menghabiskan tabunganku untuk menemui orang itu dan memohon padanya agar memberikan mahakaryanya itu pada Er. Karena aku tidak sanggup melihat Er tanpa binar bahagia di matanya. Meskipun ribuan kali Er mengatakan dia senang Tuhan tidak mengambil penglihatannya juga, sehingga dia masih bisa menonton pertandingan bola, aku tahu Er tidak baik baik saja.
    Er menjalani operasi pemotongan kakinya dua bulan yang lalu. Setelah secara tiba-tiba dia terjatuh saat sedang menggiring bola dalam pertandingan melawan fakultas teknik. Sama seperti kematian dan cinta, kau juga tidak akan tahu kapan makhluk jahat bernama osteosarkoma ini bangun dan berkata, "Hei permainanmu terlalu bagus. Bagaimana jika aku buat kakimu penyakitan agar lawan-lawanmu bisa menang?"
    Sejak awal mengenal Er, aku tahu dia menderita penyakit aneh yang membuatnya selalu terlihat pucat. Tapi senyum dan binar ceria di matanya berhasil meyakinkanku bahwa Er baik-baik saja. Dia tidak mungkin tiba-tiba mati. Dugaanku tepat. Er memang tidak tiba-tiba mati, tapi lebih parah, dia kehilangan semangat hidup. Seperti zombi. Er tetap berusaha tersenyum saat aku melucu, meskipun aku tahu senyumnya palsu. Dia hanya tidak ingin membuatku sakit hati, padahal sudah sangat jelas dia yang sakit. Sekarang Er lebih sering menghabiskan waktunya bersamaku dibanding berkumpul dengan teman-teman satu timnya. Bukannya aku keberatan atau apa, tapi itu membuatku merasa sedih. Aku tahu Er menghindari teman-temannya untuk melindungi hatinya sendiri. Dia jatuh cinta pada bola, dan mendengarkan orang-orang membicarakannya seolah-olah Er masih bisa memainkannya sama saja melukai diri sendiri. Tapi pisaunya tidak terlalu tajam. Menyakitkan tapi tidak membuat mati.
    ***
    "Catur juga olahraga loh." Suatu kali aku menyarankan Er untuk mencari cabang olahraga lain, yang tidak melibatkan kaki sebagai pemeran utamanya.
    "Matematikaku jelek." jawab Er datar. Bohong. Nilai matematikanya selalu lebih tinggi dari nilaiku. Alasan payah.
    "Aku pernah melihat orang bernain bowling sambil duduk. Kau bisa mencobanya."
    Er hanya memberiku tatapan, kau serius?
    "Oke, aku bohong. Itu mustahil. Mungkin..."
    "Sudahlah, Ara, aku baik-baik saja. Usahamu menghiburku malah membuatku sedih. Aku memang sangat payah tanpa kakiku."
    "Bukan begitu. Aku hanya tidak bisa melihatmu seperti ini terus. Kau kehilangan cahayamu."
    Er tersenyum simpul, tangan kanannya sibuk mengaduk jus alpukat yang tidak dia minum sama sekali. "Aku bukan kunang-kunang. Aku tidak punya cahaya." katanya tanpa menatapku.
    Aku hanya mendesah, "Kau tahu maksudku."
    Er berhenti mengaduk minumannya, kemudian menatapku. "Memangnya pilihan apa yang kumiliki? Tidak ada. Aku akan melakukan apa yang tersisa untukku. Aku senang masih bisa menjadi penonton."
    "Kau bodoh kalau begitu." Er tampak terkejut mendengar kata-kataku. Aku memang tidak pernah mengumpat, tapi Er benar-benar membuatku gemas. "Kau selalu punya pilihan. Jika kau memilih menyerah pada keadaan, itu sama saja seperti...seperti..." Aku tergagap, berusaha mencari perumpamaan yang masuk akal. "...seperti kau menyukai seseorang tapi tidak bisa menyentuhnya. Dan kau lebih memilih duduk diam bermeter-meter jauhnya, menonton perempuan yang kau sukai bersama orang lain. Padahal ada banyak perempuan lain yang lebih layak kau sukai, yang ada dalam jangkauanmu." Er masih terdiam, tahu aku belum selesai dengan ceramahku. "Jika aku tidak punya tangan, aku akan menulis dengan kakiku. Jika kakiku hilang juga, aku akan menulis dengan mulut. Jika Tuhan mengambil penglihatanku juga, aku akan mencari peralatan canggih yang bisa membantuku menulis. Selalu ada pilihan lain selain diam."
    Aku sedikit terengah-engah saat sudah selesai.
    "Sebagai seorang penulis best-seller, perumpamaan yang kau gunakan payah sekali." ejek Er sambil tersenyum.
    Aku sedang sangat serius, dia malah bercanda? Saat aku tidak tersenyum mendengar candaannya, Er berkata, "Kau tidak bisa bermain sepak bola dengan tangan. Itu pelanggaran."
    Aku menghela napas panjang, kemudian bangkit. "Terserah kau sajalah." kataku sebelum pergi.
    Itu kali terakhir aku berdebat dengan Er.
    ***
    Hatiku adalah pemberi harapan palsu paling brengsek sedunia. Segumpal perasaan yang memenuhinya berhasil menghasut otakku untuk menciptakan setitik harapan. Meskipun sudah sangat jelas tubuh Er terbaring lemah dengan selang-selang infus yang menyalurkan berbagai macam cairan obat ke dalam tubuhnya, hatiku masih berharap dia akan bertahan lebih lama.
    “Aku menemukan olahraga baru,” kataku suatu kali saat menemaninya di rumah sakit. “Tenis tempat tidur.” Aku mengeluarkan sebuah bet dan bola pingpong yang diikat dengan tali nilon.
    Er hanya tersenyum dengan ujung bibirnya saat melihat tingkahku. Aku akan sangat merindukannya. Aku masih terus memainkan pingpong anehku di hadapannya. Beberapa kali bola pingpongku terlempar terlalu jauh sampai mengenai wajahnya.
    “Kenapa kau tidak menyerah?” tanya Er saat melihatku bersusah payah memantulkan bola dengan bet.
    “Tidak ada dalam kamusku.” jawabku tak acuh. Bukan, karena aku tidak ingin melihat Er menyerah. Aku ingin mengembalikan binar bahagia di matanya. Aku ingin melihat kebahagiaan yang terpancar setiap kali Er menendang bola di lapangan hijau itu. Sampai detik ini, aku masih belum berhasil. Er masih memilih menyerah pada keadaannya.
    “Oooo.” jawab Er dengan nada monoton yang biasa.
    Aku berhenti memainkan bola konyolku. Aku sudah merindukannya.
    ***
    Aku terkejut saat melihat cahaya yang menyusup masuk melalui ventilasi di atas jendela kamarku. Aku kesiangan. Hal pertama yang terlintas di pikiranku adalah memastikan tidak ada panggilan tak terjawab. Hanya ada sebuah pesan suara dari Er. Aku buru-buru mengunduhnya, kemudian mengeraskan volume untuk mendengarkan pesan Er.

    Selamat pagi, pemalas. Aku tahu kau baru akan menemukan pesanku tepat satu jam dari sekarang...

    Aku tersenyum saat melihat waktu pengiriman pesan suara itu. Satu jam yang lalu.

    Aku tidak sanggup menulis pesan terlalu panjang dan aku tahu kau tidak akan mengangkat teleponku sampai satu jam ke depan, jadi aku mengirim pesan suara. Sebelumnya aku ingin memberitahumu sesuatu. Permainan pingpong dengan tali sudah ada sejak aku masih taman kanak-kanak, jadi secara teknis bukan kau penemunya. Jangan sembarangan mengaku-ngaku sebagai seorang penemu.

    Aku terkekeh mendengar ejekannya. Bahkan dengan suara parau dia masih bisa bercanda.

    Dan...kau benar tentang aku memiliki pilihan. Tapi aku juga serius tentang kau tidak bisa bermain sepak bola dengan tangan, itu pelanggaran. Aku sedih tidak bisa lagi bermain bola, tapi aku akan lebih sedih lagi jika menghabiskan sisa waktuku yang tidak terlalu lama untuk melakukan hal-hal konyol yang tidak berguna....

    Kali ini aku terdiam. Pembicaraannya mulai serius. Aku setengah berharap itu bukan pesan terakhirnya. Tidak, aku sepenuhnya berharap itu bukan pesan terakhirnya.
    Aku berhenti mendengarkan pesan suara itu dan bergegas mengganti pakaian tidurku dengan pakaian yang lebih rapi. Aku harus menemuinya. Jika Er berniat menjelaskan tentang pilihan hidup, dia harus mengatakannya secara langsung. Aku ingin mendengarkannya secara langsung.
    ***
    Aku...terpaksa mendengarkan kelanjutan pesan suara Er. Dia tidak bertahan lebih dari 30 menit sejak mengirimkan pesan itu padaku. Aku tidak pernah mendapatkan panggilan tak terjawab di malam hari, karena aku langsung mengangkatnya. Telepon dari orang tua Er saat aku dalam perjalanan ke rumah sakit. Er sudah dibawa pulang. Tanpa nyawanya.

    ...itu sebabnya aku menentukan pilihanku. Aku memilih untuk menghabiskan sisa waktuku bersamamu dan bersama orang-orang yang selalu ada untukku. Aku sudah selesai dengan bola. Tuhan mengambil kakiku, karena Dia ingin mengingatkanku betapa pentingnya kalian. Terutama kau, Ara. Terima kasih karena selalu bersabar denganku. Terima kasih karena kau memilih menjadi seorang penulis andal. Karena itu, aku akan selalu hidup.

    Dia tahu?
    ***
    Kenapa kau senang bermain bola?
    Pesan itu kukirim begitu saja pada Rudi, teman satu kantor yang sedang mendekatiku.
    Pertanyaan yang sama untukmu. Kenapa kau begitu senang menulis?
    Aku terdiam beberapa saat.

    Karena aku ingin orang-orang yang kucintai tetap hidup.