Lofa menatap cahaya jingga yang perlahan
menguasai langit Jogja sore ini. Pandangannya kembali beralih pada layar laptop
di hadapannya saat cahaya jingga itu sudah mulai membosankan. Sepi. Tidak ada
banyak pengunjung hari ini. Sepertinya Lofa harus mencari cara lain untuk
menarik perhatian orang-orang untuk mengunjungi cafenya. Tante Ratna, pemilik
toko bunga di sebelah cafe-nya bahkan belum pernah sekali pun mengunjungi Cafe
Lofa. Padahal Lofa sudah berkali-kali setor muka ke toko bunganya. Pura-pura
membeli tiga empat tangkai bunga lili untuk dipajang di dekat meja bar. Pada
akhirnya bunga itu hanya merusak pemandangan karena tidak sesuai dengan tema
interior cafe.
Lingkaran kecil di layar laptopnya terus saja
berputar-putar dengan sangat lambat. Sudah hampir lima belas menit Lofa
menunggu dan halaman website yang
ingin dilihatnya belum juga terbuka. Internet
siput, umpat Lofa dalam hati. Akhirnya halaman website itu terbuka tepat saat seseorang melangkah memasuki cafe.
Itu Agi. Pakaiannya rapi. Dia baru saja wawancara kerja, lagi, hari ini.
Lofa menyangga kepalanya dengan sebelah tangan,
memandangi Agi yang melangkah masuk tanpa minat. Setelah selesai dengan Agi,
Lofa kembali pada layar laptopnya. Membaca dengan seksama informasi yang ada
pada website itu. Gadis itu hanya melirik
sekilas saat Agi masuk dan melewatinya, menuju mesin pembuat kopi. Mengambil
cangkir dan menuangkan kopi seperti di rumah sendiri.
“Kau harus membayar, tahu.” Kata Lofa tanpa
berpaling dari kesibukannya.
Agi mengabaikannya. Pemuda itu menyesap kopinya
beberapa kali kemudian meletakkan cangkirnya yang setengah kosong di atas meja
bar. Agi berdiri di samping Lofa. Memandangi layar laptop dan membaca informasi
yang sedang dibaca Lofa.
“Registered
Dietitian?” Tanya Agi. “Kau mau jadi konsultan?”
Lofa mengangkat bahunya dengan malas. “Hanya
iseng.”
“Seharusnya kau merencanakan semuanya dengan
matang sebelum mengambil keputusan.”
Lofa tahu Agi sedang menyindirnya. Keputusan
membuka cafe memang sebuah keputusan impulsif. Meskipun memiliki cafe sendiri adalah
salah satu impian Lofa, tapi gadis itu tidak pernah berpikiran untuk
benar-benar mewujudkannya. Dia hanya kesal karena ditolak oleh beberapa rumah
sakit incarannya. Lofa bisa saja langsung mengikuti tes untuk masuk pendidikan
profesi saat dia lulus, tapi saat itu, ide itu sama sekali tidak terpikirkan
olehnya.
Pembicaraan ini mengingatkan Lofa pada sesuatu,
“Tadi Adriana mampir.” Katanya singkat. Lofa penasaran apakah Adriana sudah
mengajak Agi makan malam besok. Ke mana Adriana mengajaknya? Apa tempat itu
menyediakan makanan pedas seperti yang Lofa sarankan?
Lofa hanya mengamati gerak-gerik Agi dengan
sudut matanya. Pemuda itu terlihat biasa saja.
“Dia bilang kau mendapat tawaran kerja di
sebuah rumah sakit.”
Agi memainkan cangkir kopinya, “Tidak perlu
dibahas. Aku sudah menolaknya.”
Agi menolak TAWARAN KERJA?! Untuk yang satu
ini, Lofa benar-benar tidak mengerti.
“Kau seharusnya memikirkannya matang-matang.”
Lofa mengutip saran Agi sebelumnya.
“Aku sudah
memikirkannya matang-matang. Dan aku memutuskan untuk menolaknya.”
Lofa memutar posisi duduknya agar bisa menatap
Agi lebih jelas. Pemuda itu membungkuk di atas meja bar, menumpukan beban
tubuhnya pada dua lengan. Tangan kanannya masih sibuk memutar-mutar cangkir
kopi. Lofa merasa sedikit kesal saat menyadari Agi dan Adriana memiliki
kebiasaan yang sama. Lofa mengalihkan perhatiannya pada papan hitam kecil yang
ada di balik tubuh Agi, setelah pikirannya tenang, Lofa kembali menatap
sahabatnya itu.
“Kenapa kau tidak memberitahuku?” Lofa
terdengar seperti seseorang yang sangat posesif. Lofa bukannya ingin tahu
tentang segala hal dalam kehidupan Agi. Tapi pemuda itu selalu memberitahunya
tentang hal-hal kecil, kenapa dia malah menyembunyikan berita besar seperti
ini. Yang membuat Lofa jengkel adalah Agi lebih memilih memberitahu Adriana
daripada dirinya.
“Aku pasti akan meyakinkanmu untuk menerima
tawaran itu.” Lofa mengangkat bahunya sekilas.
Agi menunduk, “Justru karena aku tahu kau akan
melakukan itu, makanya aku tidak memberitahumu.”
“Kau lebih senang menjadi pengangguran ya?”
Lofa masih belum bisa mengikuti jalan pikiran Agi yang seperti labirin. Tepat
di saat Lofa mengira Agi berpikir tentang sesuatu, pemuda itu malah melakukan
yang sebaliknya. Dia sulit ditebak.
Agi menegakkan tubunya, tangannya berhenti
memainkan cangkir kopi. “Tidak ada salahnya berusaha lebih keras untuk sesuatu
yang kau senangi daripada melakukan hal yang mudah tapi tidak kau senangi, iya
kan?”
Lofa hanya mendengus kesal saat mendengar jawaban
Agi. Senjata makan tuan. Itu kata-kata yang selalu dikatakan Lofa setiap kali gagal
melakukan sesuatu. Sekarang Agi menggunakan kalimatnya sebagai petuah.
Terdengar suara beep dua kali. Agi terkesiap kemudian mengeluarkan sesuatu dari
dalam saku celananya. Ponsel. Ada pesan masuk. Agi membaca pesan di layar
ponselnya sambil tersenyum sekilas. Lofa penasaran apa pemuda itu pernah
tersenyum saat membaca pesan darinya.
“Siapa? Kau terlihat senang.” Sisi posesif itu
kembali lagi.
Setelah mengetik sesuatu, Agi memasukkan
ponselnya kembali, menggeleng untuk menjawab pertanyaan Lofa. Itu Adriana. Entah
kenapa Lofa merasa sangat yakin itu Adriana. Mengajak Agi makan malam besok.
Lofa langsung menoleh ke arah pintu saat
melihat ada beberapa orang yang berdiri di depan papan menu. Setelah berunding
beberapa saat, rombongan empat orang itu masuk ke dalam cafe. Tanpa basa-basi
mereka berjalan menuju ruang baca. Lofa buru-buru mengambil buku catatan kecil
dan sebuah pulpen untuk mencatat pesanan mereka. Satu-satunya lelaki yang ada
dalam rombongan itu sudah mengeluarkan laptop saat Lofa mencapai tempat duduk
mereka.
Gadis itu menyiapkan semua pesanan dengan cekatan.
Diam-diam memandangi pungung Agi yang berdiri tegap di dekat meja bar seperti
patung selamat datang. Lofa terkesiap saat Agi tiba-tiba bergerak. Gadis itu
buru-buru menunduk agar tidak ketahuan baru saja memandangi Agi dari belakang.
Pemuda itu mengambil sebuah apron kemudian meraih buku catatan kecil dan sebuah
pulpen. Lofa tersenyum saat Agi melakukan itu. Rutinitas itu sudah biasa
dilakukan Agi selama seminggu terakhir. Membantu Lofa tiap malam karena ada
lebih banyak pengunjung dari yang mampu ditangani Lofa.
Gadis itu tersenyum puas saat semua
pengunjungnya malam ini sudah mendapat pesanan mereka tepat waktu. Perhatian
Lofa kembali tertuju pada pintu cafe saat ada dua orang yang masuk. Itu Dhanny,
bersama seorang perempuan berambut panjang yang cantik. Kali ini Dhanny tidak
duduk di kursi tinggi, pemuda itu langsung mengarahkan perempuan yang
bersamanya untuk duduk di dekat jendela. Itu
pacarnya, pikir Lofa sangat yakin.
Lofa buru-buru menghampiri mereka. Dhanny
tersenyum saat Lofa mendekat, membuat perempuan yang bersamanya menoleh. Dhanny
menelengkan kepalanya ke arah Lofa untuk mengenalkannya pada perempuan itu
sebagai pemilik cafe. Rasanya sangat istimewa mendengar istilah itu, pemilik cafe.
“Lofa.” Lofa mengucapkan namanya sekaligus
mengulurkan tangan.
Perempuan di hadapannya terlihat berbinar-binar
kemudian menyambut uluran tangan Lofa, “Nura.” Lofa sudah akan melepaskan
jabatan tangannya saat perempuan itu menambahkan informasi kecil tentang
identitasnya. “Sepupu Adriana. Kau mengenalnya?”
Tentu saja aku mengenalnya, pikir Lofa kesal. Senyum di wajahnya luntur sedikit demi
sedikit. Dunia ini sempit sekali. Mengapa Lofa merasa semua orang ada
hubungannya dengan Adriana.
Lofa mengangkat kembali sudut-sudut bibirnya,
membentuk senyuman palsu. “Tentu saja. Rancangan interiornya sangat hebat.” Tidak
ada salahnya menyenangkan hati sepupu saingan terbesarnya. Nura tidak ada
hubungannya dengan beban batin yang sedang ditanggung Lofa.
“Kalian mau pesan sesuatu?” Lofa buru-buru
mengalihkan pembicaraan sebelum Nura mulai membicarakan sepupunya lagi.
***
Lofa melihat cincin perak yang melingkar di
jari manis Nura. Teringat pada cerita Dhanny bahwa gadis itu selalu menyentuh
jari manisnya seolah-olah ada cincin
di sana. Lofa tersenyum saat menyadari sesuatu. Setelah membungkuk sekilas,
Lofa kembali ke balik meja bar. Meninggalkan mereka untuk menikmati pesanannya.
Dhanny berhasil menemukan cara untuk menyelesaikan
masalahnya dengan Nura. Apa kata-kata pamungkas Lofa waktu itu? Jangan perlakukan dia seperti seorang
pembaca pikiran, katanya? Kali ini gadis itu benar-benar merasa seperti
seorang motivator melompong. Dia sendiri selalu memperlakukan Agi seolah-olah
pemuda itu bisa membaca pikirannya. Tahu apa yang Lofa mau tanpa perlu
mengatakannya. Mendadak kesal jika Agi tidak juga mengerti apa maunya. Tapi toh
Agi begitu sabar menghadapinya. Begitu sabar menangani sahabatnya yang banyak
mau. Alasan itu juga yang membuat Lofa mengkhianati persahabatan mereka. Diam-diam
menyirami benih perasaan itu sampai akhirnya tumbuh subur. Lofa tahu
perasaannya ini akan membawa konsekuensi yang besar jika pada akhirnya benih
itu tidak berbunga. Tapi saat ini, Lofa tidak begitu peduli.
Bahkan setelah Lofa mendapat tanda-tanda bunga
itu tidak akan pernah mekar, gadis itu tetap tidak peduli.
0 komentar:
Post a Comment