Rss Feed
  1. Cafe Lofa : Bunga Itu, Tumbuhkah?

    Friday, January 17, 2014


    Lofa menatap cahaya jingga yang perlahan menguasai langit Jogja sore ini. Pandangannya kembali beralih pada layar laptop di hadapannya saat cahaya jingga itu sudah mulai membosankan. Sepi. Tidak ada banyak pengunjung hari ini. Sepertinya Lofa harus mencari cara lain untuk menarik perhatian orang-orang untuk mengunjungi cafenya. Tante Ratna, pemilik toko bunga di sebelah cafe-nya bahkan belum pernah sekali pun mengunjungi Cafe Lofa. Padahal Lofa sudah berkali-kali setor muka ke toko bunganya. Pura-pura membeli tiga empat tangkai bunga lili untuk dipajang di dekat meja bar. Pada akhirnya bunga itu hanya merusak pemandangan karena tidak sesuai dengan tema interior cafe.
    Lingkaran kecil di layar laptopnya terus saja berputar-putar dengan sangat lambat. Sudah hampir lima belas menit Lofa menunggu dan halaman website yang ingin dilihatnya belum juga terbuka. Internet siput, umpat Lofa dalam hati. Akhirnya halaman website itu terbuka tepat saat seseorang melangkah memasuki cafe. Itu Agi. Pakaiannya rapi. Dia baru saja wawancara kerja, lagi, hari ini.
    Lofa menyangga kepalanya dengan sebelah tangan, memandangi Agi yang melangkah masuk tanpa minat. Setelah selesai dengan Agi, Lofa kembali pada layar laptopnya. Membaca dengan seksama informasi yang ada pada website itu. Gadis itu hanya melirik sekilas saat Agi masuk dan melewatinya, menuju mesin pembuat kopi. Mengambil cangkir dan menuangkan kopi seperti di rumah sendiri.
    “Kau harus membayar, tahu.” Kata Lofa tanpa berpaling dari kesibukannya.
    Agi mengabaikannya. Pemuda itu menyesap kopinya beberapa kali kemudian meletakkan cangkirnya yang setengah kosong di atas meja bar. Agi berdiri di samping Lofa. Memandangi layar laptop dan membaca informasi yang sedang dibaca Lofa.
    Registered Dietitian?” Tanya Agi. “Kau mau jadi konsultan?”
    Lofa mengangkat bahunya dengan malas. “Hanya iseng.”
    “Seharusnya kau merencanakan semuanya dengan matang sebelum mengambil keputusan.”
    Lofa tahu Agi sedang menyindirnya. Keputusan membuka cafe memang sebuah keputusan impulsif. Meskipun memiliki cafe sendiri adalah salah satu impian Lofa, tapi gadis itu tidak pernah berpikiran untuk benar-benar mewujudkannya. Dia hanya kesal karena ditolak oleh beberapa rumah sakit incarannya. Lofa bisa saja langsung mengikuti tes untuk masuk pendidikan profesi saat dia lulus, tapi saat itu, ide itu sama sekali tidak terpikirkan olehnya.
    Pembicaraan ini mengingatkan Lofa pada sesuatu, “Tadi Adriana mampir.” Katanya singkat. Lofa penasaran apakah Adriana sudah mengajak Agi makan malam besok. Ke mana Adriana mengajaknya? Apa tempat itu menyediakan makanan pedas seperti yang Lofa sarankan?
    Lofa hanya mengamati gerak-gerik Agi dengan sudut matanya. Pemuda itu terlihat biasa saja.
    “Dia bilang kau mendapat tawaran kerja di sebuah rumah sakit.”
    Agi memainkan cangkir kopinya, “Tidak perlu dibahas. Aku sudah menolaknya.”
    Agi menolak TAWARAN KERJA?! Untuk yang satu ini, Lofa benar-benar tidak mengerti.
    “Kau seharusnya memikirkannya matang-matang.” Lofa mengutip saran Agi sebelumnya.
    “Aku sudah memikirkannya matang-matang. Dan aku memutuskan untuk menolaknya.”
    Lofa memutar posisi duduknya agar bisa menatap Agi lebih jelas. Pemuda itu membungkuk di atas meja bar, menumpukan beban tubuhnya pada dua lengan. Tangan kanannya masih sibuk memutar-mutar cangkir kopi. Lofa merasa sedikit kesal saat menyadari Agi dan Adriana memiliki kebiasaan yang sama. Lofa mengalihkan perhatiannya pada papan hitam kecil yang ada di balik tubuh Agi, setelah pikirannya tenang, Lofa kembali menatap sahabatnya itu.
    “Kenapa kau tidak memberitahuku?” Lofa terdengar seperti seseorang yang sangat posesif. Lofa bukannya ingin tahu tentang segala hal dalam kehidupan Agi. Tapi pemuda itu selalu memberitahunya tentang hal-hal kecil, kenapa dia malah menyembunyikan berita besar seperti ini. Yang membuat Lofa jengkel adalah Agi lebih memilih memberitahu Adriana daripada dirinya.
    “Aku pasti akan meyakinkanmu untuk menerima tawaran itu.” Lofa mengangkat bahunya sekilas.
    Agi menunduk, “Justru karena aku tahu kau akan melakukan itu, makanya aku tidak memberitahumu.”
    “Kau lebih senang menjadi pengangguran ya?” Lofa masih belum bisa mengikuti jalan pikiran Agi yang seperti labirin. Tepat di saat Lofa mengira Agi berpikir tentang sesuatu, pemuda itu malah melakukan yang sebaliknya. Dia sulit ditebak.
    Agi menegakkan tubunya, tangannya berhenti memainkan cangkir kopi. “Tidak ada salahnya berusaha lebih keras untuk sesuatu yang kau senangi daripada melakukan hal yang mudah tapi tidak kau senangi, iya kan?”
    Lofa hanya mendengus kesal saat mendengar jawaban Agi. Senjata makan tuan. Itu kata-kata yang selalu dikatakan Lofa setiap kali gagal melakukan sesuatu. Sekarang Agi menggunakan kalimatnya sebagai petuah.
    Terdengar suara beep dua kali. Agi terkesiap kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celananya. Ponsel. Ada pesan masuk. Agi membaca pesan di layar ponselnya sambil tersenyum sekilas. Lofa penasaran apa pemuda itu pernah tersenyum saat membaca pesan darinya.
    “Siapa? Kau terlihat senang.” Sisi posesif itu kembali lagi.
    Setelah mengetik sesuatu, Agi memasukkan ponselnya kembali, menggeleng untuk menjawab pertanyaan Lofa. Itu Adriana. Entah kenapa Lofa merasa sangat yakin itu Adriana. Mengajak Agi makan malam besok.
    Lofa langsung menoleh ke arah pintu saat melihat ada beberapa orang yang berdiri di depan papan menu. Setelah berunding beberapa saat, rombongan empat orang itu masuk ke dalam cafe. Tanpa basa-basi mereka berjalan menuju ruang baca. Lofa buru-buru mengambil buku catatan kecil dan sebuah pulpen untuk mencatat pesanan mereka. Satu-satunya lelaki yang ada dalam rombongan itu sudah mengeluarkan laptop saat Lofa mencapai tempat duduk mereka.
    Gadis itu menyiapkan semua pesanan dengan cekatan. Diam-diam memandangi pungung Agi yang berdiri tegap di dekat meja bar seperti patung selamat datang. Lofa terkesiap saat Agi tiba-tiba bergerak. Gadis itu buru-buru menunduk agar tidak ketahuan baru saja memandangi Agi dari belakang. Pemuda itu mengambil sebuah apron kemudian meraih buku catatan kecil dan sebuah pulpen. Lofa tersenyum saat Agi melakukan itu. Rutinitas itu sudah biasa dilakukan Agi selama seminggu terakhir. Membantu Lofa tiap malam karena ada lebih banyak pengunjung dari yang mampu ditangani Lofa.
    Gadis itu tersenyum puas saat semua pengunjungnya malam ini sudah mendapat pesanan mereka tepat waktu. Perhatian Lofa kembali tertuju pada pintu cafe saat ada dua orang yang masuk. Itu Dhanny, bersama seorang perempuan berambut panjang yang cantik. Kali ini Dhanny tidak duduk di kursi tinggi, pemuda itu langsung mengarahkan perempuan yang bersamanya untuk duduk di dekat jendela. Itu pacarnya, pikir Lofa sangat yakin.
    Lofa buru-buru menghampiri mereka. Dhanny tersenyum saat Lofa mendekat, membuat perempuan yang bersamanya menoleh. Dhanny menelengkan kepalanya ke arah Lofa untuk mengenalkannya pada perempuan itu sebagai pemilik cafe. Rasanya sangat istimewa mendengar istilah itu, pemilik cafe.
    “Lofa.” Lofa mengucapkan namanya sekaligus mengulurkan tangan.
    Perempuan di hadapannya terlihat berbinar-binar kemudian menyambut uluran tangan Lofa, “Nura.” Lofa sudah akan melepaskan jabatan tangannya saat perempuan itu menambahkan informasi kecil tentang identitasnya. “Sepupu Adriana. Kau mengenalnya?”
    Tentu saja aku mengenalnya, pikir Lofa kesal. Senyum di wajahnya luntur sedikit demi sedikit. Dunia ini sempit sekali. Mengapa Lofa merasa semua orang ada hubungannya dengan Adriana.
    Lofa mengangkat kembali sudut-sudut bibirnya, membentuk senyuman palsu. “Tentu saja. Rancangan interiornya sangat hebat.” Tidak ada salahnya menyenangkan hati sepupu saingan terbesarnya. Nura tidak ada hubungannya dengan beban batin yang sedang ditanggung Lofa.
    “Kalian mau pesan sesuatu?” Lofa buru-buru mengalihkan pembicaraan sebelum Nura mulai membicarakan sepupunya lagi.
    ***
    Lofa melihat cincin perak yang melingkar di jari manis Nura. Teringat pada cerita Dhanny bahwa gadis itu selalu menyentuh jari manisnya seolah-olah ada cincin di sana. Lofa tersenyum saat menyadari sesuatu. Setelah membungkuk sekilas, Lofa kembali ke balik meja bar. Meninggalkan mereka untuk menikmati pesanannya.
    Dhanny berhasil menemukan cara untuk menyelesaikan masalahnya dengan Nura. Apa kata-kata pamungkas Lofa waktu itu? Jangan perlakukan dia seperti seorang pembaca pikiran, katanya? Kali ini gadis itu benar-benar merasa seperti seorang motivator melompong. Dia sendiri selalu memperlakukan Agi seolah-olah pemuda itu bisa membaca pikirannya. Tahu apa yang Lofa mau tanpa perlu mengatakannya. Mendadak kesal jika Agi tidak juga mengerti apa maunya. Tapi toh Agi begitu sabar menghadapinya. Begitu sabar menangani sahabatnya yang banyak mau. Alasan itu juga yang membuat Lofa mengkhianati persahabatan mereka. Diam-diam menyirami benih perasaan itu sampai akhirnya tumbuh subur. Lofa tahu perasaannya ini akan membawa konsekuensi yang besar jika pada akhirnya benih itu tidak berbunga. Tapi saat ini, Lofa tidak begitu peduli.
    Bahkan setelah Lofa mendapat tanda-tanda bunga itu tidak akan pernah mekar, gadis itu tetap tidak peduli.

  2. 0 komentar:

    Post a Comment