Rss Feed
  1. If You Could See me Now (Dad)

    Tuesday, November 12, 2013




    As always, this story just inspired by The Script's song "If You Could See Me Now"
    this is a present for the father in all over the world :)
    Happy Father's Day


    Suara riuh tepuk tangan menarikku kembali ke tempat aku berdiri sekarang. Sebuah panggung megah dengan sorotan lampu berwarna-warni yang mengarah tepat ke arahku. Aku mengangkat tangan dan meneriakkan kata-kata terima kasih untuk menghilangkan lamunan yang baru saja menguasaiku. Aku mengedarkan pandanganku ke seisi gedung. Melihat satu per satu wajah di hadapanku. Mereka terlihat sangat bersemangat, dan tak kenal lelah. Sebagaian besar dari mereka mengacungkan papan atau kertas bertuliskan namaku. Pandanganku menyapu satu persatu wajah asing itu, berharap bisa menemukan orang yang aku cari. Seseorang yang sangat aku harapkan kehadirannya.
    ***
    Aku menatap pecahan gelas itu dengan mata nanar. Pandanganku kabur karena berair. Telapak tanganku terasa panas dan dan perih karena memukul meja dan menghempaskan gelas itu ke lantai. Ayah masih berdiri di hadapanku, tanpa ekspresi.
    “Apa ayah tidak bisa percaya padaku?”
    “Tidak jika kau terus bersikap kekanakan seperti ini.”
    Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya lagi dengan frustasi. Pembicaraan konyol ini sudah berlangsung selama hampir dua jam. Aku hanya memohon pada ayah agar mengijinkanku memilih jurusan seni daripada jurusan marketing yang disarankannya.
    “Aku akan berhasil.”
    “Ya, Ayah tahu itu. Ayah tahu kau akan berusaha sekuat tenaga untuk berhasil di bidang itu, tapi kau tidak bisa mengandalkan hal itu selamanya.”
    “Aku tidak bisa melakukan sesuatu yang tidak aku sukai.”
    “Kau lebih baik dari itu.” katanya lantang kemudian meninggalkanku.
    Ibu hanya berdiri di sudut ruangan tanpa mengatakan apa pun. Ibu hanya menatapku dengan tatapan iba yang membuat dadaku sesak. Aku membutuhkan lebih dari sekedar tatapan itu.
    ***
    Alunan musik mulai terdengar mengiringi suara teriakan yang memenuhi gedung megah ini. Aku meraih stand mic yang ada di hadapanku dan melepas microphone-nya. Mataku terpejam saat berusaha menghayati cerita dalam lagu yang akan aku bawakan. Cerita tentang sebuah kekecewaan dan penyesalan. Kelebatan bayangan itu menyerangku tepat saat aku mulai bersuara. Wajahnya kembali menguasai pikiranku.
    ***
    “Kau harus berhenti merokok,”
    Aku langsung menoleh saat mendengar suara berat itu di belakangku. Ayah muncul dari balik tirai yang memisahkan dapur dengan teras belakang.
    “Aku ingin melihatmu berhasil, kau tahu.”
    Aku buru-buru mematikan rokok yang sedang aku hisap, kemudian bergeser agar ayah bisa duduk di sampingku.
    “Ayah masih sangat sehat, aku yakin Ayah akan melihatku sukses suatu hari nanti.”
    “Itu tidak akan terjadi jika kau mati lebih dulu.”
    Aku langsung menoleh ke arahnya karena kaget mendengar kata-katanya yang datar dan menusuk. Aku melirik rokokku yang sudah tergeletak di dekat kakiku. Butuh waktu untuk menghilangkan kebiasaan ini.
    “Bagaimana kuliahmu?” ayah bertanya sebelum menyesap kopi hitamnya.
    Aku membayangkan kelas marketing yang harus aku ikuti setiap hari. Membosankan. Hanya membahas tentang untung rugi finansial yang memuakkan.
    “Baik.” Jawabku singkat, berharap ayah tidak akan bertanya lebih jauh tentang hal membosankan itu.
    “Bagaimana musikmu?”
    Lagi-lagi ayah membuatku kaget. Ayah tertawa ringan saat meletakkan cangkir kopinya, “kau pikir ayah tidak peduli? Ayah senang kau tertarik pada musik.”
    Aku hanya menatapnya, mendengarkan.
    “Seorang lelaki membutuhkan musik sebagai tempat pelarian, kau tahu? Agar mentalmu tetap stabil.” Ayah menepuk bahuku beberapa kali sebelum bangkit kemudian kembali masuk ke dalam.
    Aku hanya tersenyum sekilas saat ayah sudah masuk ke dalam.
    ***
    Aku mengucapkan lirik demi lirik dengan penuh penghayatan. Mataku masih terus menjelajahi lautan manusia di hadapanku. Berharap, hanya berharap aku bisa melihat wajah itu. Aku menemukan wajah familiar itu di sana. Baris ketiga dari belakang. Aku tersenyum saat melihat wajah familiar itu tersenyum. Dadaku mendadak sesak saat melihat kursi di sebelahnya yang kosong.
    ***
    Aku membawa dua lembar kertas yang membuatku tidak bisa berhenti tersenyum hari ini. Aku sudah merangkai kata untuk menyampaikan berita menakjubkan ini selama perjalanan pulang ke rumah. Mataku tidak bisa beralih dari dua lembar kertas itu selama berada di bus kota. Tangan kananku memegang lembaran transkrip nilai semester ini yang menunjukkan hasil belajarku yang sempurna. Tangan kiriku memegang kertas kontrak yang ditawarkan perusahaan rekaman pada band indie yang aku bentuk.
    Aku menyelipkan kedua kertas itu ke dalam tas ransel sebelum turun dari bus. Aku harus memberikan kejutan ini pada ayah. Aku berlari dari halte menuju rumah yang berjarak cukup dekat. Aku berusaha mengatur nafasku sebelum membuka pintu. Aku melangkah masuk setelah nafasku kembali teratur dan tenang.
    Suasana di dalam rumah begitu sepi. Tidak seperti biasanya. Terdengar suara isakan dari dalam kamar ayah dan ibu. Aku langsung mempercepat langkahku dan masuk ke dalam kamar itu tanpa permisi. Ibu duduk di samping tempat tidur, tangannya menggenggam erat tangan ayah yang terbaring di tempat tidur. Aku hanya berdiri diam di dekat pintu, memperhatikan wajah ayah yang terlihat sangat damai. Matanya terpejam, bibirnya memucat. Aku memperhatikannya dengan lebih teliti, dadanya tidak bergerak naik turun seperti biasa. Ibu melepaskan genggaman tangannya dari tangan ayah kemudian mengulurkan tangannya padaku. Aku buru-buru melangkah maju dan meraih tangan ibu, duduk di dekatnya.
    “Serangan jantungnya begitu mendadak,”
    Hanya satu kalimat. Tapi aku tahu arti dari kalimat itu dengan begitu baik. Ayah pergi. Setelah perjuangannya selama ini, ayah memutuskan untuk pergi. Ayah benar-benar pergi sebelum aku bisa mewujudkan keinginannya. Aku tidak memiliki kesempatan untuk menunjukkan keberhasilanku padanya.
    ***
    Bahkan suara riuh para penonton yang mengikuti nyanyianku tidak mampu meredam kenangan akan suaranya yang tegas dan tenang dalam pikiranku. Aku berharap masih bisa mendengar suaranya saat mengingatkanku apa yang harus aku lakukan, apa yang tidak boleh aku lakukan. Bahkan aku sangat merindukan saat ayah menyuruhku berhenti merokok. Rasanya ingin sekali aku merokok sangat banyak dalam satu waktu, berharap ayah akan muncul untuk mengingatkanku atau bahkan memarahiku. Aku hanya ingin ayah ada di sini, meskipun hanya satu menit, satu detik. Aku hanya ingin ayah melihatku sekarang. Aku ingin ayah mendengar lagu-laguku. Tapi nyatanya ayah tidak di sini. Tidak peduli seberapa lama aku menatap kursi itu, kursi di samping ibu tetap saja kosong. Tidak akan pernah terisi.

  2. 0 komentar:

    Post a Comment