this is a present for the father in all over the world :)
Happy Father's Day
Suara riuh tepuk tangan menarikku kembali ke tempat aku berdiri
sekarang. Sebuah panggung megah dengan sorotan lampu berwarna-warni yang
mengarah tepat ke arahku. Aku mengangkat tangan dan meneriakkan kata-kata
terima kasih untuk menghilangkan lamunan yang baru saja menguasaiku. Aku mengedarkan
pandanganku ke seisi gedung. Melihat satu per satu wajah di hadapanku. Mereka terlihat
sangat bersemangat, dan tak kenal lelah. Sebagaian besar dari mereka
mengacungkan papan atau kertas bertuliskan namaku. Pandanganku menyapu satu
persatu wajah asing itu, berharap bisa menemukan orang yang aku cari. Seseorang
yang sangat aku harapkan kehadirannya.
***
Aku menatap pecahan gelas itu dengan mata nanar. Pandanganku kabur
karena berair. Telapak tanganku terasa panas dan dan perih karena memukul meja
dan menghempaskan gelas itu ke lantai. Ayah masih berdiri di hadapanku, tanpa
ekspresi.
“Apa ayah tidak bisa percaya padaku?”
“Tidak jika kau terus bersikap kekanakan seperti ini.”
Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya lagi dengan
frustasi. Pembicaraan konyol ini sudah berlangsung selama hampir dua jam. Aku hanya
memohon pada ayah agar mengijinkanku memilih jurusan seni daripada jurusan marketing yang disarankannya.
“Aku akan berhasil.”
“Ya, Ayah tahu itu. Ayah tahu kau akan berusaha sekuat tenaga
untuk berhasil di bidang itu, tapi kau tidak bisa mengandalkan hal itu
selamanya.”
“Aku tidak bisa melakukan sesuatu yang tidak aku sukai.”
“Kau lebih baik dari itu.” katanya lantang kemudian
meninggalkanku.
Ibu hanya berdiri di sudut ruangan tanpa mengatakan apa pun. Ibu hanya
menatapku dengan tatapan iba yang membuat dadaku sesak. Aku membutuhkan lebih
dari sekedar tatapan itu.
***
Alunan musik mulai terdengar mengiringi suara teriakan yang
memenuhi gedung megah ini. Aku meraih stand
mic yang ada di hadapanku dan melepas microphone-nya.
Mataku terpejam saat berusaha menghayati cerita dalam lagu yang akan aku
bawakan. Cerita tentang sebuah kekecewaan dan penyesalan. Kelebatan bayangan
itu menyerangku tepat saat aku mulai bersuara. Wajahnya kembali menguasai
pikiranku.
***
“Kau harus berhenti merokok,”
Aku langsung menoleh saat mendengar suara berat itu di belakangku.
Ayah muncul dari balik tirai yang memisahkan dapur dengan teras belakang.
“Aku ingin melihatmu berhasil, kau tahu.”
Aku buru-buru mematikan rokok yang sedang aku hisap, kemudian
bergeser agar ayah bisa duduk di sampingku.
“Ayah masih sangat sehat, aku yakin Ayah akan melihatku sukses
suatu hari nanti.”
“Itu tidak akan terjadi jika kau mati lebih dulu.”
Aku langsung menoleh ke arahnya karena kaget mendengar
kata-katanya yang datar dan menusuk. Aku melirik rokokku yang sudah tergeletak
di dekat kakiku. Butuh waktu untuk menghilangkan kebiasaan ini.
“Bagaimana kuliahmu?” ayah bertanya sebelum menyesap kopi
hitamnya.
Aku membayangkan kelas marketing
yang harus aku ikuti setiap hari. Membosankan. Hanya membahas tentang untung
rugi finansial yang memuakkan.
“Baik.” Jawabku singkat, berharap ayah tidak akan bertanya lebih
jauh tentang hal membosankan itu.
“Bagaimana musikmu?”
Lagi-lagi ayah membuatku kaget. Ayah tertawa ringan saat
meletakkan cangkir kopinya, “kau pikir ayah tidak peduli? Ayah senang kau
tertarik pada musik.”
Aku hanya menatapnya, mendengarkan.
“Seorang lelaki membutuhkan musik sebagai tempat pelarian, kau
tahu? Agar mentalmu tetap stabil.” Ayah menepuk bahuku beberapa kali sebelum
bangkit kemudian kembali masuk ke dalam.
Aku hanya tersenyum sekilas saat ayah sudah masuk ke dalam.
***
Aku mengucapkan lirik demi lirik dengan penuh penghayatan. Mataku masih
terus menjelajahi lautan manusia di hadapanku. Berharap, hanya berharap aku
bisa melihat wajah itu. Aku menemukan wajah familiar itu di sana. Baris ketiga
dari belakang. Aku tersenyum saat melihat wajah familiar itu tersenyum. Dadaku mendadak
sesak saat melihat kursi di sebelahnya yang kosong.
***
Aku membawa dua lembar kertas yang membuatku tidak bisa berhenti
tersenyum hari ini. Aku sudah merangkai kata untuk menyampaikan berita
menakjubkan ini selama perjalanan pulang ke rumah. Mataku tidak bisa beralih
dari dua lembar kertas itu selama berada di bus kota. Tangan kananku memegang
lembaran transkrip nilai semester ini yang menunjukkan hasil belajarku yang sempurna.
Tangan kiriku memegang kertas kontrak yang ditawarkan perusahaan rekaman pada
band indie yang aku bentuk.
Aku menyelipkan kedua kertas itu ke dalam tas ransel sebelum turun
dari bus. Aku harus memberikan kejutan ini pada ayah. Aku berlari dari halte
menuju rumah yang berjarak cukup dekat. Aku berusaha mengatur nafasku sebelum
membuka pintu. Aku melangkah masuk setelah nafasku kembali teratur dan tenang.
Suasana di dalam rumah begitu sepi. Tidak seperti biasanya. Terdengar
suara isakan dari dalam kamar ayah dan ibu. Aku langsung mempercepat langkahku
dan masuk ke dalam kamar itu tanpa permisi. Ibu duduk di samping tempat tidur,
tangannya menggenggam erat tangan ayah yang terbaring di tempat tidur. Aku hanya
berdiri diam di dekat pintu, memperhatikan wajah ayah yang terlihat sangat
damai. Matanya terpejam, bibirnya memucat. Aku memperhatikannya dengan lebih
teliti, dadanya tidak bergerak naik turun seperti biasa. Ibu melepaskan
genggaman tangannya dari tangan ayah kemudian mengulurkan tangannya padaku. Aku
buru-buru melangkah maju dan meraih tangan ibu, duduk di dekatnya.
“Serangan jantungnya begitu mendadak,”
Hanya satu kalimat. Tapi aku tahu arti dari kalimat itu dengan
begitu baik. Ayah pergi. Setelah perjuangannya selama ini, ayah memutuskan
untuk pergi. Ayah benar-benar pergi sebelum aku bisa mewujudkan keinginannya. Aku
tidak memiliki kesempatan untuk menunjukkan keberhasilanku padanya.
***
Bahkan suara riuh para penonton yang mengikuti nyanyianku tidak
mampu meredam kenangan akan suaranya yang tegas dan tenang dalam pikiranku. Aku
berharap masih bisa mendengar suaranya saat mengingatkanku apa yang harus aku
lakukan, apa yang tidak boleh aku lakukan. Bahkan aku sangat merindukan saat
ayah menyuruhku berhenti merokok. Rasanya ingin sekali aku merokok sangat
banyak dalam satu waktu, berharap ayah akan muncul untuk mengingatkanku atau
bahkan memarahiku. Aku hanya ingin ayah ada di sini, meskipun hanya satu menit,
satu detik. Aku hanya ingin ayah melihatku sekarang. Aku ingin ayah mendengar
lagu-laguku. Tapi nyatanya ayah tidak di sini. Tidak peduli seberapa lama aku
menatap kursi itu, kursi di samping ibu tetap saja kosong. Tidak akan pernah
terisi.
0 komentar:
Post a Comment