Rss Feed
  1. Memoir of a shadow

    Tuesday, November 5, 2013


    Rumahnya sangat sempit. Bahkan untuk ukuran satu orang, rumah ini benar-benar terlalu sempit. Hanya ada dua petak ruangan yang dibatasi oleh rak tinggi. Ada kasur kecil di sisi sebelah kanan rak, dan ruangan kosong di sisi lainnya.
    Aku duduk bersandar pada tembok. Sensasi dingin menjalari punggungku saat pertama kali menempelkan tubuhku pada tembok bercat kusam itu. Aku tidak bisa berhenti mengedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan ini. Ruangan ini begitu pengap dan berbau apak, membuat dadaku sesak.
    Aku memperhatikan barang-barang aneh yang diletakkan pada rak tinggi yang membatasi ruangan kosong ini dengan kasur. Ada beberapa buku lama diletakkan secara sembarangan di rak bagian atas. Aku tahu itu buku lama dari sampulnya yang kusam dan robek-robek. Yang menarik perhatianku adalah setoples besar uang receh. Aku tidak yakin sejak kapan dia mulai mengumpulkan uang receh itu, tapi pasti butuh waktu yang cukup lama untuk memenuhi toples sebesar itu.
    “Kau ke sini untuk menemuiku atau meneliti rumahku sih?” suara parau itu menarikku kembali ke bumi. Aku sempat berpikir aku sedang tersesat di negeri antah berantah dan terkurung di ruangan sempit ini sendirian.
    “Maaf, aku hanya...”
    “Ya ya ya, aku tahu, rumahku memang sangat sempit iya kan?” seperti seorang paranormal handal, dia bisa membaca pikiranku dengan sangat tepat. Tangannya mengibas ringan untuk menunjukkan ketidakpeduliannya akan pendapatku.
    Gadis itu duduk bersila di hadapanku. Aku memperhatikannya sekilas, dia tidak berubah. Rambut hitamnya yang sepekat malam mendung dikepang dan disampirkan ke bahunya. Wajahnya terlihat kusam, tapi senyumnya bisa memberikan nilai tambah tersendiri pada wajah kusam itu. Dia memakai baju terusan berlengan pendek dengan motif bunga mawar warna kuning. Sangat kekanakan, tapi itu yang menjadi ciri khasnya, dia seperti...tidak bertambah usia. Bahkan setelah sepuluh tahun kami tidak bertemu, dia masih tetap sama.
    Pandanganku jatuh pada lengannya, ada beberapa bekas luka di siku tangan kanannya. Cukup panjang, aku yakin itu bekas luka sayat atau semacamnya. Gadis itu mengikuti arah pandanganku. Tangan kirinya secara otomatis terangkat dan mengusap bekas luka itu.
    “Terkena pisau saat aku sedang mencoba memanjat pohon kelapa.” Gadis itu menjelaskan bagaimana dia bisa mendapat bekas luka itu.
    Aku hanya menelengkan kepala, apa hubungannya memanjat pohon kelapa dengan pisau?
    “Aku sedang berusaha memetik kelapa waktu itu. Aku terpeleset saat memanjat pohonnya. Aku jatuh, dan pisau yang aku pegang melukaiku saat jatuh.”
    Penjelasannya masih tidak masuk akal, tapi aku hanya mengangguk.
    “Itu...” aku menunjuk setoples besar uang receh yang ada di rak tinggi. “Sejak kapan kau mengumpulkannya?”
    Gadis itu menatap langit-langit, seperti sedang mencari jawabannya di sana. Dahinya berkerut dalam saat dia mencoba mengingat kapan dia mulai melakukan kegiatan aneh itu.
    “Sudah hampir lima tahun, aku rasa.”
    “Selama itu?”
    Dia mengangguk mantap dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.
    “Kenapa tidak kau gunakan saja? Aku yakin uang itu...”
    “Tidak boleh.” Dia memotong pembicaraanku. “Aku sengaja menyimpannya untukmu.”
    Aku hanya mengangkat sebelah alisku.
    “Iya. Karena sekarang kau sudah kembali, aku rasa sudah saatnya untuk memberikan toples itu padamu.”
    Aku hanya diam. Aku ingat dulu kami pernah berjanji akan selalu bersama dalam keadaan susah maupun senang. Dia yang selalu menenangkanku saat aku menangis. Dia yang selalu berusaha mendapatkan uang saat aku merengek meminta mainan baru. Tapi nyatanya, aku mengkhianatinya. Aku diadopsi lebih dulu dan pindah ke tempat yang jauh. Sedangkan dia, tetap berada di panti asuhan.
    Butuh waktu cukup lama bagiku untuk mengumpulkan keberanian dan mengulurkan tanganku untuk menyentuh tangannya. Tangannya terasa dingin dalam genggamanku. Gadis itu hanya menunduk, menatap tanganku yang kini menggenggam erat tangannya. Beberapa detik kemudian, dia menarik tangannya dari genggamanku.
    “Sudah saatnya kau pulang.”
    Aku menatapnya tanpa ekspresi. Kami sudah begitu lama tidak bertemu dan dia dengan sangat mudah mengusirku.
    “Tenang saja, kali ini aku tidak akan ke mana-mana.” Katanya pelan. “Ambil toples koinmu dan pulanglah.”
    Sama seperti dulu, aku hanya menuruti apa yang dia katakan. Selalu seperti ini, aku tidak pernah bisa menolak perintahnya. Aku bangkit dan meraih toples uang receh itu. Toplesnya terasa dingin dan berat. Telapak tanganku bisa merasakan debu yang melingkupi toples itu.
    Saat aku berbalik gadis itu sudah tidak ada. Dia lenyap seperti di telan bumi.
    “Kau bilang kau tidak akan ke mana-mana,” gumamku pelan. “Tapi memang selalu seperti ini kan? Kau selalu pergi meninggalkanku. Apa kau dendam padaku karena aku yang lebih dulu diadopsi?” aku mengucapkan pertanyaan-pertanyaan itu pada udara lembab di sekitarku.
    “Kenapa kau tidak mengajakku saja saat bunuh diri dulu?”
    ***


  2. 0 komentar:

    Post a Comment