Rumahnya sangat
sempit. Bahkan untuk ukuran satu orang, rumah ini benar-benar terlalu sempit.
Hanya ada dua petak ruangan yang dibatasi oleh rak tinggi. Ada kasur kecil di
sisi sebelah kanan rak, dan ruangan kosong di sisi lainnya.
Aku duduk bersandar
pada tembok. Sensasi dingin menjalari punggungku saat pertama kali menempelkan
tubuhku pada tembok bercat kusam itu. Aku tidak bisa berhenti mengedarkan
pandanganku ke sekeliling ruangan ini. Ruangan ini begitu pengap dan berbau
apak, membuat dadaku sesak.
Aku memperhatikan
barang-barang aneh yang diletakkan pada rak tinggi yang membatasi ruangan
kosong ini dengan kasur. Ada beberapa buku lama diletakkan secara sembarangan
di rak bagian atas. Aku tahu itu buku lama dari sampulnya yang kusam dan
robek-robek. Yang menarik perhatianku adalah setoples besar uang receh. Aku
tidak yakin sejak kapan dia mulai mengumpulkan uang receh itu, tapi pasti butuh
waktu yang cukup lama untuk memenuhi toples sebesar itu.
“Kau ke sini untuk
menemuiku atau meneliti rumahku sih?” suara parau itu menarikku kembali ke
bumi. Aku sempat berpikir aku sedang tersesat di negeri antah berantah dan terkurung
di ruangan sempit ini sendirian.
“Maaf, aku
hanya...”
“Ya ya ya, aku
tahu, rumahku memang sangat sempit iya kan?” seperti seorang paranormal handal,
dia bisa membaca pikiranku dengan sangat tepat. Tangannya mengibas ringan untuk
menunjukkan ketidakpeduliannya akan pendapatku.
Gadis itu duduk
bersila di hadapanku. Aku memperhatikannya sekilas, dia tidak berubah. Rambut
hitamnya yang sepekat malam mendung dikepang dan disampirkan ke bahunya.
Wajahnya terlihat kusam, tapi senyumnya bisa memberikan nilai tambah tersendiri
pada wajah kusam itu. Dia memakai baju terusan berlengan pendek dengan motif
bunga mawar warna kuning. Sangat kekanakan, tapi itu yang menjadi ciri khasnya,
dia seperti...tidak bertambah usia. Bahkan setelah sepuluh tahun kami tidak
bertemu, dia masih tetap sama.
Pandanganku jatuh
pada lengannya, ada beberapa bekas luka di siku tangan kanannya. Cukup panjang,
aku yakin itu bekas luka sayat atau semacamnya. Gadis itu mengikuti arah
pandanganku. Tangan kirinya secara otomatis terangkat dan mengusap bekas luka
itu.
“Terkena pisau saat
aku sedang mencoba memanjat pohon kelapa.” Gadis itu menjelaskan bagaimana dia
bisa mendapat bekas luka itu.
Aku hanya
menelengkan kepala, apa hubungannya memanjat pohon kelapa dengan pisau?
“Aku sedang
berusaha memetik kelapa waktu itu. Aku terpeleset saat memanjat pohonnya. Aku
jatuh, dan pisau yang aku pegang melukaiku saat jatuh.”
Penjelasannya masih
tidak masuk akal, tapi aku hanya mengangguk.
“Itu...” aku
menunjuk setoples besar uang receh yang ada di rak tinggi. “Sejak kapan kau
mengumpulkannya?”
Gadis itu menatap
langit-langit, seperti sedang mencari jawabannya di sana. Dahinya berkerut
dalam saat dia mencoba mengingat kapan dia mulai melakukan kegiatan aneh itu.
“Sudah hampir lima
tahun, aku rasa.”
“Selama itu?”
Dia mengangguk
mantap dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.
“Kenapa tidak kau
gunakan saja? Aku yakin uang itu...”
“Tidak boleh.” Dia
memotong pembicaraanku. “Aku sengaja menyimpannya untukmu.”
Aku hanya
mengangkat sebelah alisku.
“Iya. Karena sekarang
kau sudah kembali, aku rasa sudah saatnya untuk memberikan toples itu padamu.”
Aku hanya diam. Aku
ingat dulu kami pernah berjanji akan selalu bersama dalam keadaan susah maupun
senang. Dia yang selalu menenangkanku saat aku menangis. Dia yang selalu berusaha
mendapatkan uang saat aku merengek meminta mainan baru. Tapi nyatanya, aku
mengkhianatinya. Aku diadopsi lebih dulu dan pindah ke tempat yang jauh.
Sedangkan dia, tetap berada di panti asuhan.
Butuh waktu cukup
lama bagiku untuk mengumpulkan keberanian dan mengulurkan tanganku untuk
menyentuh tangannya. Tangannya terasa dingin dalam genggamanku. Gadis itu hanya
menunduk, menatap tanganku yang kini menggenggam erat tangannya. Beberapa detik
kemudian, dia menarik tangannya dari genggamanku.
“Sudah saatnya kau
pulang.”
Aku menatapnya
tanpa ekspresi. Kami sudah begitu lama tidak bertemu dan dia dengan sangat
mudah mengusirku.
“Tenang saja, kali
ini aku tidak akan ke mana-mana.” Katanya pelan. “Ambil toples koinmu dan
pulanglah.”
Sama seperti dulu,
aku hanya menuruti apa yang dia katakan. Selalu seperti ini, aku tidak pernah
bisa menolak perintahnya. Aku bangkit dan meraih toples uang receh itu.
Toplesnya terasa dingin dan berat. Telapak tanganku bisa merasakan debu yang
melingkupi toples itu.
Saat aku berbalik
gadis itu sudah tidak ada. Dia lenyap seperti di telan bumi.
“Kau bilang kau
tidak akan ke mana-mana,” gumamku pelan. “Tapi memang selalu seperti ini kan?
Kau selalu pergi meninggalkanku. Apa kau dendam padaku karena aku yang lebih
dulu diadopsi?” aku mengucapkan pertanyaan-pertanyaan itu pada udara lembab di
sekitarku.
“Kenapa kau tidak
mengajakku saja saat bunuh diri dulu?”
***
0 komentar:
Post a Comment