Kamis, 10 Februari
Escape plan! Aku harus
kabur dari rumah ini. Bukannya tidak senang hidup mewah seperti ini, tapi aku
kurang nyaman tinggal di tempat sepi seperti ini. Dan Dion. aku tidak tahan dengan
sikap keartisannya itu. Dia baik sih, tapi...pokoknya aku tidak suka.
Pagi-pagi sekali Sonia sudah siap berangkat sekolah. Dia sudah
memasukkan beberapa pakaiannya ke dalam ransel sekolah. Peralatan mandi, Sonia
mempertimbangkan untuk membawanya juga, tapi akhirnya gadis itu meninggalkan
peralatan mandinya di kamar mandi yang ada di dalam kamarnya. Akan sangat mencurigakan
jika peralatan mandinya tidak ada di sana. Rencana pelariannya akan langsung
ketahuan. Meskipun sebenarnya Sonia ragu Dion akan menggeledah sampai ke kamar
mandi di kamar Sonia.
Sonia berjalan mengendap-endap keluar dari kamar. Mak Ijah, begitu
Dion memanggil wanita paruh baya yang menyiapkan semuanya di rumah ini, sedang
menyirami tanaman di halaman belakang. Perut Sonia menendang-nendang saat
mencium aroma nasi goreng yang menggelitik hidungnya. Dia sangat lapar. Tidak
makan semalaman membuatnya sangat lapar. Tapi Sonia hanya menelan ludah dan
melanjutkan misinya. Gadis itu membuka pintu depan perlahan, berusaha untuk
tidak menimbulkan suara sepelan apa pun.
Suara brak keras
terdengar saat Sonia langsung menutup pintunya lagi. Ada banyak sekali wartawan
di depan rumah Dion. Apa rumah Dion selalu didatangi wartawan seperti ini? Rasanya
aneh melihat ada begitu banyak wartawan yang mengincarnya mengingat Dion tidak
mengajak satu pun dari mereka saat datang ke panti waktu itu.
“Ada jam tambahan sekolah?”
Sonia langsung menoleh saat mendengar suara itu. Dion. Pemuda itu
terlihat rapi meskipun baru bangun tidur. Tangan kanan Dion menggenggam segelas
susu vanilla. Saat Sonia tidak juga menjawab, Dion menyesap susunya sambil
berjalan mendekati Sonia.
“Atau sekolahmu memang masuk sepagi ini?” tanya Dion lagi saat
gelas susunya sudah kosong.
“Ada jadwal piket.” jawab Sonia asal.
“Rajin sekali.” kata Dion cuek. “Kenapa masih di sini?” tanya Dion
saat melihat Sonia bergeming di dekat pintu.
“Ada banyak sekali wartawan di depan rumahmu.”
Mata Dion melebar, herannya dia terlihat senang. “Benarkah? Cepat
sekali berita menyebar.”
Sonia hanya mengerutkan dahi, “Berita apa?”
Dion tidak menjawab. Dia mendekati jendela dan menyibakkan
tirainya sedikit untuk mengintip keadaan di luar. Ada seberkas cahaya yang
menyorot matanya saat Dion mengintip.
“Berita kedatanganmu. Mereka sudah tahu ada anggota keluarga baru
di rumah ini.”
Sonia mendengus kesal, “Jadi itu tujuan utamamu? Meraih
popularitas?”
Dion terkekeh, “Bahasamu infotainment sekali.”
Sonia tidak melihat kelucuan dari situasi ini. Gadis itu hanya
memberengut kesal. Dia dimanfaatkan. Dia sudah tahu Dion tidak ada bedanya
dengan yang lain. Dion mendadak diam saat melihat Sonia tidak ikut tertawa
bersamanya.
“Aku tulus mengadopsimu.” Sekarang Dion bicara serius. Tapi Sonia
sudah terlanjur kesal.
“Lalu apa itu?” Sonia menelengkan kepalanya ke arah pintu, merujuk
pada puluhan wartawan yang rela ronda di depan rumah Dion hanya demi sebuah
berita.
“Kau tidak di sini pun mereka akan tetap ada.” jawab Dion santai.
Sonia hanya mendengus kesal, dasar
tukang pamer.
“Makan dulu sarapanmu. Kita berangkat sebentar lagi.” Tanpa
menunggu respon dari Sonia, Dion langsung melenggang pergi. Masuk ke kamarnya.
Sonia berjalan malas ke ruang makan. Dia berniat untuk mendiamkan
makanannya sebagai bentuk protes, tapi aroma nasi goreng buatan mak Ijah benar-benar
tidak bisa disangkal. Seperti baru saja dihipnotis, Sonia langsung meraih
sendok dan garpunya dan melahap habis nasi goreng di hadapannya.
“Kau sudah selesai?”
Sonia langsung mendorong piringnya yang sudah kosong saat
mendengar suara Dion. Pemuda itu muncul dari balik ambang pintu kamarnya. Dion
sudah memakai seragam sekolahnya. Baju seragam putih yang dilapisi jas warna
hitam, ada dasi biru yang menyembul dari balik kerah jasnya. Diam-diam Sonia
melirik seragam sekolahnya sendiri yang sudah kumal dan biasa saja. Tipikal
anak SMA, putih abu-abu.
Dion menyampirkan ranselnya ke bahu. Tas itu terlihat jauh lebih
ringan dibanding ransel Sonia. Gadis itu mengekor saat Dion berjalan ke garasi.
Ada dua mobil yang terparkir di sana. Satu mobil sedan yang sering dipakai Dion
dan satu lagi mobil van.
“Berapa baju yang kau bawa?” tanya Dion saat membuka pintu
mobilnya.
Sonia langsung kaku. Dion tahu?
Tiba-tiba Dion terkekeh, “Bercanda. Tasmu kelihatan sangat berat.”
Sonia menghembuskan nafas yang sedari tadi dia tahan.
“Tentu saja tasku berat. Ada banyak buku yang aku bawa.” Bohong!
“Bukannya sekarang sudah ada banyak ebook?” tanya Dion saat Sonia masuk ke dalam mobil.
“Di sekolahku masih manual. Maaf.” kata Sonia pelan, seolah-olah keterbelakangan
teknologi di sekolahnya adalah kesalahannya.
Dion terlihat berbinar-binar saat mendengar informasi itu, “Kau
bisa pindah ke sekolahku.” katanya ringan. Dia pikir pindah sekolah itu urusan
sepele?
“Aku sudah terlambat.” Sonia hanya mengatakan itu sebagai jawaban.
Dion sudah menyalakan mesin mobilnya saat menggumam, “Sekolahku
masuk jam sembilan.”
***
Sekolah Dion selesai jam tiga sore. Itu artinya Sonia masih
memiliki cukup waktu untuk kabur dari sekolah. Satu jam lagi Dion akan
menjemputnya. Sonia buru-buru menarik Rina ke tempat parkir begitu mendengar
bel tanda jam pelajaran berakhir. Sahabatnya itu tidak memprotes saat Sonia
menyeretnya.
“Kau harus mengizinkanku menginap di rumahmu.” kata Sonia panik
saat Rina sedang berusaha menemukan kunci motornya di dalam tas.
Untungnya Rina bukan salah satu dari para gadis pecinta gosip. Sepertinya
dia sama sekali tidak menonton infotainment sejak kemarin. Rina sama sekali
tidak tahu gosip tentang Dion yang mengadopsi saudara perempuan. Meskipun Sonia
yakin berita itu masih belum terlalu merujuk pada dirinya karena masih belum
ada yang heboh tentang berita itu. Dion berhasil menghindari gerombolan
wartawan yang mengepung rumahnya tadi pagi dan untungnya sekolahnya masih
lumayan sepi saat mereka sampai.
“Memangnya kenapa? Kau bertengkar dengan ibu?” tanya Rina polos. Tadi
pagi Sonia meminta Rina untuk tidak menjemputnya, jadi Rina masih belum tahu
status Sonia yang sudah tidak tinggal di panti.
“Iya, aku sedang ingin menenangkan diri.” dusta Sonia.
Rina hanya mengendik, tidak bicara apa-apa lagi.
Saat keluar dari gerbang sekolah, Sonia sibuk menyebarkan pandangannya
ke seluruh penjuru. Saat tidak mendapati mobil Dion, Sonia menghembuskan nafas
yang sedari tadi dia tahan. Dion belum datang, pikirnya tenang.
Rumah Rina tidak terlalu jauh dari sekolah. Hanya butuh waktu lima
belas menit. Mereka membicarakan banyak hal di dalam kamar Rina sampai ponsel
Sonia tiba-tiba bergetar. Ponsel barunya. Nama Dion muncul pada layar ponsel. Berkedip-kedip
cepat, tidak ingin diabaikan. Sonia hanya menyelipkan ponselnya ke bawah
bantal. Ponselnya tetap berdengung sampai beberapa kali.
“Itu ponsel baru?” tanya Rina saat melihat ponsel yang baru saja
diselipkan Sonia ke bawah bantal.
Sonia hanya menggeleng. Dalam hati dia berharap Dion berhenti
meneleponnya agar ponsel sialan itu berhenti berdengung seperti lebah.
“Kau tidak bilang punya ponsel baru!” kata Rina antusias. Kenapa Rina
harus jadi anak-yang-antusias-dengan-gadget-baru
sekarang. Biasanya dia tidak terlalu peduli dengan orang-orang yang membawa gadget baru setiap hari. Kenapa dia
harus jadi orang yang peduli sekarang? Jerit Sonia dalam hati.
Sonia langsung menekan tombol merah saat Rina membuka bantal yang
menutupi ponselnya. Tepat saat Rina merebut ponsel itu dari tangan Sonia,
ponsel itu bergetar lagi. Nama Dion berkedip-kedip tidak sabaran.
“Dion? Siapa Dion?” tanya Rina penasaran.
Sonia mendengus kesal. Rina jadi orang yang terlalu mau tahu di
saat yang tidak tepat.
“Anak panti.” jawab Sonia asal.
Tangan Sonia berusaha menggapai ponsel itu, tapi Rina
mengangkatnya tinggi-tinggi. Rina sudah menekan tombol hijau untuk mengangkat
teleponnya sebelum Sonia sempat mencegahnya.
Rina langsung menjauhkan ponselnya dari telinga saat mendengar suara
di seberang sana. Sonia tidak bisa mendengar apa yang dikatakan Dion, tapi gadis
itu cukup yakin Dion sedang berteriak-teriak marah. Rina langsung menyodorkan
ponsel itu pada Sonia.
“Aku sudah di depan.” Kalimat singkat itu membuat Sonia membeku
untuk beberapa saat. Dia di depan sekolah
kan? pikir Sonia.
“Sebaiknya kau cepat keluar sebelum para wartawan itu sampai ke
sini.” Kalimat Dion berikutnya membuat lidah Sonia kelu. “Itu jika kau ingin
pulang tanpa ketahuan media.”
“Kau di mana?” tanya Sonia untuk memastikan keberadaan Dion.
“Di depan rumah temanmu.” jawab Dion santai.
“Bagaimana...”
“Akan aku jelaskan nanti. Keluar sekarang.” Seperti robot yang
sudah diprogram, Sonia langsung menuruti perintah Dion. Setelah menutup teleponnya
Sonia langsung membereskan barang-barangnya.
“Apa yang dia katakan padamu tadi?” tanya Sonia pada Rina sebelum
keluar kamar.
“Dia bilang itu telepon penting. Kau harus mendengarnya langsung.”
jawab Rina pelan, merasa bersalah.
Dasar tukang paksa, pikir Sonia kesal.
“Kau tidak perlu mengantarku keluar.” kata Sonia saat Rina akan
mengikutinya.
Sonia melirik ke belakang saat berlari-lari kecil menghampiri
mobil Dion untuk memastikan Rina tidak mengikutinya. Untung saja kaca mobilnya
gelap, jadi Dion tidak akan terlihat dari luar. Sonia langsung masuk ke bagian
penumpang, kemudian bersedekap untuk menunjukkan kekesalannya. Dion hanya diam
sambil membenarkan letak kacamata hitamnya. Tidak ada tanda-tanda pemuda itu
akan segera menjalankan mobilnya dan pergi dari sini.
“Apa lagi?” tanya Sonia tidak sabar.
“Aku bukan sopir. Kita tidak akan pergi ke mana-mana sebelum kau
pindah.” kata Dion angkuh. Sonia mendengus kesal, dia baru saja menemukan orang
yang sama keras kepalanya.
Sonia keluar dari mobil dan pindah ke samping Dion.
“Terima kasih.” kata Dion pelan sambil tersenyum. Pemuda itu
langsung menyalakan mesin mobilnya dan meluncur pergi.
Sonia bisa menangkap sosok Rina yang berdiri mematung di jendela
kamarnya.
0 komentar:
Post a Comment