BAGIAN 6
Agi menyukai Adriana sejak lama. Sejak pertama kali Adriana
mengajaknya satu kelompok praktikum biologi. Yah, sebagai leader perempuan dalam kelompok, keberadaan Adriana benar-benar
menarik perhatian Agi. Dari mulai caranya mengatur pembagian tugas, mengoordinir
anak-anak bandel yang entah bagaimana setiap kali Adriana yang memerintah
langsung menurut begitu saja. Adriana seperti memiliki sebuah kharisma khusus
yang membuat Agi enggan berkedip setiap kali melihatnya. Gadis itu berbeda.
Adriana melanjutkan kuliahnya di Bandung. Itu kabar terakhir
yang Agi tahu. Sejak kelulusan mereka tidak pernah lagi saling kontak.
Sebenarnya, Agi memang tidak terlalu dekat dengan Adriana. Dia hanya mengagumi
gadis itu dari jauh. Diam-diam memandanginya saat Adriana sedang lengah.
Persis dua bulan yang lalu Agi bertemu Adriana di toko buku. Pemuda
itu sama sekali tidak tahu Adriana sudah kembali ke Jogja. Bekerja di sebuah
perusahaan desainer interior milik pamannya. Entah kenapa saat Adriana
menyodorkan kartu namanya, Agi langsung teringat pada rencana Lofa membuka cafe
sendiri. Ini kesempatan bagus. Kesempatan untuk membantu Lofa dan mendekati
Adriana sekaligus. Sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui.
Awalnya Agi sempat ragu Lofa akan menerima tawaran Agi. Tapi
saat Lofa mengiyakan tawaran Agi untuk menggunakan jasa Adriana, Agi luar biasa
senang. Akhirnya pemuda itu memiliki sesuatu yang masuk akal untuk didiskusikan
dengan Adriana. Agi langsung menghubungi Adriana. Berbicara panjang lebar
tentang rencana Lofa. Ibarat gayung bersambut, Adriana memberi respon positif.
Agi belum memutuskan kapan akan menyatakan perasaannya pada
Adriana. Pemuda itu masih ragu. Dia ragu Adriana benar-benar menganggapnya
spesial, mengingat gadis itu memang selalu baik pada semua orang. Agi khawatir
dia menangkap sinyal yang salah tentang respon Adriana. Sebenarnya ada hal lain
yang mengganggu pikiran Agi tentang itu.
Agi sama sekali tidak ingat untuk minta maaf pada Lofa tentang
pekerjaan barunya sampai Angga memarahinya habis-habisan keesokan paginya.
Sahabat
macam apa kau ini? Temui aku di taman komplek. adalah
isi pesan singkat yang dikirim Angga.
Diberitahu atau tidak, mereka sudah pasti akan bertemu saat jogging. Tapi sepertinya kali ini sangat
mendesak, karena Angga sampai mengiriminya pesan di pagi buta.
Agi melepas earphone-nya
begitu duduk di bangku taman. Angga sudah di sana. Kaus merahnya sudah basah kuyup
karena keringat. Sudah berapa lama dia jogging?
“Sejak jam berapa kau di sini?” tanya Agi sambil menggulung
kabel earphone-nya.
Angga hanya menoleh, nafasnya ngos-ngosan dan tidak teratur.
Keringat menetes di pelipisnya sampai ke dagu.
“Kau tidak baca pesanku?”
“Aku pikir saat kau mengirim pesan itu tidak berarti saat itu
juga aku harus datang. Apa masalahnya sangat penting?” Agi terlihat sangat
santai dengan kesalahannya mengartikan pesan Angga.
“Kau pergi begitu saja,” Angga memulai pembicaraannya dengan
nada yang kurang menyenangkan. “setelah kau janji akan membantunya setiap
malam?” Angga terdengar kurang yakin dengan pernyataannya.
“Aku janji membantu Lofa di cafenya jika tidak ada kegiatan
lain.” Agi membela diri. Sebenarnya tidak ada perjanjian secara resmi. Agi
membantu Lofa karena dia sahabatnya. Agi merasa perlu membantu Lofa untuk
meringankan bebannya mengurus cafe sendirian.
“Bukan itu yang ingin aku bicarakan sekarang,” Angga terdengar
lebih serius. Sejak kapan Angga bisa jadi seserius itu? “Kau serius dengan Adriana?”
Agi diam sejenak, memikirkan jawabannya. “Tentu saja.” Setelah
tiga helaan nafas, akhirnya Agi cukup yakin dengan jawabannya.
“Bagaimana dengan Lofa?”
“Ada apa dengannya?”
Angga memberi Agi tatapan itu. Tatapan seolah-olah Agi orang
paling dungu sedunia.
“Tidak pernah ada perempuan dan laki-laki yang bersahabat. Kau
tahu itu?” Angga bangkit, menegaskan bahwa dia benar-benar serius dengan topik
ini. “Tidak pernah.” Angga memantapkan teorinya.
Agi menegakkan tubuhnya, menatap temannya yang sedang berapi-api
menyampaikan teorinya. Hanya karena dia jatuh cinta pada sahabatnya sendiri
saat SMA dulu, bukan berarti Agi juga.
“Jangan melibatkan emosi saat membuat pernyataan, Ga. Tidak
objektif.” kata Agi tenang. Angga jelas-jelas sedang menyampaikan sesuatu yang
selama ini Agi sembunyikan, tapi pemuda itu berusaha terlihat tetap tenang.
“Aku tidak emosi. Ini fakta. Selalu ada pihak yang berharap
lebih.”
Agi hanya diam. Menunggu Angga mengucapkan kalimat pamungkasnya.
“Lofa menyukaimu.” kata Angga. Dia kembali duduk di samping Agi.
Setelah menghela nafas panjang, Agi berkata, “Aku tahu.”
Angga sepertinya menganggap Agi buta sampai tidak bisa melihat
perubahan ekspresi Lofa semalam, karena dia menatap Agi kaget.
“Kau tahu? Kau tahu dan masih dengan santai mendekati Adriana di
hadapannya?”
“Apa yang kau harapkan?”
Mata Angga melebar. Dia baru menyadari sesuatu, “Itu sebabnya
kau tidak memberitahunya kau yang menyuruhku membantunya malam itu?”
Agi hanya diam. Dia tidak membantah. Agi cukup yakin Angga bisa
menemukan jawaban untuk pertanyaannya itu.
“Aku tidak mau dia berharap.” akhirnya Agi angkat bicara karena
Angga terus-terusan berdecak. Itu sangat mengganggunya. “Aku tidak mau dia
berpikir aku sangat mengkhawatirkannya.”
“Kau memang
mengkhawatirkannya.” sergah Angga.
Agi menghembuskan nafas melalui mulut, “Ya, tapi bukan seperti
itu. Hubungan kami...” Agi diam, memikirkan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan
hubungannya dengan Lofa, “murni platonik.”
“Platonik? Sepertinya Lofa sama sekali tidak berpikir begitu.”
Agi membungkuk, menumpukan kedua lengan pada lututnya. Pandangannya
jatuh pada liang semut di dekat kaki kirinya. Untuk sejenak pemandangan pasukan
semut yang menggotong sebongkah remah biskuit menarik perhatiannya.
“Aku tidak mungkin menyukainya.” kata Agi setelah pasukan semut
berhasil membawa remah biskuit itu ke dalam liang.
Angga membungkukkan badannya, sama seperti Agi. “Lalu
bagaimana?”
Agi mengangkat bahunya, menoleh untuk menatap Angga. Memberi
isyarat dengan matanya. “Harus ada yang mengalihkan perhatiannya.”
Angga langsung menegakkan tubuhnya, “Jangan berpikir
macam-macam.”
“Kalian cocok.” kata Agi singkat.
Awalnya Agi tidak menyadari ini, tapi saat melihat Lofa begitu
senang karena Angga membuat sketsanya, Agi tahu Angga bisa membuat Lofa
bahagia. Meskipun Agi sebenarnya khawatir dengan kebiasaan Angga gonta-ganti
pacar, tapi rasanya Angga tidak akan seserius ini jika tidak benar-benar
menganggap Lofa spesial.
Agi mendongak saat Angga bangkit, “Aku harus kerja.” kata Angga
singkat sebelum pergi.
Dia
kabur, pikir Agi geli. Kebiasaan Angga jika tidak memiliki argumen yang
kuat untuk membantah, kabur.
0 komentar:
Post a Comment