Rss Feed
  1. Cafe Lofa : Platonik

    Wednesday, February 12, 2014

    BAGIAN 6

    Agi menyukai Adriana sejak lama. Sejak pertama kali Adriana mengajaknya satu kelompok praktikum biologi. Yah, sebagai leader perempuan dalam kelompok, keberadaan Adriana benar-benar menarik perhatian Agi. Dari mulai caranya mengatur pembagian tugas, mengoordinir anak-anak bandel yang entah bagaimana setiap kali Adriana yang memerintah langsung menurut begitu saja. Adriana seperti memiliki sebuah kharisma khusus yang membuat Agi enggan berkedip setiap kali melihatnya. Gadis itu berbeda.
    Adriana melanjutkan kuliahnya di Bandung. Itu kabar terakhir yang Agi tahu. Sejak kelulusan mereka tidak pernah lagi saling kontak. Sebenarnya, Agi memang tidak terlalu dekat dengan Adriana. Dia hanya mengagumi gadis itu dari jauh. Diam-diam memandanginya saat Adriana sedang lengah.
    Persis dua bulan yang lalu Agi bertemu Adriana di toko buku. Pemuda itu sama sekali tidak tahu Adriana sudah kembali ke Jogja. Bekerja di sebuah perusahaan desainer interior milik pamannya. Entah kenapa saat Adriana menyodorkan kartu namanya, Agi langsung teringat pada rencana Lofa membuka cafe sendiri. Ini kesempatan bagus. Kesempatan untuk membantu Lofa dan mendekati Adriana sekaligus. Sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui.
    Awalnya Agi sempat ragu Lofa akan menerima tawaran Agi. Tapi saat Lofa mengiyakan tawaran Agi untuk menggunakan jasa Adriana, Agi luar biasa senang. Akhirnya pemuda itu memiliki sesuatu yang masuk akal untuk didiskusikan dengan Adriana. Agi langsung menghubungi Adriana. Berbicara panjang lebar tentang rencana Lofa. Ibarat gayung bersambut, Adriana memberi respon positif.
    Agi belum memutuskan kapan akan menyatakan perasaannya pada Adriana. Pemuda itu masih ragu. Dia ragu Adriana benar-benar menganggapnya spesial, mengingat gadis itu memang selalu baik pada semua orang. Agi khawatir dia menangkap sinyal yang salah tentang respon Adriana. Sebenarnya ada hal lain yang mengganggu pikiran Agi tentang itu.
    Agi sama sekali tidak ingat untuk minta maaf pada Lofa tentang pekerjaan barunya sampai Angga memarahinya habis-habisan keesokan paginya.
    Sahabat macam apa kau ini? Temui aku di taman komplek. adalah isi pesan singkat yang dikirim Angga.
    Diberitahu atau tidak, mereka sudah pasti akan bertemu saat jogging. Tapi sepertinya kali ini sangat mendesak, karena Angga sampai mengiriminya pesan di pagi buta.
    Agi melepas earphone-nya begitu duduk di bangku taman. Angga sudah di sana. Kaus merahnya sudah basah kuyup karena keringat. Sudah berapa lama dia jogging?
    “Sejak jam berapa kau di sini?” tanya Agi sambil menggulung kabel earphone-nya.
    Angga hanya menoleh, nafasnya ngos-ngosan dan tidak teratur. Keringat menetes di pelipisnya sampai ke dagu.
    “Kau tidak baca pesanku?”
    “Aku pikir saat kau mengirim pesan itu tidak berarti saat itu juga aku harus datang. Apa masalahnya sangat penting?” Agi terlihat sangat santai dengan kesalahannya mengartikan pesan Angga.
    “Kau pergi begitu saja,” Angga memulai pembicaraannya dengan nada yang kurang menyenangkan. “setelah kau janji akan membantunya setiap malam?” Angga terdengar kurang yakin dengan pernyataannya.
    “Aku janji membantu Lofa di cafenya jika tidak ada kegiatan lain.” Agi membela diri. Sebenarnya tidak ada perjanjian secara resmi. Agi membantu Lofa karena dia sahabatnya. Agi merasa perlu membantu Lofa untuk meringankan bebannya mengurus cafe sendirian.
    “Bukan itu yang ingin aku bicarakan sekarang,” Angga terdengar lebih serius. Sejak kapan Angga bisa jadi seserius itu? “Kau serius dengan Adriana?”
    Agi diam sejenak, memikirkan jawabannya. “Tentu saja.” Setelah tiga helaan nafas, akhirnya Agi cukup yakin dengan jawabannya.
    “Bagaimana dengan Lofa?”
    “Ada apa dengannya?”
    Angga memberi Agi tatapan itu. Tatapan seolah-olah Agi orang paling dungu sedunia.
    “Tidak pernah ada perempuan dan laki-laki yang bersahabat. Kau tahu itu?” Angga bangkit, menegaskan bahwa dia benar-benar serius dengan topik ini. “Tidak pernah.” Angga memantapkan teorinya.
    Agi menegakkan tubuhnya, menatap temannya yang sedang berapi-api menyampaikan teorinya. Hanya karena dia jatuh cinta pada sahabatnya sendiri saat SMA dulu, bukan berarti Agi juga.
    “Jangan melibatkan emosi saat membuat pernyataan, Ga. Tidak objektif.” kata Agi tenang. Angga jelas-jelas sedang menyampaikan sesuatu yang selama ini Agi sembunyikan, tapi pemuda itu berusaha terlihat tetap tenang.
    “Aku tidak emosi. Ini fakta. Selalu ada pihak yang berharap lebih.”
    Agi hanya diam. Menunggu Angga mengucapkan kalimat pamungkasnya.
    “Lofa menyukaimu.” kata Angga. Dia kembali duduk di samping Agi.
    Setelah menghela nafas panjang, Agi berkata, “Aku tahu.”
    Angga sepertinya menganggap Agi buta sampai tidak bisa melihat perubahan ekspresi Lofa semalam, karena dia menatap Agi kaget.
    “Kau tahu? Kau tahu dan masih dengan santai mendekati Adriana di hadapannya?”
    “Apa yang kau harapkan?”
    Mata Angga melebar. Dia baru menyadari sesuatu, “Itu sebabnya kau tidak memberitahunya kau yang menyuruhku membantunya malam itu?”
    Agi hanya diam. Dia tidak membantah. Agi cukup yakin Angga bisa menemukan jawaban untuk pertanyaannya itu.
    “Aku tidak mau dia berharap.” akhirnya Agi angkat bicara karena Angga terus-terusan berdecak. Itu sangat mengganggunya. “Aku tidak mau dia berpikir aku sangat mengkhawatirkannya.”
    “Kau memang mengkhawatirkannya.” sergah Angga.
    Agi menghembuskan nafas melalui mulut, “Ya, tapi bukan seperti itu. Hubungan kami...” Agi diam, memikirkan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan hubungannya dengan Lofa, “murni platonik.”
    “Platonik? Sepertinya Lofa sama sekali tidak berpikir begitu.”
    Agi membungkuk, menumpukan kedua lengan pada lututnya. Pandangannya jatuh pada liang semut di dekat kaki kirinya. Untuk sejenak pemandangan pasukan semut yang menggotong sebongkah remah biskuit menarik perhatiannya.
    “Aku tidak mungkin menyukainya.” kata Agi setelah pasukan semut berhasil membawa remah biskuit itu ke dalam liang. 
    Angga membungkukkan badannya, sama seperti Agi. “Lalu bagaimana?”
    Agi mengangkat bahunya, menoleh untuk menatap Angga. Memberi isyarat dengan matanya. “Harus ada yang mengalihkan perhatiannya.”
    Angga langsung menegakkan tubuhnya, “Jangan berpikir macam-macam.”
    “Kalian cocok.” kata Agi singkat.
    Awalnya Agi tidak menyadari ini, tapi saat melihat Lofa begitu senang karena Angga membuat sketsanya, Agi tahu Angga bisa membuat Lofa bahagia. Meskipun Agi sebenarnya khawatir dengan kebiasaan Angga gonta-ganti pacar, tapi rasanya Angga tidak akan seserius ini jika tidak benar-benar menganggap Lofa spesial.
    Agi mendongak saat Angga bangkit, “Aku harus kerja.” kata Angga singkat sebelum pergi.
    Dia kabur, pikir Agi geli. Kebiasaan Angga jika tidak memiliki argumen yang kuat untuk membantah, kabur.

  2. 0 komentar:

    Post a Comment