“Aku dan Adriana resmi pacaran tadi malam,”
Sikap Lofa berubah sejak Agi memberitahunya. Dia jadi lebih
pendiam. Pandangan matanya sering menerawang entah ke mana. Untung saja ada Dhanny
yang membuatnya sedikit lupa dengan pernyataan Agi barusan. Tapi dia kembali
jadi pendiam setelah Dhanny pergi. Hanya membicarakan beberapa hal kemudian
memilih tenggelam dalam piring-piringnya yang harus dilap. Tipikal Lofa. Selalu
membersihkan berbagai macam hal setiap kali ada yang mengganggu pikirannya. Dia
bilang bersih-bersih bisa mengalihkan pikirannya dan menenangkan jiwanya.
“Aku rasa malam ini aku tidak bisa membantumu,” kata Agi sebelum
pamit pulang.
Agi bisa melihat bahu Lofa yang menegang. Butuh waktu beberapa
detik sebelum gadis itu berbalik dan memamerkan senyumnya. Senyum diplomatis.
Sesuatu yang selalu dilakukan Lofa ketika dipaksa menerima sesuatu yang
dibencinya.
“Kau ada acara?” tanya Lofa pelan.
Agi mengangguk. Sekalian saja dia menjawab, “Makan malam dengan
Adriana.”
Senyum itu hilang. Tanda-tandanya begitu jelas. Sejak dulu Lofa
tidak pernah bisa menyembunyikan perasaannya. Semua orang bisa tahu apa yang
Lofa rasakan hanya dengan melihat sorot matanya. Tatapan mata Lofa seperti
papan reklame yang memberitahu setiap detail perasaannya.
Agi masuk ke dapur, merangkul Lofa seperti yang selalu
dilakukannya saat Lofa sedih.
“Kau tidak perlu cemburu begitu,” kata Agi ringan.
Lofa langsung melepaskan tangan Agi dari bahunya kemudian
menatap pemuda itu sambil memamerkan bibirnya yang manyun.
“Aku tidak cemburu!” kata Lofa mantap. Tapi Agi bisa menangkap
roman kelabu di matanya.
“Kalau begitu aku pergi dulu.” kata Agi
Agi mengacak-acak rambut Lofa sebelum keluar, yang dihadiahi
geraman kesal gadis itu. Agi bisa melihat bayangan samar Lofa pada kaca pintu
saat berjalan keluar. Sikapnya berubah lagi.
***
Agi mengamati pantulan dirinya di cermin. Dia menata rambut
ikalnya yang basah agar terlihat lebih rapi. Pemuda itu meraih kemeja hitam
yang tergeletak di atas kasur dan mengenakannya, melipat lengannya sampai siku.
Dia sudah siap.
Tepat saat Agi akan berjalan keluar kamar, ponselnya berdenting,
menandakan ada pesan masuk.
Kau
di cafe malam ini? Itu Angga.
Tidak. Agi
membalas singkat kemudian mematikan ponselnya.
Agi memacu mobilnya ke rumah sepupu Adriana. Akhir-akhir ini Adriana
sering sekali menghabiskan waktunya di sana. Mungkin karena ikut mempersiapkan
acara pertunangan seupunya yang tinggal dua hari lagi.
Adriana sudah menunggunya di teras. Dia terlihat sangat cantik
meskipun Agi tahu gadis itu belum mengerahkan usahanya yang maksimal untuk
berdandan malam ini. Adriana memakai dress
selutut bermotif bunga yang terlihat sangat cocok dengannya, dilapisi dengan blazer putih.
Agi keluar dari mobil saat Adriana menghampirinya. Dengan sangat
cekatan Agi berjalan memutar dan membukakan pintu untuk Adriana. Jantung Agi
berdetak lebih cepat setiap kali melihat Adriana tersenyum malu-malu saat Agi
di dekatnya.
“Kita mau ke mana?” tanya Adriana saat Agi sudah siap di balik
setir.
“Rahasia,” kata Agi sambil tersenyum.
Adriana pura-pura cemberut.
“Kita akan ke tempat yang tidak hanya menyediakan makanan pedas,”
kata Agi, mengingatkan Adriana pada makan malam mereka yang pertama. Adriana
mengajak Agi makan di restauran Thailand karena mengira Agi sangat suka makanan
pedas. Sejak kapan Agi suka pedas?
Adriana hanya tertawa, “Makanan pedas bagus untuk metabolisme.”
“Ya, jika bayarannya aku harus bolak-balik ke kamar mandi, aku
lebih memilih metabolismeku kurang bagus.”
Mereka tertawa. Diam-diam Agi memperhatikan Adriana saat gadis
itu tertawa. Ada sesuatu yang membuat Agi sangat bersemangat setiap kali
melihat Adriana tertawa. Dia ingin sekali menghentikan waktu agar bisa melihat
tawa itu lebih lama.
Adriana mengulurkan tangannya untuk mencari saluran radio yang
bagus. Dia berhenti di saluran radio yang memutarkan lagu-lagu lama.
“Eighties?” tanya Agi
tidak percaya.
Adriana hanya mengangguk bersemangat sambil menyanyikan lagu
yang sedang diputar di radio. Lagu all
out of love yang dinyanyikan Air Supply.
Agi kenal benar suara penyanyi favoritnya itu. Tidak ada yang tahu kalau Agi
bahkan memiliki piringan hitamnya.
“Kau tidak tahu lagu ini?” tanya Adriana di sela-sela
nyanyiannya.
Agi hanya tersenyum.
Adriana sangat menghayati lagunya, dia meletakkan tangan
kanannya di bahu Agi dan tangan yang lain di dada, seolah-olah dia yang berperan
sebagai tokoh utama dalam lagu itu.
“Kau harus berduet denganku,” kata Adriana lagi.
Setelah berdebat beberapa lama akhirnya Agi menurut. Mereka
berdua menyanyi sekencang-kencangnya saat refrain.
Setelah lagunya selesai, mereka baru sadar betapa konyolnya sikap mereka
barusan. Adriana tertawa lepas sampai hampir menangis.
“Kau tidak lihat ekspresimu saat menyanyi tadi,” kata Adriana di
sela-sela tawanya.
“Kau juga,” Agi membela diri, mengingat Adriana yang jauh lebih
ekspresif saat menyanyi tadi.
Gadis itu hanya tertawa, seolah tidak peduli dengan keanehannya.
Adriana langsung menghapus air mata di kedua sudut matanya saat Agi memarkir
mobil.
“Kita sampai?” tanya Adriana. Tangan kanannya meraih kaca spion
depan untuk memastikan dandanannya tidak berantakan.
“Kita sampai.” kata Agi saat mencabut kunci mobilnya. Agi
berjalan memutar dan membukakan pintu untuk Adriana. Gadis itu keluar dengan
cara yang sangat anggun.
Agi membawa Adriana ke warung lesehan di depan hotel Inna
Garuda. Bagaimana pun Agi selalu mengingat pesan mama, pilih wanita yang bisa tersenyum sama lebarnya ketika diajak makan di
restauran mahal atau warung yang murah, katanya. Agi mengingat pesan itu
dengan sangat jelas. Dan sekarang dia ingin menguji perempuan pilihannya.
Adriana terlihat kaget, tapi kemudian tersenyum. “Kau cenayang
atau apa?” katanya saat mereka mendekati salah satu warung lesehan yang biasa
dikunjungi Agi bersama Lofa. “Kau tahu aku sedang ingin makan ayam goreng,”
katanya sambil tertawa.
Agi hanya menahan senyumnya saat Adriana buru-buru masuk ke
salah satu warung dan duduk dengan nyaman. Setidaknya sejauh ini Adriana
berhasil memenuhi permintaan mama yang satu itu.
“Kau tidak masalah kan kita makan di sini?” tanya Agi basa-basi
setelah memesan makanan.
Adriana menggeleng, masih sambil tersenyum. “Tidak masalah
selama perutku kenyang.”
Adriana menegakkan tubuhnya saat tersentak kaget, seperti baru
saja teringat pada sesuatu yang sangat penting.
“Kau jadi menemaniku ke acara pertunangan Nura kan?” tanya Adriana,
sebelah alisnya terangkat.
“Tentu saja,”
Mendengar jawaban Agi, Adriana kembali tersenyum. “Terima
kasih,” katanya pelan.
***
Agi mengantar Adriana kembali ke rumah Nura. Ada Dhanny dan Nura
di luar, sepertinya Dhanny baru akan pulang. Agi memarkir mobilnya tepat di
belakang mobil Dhanny. Nura dan Dhanny langsung menoleh saat Agi turun dari
mobil, berjalan memutar dan membukakan pintu untuk Adriana.
“Kita harus double date
kapan-kapan,” kata Nura ringan sambil tertawa.
Agi hanya tersenyum saat mendapati Adriana melotot untuk
memperingatkan sepupunya.
“Kau langsung pulang?” tanya Adriana pelan.
Agi melirik jam tangannya, masih belum terlalu malam, mungkin
Lofa masih di cafe.
“Aku akan ke cafe sebentar.”
Adriana hanya mengangguk, raut cerianya sedikit pudar. Setelah
diam beberapa detik, Adriana berhasil berkompromi dengan apa pun-yang-dia-pikirkan
dan kembali tersenyum.
“Sampaikan salamku untuk Lofa,” kata Adriana.
Agi hanya mengangguk, “Aku pergi dulu.”
Setelah berpamitan pada Nura dan Dhanny yang sepertinya tidak ingin
berpisah barang sedetik, Agi meluncur pergi. Dia memacu mobilnya pelan melewati
jalanan Jogja di malam hari yang lengang.
Agi memelankan laju mobilnya di depan cafe, menyipitkan mata
untuk melihat ke dalam cafe melalui pintu kaca. Sepertinya Lofa tidak
membutuhkan bantuannya. Alih-alih memarkir mobilnya, Agi malah meluncur pergi.
Memberikan waktu bagi Angga untuk menemani Lofa.
0 komentar:
Post a Comment