Rss Feed
  1. Cafe Lofa : Hari Pertunangan

    Friday, February 14, 2014

    BAGIAN 7

    Lofa menutup cafenya lebih awal hari ini. Dia harus bersiap-siap untuk acara malam ini. Gaun yang akan Lofa pakai sudah digantungkan pada gagang lemari saat Lofa masuk ke kamar. Sepertinya ibu yang menyiapkan gaun Lofa.
    Terakhir kali Lofa memakai gaun itu adalah saat malam inagurasi kelulusannya dua tahun yang lalu. Semoga saja masih muat. Sepertinya ukuran tubuh Lofa tidak banyak berubah sejak lulus kuliah.
    Lofa duduk di pinggiran kasur, memandangi gaun yang digantung itu. Gadis itu menelengkan kepalanya, menatap warna merah gaun itu lekat-lekat. Pukul tujuh tepat Angga akan menjemputnya. Lofa hanya punya waktu tiga puluh menit untuk berdandan, tapi dia benar-benar tidak berselera. Bayangan akan melihat Agi dan Adriana bermesraan di acara pertunangan itu membuat Lofa sesak. Tapi dia akan merasa bersalah pada Dhanny jika tidak datang. Pemuda itu sudah mengiriminya buket bunga lili yang indah, mana mungkin Lofa akan menolak untuk datang.
    Setelah menghela nafas panjang, Lofa bangkit dan meraih baju itu. Ukurannya masih terlihat pas di tubuh Lofa. Gaun merah itu menjuntai sampai lutut. Gadis itu mematut diri di depan cermin untuk beberapa saat. Memutar badannya ke kanan dan ke kiri untuk melihat bagian belakang gaunnya. Tidak ada yang aneh. Urusan gaun, selesai. Sekarang Lofa menyisir rambut panjangnya, tidak tahu bagaimana menata rambutnya yang tergerai sampai punggung. Lofa mendesah frustasi. Waktunya tinggal 15 menit lagi. Lofa memutuskan untuk meninggalkan urusan rambut dan beralih pada wajahnya. Dia perlu make-up. Meja riasnya hanya berisi bedak bayi dan lip gloss. Lofa jarang sekali memakai make-up.
    Dengan langkah lebar-lebar Lofa berjalan menuju kamar ibu. Mengetuk pintunya beberapa kali sebelum mengintip ke dalam. Ibu sedang melipat pakaian saat Lofa masuk.
    “Aku butuh make-up.” kata Lofa singkat.
    Ibu hanya tersenyum kemudian membimbing Lofa duduk di depan meja rias besar yang ada di kamar ibu. Berbeda dengan Lofa, ibu memiliki peralatan make-up yang sangat lengkap. Lofa penasaran kapan ibu pernah menggunakan kosmetik berwarna-warni itu.
    Dengan sangat cekatan ibu memulaskan bedak, eye shadow dan blush on pada wajah Lofa. Gadis itu menurut saja saat ibu merias majahnya. Sentuhan terakhir adalah bibirnya. Ibu memberikan warna peach untuk bibir Lofa. Setelah yakin ibu sudah selesai meriasnya, Lofa membuka mata. Awalnya Lofa khawatir akan terlihat seperti tante-tante, tapi ternyata dia salah. Wajahnya masih terlihat natural, hanya sekarang terlihat sedikit lebih berwarna.
    Ibu membelai rambut Lofa. Mengangkat sisi kanan rambutnya dan menyematkan sirkam perak di sana. Sirkam itu memiliki ukiran bunga yang berkerlip.
    “Kau sudah siap.” bisik ibu di dekat telinga Lofa.
    Lofa hanya tersenyum.
    ***
    Angga datang pukul tujuh tepat. Pemuda itu bisa tahu persis rumah Lofa hanya dengan sekali arahan. Angga sedang bersandar pada salah satu tiang di teras saat Lofa keluar. Dia langsung berbalik, memamerkan senyumnya. Lofa tidak tahan untuk mengamati Angga dari ujung kaki sampai ujung kepala. Dia memakai celana kain hitam dan atasan kaus merah yang dipadukan dengan blazer hitam. Rambutnya ditata rapi.
    “Kau...”
    “Aneh,” sergah Angga sebelum Lofa sempat menyelesaikan komentarnya. “aku tahu. Aku tidak punya kemeja merah, jadi aku pakai ini.” Angga menunjuk kaus merahnya.
    Lofa menggeleng, masih mengamati penampilan Angga. “Aku baru mau bilang keren.”
    “Terima kasih atas basa-basinya yang sangat menghibur.” katanya sambil tersenyum. “Kau siap?”
    Lofa hanya mengangguk.
    Tepat saat Lofa akan mengekor Angga, pemuda itu berhenti kemudian berbalik untuk memandang Lofa. “Maaf, tapi aku tidak punya mobil.” katanya pelan. Merasa bersalah. “Apa kau tidak masalah kita pergi dengan itu?” Angga menunjuk motornya yang terparkir di halaman rumah Lofa.
    Tanpa menjawab, Lofa langsung kembali masuk ke dalam rumah. Dia mengambil helm kesayangannya.
    “Tidak masalah,” kata Lofa sambil memamerkan helm-nya saat keluar.
    Angga tersenyum sekilas, “Bagus.”
    ***
    Angga memarkir motornya di antara puluhan motor-motor lain. Mobil yang terparkir juga tidak kalah banyak. Lofa mengenali salah satunya. Itu mobil Agi. Dia sudah datang.
    “Kau sudah siap?” Suara itu membuyarkan lamunan Lofa.
    Lofa menarik nafas panjang beberapa kali. Dia ingin menenangkan jantungnya yang melompat-lompat liar. Gadis itu hanya menunduk, menatap kedua kakinya yang dibalut high heels merah. Entah kenapa Lofa tidak bisa menggerakkan kakinya untuk melangkah masuk. Bagaimana jika melihat Agi bersama Adriana membuat hatinya semakin hancur? Lofa tidak akan bisa menyatukannya lagi jika hatinya sampai hancur lebur.
    Tubuh Lofa menegang saat merasakan ada yang hangat di tangan kanannya. Pandangan matanya jatuh pada tangan Angga yang menggenggamnya. Lofa hanya diam, membiarkan Angga membimbingnya masuk.
    Dekorasi taman malam ini terlihat sangat indah. Lofa sangat yakin Adriana yang menata taman ini. Ada banyak sekali lampu kerlap kerlip yang menghiasi pepohonan, membuatnya seperti taman bintang. Lofa masih terkesima menatap ornamen lampu itu saat tiba-tiba Angga melepaskan tangannya. Lofa memandangi Angga bingung, tapi pemuda itu menatap lurus ke depan. Lofa mengikuti arah pandangannya. Jantungnya mencelos. Paru-parunya mendadak kehabisan udara untuk bernafas. Itu Agi. Dia sedang menunduk memandangi Adriana. Sesaat kemudian Adriana mendongak. Lofa yakin Adriana melihatnya kerena mereka bersitatap selama beberapa detik sampai akhirnya Agi menoleh. Dia hanya tersenyum. Saat Lofa benar-benar hancur seperti ini Agi malah tersenyum? Sahabat macam apa dia itu?
    Pandangan Lofa mulai kabur karena genangan air di pelupuk matanya. Gadis itu pura-pura menatap dekorasi di atasnya untuk mencegah air mata itu meluncur turun. Matanya perih. Rasanya ingin sekali Lofa berlari dari tempat itu dan menangis sekencang-kencangnya. Lofa tidak peduli jika orang-orang menganggapnya gila. Dia hanya...patah hati.
    “Kau datang!” Itu Adriana. Dia sudah membentangkan kedua tangannya lebar-lebar, siap memeluk Lofa. Gadis itu hanya diam di tempat. Membiarkan Adriana mendekatinya. Lofa hanya membalas sekilas pelukan Adriana.
    “Kau sangat jarang berdandan seperti ini.” Itu komentar pertama yang diucapkan Agi. Setelah membuat Lofa benar-benar sakit, berani-beraninya Agi berkomentar tentang penampilannya.
    “Dhanny mengundangku.” Itu kalimat yang diucapkan Lofa. Kalimat netral.
    Adriana terlihat kaget, tapi kemudian membimbing Lofa dan Angga untuk mendekati Dhanny dan tunangannya. Mereka terlihat sangat bahagia di bawah dekorasi bunga mawar putih yang indah. Dhanny memakai jas hitam resmi dan pasangannya memakai gaun merah marun berenda emas. Lofa menyalami mereka berdua. Sedikit berbasa-basi tentang dekorasi taman yang menarik. Tunangan Dhanny terlihat malu-malu saat Lofa bilang mereka berdua sangat cocok. Lima menit yang terasa sangat lama. Lofa sudah kehabisan kata-kata untuk berbasa-basi.
    Setelah mengucapkan selamat pada Dhanny dan pasangannya, Lofa memutuskan untuk mengasingkan diri di pojok taman. Dia hanya berdiri diam. Angga sangat setia menemaninya, tidak menanyakan apa pun.
    Pandangan Lofa sama sekali tidak bisa berpaling dari Agi dan Adriana yang terlihat sangat bahagia di sana, di dekat meja prasmanan. Adriana sedang memilihkan makanan untuk Agi. Dulu Lofa yang selalu melakukannya. Dia selalu memaksa Agi mencoba makanan pedas. Diam-diam Lofa tersenyum mengingat kenangan itu. Saat Agi masih sangat dekat dengannya. Senyum itu pudar saat Lofa melihat Adriana menyuapkan makanan pada Agi. Pelupuk matanya sudah tidak mampu lagi membendung air mata yang memaksa keluar. Lofa hanya tertunduk saat air mata itu meluncur mulus di kedua pipinya.
    Lofa tersentak saat ada yang menyambar lengannya. Dia hanya diam saat Angga menariknya keluar dari taman yang ramai itu. Tanpa mengatakan apa pun Angga menyodorkan helm pada Lofa.
    “Kau tidak perlu berlama-lama di sini.” kata Angga pelan saat menyalakan mesin motornya.
    Lofa naik ke atas motor dengan patuh. Dia hanya diam sepanjang perjalanan.
    “Bawa aku ke cafe.” kata Lofa di tengah perjalanan. Dia tidak bisa menangis tersedu-sedu di rumah. Ibu dan ayah akan mendengar tangisannya. Lofa memutuskan untuk menenangkan diri di cafenya yang sepi.
    Lofa langsung turun saat Angga memarkir motornya. Dia berbalik sebelum masuk ke dalam.
    “Terima kasih. Kau pulang saja.” kata Lofa pelan.
    “Kau yakin tidak ingin aku temani?” Angga terlihat khawatir.
    Lofa menggeleng, “Aku tidak apa-apa. Ada beberapa hal yang harus aku urus.” dustanya.
    Tanpa menunggu Angga pergi, Lofa langsung masuk ke dalam cafenya. Gelap dan sepi. Dengan langkah terseok-seok Lofa berjalan menuju ruang baca. Menyalakan satu lampu dan meringkuk di salah satu sofa. Keadaannya begitu menyedihkan. Dia hanya meringkuk sambil menangis. Dia tahu menangis tidak akan bisa membuat Agi putus dan memilihnya secara tiba-tiba. Lofa hanya ingin membagi kesedihannya pada kekosongan yang mengelilinginya.
    Matanya perih, dadanya sudah sesak karena terus terisak. Entah sudah berapa lama Lofa meringkuk di sini. Badannya pegal-pegal saat Lofa bangun. Air matanya sudah kering. Rupanya Lofa tertidur saat menangis tadi. Gadis itu pergi ke dapur untuk membasuh wajahnya. Dia tidak bisa pulang dalam keadaan seperti ini. Ibu bisa panik jika melihat mata Lofa yang bengkak dan hidungnya yang merah.
    Lofa melirik jam dinding di atas meja bar. Sudah hampir tengah malam. Gadis itu mendadak panik. Bagaimana dia bisa pulang jam segini? Akan sangat berbahaya jika Lofa jalan kaki ke rumah sendirian.
    Lofa meraih ponselnya dari dalam tas jinjing kecil yang dibawanya. Ada tiga panggilan tak terjawab, semuanya dari ibu. Lofa pasti sudah membuat orang rumah khawatir karena tidak memberi kabar sampai larut malam begini. Sekarang dia bingung bagaimana cara pulang yang paling aman. Lofa sudah siap menekan tombol speed dial yang akan menghubungkannya pada ponsel Agi. Bayangan Agi dan Adriana di pesta tadi membuat Lofa urung melakukannya. Dia memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas. Pasti ada taksi, putusnya.
    Tubuh ramping Lofa membeku saat melihat Angga berjongkok di depan cafenya, dia sedang menyeruput sesuatu dari mangkok. Saat melihat Lofa keluar, Angga langsung berdiri.
    “Kau masih di sini?” tanya Lofa tidak percaya.
    “Aku rasa kau butuh tumpangan pulang,” kata Angga ringan sambil menelengkan kepalanya ke arah motor.
    Angga menunggunya. Dia pasti tahu apa yang Lofa rasakan saat di pesta tadi. Dia pasti tahu Lofa menyukai Agi. Pikiran itu benar-benar mengganggu Lofa.
    “Aku...” Lofa sudah bersiap untuk menjelaskan semuanya pada Angga.
    “Kau pernah mencoba sekoteng di sini? Ternyata enak.” sergah Angga sebelum Lofa menyelesaikan kalimatnya.
    Angga bahkan tidak bertanya. Entah bagaimana, sepertinya Angga selalu tahu waktu yang tepat untuk mengalihkan topik pembicaraan.
    “Kau mau?” tanya Angga lagi saat Lofa hanya diam.
    Gadis itu menggeleng pelan. Jika Angga tidak menanyakan alasan Lofa menangis, rasanya Lofa tidak perlu memberikan penjelasan apa pun padanya.
    “Kau mau langsung pulang?” Angga sudah mengembalikan mangkok sekotengnya pada si penjual. Lofa tidak ingat pernah melihat gerobak sekoteng itu di sini.
    “Ayo,” kata Angga bersemangat saat menyalakan mesin motornya.
    Lagi-lagi Lofa naik ke atas motor dengan patuh. Diam-diam Lofa sangat senang Angga menunggunya.

  2. 0 komentar:

    Post a Comment