BAGIAN 7
Lofa menutup cafenya lebih awal hari ini. Dia harus bersiap-siap
untuk acara malam ini. Gaun yang akan Lofa pakai sudah digantungkan pada gagang
lemari saat Lofa masuk ke kamar. Sepertinya ibu yang menyiapkan gaun Lofa.
Terakhir kali Lofa memakai gaun itu adalah saat malam inagurasi
kelulusannya dua tahun yang lalu. Semoga saja masih muat. Sepertinya ukuran
tubuh Lofa tidak banyak berubah sejak lulus kuliah.
Lofa duduk di pinggiran kasur, memandangi gaun yang digantung
itu. Gadis itu menelengkan kepalanya, menatap warna merah gaun itu lekat-lekat.
Pukul tujuh tepat Angga akan menjemputnya. Lofa hanya punya waktu tiga puluh
menit untuk berdandan, tapi dia benar-benar tidak berselera. Bayangan akan
melihat Agi dan Adriana bermesraan di acara pertunangan itu membuat Lofa sesak.
Tapi dia akan merasa bersalah pada Dhanny jika tidak datang. Pemuda itu sudah
mengiriminya buket bunga lili yang indah, mana mungkin Lofa akan menolak untuk
datang.
Setelah menghela nafas panjang, Lofa bangkit dan meraih baju
itu. Ukurannya masih terlihat pas di tubuh Lofa. Gaun merah itu menjuntai
sampai lutut. Gadis itu mematut diri di depan cermin untuk beberapa saat. Memutar
badannya ke kanan dan ke kiri untuk melihat bagian belakang gaunnya. Tidak ada
yang aneh. Urusan gaun, selesai. Sekarang Lofa menyisir rambut panjangnya,
tidak tahu bagaimana menata rambutnya yang tergerai sampai punggung. Lofa
mendesah frustasi. Waktunya tinggal 15 menit lagi. Lofa memutuskan untuk
meninggalkan urusan rambut dan beralih pada wajahnya. Dia perlu make-up. Meja riasnya hanya berisi bedak
bayi dan lip gloss. Lofa jarang
sekali memakai make-up.
Dengan langkah lebar-lebar Lofa berjalan menuju kamar ibu. Mengetuk
pintunya beberapa kali sebelum mengintip ke dalam. Ibu sedang melipat pakaian
saat Lofa masuk.
“Aku butuh make-up.”
kata Lofa singkat.
Ibu hanya tersenyum kemudian membimbing Lofa duduk di depan meja
rias besar yang ada di kamar ibu. Berbeda dengan Lofa, ibu memiliki peralatan make-up yang sangat lengkap. Lofa
penasaran kapan ibu pernah menggunakan kosmetik berwarna-warni itu.
Dengan sangat cekatan ibu memulaskan bedak, eye shadow dan blush on
pada wajah Lofa. Gadis itu menurut saja saat ibu merias majahnya. Sentuhan
terakhir adalah bibirnya. Ibu memberikan warna peach untuk bibir Lofa. Setelah yakin ibu sudah selesai meriasnya,
Lofa membuka mata. Awalnya Lofa khawatir akan terlihat seperti tante-tante,
tapi ternyata dia salah. Wajahnya masih terlihat natural, hanya sekarang
terlihat sedikit lebih berwarna.
Ibu membelai rambut Lofa. Mengangkat sisi kanan rambutnya dan
menyematkan sirkam perak di sana. Sirkam itu memiliki ukiran bunga yang
berkerlip.
“Kau sudah siap.” bisik ibu di dekat telinga Lofa.
Lofa hanya tersenyum.
***
Angga datang pukul tujuh tepat. Pemuda itu bisa tahu persis
rumah Lofa hanya dengan sekali arahan. Angga sedang bersandar pada salah satu
tiang di teras saat Lofa keluar. Dia langsung berbalik, memamerkan senyumnya. Lofa
tidak tahan untuk mengamati Angga dari ujung kaki sampai ujung kepala. Dia
memakai celana kain hitam dan atasan kaus merah yang dipadukan dengan blazer hitam. Rambutnya ditata rapi.
“Kau...”
“Aneh,” sergah Angga sebelum Lofa sempat menyelesaikan
komentarnya. “aku tahu. Aku tidak punya kemeja merah, jadi aku pakai ini.” Angga
menunjuk kaus merahnya.
Lofa menggeleng, masih mengamati penampilan Angga. “Aku baru mau
bilang keren.”
“Terima kasih atas basa-basinya yang sangat menghibur.” katanya
sambil tersenyum. “Kau siap?”
Lofa hanya mengangguk.
Tepat saat Lofa akan mengekor Angga, pemuda itu berhenti kemudian
berbalik untuk memandang Lofa. “Maaf, tapi aku tidak punya mobil.” katanya
pelan. Merasa bersalah. “Apa kau tidak masalah kita pergi dengan itu?” Angga
menunjuk motornya yang terparkir di halaman rumah Lofa.
Tanpa menjawab, Lofa langsung kembali masuk ke dalam rumah. Dia
mengambil helm kesayangannya.
“Tidak masalah,” kata Lofa sambil memamerkan helm-nya saat
keluar.
Angga tersenyum sekilas, “Bagus.”
***
Angga memarkir motornya di antara puluhan motor-motor lain. Mobil
yang terparkir juga tidak kalah banyak. Lofa mengenali salah satunya. Itu mobil
Agi. Dia sudah datang.
“Kau sudah siap?” Suara itu membuyarkan lamunan Lofa.
Lofa menarik nafas panjang beberapa kali. Dia ingin menenangkan
jantungnya yang melompat-lompat liar. Gadis itu hanya menunduk, menatap kedua
kakinya yang dibalut high heels
merah. Entah kenapa Lofa tidak bisa menggerakkan kakinya untuk melangkah masuk.
Bagaimana jika melihat Agi bersama Adriana membuat hatinya semakin hancur? Lofa
tidak akan bisa menyatukannya lagi jika hatinya sampai hancur lebur.
Tubuh Lofa menegang saat merasakan ada yang hangat di tangan kanannya.
Pandangan matanya jatuh pada tangan Angga yang menggenggamnya. Lofa hanya diam,
membiarkan Angga membimbingnya masuk.
Dekorasi taman malam ini terlihat sangat indah. Lofa sangat
yakin Adriana yang menata taman ini. Ada banyak sekali lampu kerlap kerlip yang
menghiasi pepohonan, membuatnya seperti taman bintang. Lofa masih terkesima
menatap ornamen lampu itu saat tiba-tiba Angga melepaskan tangannya. Lofa
memandangi Angga bingung, tapi pemuda itu menatap lurus ke depan. Lofa
mengikuti arah pandangannya. Jantungnya mencelos. Paru-parunya mendadak kehabisan
udara untuk bernafas. Itu Agi. Dia sedang menunduk memandangi Adriana. Sesaat
kemudian Adriana mendongak. Lofa yakin Adriana melihatnya kerena mereka
bersitatap selama beberapa detik sampai akhirnya Agi menoleh. Dia hanya
tersenyum. Saat Lofa benar-benar hancur seperti ini Agi malah tersenyum? Sahabat
macam apa dia itu?
Pandangan Lofa mulai kabur karena genangan air di pelupuk
matanya. Gadis itu pura-pura menatap dekorasi di atasnya untuk mencegah air
mata itu meluncur turun. Matanya perih. Rasanya ingin sekali Lofa berlari dari
tempat itu dan menangis sekencang-kencangnya. Lofa tidak peduli jika orang-orang
menganggapnya gila. Dia hanya...patah hati.
“Kau datang!” Itu Adriana. Dia sudah membentangkan kedua tangannya
lebar-lebar, siap memeluk Lofa. Gadis itu hanya diam di tempat. Membiarkan Adriana
mendekatinya. Lofa hanya membalas sekilas pelukan Adriana.
“Kau sangat jarang berdandan seperti ini.” Itu komentar pertama
yang diucapkan Agi. Setelah membuat Lofa benar-benar sakit, berani-beraninya Agi
berkomentar tentang penampilannya.
“Dhanny mengundangku.” Itu kalimat yang diucapkan Lofa. Kalimat
netral.
Adriana terlihat kaget, tapi kemudian membimbing Lofa dan Angga
untuk mendekati Dhanny dan tunangannya. Mereka terlihat sangat bahagia di bawah
dekorasi bunga mawar putih yang indah. Dhanny memakai jas hitam resmi dan pasangannya
memakai gaun merah marun berenda emas. Lofa menyalami mereka berdua. Sedikit
berbasa-basi tentang dekorasi taman yang menarik. Tunangan Dhanny terlihat
malu-malu saat Lofa bilang mereka berdua sangat cocok. Lima menit yang terasa
sangat lama. Lofa sudah kehabisan kata-kata untuk berbasa-basi.
Setelah mengucapkan selamat pada Dhanny dan pasangannya, Lofa
memutuskan untuk mengasingkan diri di pojok taman. Dia hanya berdiri diam. Angga
sangat setia menemaninya, tidak menanyakan apa pun.
Pandangan Lofa sama sekali tidak bisa berpaling dari Agi dan Adriana
yang terlihat sangat bahagia di sana, di dekat meja prasmanan. Adriana sedang
memilihkan makanan untuk Agi. Dulu Lofa yang selalu melakukannya. Dia selalu
memaksa Agi mencoba makanan pedas. Diam-diam Lofa tersenyum mengingat kenangan
itu. Saat Agi masih sangat dekat dengannya. Senyum itu pudar saat Lofa melihat
Adriana menyuapkan makanan pada Agi. Pelupuk matanya sudah tidak mampu lagi
membendung air mata yang memaksa keluar. Lofa hanya tertunduk saat air mata itu
meluncur mulus di kedua pipinya.
Lofa tersentak saat ada yang menyambar lengannya. Dia hanya diam
saat Angga menariknya keluar dari taman yang ramai itu. Tanpa mengatakan apa
pun Angga menyodorkan helm pada Lofa.
“Kau tidak perlu berlama-lama di sini.” kata Angga pelan saat
menyalakan mesin motornya.
Lofa naik ke atas motor dengan patuh. Dia hanya diam sepanjang
perjalanan.
“Bawa aku ke cafe.” kata Lofa di tengah perjalanan. Dia tidak
bisa menangis tersedu-sedu di rumah. Ibu dan ayah akan mendengar tangisannya. Lofa
memutuskan untuk menenangkan diri di cafenya yang sepi.
Lofa langsung turun saat Angga memarkir motornya. Dia berbalik
sebelum masuk ke dalam.
“Terima kasih. Kau pulang saja.” kata Lofa pelan.
“Kau yakin tidak ingin aku temani?” Angga terlihat khawatir.
Lofa menggeleng, “Aku tidak apa-apa. Ada beberapa hal yang harus
aku urus.” dustanya.
Tanpa menunggu Angga pergi, Lofa langsung masuk ke dalam
cafenya. Gelap dan sepi. Dengan langkah terseok-seok Lofa berjalan menuju ruang
baca. Menyalakan satu lampu dan meringkuk di salah satu sofa. Keadaannya begitu
menyedihkan. Dia hanya meringkuk sambil menangis. Dia tahu menangis tidak akan
bisa membuat Agi putus dan memilihnya secara tiba-tiba. Lofa hanya ingin membagi
kesedihannya pada kekosongan yang mengelilinginya.
Matanya perih, dadanya sudah sesak karena terus terisak. Entah
sudah berapa lama Lofa meringkuk di sini. Badannya pegal-pegal saat Lofa bangun.
Air matanya sudah kering. Rupanya Lofa tertidur saat menangis tadi. Gadis itu
pergi ke dapur untuk membasuh wajahnya. Dia tidak bisa pulang dalam keadaan
seperti ini. Ibu bisa panik jika melihat mata Lofa yang bengkak dan hidungnya
yang merah.
Lofa melirik jam dinding di atas meja bar. Sudah hampir tengah
malam. Gadis itu mendadak panik. Bagaimana dia bisa pulang jam segini? Akan sangat
berbahaya jika Lofa jalan kaki ke rumah sendirian.
Lofa meraih ponselnya dari dalam tas jinjing kecil yang
dibawanya. Ada tiga panggilan tak terjawab, semuanya dari ibu. Lofa pasti sudah
membuat orang rumah khawatir karena tidak memberi kabar sampai larut malam
begini. Sekarang dia bingung bagaimana cara pulang yang paling aman. Lofa sudah
siap menekan tombol speed dial yang akan
menghubungkannya pada ponsel Agi. Bayangan Agi dan Adriana di pesta tadi
membuat Lofa urung melakukannya. Dia memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas.
Pasti ada taksi, putusnya.
Tubuh ramping Lofa membeku saat melihat Angga berjongkok di
depan cafenya, dia sedang menyeruput sesuatu dari mangkok. Saat melihat Lofa
keluar, Angga langsung berdiri.
“Kau masih di sini?” tanya Lofa tidak percaya.
“Aku rasa kau butuh tumpangan pulang,” kata Angga ringan sambil
menelengkan kepalanya ke arah motor.
Angga menunggunya. Dia pasti tahu apa yang Lofa rasakan saat di
pesta tadi. Dia pasti tahu Lofa menyukai Agi. Pikiran itu benar-benar
mengganggu Lofa.
“Aku...” Lofa sudah bersiap untuk menjelaskan semuanya pada Angga.
“Kau pernah mencoba sekoteng di sini? Ternyata enak.” sergah
Angga sebelum Lofa menyelesaikan kalimatnya.
Angga bahkan tidak bertanya. Entah bagaimana, sepertinya Angga
selalu tahu waktu yang tepat untuk mengalihkan topik pembicaraan.
“Kau mau?” tanya Angga lagi saat Lofa hanya diam.
Gadis itu menggeleng pelan. Jika Angga tidak menanyakan alasan
Lofa menangis, rasanya Lofa tidak perlu memberikan penjelasan apa pun padanya.
“Kau mau langsung pulang?” Angga sudah mengembalikan mangkok
sekotengnya pada si penjual. Lofa tidak ingat pernah melihat gerobak sekoteng
itu di sini.
“Ayo,” kata Angga bersemangat saat menyalakan mesin motornya.
Lagi-lagi Lofa naik ke atas motor dengan patuh. Diam-diam Lofa
sangat senang Angga menunggunya.
0 komentar:
Post a Comment