Friendzone
itu seperti selaput tipis yang transparan dan tak kasat mata. Kau bisa saja
saling merangkul, memeluk, mengusap puncak kepala sahabatmu dan tidak jatuh
cinta sama sekali. Itulah peraturan yang diharuskan dalam friendzone. Tidak peduli seberapa dekat atau seberapa sayang kau
pada sahabatmu, selaput itu tidak akan mengijinkanmu jatuh cinta. Itu seperti
peraturan tidak tertulis yang entah bagaimana dituruti dengan patuh oleh
sebagian orang. Agi jelas termasuk salah satu penganut paham friendzone ini. Sayangnya, Lofa bukan
tipe orang penurut. Dia menentang hukum alam itu dan menuruti egonya untuk
mencintai Agi yang berakhir dengan melukai hatinya sendiri.
Lofa seperti kehilangan seluruh minatnya pada segala hal. Dia
memutuskan untuk tinggal di rumah hari ini. Pikiran penghasilan cafe yang
menguap bahkan tidak bisa membuatnya bergerak barang sedikit dari dekapan
kasurnya. Lofa meringkuk rapat di bawah bed
cover-nya yang tebal, seperti seekor trenggiling yang takut diserang. Dia
bahkan tidak mengijinkan siapa pun masuk ke kamarnya. Sebagai orang tua yang
baik, tentu saja ibu tahu tanda-tanda patah hati yang sedang ditunjukkan putri
sulungnya.
Ibu menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga dengan sangat
baik, dengan mengetuk pintu kamar Lofa setiap 30 menit sekali. Ibu menanyakan
banyak hal. Mulai dari apa ada yang ingin
kau ceritakan?, sampai apa kau lapar?.
Untuk pertanyaan yang terakhir itu, Lofa ingin sekali meneriakkan jawabannya
keras-keras, AKU SANGAT LAPAR! dan
keluar dari kamar untuk memakan apa pun yang ibu siapkan di dapur. Tapi gadis
itu tidak melakukannya. Penampilannya sedang sangat buruk. Sangat sangat buruk.
Matanya bengkak karena terus menangis, rambut panjangnya acak-acakan dan
mengembang seperti singa. Dia bisa dianggap gelandangan kelaparan jika langsung
melahap semua makanan di dapur dengan penampilan seperti itu.
Lofa baru berani melongok keluar dari persembunyiannya saat
matahari sudah memancarkan cahaya miring yang menerangi kamarnya. Sudah hampir
siang dan dia belum melakukan apa-apa sama sekali. Lofa menatap jam dinding
kamarnya dengan nanar. Jam 11 pagi. Tidak ada tanda-tanda ibu akan mengetuk
pintu kamarnya dalam waktu dekat. Lofa memutuskan untuk melepaskan diri dari
dekapan singgasananya dan membersihkan diri. Mungkin mandi air hangat bisa sedikit mengurangi rasa sedih, pikir
Lofa optimis.
Lofa mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk, sedikit
melirik ke arah jam dinding. Dia sudah berlama-lama di kamar mandi dan ternyata
hanya menghabiskan waktu 20 menit. Setelah selesai dengan rambutnya, Lofa duduk
di pinggiran kasur, melirik ponselnya yang tergeletak damai di atas nakas. Agi
sama sekali tidak menghubunginya sejak pembicaraan semalam. Diam-diam Lofa
berharap Agi menghubunginya, meskipun Lofa berniat untuk langsung mematikan
ponselnya jika Agi menelpon.
Setelah diam selama beberapa menit, Lofa memutuskan untuk keluar
kamar. Perutnya sudah memberontak karena tidak dipedulikan sejak semalam. Lofa
mengendap-endap ke dapur, seperti maling di dalam rumahnya sendiri.
“Akhirnya kau keluar dari sarang juga.”
Lofa tersentak kaget saat mendengar suara ibu dan menjatuhkan
tempe goreng yang sudah sempat dia ambil. Ternyata dari tadi ibu duduk manis di
ruang keluarga. Pembatas yang terbuat dari partisi yang bolong-bolong
memudahkan ibu untuk mengawasi dapur dari tempatnya duduk sekarang.
Lofa mengambil kembali tempe goreng yang tadi sempat
dijatuhkannya. Lofa bisa merasakan tatapan ibu di setiap gerak-geriknya. Gadis
itu menarik satu kursi dan duduk, menghabiskan tempe gorengnya. Perutnya yang
sudah sangat lapar seperti mendapat pertanda baik dengan masuknya tempe itu ke
dalam lambungnya. Dalam hitungan detik, perut Lofa berbunyi keras saking
laparnya. Gadis itu langsung melahap semua makanan sisa sarapan yang ada di
hadapannya. Perutnya sedikit menggembung setelah kenyang.
“Sekarang kau sudah siap?”
Lofa mendelik, lupa ibu masih mengawasinya sejak tadi. Gadis itu
menoleh dengan ragu, ibunya tersenyum lembut sambil menepuk sofa di sebelahnya.
Memberi isyarat pada Lofa untuk duduk di sana. Dengan langkah pelan Lofa
menghampiri ibu.
“Kau bertengkar dengan Agi?” Tubuh Lofa langsung menegang saat
mendengar pertanyaan ibu. Dia baru tahu ibu seorang peramal.
Lofa hanya menggeleng pelan. Kepalanya langsung diam saat merasa
ibu membelai rambutnya yang masih sedikit basah.
“Jangan bohong,” kata ibu lembut. “Tadi pagi Agi datang ke
sini.”
Secara refleks Lofa langsung menoleh, menatap ibu dengan tatapan
penuh tanya, tapi mulutnya terkunci rapat.
“Dia tahu kau tidak akan mengangkat teleponnya, jadi dia
langsung datang ke sini. Tapi kau seperti sedang bersemedi di dalam kamar,
tidak bersuara sama sekali.” ibu menjelaskan.
Lofa hanya tertunduk. Di satu sisi dia menyesal tidak menemui
Agi. Di sisi lain, dia bersyukur. Lofa masih tidak tahu harus berkata apa jika
berhadapan langsung dengan Agi. Sepertinya Agi sama sekali tidak terpengaruh
dengan pembicaraan semalam. Hanya Lofa sendiri yang terlalu larut memikirkan
perasaannya.
“Dia minta maaf,” ibu melanjutkan. Dan lagi, kata-kata ibu membuat
Lofa langsung menoleh.
Agi
minta maaf? Jelas-jelas aku yang menyalahi kode etik, dan dia yang minta maaf? Lofa
berdebat dengan pikirannya sendiri.
“Dia tidak bilang masalahnya. Agi hanya bilang kalian sedikit berbeda
pendapat dan bertengkar. Dan dia minta maaf karena meninggalkanmu di cafe tadi
malam.”
Aku
yang mengusirnya! Lofa buru-buru menunduk agar ibu tidak melihat air matanya yang
sudah bersiap untuk meluncur turun.
Bahu Lofa menegang saat ibu menyentuhnya, “Menghindari masalah
hanya akan memperpanjang penderitaan.”
Masalahnya
tidak akan pernah selesai selama aku masih mencintainya.
“Agi sudah minta maaf kan? Jangan bertengkar lagi.” Ibu diam
sebentar, kemudian melanjutkan, “Dia sahabat yang baik.”
“Aku akan menghubunginya nanti,” jawab Lofa agar ibu berhenti
membahas masalah sahabat baik ini. Lofa
sama sekali tidak berniat menghubungi Agi dalam waktu dekat. Lebih baik seperti
ini. Jika Lofa benar-benar ingin membunuh tunas-tunas yang tumbuh di hatinya,
dia tidak boleh bertemu Agi. Tidak sama sekali.
***
Lofa sudah merasa lebih baik keesokan harinya. Dia memutuskan
untuk membuka cafenya lebih pagi. Pelanggan cafenya sedikit lebih banyak saat
hari libur. Setidaknya dengan buka lebih pagi Lofa bisa menutupi kerugiannya
kemarin.
Rutinitas Lofa dimulai dengan kebiasaannya mengelap perabotan
dapur, dilanjutkan dengan membersihkan meja-meja dan menata kursi-kursinya.
Setelah yakin semuanya siap, Lofa membalik tanda CLOSE pada pintu.
Lofa baru akan kembali ke balik meja bar saat mendengar
seseorang masuk. Pengunjung pertama. Lofa berbalik demi mendapati Angga yang
memakai kaus dan celana training berdiri
di ambang pintu cafenya. Jam 8 pagi dan pemuda itu sudah terdampar di sini.
“Selamat pagi,” sapa Lofa dengan senyum terkembang.
“Apa kau menyediakan minuman yang biasa saja? Aku kehausan.”
katanya sambil melangkah masuk, melewati Lofa dan duduk di salah satu kursi
tinggi.
Lofa mengambilkan segelas air putih dan menyodorkannya pada
Angga. Pemuda itu tersengal-sengal seperti baru saja dikejar anjing galak. Kausnya
basah karena keringat dan dia sedikit bau.
“Rumahmu di dekat sini?”
Angga sempat menggeleng sebelum meminum air putihnya.
“Kau jogging sampai ke
sini?” tanya Lofa saat memperhatikan Angga meneguk air putihnya cepat-cepat. Menimbulkan
suara geleguk yang terdengar sangat
jelas. Pemuda itu sangat kehausan.
Angga meletakkan gelasnya yang sudah kosong, kemudian
mengangguk.
“Sekarang aku sudah terlalu lelah untuk membayangkan pulang
dengan rute yang sama.”
“Yah, kau bisa istirahat sebentar di sini.” kata Lofa. Dia
mengambil gelas kosong di atas meja bar dan mengisinya lagi. Dia cukup yakin Angga
masih kehausan.
“Terima kasih,” kata Angga pelan sebelum meneguk gelas keduanya.
“Aku ke sini tadi malam,” kata Angga saat Lofa sedang menata
bahan-bahan di dapur. “Tapi ternyata tutup.” Angga terdengar kecewa.
“Yah, aku sedang ingin istirahat,” dusta Lofa.
Lofa tidak melihat Angga bergerak, tapi tiba-tiba saja pemuda
itu sudah berdiri di sampingnya. Lofa tidak mendongak saat menyadari kehadiran
Angga di sampingnya, berusaha tetap fokus dengan kegiatannya merapikan tumpukan
bahan-bahan di dalam refrigerator. Tapi
pandangan mata pemuda itu benar-benar membuat Lofa merasa tidak nyaman. Dia
berhenti dan menatap Angga.
“Kau harus mengajariku,” kata Angga antusias.
“Mengajari apa?”
Angga hanya menggerakkan dagunya ke luar. Lofa menelengkan kepalanya
untuk melihat apa yang Angga tunjuk. Lofa tidak begitu yakin, tapi sepertinya Angga
menunjuk papan hitam kecil di dekat meja bar.
“Minuman kebahagiaan?”
Angga hanya mengangguk.
Lofa langsung menggeleng, “Tidak bisa. Itu resep rahasia.”
“Begitu? Kau tidak ingin ada penerus?”
“Penerus?”
Setelah diam beberapa saat, Lofa akhirnya menyetujui permintaan
Angga. Bukan karena Lofa pikir kata-kata Angga ada benarnya, tapi karena dia
sedang malas berdebat. Angga tidak akan secara ajaib bisa membuat minuman
kebahagiaan yang lebih enak dan memutuskan untuk membuka cafe sendiri kan? Iya
kan?
Lofa menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat
minuman kebahagiaan: jelly blueberry
setengah cair, air jeruk dan es serut yang dibuat dari air kelapa. Lofa pertama
kali menciptakan resep ini saat pelajaran kulinari. Sebenarnya, Agi juga berperan
dalam penemuan resep ini. Agi yang bertugas sebagai ketua kelompok saat itu banyak
memberikan masukan pada Lofa tentang kombinasi rasa yang cocok.
“Ini apa?” Angga menunjuk cairan biru yang ada di wadah
aluminium.
“Jelly rasa blueberry.” jawab Lofa singkat.
Angga hanya mengangguk meskipun raut wajahnya terlihat masih
bingung.
“Kau hanya perlu memasukkan itu,” Lofa menunjuk cairan biru. “diamkan
beberapa saat, lalu tambahkan ini.” Lofa menunjuk wadah berisi air jeruk. “Dan
beri es serut ini. Komposisi masing-masing bahan menentukan rasanya.” Lofa
sudah merasa seperti seorang chef
juri pada sebuah kompetisi memasak. Yang diberi instruksi masih bergeming
dengan sebuah gelas kosong di tangan kanannya.
“Kau paham?” tanya Lofa saat kembali menatap Angga.
Dengan begitu mantap Angga mengangguk dan langsung mengikuti
instruksi yang baru saja diberikan Lofa. Pemuda itu menyiduk cairan biru kental
dengan takaran yang menurut Lofa sudah sesuai. Lofa hanya mengangguk melihat Angga
yang terlihat cukup cekatan. Sebuah gagasan untuk merekrut Angga menjadi salah
satu pegawai tetap terlintas di pikiran Lofa. Gadis itu buru-buru menggeleng. Lofa
sudah akan berteriak saat Angga menyiduk air jeruk begitu banyak. Belum sampai
Lofa bersuara, Angga mengurangi air jeruknya. Diam-diam Lofa menghembuskan
nafas yang sedari tadi ternyata dia tahan. Angga memasukkan serutan es air
kelapa sampai melebihi bibir gelas. Pemuda itu menambahkan hiasan daun mint di atasnya, sesuatu yang tidak
pernah Lofa lakukan. Lofa biasanya menghias gelas minuman kebahagiaan dengan
potongan jeruk.
Angga menyodorkan minuman buatannya pada Lofa.
Lofa mengambil sebuah sedotan kemudian mengaduk minuman itu
sampai menyatu dan menciptakan warna hijau tua. Gadis itu menyesap minumannya
perlahan. Sensasi dingin langsung merayap ke otaknya, dia yakin isi kepalanya
bisa beku jika minum terlalu banyak. Setelah sensasi dingin itu mereda, Lofa
mulai merasakan manis dan asam yang saling beradu di dalam mulutnya. Lofa
hampir lupa rasa minuman ciptaannya sendiri. Lofa hampir lupa alasan kenapa dia
memberi nama minuman kebahagiaan. Rasanya begitu membahagiakan, saat pertama
kali Lofa menciptakan minuman yang bisa dengan sempurna menggabungkan dua rasa
favoritnya: manis dan asam.
“Kau bahagia?”
Pertanyaan Angga baru saja membuyarkan lamunan Lofa. Seperti baru
saja ditarik dari khayangan, Lofa kembali merasakan gaya gravitasi yang menahan
kakinya tetap menempel pada tanah. Dia masih di sini.
“Apa?”
“Kau baru saja menyesap minuman
kebahagiaan. Jadi, apa kau bahagia?” Angga mengulangi pertanyaannya.
Lofa merasa pertanyaan Angga merangkum semua pertanyaan yang
selalu menari-nari bebas di kepalanya. Apa Lofa bahagia? Selama ini Lofa merasa
bahagia. Bahkan jauh sebelum Lofa mengenal Agi, dia merasa bahagia. Lalu kenapa
akhir-akhir ini dia merasa begitu menyedihkan? Kenapa sejak Agi lebih dekat
dengan Adriana, dia tidak lagi merasa begitu bahagia? Apa yang membuatnya
bahagia sebelum mengenal Agi? Banyak hal-hal kecil yang membuat Lofa merasa bahagia,
mengerjai Laufan ada pada urutan paling atas daftar kebahagiaannya waktu itu.
Lofa mendesah. Dia terlalu fokus pada perasaannya yang bertepuk
sebelah tangan sampai lupa diri. Lofa terlalu kalut sampai tidak menyadari ada
begitu banyak hal yang bisa membuatnya bahagia selain Agi. Pikirannya yang begitu
sempit membuat Lofa merasa prihatin pada dirinya sendiri.
Lofa mendongak dan menatap Angga dengan lebih mantap, “Aku
bahagia. Dan aku sangat bodoh karena tidak merasa seperti itu akhir-akhir ini.”
Dalam hatinya, Lofa sudah mendapat satu kesimpulan. Bukan salah
Agi jika dia memilih Adriana. Dan kebahagiaan Lofa sama sekali tidak ada hubungannya
dengan Agi. Lofa bisa mendapatkan kebahagiaannya sekaligus sahabat sebaik Agi
atau bahkan kehilangan keduanya. Itu pilihannya. Lofa berkuasa sepenuhnya untuk
menentukan pilihan itu.
0 komentar:
Post a Comment