Hidup Angga berjalan seperti biasa. Berangkat kerja pagi-pagi,
memastikan absennya tidak terlambat sedetik pun. Menyapa kepala tim. Berkutat
dengan komputernya di kantor sementara. Mengontrol kualitas material yang
digunakan perusahaannya untuk membangun fly
over. Membosankan.
Sesekali Angga bercanda dengan teman sebelahnya, tapi itu tidak
mengurangi sedikit pun rasa bosan yang menguasainya. Angga jadi lebih sering
melirik jam tangannya. Berharap waktu berputar dengan cepat. Sangat cepat. Dia
berharap malam merayap hanya dalam satu kedipan mata. Tapi dia hanya berkhayal.
Jarum pendek di jam tangannya tidak bergerak sedikit pun dari tempatnya sejak
terakhir kali Angga melihatnya. Waktu bergerak lambat seperti siput.
“Kau ada janji dengan seseorang?”
Angga langsung keluar dari lamunannya. Itu Dito, temannya di
bagian pengujian material.
“Tidak,” Angga buru-buru menjawab.
“Ini. Kerjakan ini sekarang juga. Pihak owner datang siang ini, laporan ini harus sudah selesai.” Kata Dito
sambil menyodorkan setumpuk kertas berisi hasil pengujiian.
“Siap!” Kata Angga lantang.
Angga menggeleng beberapa kali untuk mengembalikan kesadarannya.
Jemarinya mulai bermain lincah di atas keyboard.
Memasukkan angka-angka yang cukup banyak. Memuakkan.
Diam-diam Angga sudah memutuskan, dia akan berhenti dari
perusahaan ini setelah masa kontraknya selesai. Dia akan mencari pekerjaan
sebagai desainer grafis yang selama ini diimpikannya. Setelah mendapat pujian
dari Lofa dan pengunjung wanita itu, Angga merasa cukup yakin dengan
kemampuannya. Tapi akan butuh waktu lama untuk meyakinkan ayah. Angga bahkan
tidak yakin bisa meyakinkan ayah tentang keputusannya ini. Setiap kali melihat
ayah, bibirnya terkatup rapat, tidak bisa mengatakan apa pun.
***
Ayah sedang menonton televisi saat Angga pulang, seperti biasa.
Setelah meletakkan ranselnya di kamar, Angga duduk di samping ayah. Berniat
membicarakan masalah impiannya itu.
“Kau sudah pulang?” Tanya ayah saat Angga duduk di sampingnya.
Pandangan mata Angga tertuju tepat ke arah layar televisi, tapi
otaknya sama sekali tidak bisa mencerna acara apa yang sedang ditonton.
Pikirannya sibuk merangkai kata untuk bicara pada ayah.
“Sudah,” jawabnya singkat.
Hening. Hanya suara televisi yang samar-samar terdengar.
“Tiga bulan lagi masa kontrakku habis,” Angga memulai
pembicaraan dengan informasi itu.
Ayah mengangguk sekilas, “Kalau begitu pastikan mereka akan
tetap mempekerjakanmu setelah tiga bulan mendatang.”
Pembicaraan selesai. Selalu begitu. Ayah menentukan apa yang
harus Angga lakukan. Pemuda itu bahkan tidak berani untuk mendebat ayah.
Setelah hening beberapa saat, Angga memutuskan untuk masuk ke
kamar. Tidak ada yang bisa dibicarakan jika ayah sudah memutuskan sesuatu. Angga
menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur. Berguling dari satu ujung ke ujung lainnya
untuk menenangkan pikirannya.
Matanya terpaku pada buku sketsa yang tergeletak di atas meja.
Angga berguling ke ujung kasur untuk menggapai buku itu. Buku sketsa itu
terbuka saat jatuh dari meja. Menunjukkan gambar sketsa Lofa yang belum sempat
dia selesaikan kemarin. Angga buru-baru bangkit, mengambil buku itu dari
lantai. Jemarinya menyusuri gambar sketsa itu. Tinggal sedikit lagi.
Angga mengambil pensil gambarnya dari dalam laci. Tangannya
bergerak lembut saat menggoreskan detail-detail kecil pada wajah Lofa. Pancaran
mata gadis itu saat membuat pesanan. Angga masih ingat dengan jelas. Angga
meniup gambarnya setelah selesai untuk menghilangkan serpihan-serpihan pensil.
Sempurna.
Tanpa berpikir panjang Angga langsung memasukkan buku sketsa itu
ke dalam tas slempang, kemudian meraih kunci motornya. Cafe Lofa tidak seramai
saat pertama kali Angga datang. Tanpa melihat papan menu Angga langsung masuk
ke dalam. Dia akan memesan kopi. Satu-satunya menu yang paling dia ingat.
“Oh, kau datang lagi!” Lofa terlihat kaget, tapi wajahnya tetap
tersenyum.
Angga langsung mengeluarkan buku sketsanya, “Aku sudah janji
akan memberikannya padamu jika sudah selesai.”
“Kau sudah menyelesaikannya?” Tanya Lofa antusias.
Tepat saat Angga akan duduk di salah satu kursi tinggi, Agi
muncul dari balik rak buku tinggi yang membelah Cafe Lofa menjadi dua ruangan.
Angga tidak pernah memperhatikan dengan jelas ruangan apa yang ada di balik rak
buku itu. Agi muncul dengan memakai celemek dan membawa buku catatan kecil.
“Agi! Sedang apa kau di sini?” Tanya Angga pura-pura kaget. Diam-diam
Angga memuji kemampuan aktingnya sendiri, mengingat dulu dia pernah terpilih
menjadi salah satu aktor utama dalam drama SMA untuk acara perpisahan senior.
“Kalian saling kenal?” Tanya Lofa sebelum Agi menjawab.
“Kami satu sekolah,” jawab Agi kalem. Dia sama sekali tidak
mengimbangi akting Angga yang luar biasa.
Lofa hanya mengangguk
sekilas.
“Kau mengenalnya?” Tanya Agi dengan nada ketus sambil menunjuk
Angga, seolah-olah mengenal Angga adalah suatu keanehan.
Sial!
Umpat Angga dalam hati. Angga berusaha menahan tangannya agar
tidak memukul Agi sekarang juga.
“Dia salah satu pelanggan cafeku,” kata Lofa mantap. Baru tiga
kali Angga berkunjung dan dia sudah disebut pelanggan. “Dia pelukis hebat. Kau
tahu itu?”
Agi mengangkat sebelah bahunya sekilas, “Yah, dia pernah
menjuarai lomba lukis nasional saat SMA dulu.”
Angga hanya menatap Agi tidak percaya. Agi sangat payah dalam
hal akting, tapi caranya berbohong luar biasa meyakinkan. Sejak kapan Angga
ikut lomba melukis? Teman satu sekolahnya tidak ada yang tahu Angga bisa
melukis. Hanya Agi yang tahu, itu pun karena dia sudah sering melihat lukisan Angga
di kamar.
“Benarkah? Itu hebat!” Lofa terlihat sangat antusias mendengar
kebohongan Agi. Angga hanya mendesah.
“Suatu kehormatan bagiku, sang juara lomba nasional membuatkan
gambar sketsaku,” kata Lofa sambil menggerakkan tangannya.
“Oh,” Angga buru-buru menyodorkan buku sketsanya saat menyadari
arti isyarat tangan Lofa.
“Kau menggambar sketsanya?” Tanya Agi pelan.
Angga hanya mengangkat bahunya.
“Kau lihat?” Lofa sibuk menunjuk gambar sketsanya. Bukannya
melihat apa yang ditunjuk Lofa, Agi malah memandangi pintu tanpa berkedip.
Angga menoleh demi mendapati Adriana sedang melangkah masuk. Adriana berubah
menjadi perempuan yang sangat cantik. Dulu dia tidak secantik itu. Rambutnya
panjang dan selalu dikuncir ekor kuda. Seingat Angga, dulu Adriana memakai kacamata.
Adriana berhenti saat melihat Angga. Matanya melebar dan
senyumya terkembang, “Angga? Long time no
see!” Katanya sambil berlari kecil menghampiri Angga.
Mereka hanya bersalaman. Setelah berbasa-basi dengan kabar
masing-masing, Agi mengajak mereka duduk di salah satu meja dekat rak buku.
Pembicaraan tentang masa-masa SMA mengalir begitu saja. Lofa datang untuk mengantarkan
pesanan. Ekspresinya datar dan sedingin es. Gadis itu bahkan tidak merasa perlu
berbasa-basi dengan menyapa Adriana atau semacamnya.
“Kau tidak bergabung?” Tanya Angga setelah Lofa meletakkan semua
pesanan.
Gadis itu hanya memutar bola matanya, “Banyak pengunjung yang
harus aku urus.”
Angga menatap Agi untuk menuntut penjelasan. Temannya itu sudah
melepas celemek yang tadi dia pakai. Sahabat
macam apa kau ini? Protes Angga dalam hati.
“Aku permisi dulu,” kata Angga saat Adriana dan Agi sedang sibuk
membicarakan sesuatu yang tidak begitu dia mengerti. Agi hanya mengangguk.
Lofa sedang mengelap beberapa gelas saat Angga duduk di salah
satu kursi tinggi.
“Kenapa kau ke sini? Tidak ikut reuni?” Tanya Lofa sinis tanpa
berpaling dari gelasnya.
“Pertama, aku tidak terlalu dekat dengan mereka berdua.” Angga
melengkapi kebohongan Agi. Toh tadi Agi hanya bilang kami satu sekolah, dia tidak mengakui bahwa mereka sudah berteman
sejak kecil. Sedangkan Adriana, Angga mengenal Adriana hanya karena gadis itu
pernah menjadi pradani saat pramuka dulu.
“Kedua, aku tidak mau mengganggu kencan mereka.” Angga berani
sumpah melihat mata Lofa berkedut marah saat mendengar alasan kedua.
Lofa hanya diam. Dia tidak seantusias sebelumnya.
“Kau terlihat tidak senang.”
Lofa berhenti mengelap sejenak, kemudian melanjutkan.
“Aku tidak apa-apa.”
Kode perempuan. Setiap kali mengatakan tidak apa-apa, biasanya selalu ada
apa-apa.
“Aku memutuskan untuk berhenti bekerja,” Angga buru-buru mengganti
topik pembicaraan sebelum Lofa menjadi lebih murung lagi.
Lofa berhenti mengelap gelas-gelasnya, kemudian mendongak.
“Kenapa?”
“Aku sedang mempertimbangkan untuk mewujudkan impianku menjadi
desainer grafis.”
Lofa hanya mengangguk.
“Tapi aku belum menemukan cara untuk memberitahu ayah tentang
keputusan ini.”
“Bicarakan saja.”
“Tidak semudah itu.”
Ayah bukan tipe orang yang mudah diajak bicara. Sekali mengambil
keputusan, ayah tidak akan pernah mengubahnya. Dan sialnya Angga tidak pernah
punya cukup keberanian untuk bersuara sebelum keputusan itu dibuat. Beginilah
hidupnya, selalu mengikuti keputusan ayah.
“Sebenarnya ayah juga kurang setuju saat aku akan membuka cafe
ini,” Lofa mulai bercerita. “Tapi setelah mengutarakan berbagai macam argumen,
akhirnya ayah setuju.”
Angga membayangkan, argumen apa yang dia miliki. Menjadi
desainer grafis hanya sebuah impian baginya. Angga bahkan tidak mengambil
jurusan itu saat kuliah. Dia hanya suka melukis, dan menjadi desainer grafis
sepertinya pekerjaan yang menyenangkan. Tapi ayah selalu memiliki argumen yang
lebih masuk akal. Opini-opini yang pada akhirnya selalu mematahkan teori yang
dimiliki Angga.
“Kau tidak kenal ayahku,” kata Angga akhirnya.
“Kau juga tidak kenal ayahku.”
Benar juga.
“Semuanya bisa dibicarakan. Kau hanya perlu yakin pada apa yang
kau inginkan.”
Angga hanya terdiam setelah mendengar nasihat Lofa yang luar
biasa bijak. Itu masalahnya, Angga tidak pernah bisa bicara pada ayah karena
dia sendiri tidak terlalu yakin dengan keinginannya. Seringkali Angga hanya
menginginkan sesuatu, dan langsung bosan setelah mendapatkannya.
“Aku akan mencoba bicara pada ayah nanti,” kata Angga setelah
diam cukup lama.
0 komentar:
Post a Comment