BAGIAN 1
Lofa hanya berdiri di ambang pintu sambil berkacak pinggang. Tubuhnya
yang ramping terlihat bengkok saat gadis itu menumpukan beban tubuhnya hanya
pada kaki kanan. Pandangannya menyapu seluruh sudut ruangan kosong di
hadapannya, berusaha memikirkan interior yang cocok untuk mengisi kekosongan
itu.
Bangunan kosong itu tidak terlalu luas, hanya berukuran 150
meter persegi. Lantainya terbuat dari kayu jati yang mengkilap dan dinding
depannya terbuat dari kaca sepenuhnya. Memamerkan bagian dalam bangunan kosong
itu dengan sangat sempurna. Hanya ada sedikit masalah dengan langit-langitnya.
Hujan deras yang akhir-akhir ini turun membuat langit-langitnya lembab dan
berjamur, bahkan sudah berlubang di beberapa tempat.
Hampir delapan bulan penuh Lofa berusaha mati-matian untuk
mendapatkan tempat itu. Tempat kosong bekas toko kue yang bangkrut beberapa
bulan lalu. Tempatnya mungil tapi sangat strategis. Entah kenapa pemiliknya
sampai bangkrut jika memiliki tempat yang sangat potensial seperti itu. Letaknya
berada di pertigaan jalan raya. Di seberang bangunan kosong itu terdapat sebuah
toko kamera dan tempat cetak foto yang cukup ramai. Di sebelah kanannya adalah
toko parfum dan di sebelah kirinya toko bunga.
Selama delapan bulan Lofa menyisihkan uang penghasilannya
sebagai pramusaji di salah satu restoran Italia―si pemilik restoran langsung
menolak Lofa saat dia mendaftar sebagai penasehat gizi di restoran tersebut,
menjadi pramusaji adalah pilihan terakhirnya―dan berdoa agar tidak seorang pun
di bumi ini yang menemukan potensial bangunan kosong itu. Lofa sudah memimpikan
restorannya sendiri sejak cukup lama. Gelarnya sebagai ahli gizi benar-benar
tidak membantu meskipun dia sudah mondar-mandir ke seluruh rumah sakit yang ada
di jagad raya ini. Masalahnya adalah, ada hampir 300 ahli gizi lain yang lulus
bersamanya di hari yang sama, dan itu memperkecil peluangnya untuk mendapatkan
pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya.
Jadi di sinilah dia sekarang, menatap bangunan kosong yang
berhasil dibelinya dengan uang tabungannya. Dan sedikit uang tambahan dari
orang tuanya. Butuh waktu berminggu-minggu bagi Lofa untuk meyakinkan ayahnya
tentang ide membuka restoran ini. Lofa berbicara panjang lebar mengenai keuntungan
membuka bisnis sendiri dan mengatakan bahwa sudah tidak ada rumah sakit di bumi
ini yang mau menerimanya karena nilai IPK-nya yang pas-pasan.
Akhirnya ayahnya setuju, setelah Lofa mengajukan proposal dan
target penghasilannya selama tiga bulan pertama setelah cafe-nya dibuka. Sepuluh
juta untuk omset bulan pertama. Lofa cukup yakin dengan angka itu. Dia hanya
perlu menemukan desain dan menu yang tepat untuk para calon pengunjung
cafe-nya.
***
“Menurutmu itu bagus?”
Lofa berjalan memutari sebuah sofa untuk mendekati satu set meja
berwarna merah muda yang ditata rapi. Sensasi dingin merayapi jemari Lofa saat
gadis itu menyentuh gagang kursi yang terbuat dari besi. Dia menunggu respon
positif dari Agi, teman dekatnya sejak kuliah. Agi berjalan mendekat dengan
malas. Kedua tangannya disusupkan ke dalam saku celana pendek yang dia pakai. Agi
mengeluarkan tangan kanannya dari saku dan terulur untuk menyentuh meja di
hadapannya.
“Bagus. Tapi kau yakin? Ini...pink.” Agi terlihat ragu dengan table set yang berwarna sangat perempuan itu.
Lofa memajukan bibirnya untuk menunjukkan ketidaksetujuannya
dengan pendapat Agi. Dia mengusap-ngusap kursi dan meja itu tanpa banyak
bicara.
“Memangnya kenapa kalau pink?”
Agi menggerakkan bahunya dengan malas dan kembali menyusupkan
tangan kanannya ke dalam saku.
“Kau akan membuka cafe khusus perempuan atau apa?”
Lofa menghentakkan kaki dengan kesal saat menyadari kebenaran
pertanyaan Agi. Dia harus memilih furniture
yang netral untuk semua gender. Gadis
itu tidak yakin akan ada laki-laki yang mau masuk ke dalam cafe-nya jika semua
interiornya bernuansa perempuan dan imut. Lofa berjalan malas mengikuti Agi
yang sudah lebih dulu meninggalkan table
set lucu itu. Sudah hampir lima jam mereka berkeliling ke seluruh toko furniture yang bisa mereka temukan, dan
Lofa belum mendapatkan apa yang dia inginkan.
Lofa menghentikan langkahnya saat Agi berhenti. Pemuda itu
memandang lurus ke suatu tempat yang terhalang oleh kitchen set yang sangat mewah. Diam-diam Lofa berpikir untuk
memiliki kitchen set seperti itu saat
memiliki rumah sendiri nanti. Lofa melanjutkan langkahnya dan berdiri tepat di
samping Agi untuk melihat apa yang sebenarnya menarik perhatian pemuda itu. Mata
Lofa melebar saat melihat sebuah meja bar tinggi yang terbuat dari gabungan
alumunium dan bahan polimer warna hitam, lengkap dengan lima kursi tinggi warna
senada yang di pajang di tengah ruangan.
“Kenapa kita bisa melewatkan itu tadi?” Tanya Lofa tanpa
berpaling dari temuan Agi yang luar biasa itu.
“Mungkin karena kau terlalu fokus pada sesuatu yang berwarna pink?” Agi menegaskan kata terakhirnya.
Lofa sangat marah mendengar sindiran Agi, tapi saat ini dia
sudah terlalu lelah untuk berdebat. Lofa memilih menggunakan sisa tenaganya untuk
mendekati meja bar itu dan mengamatinya dari dekat. Tekstur halus bahan polimer
yang digunakan membuat Lofa benar-benar terpesona. Komposisi warna hitam dan
metalik dari perpaduan polimer dan besi membuat meja bar itu terlihat minimalis
dan elegan dalam waktu yang bersamaan.
“Kita beli yang ini.” Lofa langsung memutuskan tanpa pikir
panjang.
***
Lofa menyilangkan kedua tangannya di depan dada, sementara Agi
duduk diam di sampingnya, terlalu fokus pada jalanan di depan mereka. Sesekali
Agi menekan klakson saat ada pengendara motor ugal-ugalan yang berusaha
menyalip mereka dengan kecepatan penuh, membuat Agi harus menginjak rem
mobilnya secara mendadak. Lofa masih terlalu lelah untuk mengomentari
ketidaknyamanan itu. Beberapa kali Lofa berpikir untuk menyerah saja. Menyiapkan
berbagai macam keperluan untuk cafenya benar-benar melelahkan.
Sudah hampir satu bulan sejak Lofa membeli bangunan kosong itu,
dan sampai sekarang bangunan itu masih tetap kosong. Satu-satunya yang berubah
adalah tulisan “dijual” yang dulu terpampang di pintu sekarang sudah tidak ada.
Gengsinya yang masih membuatnya bertahan sampai saat ini. Lofa menghabiskan
berminggu-minggu untuk meyakinkan ayahnya, dia tidak bisa menyerah hanya dalam
waktu satu bulan.
“Kau memikirkan sesuatu?”
Lofa tidak menoleh sama sekali. Hanya mendengar pertanyaan Agi
tanpa ada keinginan untuk menjawab. Lofa sedang malas bersuara sekarang. Gadis
itu ingin dimengerti. Dia ingin Agi mengerti segala isi pikirannya tanpa perlu
bersuara.
“Bagaimana aku bisa membantumu jika kau diam begitu?”
Kali ini Lofa berpikir Agi benar-benar bisa mendengar pikirannya.
Tapi Agi hanya bisa mendengar sebagian saja.
Lofa melirik Agi dengan tatapan ganas dan menyuarakan aku sedang tidak ingin bicara dengan
tatapan matanya. Kemudian kembali menatap jalanan padat Jogja yang terbentang
di hadapannya. Agi memelankan laju mobilnya, membuntuti delman yang berjalan
sangat pelan seperti siput. Mau tidak mau Lofa menoleh dan menatap Agi untuk
menuntut penjelasan, tetap masih tidak bersuara. Agi tertawa saat melihat
tatapan Lofa yang mematikan.
“Aku tidak ingin kau pulang dalam keadaan seperti ini. Orang
tuamu bisa menuduhku macam-macam.” Agi terdiam sebentar. “Aku menjemputmu dalam
keadaan ceria tadi pagi, dan aku akan memulangkanmu dalam keadaan yang sama.”
Lofa hanya menghembuskan nafas panjang dan memutar bola matanya.
Dia menyerah.
“Lalu bagaimana caranya membuntuti delman seperti ini bisa
membuatku ceria?” Suara Lofa terdengar sedikit serak karena kerongkongannya
yang kering.
“Kau bicara!” Agi menunjuk Lofa seperti sedang menimpakan
tuduhan kau kentut! padanya.
Setelah merasa berhasil dengan tekniknya memancing Lofa
bersuara, Agi menyalip delman lamban itu dan mempercepat laju mobilnya. Dia
melakukan manuver-manuver mengerikan yang membuat Lofa harus meremas celana
jinsnya. Pemuda jaman sekarang memang
suka ngebut, pikir Lofa kesal.
“Aku akan membawamu ke suatu tempat.” Kata Agi mantap di
sela-sela kegiatannya menyalip dan mengerem.
***
“Kenapa kau membawaku ke
sini?”
Lofa agak mencondongkan tubuhnya agar Agi bisa mendengar bisikannya
dengan lebih jelas. Tubuhnya menekan meja bundar yang menghalangi dirinya
dengan Agi. Gadis itu berusaha memelankan suaranya agar para pramusaji yang
berkeliaran di sekitarnya tidak mendengar pembicaraan mereka.
Agi hanya mengangkat bahunya sekilas, pandangannya terpaku pada
buku menu yang terbuka di pangkuannya. Sesekali Agi mengangkat tangannya untuk
mengatur rambut ikalnya yang bergerak turun menutupi wajah saat dia menunduk.
“Aku hanya ingin memberimu inspirasi,” Agi baru menjawab sambil
menutup buku menunya kemudian meletakkannya di atas meja. Kedua tangannya
dilipat rapi di atas meja, seperti saat jam pelajaran di sekolah dasar.
Setelah mendapat jawaban dari Agi, Lofa baru memperhatikan buku
menunya dengan sepenuh hati. Ada banyak menu yang tidak umum di sana, seperti
es tenda biru dan es kasmaran. Lofa sedikit mengernyit saat membaca menu-menu
itu. Setelah mendapat satu menu yang menarik perhatian Lofa, es patah hati,
Gadis itu meletakkan buku menunya dan mengamati ke sekeliling. Ada banyak
pengunjung di tempat ini. Para pengunjung di tempat ini terdiri dari berbagai
macam usia, mulai dari anak-anak sampai orang dewasa. Tempat ini memang hanya
menyediakan beraneka macam minuman dengan nama-nama unik, yang notabene memang
mudah diterima di semua kalangan.
Lofa baru menyadari ada seorang lelaki berpakaian serba hitam
dan putih yang berdiri di samping mejanya. Tangan kirinya memegang buku kecil
dan tangan kanannya memegang pulpen warna biru tua, lelaki itu sudah siap
mencatat pesanan Lofa dan Agi.
“Ini. Aku pesan ini.” Lofa hanya menunjuk gambar minuman yang
dia inginkan di dalam buku menu. Lofa merasa agak risih untuk menyebutkan nama
minuman itu.
Lelaki itu mengulangi pesanan yang dicatatnya kemudian
membungkuk sekilas sebelum pergi. Agi
mencondongkan tubuhnya untuk melihat minuman yang tadi ditunjuk Lofa.
“Kau sedang patah hati?”
Lofa bisa merasakan kedua pipinya memanas. Untung saja warna
kulitnya cokelat gelap, jadi Lofa tidak perlu khawatir Agi akan melihat rona
merah di kedua pipinya.
“Aku hanya suka warnanya,”
Warnanya
biru tua! Lofa mencela kebohongannya sendiri. Sejak kapan dia menyukai
warna biru? Agi hanya mencibir saat mendengar jawaban Lofa, tapi tidak
mengatakan apa pun. Pemuda itu menyangga dagunya dengan sebelah tangan kemudian
mengarahkan pandangannya ke seluruh cafe.
“Kau bisa membuat cafe seperti ini,” kata Agi di sela-sela
pengamatannya pada seluk beluk cafe yang berakhir dengan memandangi Lofa.
Lofa mengedarkan pandangannya pada para pengunjung tempat ini. Beberapa
hanya duduk-duduk dan mengobrol, beberapa yang lain sibuk dengan laptopnya atau
buku-buku bacaannya.
“Mungkin,” kata Lofa pelan, pandangannya masih menyapu keadaan di
cafe itu untuk mengamati kegiatan apa yang biasanya dilakukan para pengunjung
cafe. “Tapi aku harus menambahkan ruang baca di cafe-ku.” Tiba-tiba saja
pikiran itu muncul saat Lofa menyadari lebih banyak pengunjung yang membaca buku
dan mengerjakan tugasnya daripada pengunjung yang hanya duduk-duduk dan
menggosip.
Pandangan Lofa berakhir pada Agi untuk mengetahui pendapat sahabatnya
itu. Agi hanya manggut-manggut pelan, membuat rambut ikalnya bergerak-gerak pelan
seirama dengan anggukannya. Seperti baru saja teringat sesuatu, Agi memiringkan
tubuhnya untuk mengambil sesuatu dari saku belakang celana pendeknya. Agi
mengeluarkan dompet kulit hitam kemudian mengeluarkan selembar kertas putih
kecil dari dalamnya. Agi menyodorkan selembar kertas yang ternyata adalah kartu
nama itu pada Lofa.
“Adriana?” Lofa membaca nama yang tertera pada kartu nama itu
sebelum mengambilnya untuk melihat lebih jelas profesi orang itu.
“Dia temanku saat SMA.” Agi menjelaskan bagaimana dia bisa
mengenal sosok Adriana. “Dia adalah desainer interior yang cukup handal. Aku
rasa kau...”
Lofa langsung melotot sebelum Agi menyelesaikan kalimatnya. Pemuda
itu berhenti bicara karena takut Lofa akan membentaknya atau apa. Mata gadis
itu melotot sampai hampir keluar.
“Kenapa kau tidak bilang sejak awal? Kita sudah berkeliling
selama berjam-jam, dan hanya mendapatkan sebuah meja bar!” Lofa meledak
meskipun suaranya masih tetap tertahan karena alasan sopan santun. Dia tidak
mau menarik perhatian di tempat umum.
“Kau tidak memberiku pilihan.”
Lofa sudah bersiap menyembur Agi dengan pertanyaan-pertanyaan
lainnya saat lelaki yang tadi mencatat pesanan mereka datang dengan dua gelas
minuman. Lelaki itu membungkuk lagi setelah Agi mengucapkan terima kasih,
kemudian berlalu. Lofa mengaduk-aduk minuman biru tua yang dipesannya kemudian
menyesapnya perlahan. Sensasi dingin langsung merayap ke otaknya, membuatnya bergidik
untuk sesaat. Sensasi dingin itu diikuti rasa asam dan manis dalam waktu yang
bersamaan, tapi anehnya Lofa menyukai rasa asam itu. Untuk sejenak Lofa
melupakan kemarahannya dan menikmati minuman pesanannya. Rasa manis yang dia
rasakan sebelumnya perlahan mulai hilang dan digantikan rasa asam sepenuhnya. Mungkin
itu sebabnya minuman ini disebut es patah hati, karena rasa manis yang dirasakan
selama jatuh cinta perlahan hilang dan digantikan rasa asam yang menyedihkan.
Lofa mendadak mendapat cukup banyak ide untuk menu cafe-nya nanti.
“Kau bisa memberitahuku sejak pertama kali aku menunjukkan calon
cafe-ku padamu.” Lofa melanjutkan kemarahannya setelah minumannya tinggal
setengah.
“Maaf,”
Lofa menunggu kalimat selanjutnya yang akan dikatakan Agi, tapi
ternyata pemuda itu tidak berniat untuk melanjutkan kata-katanya. Agi hanya
menyesap minumannya dan memasang ekspresi jangan
salahkan aku yang sangat jelas bagi Lofa. Gadis itu hanya menghembuskan
nafas panjang antara frustasi dan lega karena Agi memberinya solusi.
“Apa dia bisa membantuku dalam waktu dekat? Si Adriana itu?”
Lofa mengaduk-aduk minumannya dengan sedotan kemudian menyesap
minumannya perlahan sampai terdengar suara srot
yang cukup keras saat minumannya habis. Lofa mengumpat pelan kemudian
meletakkan gelas kosongnya di atas meja. Matanya melirik buku menu yang masih
terbuka di hadapannya, berusaha mencari minuman lain yang menarik perhatiannya.
Lofa langsung mendongak saat melihat Agi mengangkat tangannya untuk memanggil
seorang pramusaji.
“Kau mau pesan apa lagi?” Detik ini Lofa merasa cukup yakin Agi
memang bisa mendengar pikirannya. Atau dia baru saja meneteskan liur sampai Agi
tahu dia ingin pesan minuman lain?
“Ini,” tanpa malu-malu Lofa langsung menunjuk minuman lain yang
diinginkannya. Setelah pramusaji yang mencatat pesanannya berlalu, Lofa menutup
buku menunya agar tidak tergoda lagi. “Untuk riset.” Lofa beralasan, meskipun Agi
tidak menuntut penjelasan apa pun.
“Jadi, bagaimana?”
Agi menggerakkan bahunya sekilas sambil menyesap minumannya yang
anehnya tidak habis-habis. Lofa curiga Agi tidak pernah benar-benar meminumnya.
“Sebenarnya aku sudah membicarakan masalah cafe-mu dengannya. Dia
setuju untuk membantumu kapan saja. Kau hanya perlu menghubunginya.”
Lagi-lagi Lofa melotot dan menuntut penjelasan pada Agi. Pemuda
yang ditatapnya hanya tersenyum polos kemudian kembali menyesap minumannya.
“Apa lagi yang belum kau katakan padaku?”
“Hanya itu.” Jawab Agi singkat sambil meletakkan gelasnya yang
sekarang sudah kosong.
Minuman pesanan Lofa datang saat gadis itu akan mengatakan
sesuatu. Kali ini minuman berwarna cokelat dan merah, es kasmaran. Sebenarnya
Lofa sudah tergoda untuk merasakan minuman itu, tapi dia mengurungkan niatnya.
Dia harus menyelesaikan pembicaraannya dengan Agi sebelum minuman itu
mengalihkan perhatiannya lagi.
“Bagaimana dengan besok?” Lofa memutuskan untuk tidak menumpahkan
kemarahannya pada Agi. Lagipula sahabatnya itu sudah cukup banyak membantu.
Agi mengangguk mantap. Setelah mendapat jawaban yang memuaskan
dari Agi, Lofa mulai mengaduk-aduk minuman barunya dengan sedotan dan
menyesapnya. Sensasi dingin itu kembali merayapi otaknya. Rasanya manis dan
sedikit pahit karena cokelatnya.
***
0 komentar:
Post a Comment