Rss Feed
  1. Cafe Lofa : Tempat Baru

    Thursday, December 12, 2013

    BAGIAN 1

    Lofa hanya berdiri di ambang pintu sambil berkacak pinggang. Tubuhnya yang ramping terlihat bengkok saat gadis itu menumpukan beban tubuhnya hanya pada kaki kanan. Pandangannya menyapu seluruh sudut ruangan kosong di hadapannya, berusaha memikirkan interior yang cocok untuk mengisi kekosongan itu.
    Bangunan kosong itu tidak terlalu luas, hanya berukuran 150 meter persegi. Lantainya terbuat dari kayu jati yang mengkilap dan dinding depannya terbuat dari kaca sepenuhnya. Memamerkan bagian dalam bangunan kosong itu dengan sangat sempurna. Hanya ada sedikit masalah dengan langit-langitnya. Hujan deras yang akhir-akhir ini turun membuat langit-langitnya lembab dan berjamur, bahkan sudah berlubang di beberapa tempat.
    Hampir delapan bulan penuh Lofa berusaha mati-matian untuk mendapatkan tempat itu. Tempat kosong bekas toko kue yang bangkrut beberapa bulan lalu. Tempatnya mungil tapi sangat strategis. Entah kenapa pemiliknya sampai bangkrut jika memiliki tempat yang sangat potensial seperti itu. Letaknya berada di pertigaan jalan raya. Di seberang bangunan kosong itu terdapat sebuah toko kamera dan tempat cetak foto yang cukup ramai. Di sebelah kanannya adalah toko parfum dan di sebelah kirinya toko bunga.
    Selama delapan bulan Lofa menyisihkan uang penghasilannya sebagai pramusaji di salah satu restoran Italia―si pemilik restoran langsung menolak Lofa saat dia mendaftar sebagai penasehat gizi di restoran tersebut, menjadi pramusaji adalah pilihan terakhirnya―dan berdoa agar tidak seorang pun di bumi ini yang menemukan potensial bangunan kosong itu. Lofa sudah memimpikan restorannya sendiri sejak cukup lama. Gelarnya sebagai ahli gizi benar-benar tidak membantu meskipun dia sudah mondar-mandir ke seluruh rumah sakit yang ada di jagad raya ini. Masalahnya adalah, ada hampir 300 ahli gizi lain yang lulus bersamanya di hari yang sama, dan itu memperkecil peluangnya untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya.
    Jadi di sinilah dia sekarang, menatap bangunan kosong yang berhasil dibelinya dengan uang tabungannya. Dan sedikit uang tambahan dari orang tuanya. Butuh waktu berminggu-minggu bagi Lofa untuk meyakinkan ayahnya tentang ide membuka restoran ini. Lofa berbicara panjang lebar mengenai keuntungan membuka bisnis sendiri dan mengatakan bahwa sudah tidak ada rumah sakit di bumi ini yang mau menerimanya karena nilai IPK-nya yang pas-pasan.
    Akhirnya ayahnya setuju, setelah Lofa mengajukan proposal dan target penghasilannya selama tiga bulan pertama setelah cafe-nya dibuka. Sepuluh juta untuk omset bulan pertama. Lofa cukup yakin dengan angka itu. Dia hanya perlu menemukan desain dan menu yang tepat untuk para calon pengunjung cafe-nya.
    ***
    “Menurutmu itu bagus?”
    Lofa berjalan memutari sebuah sofa untuk mendekati satu set meja berwarna merah muda yang ditata rapi. Sensasi dingin merayapi jemari Lofa saat gadis itu menyentuh gagang kursi yang terbuat dari besi. Dia menunggu respon positif dari Agi, teman dekatnya sejak kuliah. Agi berjalan mendekat dengan malas. Kedua tangannya disusupkan ke dalam saku celana pendek yang dia pakai. Agi mengeluarkan tangan kanannya dari saku dan terulur untuk menyentuh meja di hadapannya.
    “Bagus. Tapi kau yakin? Ini...pink.” Agi terlihat ragu dengan table set yang berwarna sangat perempuan itu.
    Lofa memajukan bibirnya untuk menunjukkan ketidaksetujuannya dengan pendapat Agi. Dia mengusap-ngusap kursi dan meja itu tanpa banyak bicara.
    “Memangnya kenapa kalau pink?”
    Agi menggerakkan bahunya dengan malas dan kembali menyusupkan tangan kanannya ke dalam saku.
    “Kau akan membuka cafe khusus perempuan atau apa?”
    Lofa menghentakkan kaki dengan kesal saat menyadari kebenaran pertanyaan Agi. Dia harus memilih furniture yang netral untuk semua gender. Gadis itu tidak yakin akan ada laki-laki yang mau masuk ke dalam cafe-nya jika semua interiornya bernuansa perempuan dan imut. Lofa berjalan malas mengikuti Agi yang sudah lebih dulu meninggalkan table set lucu itu. Sudah hampir lima jam mereka berkeliling ke seluruh toko furniture yang bisa mereka temukan, dan Lofa belum mendapatkan apa yang dia inginkan.
    Lofa menghentikan langkahnya saat Agi berhenti. Pemuda itu memandang lurus ke suatu tempat yang terhalang oleh kitchen set yang sangat mewah. Diam-diam Lofa berpikir untuk memiliki kitchen set seperti itu saat memiliki rumah sendiri nanti. Lofa melanjutkan langkahnya dan berdiri tepat di samping Agi untuk melihat apa yang sebenarnya menarik perhatian pemuda itu. Mata Lofa melebar saat melihat sebuah meja bar tinggi yang terbuat dari gabungan alumunium dan bahan polimer warna hitam, lengkap dengan lima kursi tinggi warna senada yang di pajang di tengah ruangan.
    “Kenapa kita bisa melewatkan itu tadi?” Tanya Lofa tanpa berpaling dari temuan Agi yang luar biasa itu.
    “Mungkin karena kau terlalu fokus pada sesuatu yang berwarna pink?” Agi menegaskan kata terakhirnya.
    Lofa sangat marah mendengar sindiran Agi, tapi saat ini dia sudah terlalu lelah untuk berdebat. Lofa memilih menggunakan sisa tenaganya untuk mendekati meja bar itu dan mengamatinya dari dekat. Tekstur halus bahan polimer yang digunakan membuat Lofa benar-benar terpesona. Komposisi warna hitam dan metalik dari perpaduan polimer dan besi membuat meja bar itu terlihat minimalis dan elegan dalam waktu yang bersamaan.
    “Kita beli yang ini.” Lofa langsung memutuskan tanpa pikir panjang.
    ***
    Lofa menyilangkan kedua tangannya di depan dada, sementara Agi duduk diam di sampingnya, terlalu fokus pada jalanan di depan mereka. Sesekali Agi menekan klakson saat ada pengendara motor ugal-ugalan yang berusaha menyalip mereka dengan kecepatan penuh, membuat Agi harus menginjak rem mobilnya secara mendadak. Lofa masih terlalu lelah untuk mengomentari ketidaknyamanan itu. Beberapa kali Lofa berpikir untuk menyerah saja. Menyiapkan berbagai macam keperluan untuk cafenya benar-benar melelahkan.
    Sudah hampir satu bulan sejak Lofa membeli bangunan kosong itu, dan sampai sekarang bangunan itu masih tetap kosong. Satu-satunya yang berubah adalah tulisan “dijual” yang dulu terpampang di pintu sekarang sudah tidak ada. Gengsinya yang masih membuatnya bertahan sampai saat ini. Lofa menghabiskan berminggu-minggu untuk meyakinkan ayahnya, dia tidak bisa menyerah hanya dalam waktu satu bulan.
    “Kau memikirkan sesuatu?”
    Lofa tidak menoleh sama sekali. Hanya mendengar pertanyaan Agi tanpa ada keinginan untuk menjawab. Lofa sedang malas bersuara sekarang. Gadis itu ingin dimengerti. Dia ingin Agi mengerti segala isi pikirannya tanpa perlu bersuara.
    “Bagaimana aku bisa membantumu jika kau diam begitu?”
    Kali ini Lofa berpikir Agi benar-benar bisa mendengar pikirannya. Tapi Agi hanya bisa mendengar sebagian saja.
    Lofa melirik Agi dengan tatapan ganas dan menyuarakan aku sedang tidak ingin bicara dengan tatapan matanya. Kemudian kembali menatap jalanan padat Jogja yang terbentang di hadapannya. Agi memelankan laju mobilnya, membuntuti delman yang berjalan sangat pelan seperti siput. Mau tidak mau Lofa menoleh dan menatap Agi untuk menuntut penjelasan, tetap masih tidak bersuara. Agi tertawa saat melihat tatapan Lofa yang mematikan.
    “Aku tidak ingin kau pulang dalam keadaan seperti ini. Orang tuamu bisa menuduhku macam-macam.” Agi terdiam sebentar. “Aku menjemputmu dalam keadaan ceria tadi pagi, dan aku akan memulangkanmu dalam keadaan yang sama.”
    Lofa hanya menghembuskan nafas panjang dan memutar bola matanya. Dia menyerah.
    “Lalu bagaimana caranya membuntuti delman seperti ini bisa membuatku ceria?” Suara Lofa terdengar sedikit serak karena kerongkongannya yang kering.
    “Kau bicara!” Agi menunjuk Lofa seperti sedang menimpakan tuduhan kau kentut! padanya.
    Setelah merasa berhasil dengan tekniknya memancing Lofa bersuara, Agi menyalip delman lamban itu dan mempercepat laju mobilnya. Dia melakukan manuver-manuver mengerikan yang membuat Lofa harus meremas celana jinsnya. Pemuda jaman sekarang memang suka ngebut, pikir Lofa kesal.
    “Aku akan membawamu ke suatu tempat.” Kata Agi mantap di sela-sela kegiatannya menyalip dan mengerem.
    ***
    “Kenapa kau membawaku ke sini?”
    Lofa agak mencondongkan tubuhnya agar Agi bisa mendengar bisikannya dengan lebih jelas. Tubuhnya menekan meja bundar yang menghalangi dirinya dengan Agi. Gadis itu berusaha memelankan suaranya agar para pramusaji yang berkeliaran di sekitarnya tidak mendengar pembicaraan mereka.
    Agi hanya mengangkat bahunya sekilas, pandangannya terpaku pada buku menu yang terbuka di pangkuannya. Sesekali Agi mengangkat tangannya untuk mengatur rambut ikalnya yang bergerak turun menutupi wajah saat dia menunduk.
    “Aku hanya ingin memberimu inspirasi,” Agi baru menjawab sambil menutup buku menunya kemudian meletakkannya di atas meja. Kedua tangannya dilipat rapi di atas meja, seperti saat jam pelajaran di sekolah dasar.
    Setelah mendapat jawaban dari Agi, Lofa baru memperhatikan buku menunya dengan sepenuh hati. Ada banyak menu yang tidak umum di sana, seperti es tenda biru dan es kasmaran. Lofa sedikit mengernyit saat membaca menu-menu itu. Setelah mendapat satu menu yang menarik perhatian Lofa, es patah hati, Gadis itu meletakkan buku menunya dan mengamati ke sekeliling. Ada banyak pengunjung di tempat ini. Para pengunjung di tempat ini terdiri dari berbagai macam usia, mulai dari anak-anak sampai orang dewasa. Tempat ini memang hanya menyediakan beraneka macam minuman dengan nama-nama unik, yang notabene memang mudah diterima di semua kalangan.
    Lofa baru menyadari ada seorang lelaki berpakaian serba hitam dan putih yang berdiri di samping mejanya. Tangan kirinya memegang buku kecil dan tangan kanannya memegang pulpen warna biru tua, lelaki itu sudah siap mencatat pesanan Lofa dan Agi.
    “Ini. Aku pesan ini.” Lofa hanya menunjuk gambar minuman yang dia inginkan di dalam buku menu. Lofa merasa agak risih untuk menyebutkan nama minuman itu.
    Lelaki itu mengulangi pesanan yang dicatatnya kemudian membungkuk sekilas sebelum pergi.  Agi mencondongkan tubuhnya untuk melihat minuman yang tadi ditunjuk Lofa.
    “Kau sedang patah hati?”
    Lofa bisa merasakan kedua pipinya memanas. Untung saja warna kulitnya cokelat gelap, jadi Lofa tidak perlu khawatir Agi akan melihat rona merah di kedua pipinya.
    “Aku hanya suka warnanya,”
    Warnanya biru tua! Lofa mencela kebohongannya sendiri. Sejak kapan dia menyukai warna biru? Agi hanya mencibir saat mendengar jawaban Lofa, tapi tidak mengatakan apa pun. Pemuda itu menyangga dagunya dengan sebelah tangan kemudian mengarahkan pandangannya ke seluruh cafe.
    “Kau bisa membuat cafe seperti ini,” kata Agi di sela-sela pengamatannya pada seluk beluk cafe yang berakhir dengan memandangi Lofa.
    Lofa mengedarkan pandangannya pada para pengunjung tempat ini. Beberapa hanya duduk-duduk dan mengobrol, beberapa yang lain sibuk dengan laptopnya atau buku-buku bacaannya.
    “Mungkin,” kata Lofa pelan, pandangannya masih menyapu keadaan di cafe itu untuk mengamati kegiatan apa yang biasanya dilakukan para pengunjung cafe. “Tapi aku harus menambahkan ruang baca di cafe-ku.” Tiba-tiba saja pikiran itu muncul saat Lofa menyadari lebih banyak pengunjung yang membaca buku dan mengerjakan tugasnya daripada pengunjung yang hanya duduk-duduk dan menggosip.
    Pandangan Lofa berakhir pada Agi untuk mengetahui pendapat sahabatnya itu. Agi hanya manggut-manggut pelan, membuat rambut ikalnya bergerak-gerak pelan seirama dengan anggukannya. Seperti baru saja teringat sesuatu, Agi memiringkan tubuhnya untuk mengambil sesuatu dari saku belakang celana pendeknya. Agi mengeluarkan dompet kulit hitam kemudian mengeluarkan selembar kertas putih kecil dari dalamnya. Agi menyodorkan selembar kertas yang ternyata adalah kartu nama itu pada Lofa.
    “Adriana?” Lofa membaca nama yang tertera pada kartu nama itu sebelum mengambilnya untuk melihat lebih jelas profesi orang itu.
    “Dia temanku saat SMA.” Agi menjelaskan bagaimana dia bisa mengenal sosok Adriana. “Dia adalah desainer interior yang cukup handal. Aku rasa kau...”
    Lofa langsung melotot sebelum Agi menyelesaikan kalimatnya. Pemuda itu berhenti bicara karena takut Lofa akan membentaknya atau apa. Mata gadis itu melotot sampai hampir keluar.
    “Kenapa kau tidak bilang sejak awal? Kita sudah berkeliling selama berjam-jam, dan hanya mendapatkan sebuah meja bar!” Lofa meledak meskipun suaranya masih tetap tertahan karena alasan sopan santun. Dia tidak mau menarik perhatian di tempat umum.
    “Kau tidak memberiku pilihan.”
    Lofa sudah bersiap menyembur Agi dengan pertanyaan-pertanyaan lainnya saat lelaki yang tadi mencatat pesanan mereka datang dengan dua gelas minuman. Lelaki itu membungkuk lagi setelah Agi mengucapkan terima kasih, kemudian berlalu. Lofa mengaduk-aduk minuman biru tua yang dipesannya kemudian menyesapnya perlahan. Sensasi dingin langsung merayap ke otaknya, membuatnya bergidik untuk sesaat. Sensasi dingin itu diikuti rasa asam dan manis dalam waktu yang bersamaan, tapi anehnya Lofa menyukai rasa asam itu. Untuk sejenak Lofa melupakan kemarahannya dan menikmati minuman pesanannya. Rasa manis yang dia rasakan sebelumnya perlahan mulai hilang dan digantikan rasa asam sepenuhnya. Mungkin itu sebabnya minuman ini disebut es patah hati, karena rasa manis yang dirasakan selama jatuh cinta perlahan hilang dan digantikan rasa asam yang menyedihkan. Lofa mendadak mendapat cukup banyak ide untuk menu cafe-nya nanti.
    “Kau bisa memberitahuku sejak pertama kali aku menunjukkan calon cafe-ku padamu.” Lofa melanjutkan kemarahannya setelah minumannya tinggal setengah.
    “Maaf,”
    Lofa menunggu kalimat selanjutnya yang akan dikatakan Agi, tapi ternyata pemuda itu tidak berniat untuk melanjutkan kata-katanya. Agi hanya menyesap minumannya dan memasang ekspresi jangan salahkan aku yang sangat jelas bagi Lofa. Gadis itu hanya menghembuskan nafas panjang antara frustasi dan lega karena Agi memberinya solusi.
    “Apa dia bisa membantuku dalam waktu dekat? Si Adriana itu?”
    Lofa mengaduk-aduk minumannya dengan sedotan kemudian menyesap minumannya perlahan sampai terdengar suara srot yang cukup keras saat minumannya habis. Lofa mengumpat pelan kemudian meletakkan gelas kosongnya di atas meja. Matanya melirik buku menu yang masih terbuka di hadapannya, berusaha mencari minuman lain yang menarik perhatiannya. Lofa langsung mendongak saat melihat Agi mengangkat tangannya untuk memanggil seorang pramusaji.
    “Kau mau pesan apa lagi?” Detik ini Lofa merasa cukup yakin Agi memang bisa mendengar pikirannya. Atau dia baru saja meneteskan liur sampai Agi tahu dia ingin pesan minuman lain?
    “Ini,” tanpa malu-malu Lofa langsung menunjuk minuman lain yang diinginkannya. Setelah pramusaji yang mencatat pesanannya berlalu, Lofa menutup buku menunya agar tidak tergoda lagi. “Untuk riset.” Lofa beralasan, meskipun Agi tidak menuntut penjelasan apa pun.
    “Jadi, bagaimana?”
    Agi menggerakkan bahunya sekilas sambil menyesap minumannya yang anehnya tidak habis-habis. Lofa curiga Agi tidak pernah benar-benar meminumnya.
    “Sebenarnya aku sudah membicarakan masalah cafe-mu dengannya. Dia setuju untuk membantumu kapan saja. Kau hanya perlu menghubunginya.”
    Lagi-lagi Lofa melotot dan menuntut penjelasan pada Agi. Pemuda yang ditatapnya hanya tersenyum polos kemudian kembali menyesap minumannya.
    “Apa lagi yang belum kau katakan padaku?”
    “Hanya itu.” Jawab Agi singkat sambil meletakkan gelasnya yang sekarang sudah kosong.
    Minuman pesanan Lofa datang saat gadis itu akan mengatakan sesuatu. Kali ini minuman berwarna cokelat dan merah, es kasmaran. Sebenarnya Lofa sudah tergoda untuk merasakan minuman itu, tapi dia mengurungkan niatnya. Dia harus menyelesaikan pembicaraannya dengan Agi sebelum minuman itu mengalihkan perhatiannya lagi.
    “Bagaimana dengan besok?” Lofa memutuskan untuk tidak menumpahkan kemarahannya pada Agi. Lagipula sahabatnya itu sudah cukup banyak membantu.
    Agi mengangguk mantap. Setelah mendapat jawaban yang memuaskan dari Agi, Lofa mulai mengaduk-aduk minuman barunya dengan sedotan dan menyesapnya. Sensasi dingin itu kembali merayapi otaknya. Rasanya manis dan sedikit pahit karena cokelatnya.
    ***

  2. 0 komentar:

    Post a Comment