Lofa tidak bisa tidur semalam. Tubuhnya yang mungil hanya
meringkuk di bawah bed cover.
Kepalanya seolah berkomplot dengan hatinya yang sedang hancur, terus berdenyut
dan membuat gadis itu semakin susah tidur. Paginya, susana hati Lofa diperburuk
dengan kemunculan kantung mata yang membuatnya terlihat seperti nenek-nenek.
Menyebalkan.
Lofa pergi ke cafe lebih siang dari biasanya. Alasannya sangat
klise, sedang tidak enak badan. Meskipun sebenarnya alasan yang lebih tepat
adalah sedang tidak enak hati. Ayah menyarankan Lofa untuk libur saja hari ini.
Tapi bayangan pendapatan cafe melayang begitu saja hanya karena Lofa patah hati
benar-benar mengganggunya. Toh diam di rumah akan sama saja. Bahkan dia akan
mendapat kerugian yang lebih besar: terus memikirkan Agi, dan tidak dapat uang.
Jadi Lofa memutuskan untuk tetap membuka cafenya hari ini.
Dengan langkah terseok-seok Lofa masuk ke cafe. Melakukan
rutinitasnya seperti biasa: mengelap perabotan dan membersihkan meja-meja. Hari
ini untuk pertama kalinya tante Ratna, penjual bunga di toko sebelah,
melangkahkan kaki di Cafe Lofa. Hal itu jelas membuat hari Lofa sedikit
berwarna. Senyum gadis itu merekah saat menyambut tetangga cafenya itu.
“Selamat pagi, Tante.” sapa Lofa ramah.
Tante Ratna membawa sebuket bunga lili yang sangat cantik. Lofa
langsung bisa mencium aromanya saat tante Ratna meletakkan buket bunga itu di
atas meja bar.
“Ada titipan,” katanya singkat. “dari seorang pemuda. Tadi dia
ke sini pagi-pagi sekali, tapi kau belum datang.”
Dahi lofa mengkerut dalam. Pemuda mana yang mau berbaik hati
mengiriminya bunga? Entah kenapa lofa langsung berpikir Angga yang memesan
bunga itu untuknya. Setelah beberapa hari ini orang asing itu begitu baik pada Lofa, rasanya wajar jika Lofa
berpikir Angga yang berniat menghiburnya dengan buket bunga lili yang indah.
Memangnya siapa lagi?
“Apa dia orang yang ke sini kemarin?” Lofa ingin mempertegas
dugaannya.
Tate Ratna hanya mengangkat bahu sekilas, “Aku tidak
memperhatikan siapa saja yang datang ke cafemu.” katanya cuek kemudian langsung
berbalik pergi.
“Apa Tante tidak ingin memesan sesuatu?” tanya lofa setengah
berteriak, berharap tetangganya itu mau berubah pikiran sebelum pergi. Tapi
tante Ratna hanya melambaikan tangannya sebelum keluar. Ternyata hari ini pun
tante Ratna belum berniat mencicipi menu Cafe Lofa. Gadis itu merasa gagal jika
tetangganya sendiri malah belum pernah mencoba menu-menu di cafenya.
Setelah larut dalam kekecewaannya selama beberapa menit, Lofa
meraih buket bunga lili itu dan memasukkannya ke dalam vas kaca besar berisi
air. Vas kaca itu terlihat ganjil di atas meja bar, tapi Lofa tidak tahu tempat
lain yang lebih cocok untuk meletakkan bunga itu.
Pandangannya beralih pada pintu saat ada yang masuk. Itu Agi.
Lofa kenal benar wangi shampo Agi yang sangat dia sukai. Wangi mentol yang khas
sudah menguar bahkan sebelum Agi mendekat. Lofa hanya diam di tempatnya.
Pura-pura menata bunga lili di atas meja bar. Dia berniat untuk terlihat kalem
dan tidak terusik dengan kenyataan bahwa kedekatan Agi dan Adriana sudah
mematahkan hatinya.
“Kau membeli bunga lagi?” tanya Agi.
Lofa menggeleng, “Ada yang menitipkannya untukku.”
Gadis itu baru menyadari Agi membawa setangkai bunga matahari di
tangan kanannya dan sebuah bungkusan di tangan kiri. Untuk Adriana? Seperti
menyadari arah pandangan Lofa, Agi langsung menyodorkan bunga itu pada Lofa.
“Apa ini?” tanya lofa saat menerima bunga itu. “Kenapa hari ini
orang-orang memberiku bunga? Apa ada hari khusus yang aku lupakan?”
Agi mengangkat bahunya sekilas, “Aku tidak tahu alasan orang
yang memberimu buket bunga lili itu.”
“Kalau alasanmu?” Lofa masih menghirup aroma bunga matahari
pemberian Agi. Aromanya biasa saja.
“Aku ingin minta maaf.”
Lofa langsung mendongak. Perhatiannya tertuju pada sepatah kata
yang baru saja diucapkan Agi. Setengah hatinya yang masih utuh berharap Agi
minta maaf karena telah salah selama ini. Bukan Adriana yang dia inginkan, tapi
Lofa.
“Maaf karena tidak memberitahumu tentang pekerjaan itu.”
Setengah hatinya ikut hancur sekarang. Harapan imajiner yang dia
bangun sendiri ternyata begitu menyakitkan saat luluh lantak. Jika tahu
membangun sebuah harapan akan begini sakit, Lofa tidak akan pernah mau
berharap.
“Sebenarnya aku berniat memberitahumu saat hari pertama kerja
nanti.”
“Kau belum mulai kerja
sekarang?” tanya Lofa.
Agi menggeleng, “Baru hari Senin depan.”
Hening. Entah sejak kapan berduaan saja dengan Agi membuat Lofa
merasa gugup. Gadis itu kehilangan setiap kata yang sudah dipelajarinya sejak
taman kanak-kanak. Dia tidak menemukan satu kata pun yang dirasa cocok untuk
diucapkan saat ini.
“Jadi kau memafkanku?”
Lofa sedang memandangi jemarinya saat teringat sesuatu. Gadis
itu langsung mendongak dengan tatapan yang berkilat-kilat marah, membuat Agi
memundurkan tubuhnya beberapa senti.
“Kau mengingatkanku pada sesuatu,” kata Lofa pelan sebagai
kalimat pembuka. “KAU MENITIPKANKU PADA ORANG YANG TIDAK TERLALU MENGENALMU!”
“Angga bilang begitu?” tanya Agi pelan, seperti tidak mendengar
pokok permasalahan yang baru saja diteriakkan Lofa.
“Masalahnya adalah bagaimana jika Angga itu orang jahat?” tanya
Lofa masih sedikit emosi.
Agi menaikkan sebelah alisnya, “Dia jahat padamu?”
“Tidak sih.” Lofa mengalah.
“Lalu apa masalahnya?”
Kenapa para lelaki sangat sulit memahami perasaan perempuan?!
Lofa hanya mendesah menghadapi sikap sahabatnya yang sangat tidak peka. Bukan
hanya pada masalah ini, tapi Agi juga tidak peka dengan perasaan Lofa selama
ini.
Tanpa mengatakan apa pun Agi langsung keluar. Sesaat kemudian Agi
kembali muncul dengan setangkai bunga matahari lagi. Ternyata dia baru saja ke
toko bunga tante Ratna. Pemuda itu menyodorkan bunga matahari yang baru
dibelinya pada Lofa.
“Aku minta maaf karena telah menitipkanmu pada orang yang
katanya tidak terlalu mengenalku.”
Tipikal Agi. Begitu mudah mengalah hanya karena tidak ingin
berlarut-larut membahas masalah sepele. Lofa menerima bunga itu dengan ekspresi
wajah yang dibuat galak, tapi gagal karena gadis itu tersenyum. Sahabatnya
tidak pernah berubah, kecuali dalam satu hal.
“Jadi kau memaafkanku sekarang?” Agi mengulangi pertanyaannya.
Lofa mengangkat bahunya sekilas, berusaha terlihat senormal
mungkin. Meskipun otaknya sibuk memikirkan kata-kata yang sesuai untuk
diucapkan. Sejak kapan Lofa begitu peduli dengan kata-kata apa yang harus
diucapkan pada Agi? Apa pun yang dikatakan gadis itu hasilnya sama saja kan?
Agi tidak pernah menganggapnya lebih dari sekedar sahabat.
“Entahlah, Gi. Kau mengajak Adriana makan di Warung Steak sedangkan
aku hanya diberi dua tangkai bunga matahari.” Lofa memainkan bunga matahari pemberian
Agi.
Agi hanya tertawa. Suara tawa renyah yang sangat Lofa kenal.
Diam-diam gadis itu rindu suara tawa Agi yang menyenangkan.
“Tenang saja,” kata pemuda itu sambil meletakkan bungkusan yang
dibawanya di atas meja bar. “aku sudah membawakan makanan favoritmu.”
Agi selalu tahu kelemahan Lofa. Balada patah hati yang melanda Lofa
semalaman membuat gadis itu kehilangan selera makan tadi pagi. Tapi sekarang
dia sangat lapar. Aroma bebek goreng favoritnya menusuk-nusuk hidung Lofa.
Mungkin kali ini bukan saat yang tepat untuk terlihat kalem. Lofa langsung melucuti
bungkusan itu, menampakkan dua buah bebek goreng yang sangat menggoda.
Lofa sudah siap mencabik-cabik daging kecokelatan itu saat Agi
memukul pelan tangan Lofa. Kaget, gadis itu langsung mendongak. Matanya yang
agak sipit terlihat sedikit lebih lebar saat melotot.
“Tidak sopan makan di sini.” Ini kebiasaan Agi yang lain, selalu
mengingatkan Lofa tentang sopan santun.
Lofa hanya memutar bola matanya kemudian mengusung makanannya ke
dapur. Dari lubang besar, Lofa bisa melihat Agi mengambil salah satu apron dan
memakainya. Gadis itu tersenyum saat memperhatikan Agi dari belakang, seperti
biasa.
Jemari Lofa berjingkat-jingkat di atas daging bebek yang masih
panas. Membelah daging kecokelatan itu menjadi ukuran yang lebih kecil-kecil
agar lebih mudah memakannya. Asap putih tipis mengepul saat Lofa menyobek
dagingnya. Perut Lofa sudah hampir penuh saat melihat satu potongan daging
bebek lagi.
“Kau sedang dapat rejeki lebih ya?”
Agi menoleh, matanya terlihat bingung.
Lofa mengacungkan sepotong daging bebek yang masih utuh. “Kau
membelikanku dua potong.” Agi jarang sekali membelikannya makanan berat lebih
dari satu porsi. Jarang sekali, meskipun Lofa sedang sangat lapar. Tapi rasanya
Agi tahu Lofa hanya lapar mata. Jadi kali ini pasti ada pesan khusus dibalik
kebaikan hati Agi.
“Kau tidak harus menghabiskannya sekaligus,” Agi mengalihkan
perhatian pada ponsel yang sedang digenggamnya. Sepertinya dia sedang membaca
pesan dari seseorang, Agi tersenyum saat menatap ponselnya.
“Jarang sekali kau membelikanku dua porsi,” Lofa mengucapkan kecurigaannya
secara blak-blakan, yang belakangan dia sesali.
“Itu...” kata-kata Agi terpotong. Dia sedang sibuk menuliskan
sesuatu pada ponselnya. Membuat jantung Lofa berdebar dua kali lipat lebih
kencang selama menunggu Agi melanjutkan kata-katanya. Agi mendongak, menatap Lofa
dengan mata berbinar-binar.
Tolong
bilang kau hanya ingin menraktirku. Tolong bilang kau hanya ingin menraktirku. Lofa
terus mengulang kalimat itu dalam hatinya, seperti sedang manghafal materi
fisiologi.
“Aku punya kabar gembira,” kata Agi setelah selesai dengan ponselnya.
Dia kembali menatap Lofa.
Gembira
untukku atau untukmu? Lofa hanya berteriak-teriak dalam
diam.
“Aku dan Adriana resmi pacaran tadi malam,” kata Agi.
Setiap katanya terasa seperti pisau tajam yang menyayat hati Lofa
hingga berdarah-darah. Tangannya yang tadi mengacungkan potongan daging bebek
dengan penuh semangat, perlahan merosot. Gadis itu menelan ludah beberapa kali
untuk menjernihkan suaranya sebelum bicara. Memastikan suaranya tidak akan
tercekat.
“Jadi aku tidak akan mengganggumu lagi setiap malam minggu,” Agi
melanjutkan sebelum Lofa sempat bicara.
Setelah menghela nafas panjang, Lofa mengangkat wajahnya dan
menggerakkan sudut-sudut bibirnya sampai terbentuk senyuman.
“Baguslah. Sekarang kau tidak akan menghabiskan persediaan
makananku.” kata Lofa dengan nada bercanda yang terdengar gentar.
Agi hanya mengangguk kemudian kembali memusatkan perhatiannya
pada ponsel. Itu Adriana. Sudah pasti.
hwaaaa beneran patah hati ini mah..
“Aku dan Adriana resmi pacaran tadi malam,” kata Agi. --> jedderrrr kesamber gledek
ice, bunga mataharinya berubah jadi bunga mawar??
eh iya ga, ada yang kelupaan di edit, hehehe. makasih makasih. udah dibenerin kok.