Rss Feed
  1. Cafe Lofa : Patah Hati

    Monday, February 10, 2014


    Lofa tidak bisa tidur semalam. Tubuhnya yang mungil hanya meringkuk di bawah bed cover. Kepalanya seolah berkomplot dengan hatinya yang sedang hancur, terus berdenyut dan membuat gadis itu semakin susah tidur. Paginya, susana hati Lofa diperburuk dengan kemunculan kantung mata yang membuatnya terlihat seperti nenek-nenek. Menyebalkan.
    Lofa pergi ke cafe lebih siang dari biasanya. Alasannya sangat klise, sedang tidak enak badan. Meskipun sebenarnya alasan yang lebih tepat adalah sedang tidak enak hati. Ayah menyarankan Lofa untuk libur saja hari ini. Tapi bayangan pendapatan cafe melayang begitu saja hanya karena Lofa patah hati benar-benar mengganggunya. Toh diam di rumah akan sama saja. Bahkan dia akan mendapat kerugian yang lebih besar: terus memikirkan Agi, dan tidak dapat uang. Jadi Lofa memutuskan untuk tetap membuka cafenya hari ini.
    Dengan langkah terseok-seok Lofa masuk ke cafe. Melakukan rutinitasnya seperti biasa: mengelap perabotan dan membersihkan meja-meja. Hari ini untuk pertama kalinya tante Ratna, penjual bunga di toko sebelah, melangkahkan kaki di Cafe Lofa. Hal itu jelas membuat hari Lofa sedikit berwarna. Senyum gadis itu merekah saat menyambut tetangga cafenya itu.
    “Selamat pagi, Tante.” sapa Lofa ramah.
    Tante Ratna membawa sebuket bunga lili yang sangat cantik. Lofa langsung bisa mencium aromanya saat tante Ratna meletakkan buket bunga itu di atas meja bar.
    “Ada titipan,” katanya singkat. “dari seorang pemuda. Tadi dia ke sini pagi-pagi sekali, tapi kau belum datang.”
    Dahi lofa mengkerut dalam. Pemuda mana yang mau berbaik hati mengiriminya bunga? Entah kenapa lofa langsung berpikir Angga yang memesan bunga itu untuknya. Setelah beberapa hari ini orang asing itu begitu baik pada Lofa, rasanya wajar jika Lofa berpikir Angga yang berniat menghiburnya dengan buket bunga lili yang indah. Memangnya siapa lagi?
    “Apa dia orang yang ke sini kemarin?” Lofa ingin mempertegas dugaannya.
    Tate Ratna hanya mengangkat bahu sekilas, “Aku tidak memperhatikan siapa saja yang datang ke cafemu.” katanya cuek kemudian langsung berbalik pergi.
    “Apa Tante tidak ingin memesan sesuatu?” tanya lofa setengah berteriak, berharap tetangganya itu mau berubah pikiran sebelum pergi. Tapi tante Ratna hanya melambaikan tangannya sebelum keluar. Ternyata hari ini pun tante Ratna belum berniat mencicipi menu Cafe Lofa. Gadis itu merasa gagal jika tetangganya sendiri malah belum pernah mencoba menu-menu di cafenya.
    Setelah larut dalam kekecewaannya selama beberapa menit, Lofa meraih buket bunga lili itu dan memasukkannya ke dalam vas kaca besar berisi air. Vas kaca itu terlihat ganjil di atas meja bar, tapi Lofa tidak tahu tempat lain yang lebih cocok untuk meletakkan bunga itu.
    Pandangannya beralih pada pintu saat ada yang masuk. Itu Agi. Lofa kenal benar wangi shampo Agi yang sangat dia sukai. Wangi mentol yang khas sudah menguar bahkan sebelum Agi mendekat. Lofa hanya diam di tempatnya. Pura-pura menata bunga lili di atas meja bar. Dia berniat untuk terlihat kalem dan tidak terusik dengan kenyataan bahwa kedekatan Agi dan Adriana sudah mematahkan hatinya.
    “Kau membeli bunga lagi?” tanya Agi.
    Lofa menggeleng, “Ada yang menitipkannya untukku.”
    Gadis itu baru menyadari Agi membawa setangkai bunga matahari di tangan kanannya dan sebuah bungkusan di tangan kiri. Untuk Adriana? Seperti menyadari arah pandangan Lofa, Agi langsung menyodorkan bunga itu pada Lofa.
    “Apa ini?” tanya lofa saat menerima bunga itu. “Kenapa hari ini orang-orang memberiku bunga? Apa ada hari khusus yang aku lupakan?”
    Agi mengangkat bahunya sekilas, “Aku tidak tahu alasan orang yang memberimu buket bunga lili itu.”
    “Kalau alasanmu?” Lofa masih menghirup aroma bunga matahari pemberian Agi. Aromanya biasa saja.
    “Aku ingin minta maaf.”
    Lofa langsung mendongak. Perhatiannya tertuju pada sepatah kata yang baru saja diucapkan Agi. Setengah hatinya yang masih utuh berharap Agi minta maaf karena telah salah selama ini. Bukan Adriana yang dia inginkan, tapi Lofa.
    “Maaf karena tidak memberitahumu tentang pekerjaan itu.”
    Setengah hatinya ikut hancur sekarang. Harapan imajiner yang dia bangun sendiri ternyata begitu menyakitkan saat luluh lantak. Jika tahu membangun sebuah harapan akan begini sakit, Lofa tidak akan pernah mau berharap.
    “Sebenarnya aku berniat memberitahumu saat hari pertama kerja nanti.”
     “Kau belum mulai kerja sekarang?” tanya Lofa.
    Agi menggeleng, “Baru hari Senin depan.”
    Hening. Entah sejak kapan berduaan saja dengan Agi membuat Lofa merasa gugup. Gadis itu kehilangan setiap kata yang sudah dipelajarinya sejak taman kanak-kanak. Dia tidak menemukan satu kata pun yang dirasa cocok untuk diucapkan saat ini.
    “Jadi kau memafkanku?”
    Lofa sedang memandangi jemarinya saat teringat sesuatu. Gadis itu langsung mendongak dengan tatapan yang berkilat-kilat marah, membuat Agi memundurkan tubuhnya beberapa senti.
    “Kau mengingatkanku pada sesuatu,” kata Lofa pelan sebagai kalimat pembuka. “KAU MENITIPKANKU PADA ORANG YANG TIDAK TERLALU MENGENALMU!”
    “Angga bilang begitu?” tanya Agi pelan, seperti tidak mendengar pokok permasalahan yang baru saja diteriakkan Lofa.
    “Masalahnya adalah bagaimana jika Angga itu orang jahat?” tanya Lofa masih sedikit emosi.
    Agi menaikkan sebelah alisnya, “Dia jahat padamu?”
    “Tidak sih.” Lofa mengalah.
    “Lalu apa masalahnya?”
    Kenapa para lelaki sangat sulit memahami perasaan perempuan?! Lofa hanya mendesah menghadapi sikap sahabatnya yang sangat tidak peka. Bukan hanya pada masalah ini, tapi Agi juga tidak peka dengan perasaan Lofa selama ini.
    Tanpa mengatakan apa pun Agi langsung keluar. Sesaat kemudian Agi kembali muncul dengan setangkai bunga matahari lagi. Ternyata dia baru saja ke toko bunga tante Ratna. Pemuda itu menyodorkan bunga matahari yang baru dibelinya pada Lofa.
    “Aku minta maaf karena telah menitipkanmu pada orang yang katanya tidak terlalu mengenalku.”
    Tipikal Agi. Begitu mudah mengalah hanya karena tidak ingin berlarut-larut membahas masalah sepele. Lofa menerima bunga itu dengan ekspresi wajah yang dibuat galak, tapi gagal karena gadis itu tersenyum. Sahabatnya tidak pernah berubah, kecuali dalam satu hal.
    “Jadi kau memaafkanku sekarang?” Agi mengulangi pertanyaannya.
    Lofa mengangkat bahunya sekilas, berusaha terlihat senormal mungkin. Meskipun otaknya sibuk memikirkan kata-kata yang sesuai untuk diucapkan. Sejak kapan Lofa begitu peduli dengan kata-kata apa yang harus diucapkan pada Agi? Apa pun yang dikatakan gadis itu hasilnya sama saja kan? Agi tidak pernah menganggapnya lebih dari sekedar sahabat.
    “Entahlah, Gi. Kau mengajak Adriana makan di Warung Steak sedangkan aku hanya diberi dua tangkai bunga matahari.” Lofa memainkan bunga matahari pemberian Agi.
    Agi hanya tertawa. Suara tawa renyah yang sangat Lofa kenal. Diam-diam gadis itu rindu suara tawa Agi yang menyenangkan.
    “Tenang saja,” kata pemuda itu sambil meletakkan bungkusan yang dibawanya di atas meja bar. “aku sudah membawakan makanan favoritmu.”
    Agi selalu tahu kelemahan Lofa. Balada patah hati yang melanda Lofa semalaman membuat gadis itu kehilangan selera makan tadi pagi. Tapi sekarang dia sangat lapar. Aroma bebek goreng favoritnya menusuk-nusuk hidung Lofa. Mungkin kali ini bukan saat yang tepat untuk terlihat kalem. Lofa langsung melucuti bungkusan itu, menampakkan dua buah bebek goreng yang sangat menggoda.
    Lofa sudah siap mencabik-cabik daging kecokelatan itu saat Agi memukul pelan tangan Lofa. Kaget, gadis itu langsung mendongak. Matanya yang agak sipit terlihat sedikit lebih lebar saat melotot.
    “Tidak sopan makan di sini.” Ini kebiasaan Agi yang lain, selalu mengingatkan Lofa tentang sopan santun.
    Lofa hanya memutar bola matanya kemudian mengusung makanannya ke dapur. Dari lubang besar, Lofa bisa melihat Agi mengambil salah satu apron dan memakainya. Gadis itu tersenyum saat memperhatikan Agi dari belakang, seperti biasa.
    Jemari Lofa berjingkat-jingkat di atas daging bebek yang masih panas. Membelah daging kecokelatan itu menjadi ukuran yang lebih kecil-kecil agar lebih mudah memakannya. Asap putih tipis mengepul saat Lofa menyobek dagingnya. Perut Lofa sudah hampir penuh saat melihat satu potongan daging bebek lagi.
    “Kau sedang dapat rejeki lebih ya?”
    Agi menoleh, matanya terlihat bingung.
    Lofa mengacungkan sepotong daging bebek yang masih utuh. “Kau membelikanku dua potong.” Agi jarang sekali membelikannya makanan berat lebih dari satu porsi. Jarang sekali, meskipun Lofa sedang sangat lapar. Tapi rasanya Agi tahu Lofa hanya lapar mata. Jadi kali ini pasti ada pesan khusus dibalik kebaikan hati Agi.
    “Kau tidak harus menghabiskannya sekaligus,” Agi mengalihkan perhatian pada ponsel yang sedang digenggamnya. Sepertinya dia sedang membaca pesan dari seseorang, Agi tersenyum saat menatap ponselnya.
    “Jarang sekali kau membelikanku dua porsi,” Lofa mengucapkan kecurigaannya secara blak-blakan, yang belakangan dia sesali.
    “Itu...” kata-kata Agi terpotong. Dia sedang sibuk menuliskan sesuatu pada ponselnya. Membuat jantung Lofa berdebar dua kali lipat lebih kencang selama menunggu Agi melanjutkan kata-katanya. Agi mendongak, menatap Lofa dengan mata berbinar-binar.
    Tolong bilang kau hanya ingin menraktirku. Tolong bilang kau hanya ingin menraktirku. Lofa terus mengulang kalimat itu dalam hatinya, seperti sedang manghafal materi fisiologi.
    “Aku punya kabar gembira,” kata Agi setelah selesai dengan ponselnya. Dia kembali menatap Lofa.
    Gembira untukku atau untukmu? Lofa hanya berteriak-teriak dalam diam.
    “Aku dan Adriana resmi pacaran tadi malam,” kata Agi.
    Setiap katanya terasa seperti pisau tajam yang menyayat hati Lofa hingga berdarah-darah. Tangannya yang tadi mengacungkan potongan daging bebek dengan penuh semangat, perlahan merosot. Gadis itu menelan ludah beberapa kali untuk menjernihkan suaranya sebelum bicara. Memastikan suaranya tidak akan tercekat.
    “Jadi aku tidak akan mengganggumu lagi setiap malam minggu,” Agi melanjutkan sebelum Lofa sempat bicara.
    Setelah menghela nafas panjang, Lofa mengangkat wajahnya dan menggerakkan sudut-sudut bibirnya sampai terbentuk senyuman.
    “Baguslah. Sekarang kau tidak akan menghabiskan persediaan makananku.” kata Lofa dengan nada bercanda yang terdengar gentar.
    Agi hanya mengangguk kemudian kembali memusatkan perhatiannya pada ponsel. Itu Adriana. Sudah pasti.

  2. 2 komentar:

    1. Unknown said...

      hwaaaa beneran patah hati ini mah..
      “Aku dan Adriana resmi pacaran tadi malam,” kata Agi. --> jedderrrr kesamber gledek
      ice, bunga mataharinya berubah jadi bunga mawar??

    2. eh iya ga, ada yang kelupaan di edit, hehehe. makasih makasih. udah dibenerin kok.

    Post a Comment