Rss Feed
  1. A Celebrity Twin #6

    Wednesday, March 19, 2014


    Rabu (lagi), 9 Februari
    Ibu membenciku. Untuk pertama kalinya aku melihat itu di mata ibu. Jika ibu tidak membenciku, ibu tidak akan membiarkan Dion membawaku pergi. Ibu jelas membenciku. Sangat membenciku.

    Sonia menempati salah satu dari banyak sekali kamar kosong yang ada di rumah Dion. Gadis itu sempat melongo selama beberapa detik saat baru sampai di rumah Dion sore tadi. Rumahnya besar sekali. Sonia yakin Dion memang sudah kaya meskipun tidak menjadi artis. Rumahnya sangat besar tapi sepi. Hanya ada seorang wanita paruh baya, Sonia sangat yakin dia adalah pembantu di rumah ini, yang menyambut kedatangan mereka. Wanita itu langsung mengantar Sonia ke kamar barunya.
    Sepertinya Dion benar-benar serius untuk mengadopsi Sonia. Dia sudah menyiapkan kamar khusus untuk Sonia. Bukan hanya kamar kosong yang dilengkapi kasur, tapi kamar tidur yang sudah dilengkapi perabotan khas perempuan. Tirai jendela bermotif bunga, seprai bermotif polkadot warna pink, jam dinding pink, satu set meja rias dan lemari plastik yang warnanya tidak jauh dari pink dan biru muda. Semuanya sangat terkesan perempuan, sayangnya Sonia bukan tipe perempuan yang menyukai warna-warna lembut seperti itu.
    Sonia masih mengunci diri di kamar saat ada yang mengetuk pintu kamarnya. Gadis itu bergeming. Dia tidak berniat untuk berkomunikasi dengan siapa pun malam ini. Dia ingin cepat pagi. Baru sekali ini seumur hidup Sonia sangat ingin pergi ke sekolah. Setidaknya di sekolah ada banyak orang-orang yang dia kenal. Lingkungan yang akrab dengan dirinya. Suara ketukan itu masih terdengar.
    “Sudah waktunya makan malam.” Itu suara Dion.
    Sonia hanya diam.
    “Kau tidak lapar?” tanya Dion lagi.
    Sonia masih diam. Gadis itu menutupi kepalanya dengan bantal.
    “Kau mau aku bawakan makananmu ke kamar?”
    Sonia tidak yakin ada artis yang benar-benar peduli. Bahkan saat mendengar pertanyaan Dion barusan, Sonia masih tidak yakin. Dion hanya pura-pura baik agar Sonia tidak menceritakan sesuatu yang bisa menurunkan pamornya sebagai artis idola para remaja.
    Suara ketukan itu terdengar lagi, kali ini lebih keras.
    “Kau bisa sakit.”
    Sonia menghela nafas panjang sebelum menjawab, “Aku jarang makan malam.”
    Suara ketukan lagi. Dion benar-benar tidak mudah menyerah. Sonia menyingkirkan bantalnya dan bangkit dari kasur. Gadis itu berjalan malas dan membuka pintu kamarnya.
    “Kau harus makan.” kata Dion begitu pintunya terbuka.
    Sonia menutup pintu di belakangnya dan mengikuti Dion ke ruang makan. Sonia belum sempat melihat-lihat bagian lain rumah mewah ini karena langsung mengurung diri di kamar tadi sore. Rumah ini benar-benar seperti istana. Ruang makannya sangat luas. Ada meja makan super besar di tengah-tengahnya. Ruang makan ini diterangi oleh lampu kristal yang menggantung dari langit-langit yang tinggi. Ada banyak sekali makanan di atas meja makan. Dion langsung duduk di ujung meja makan, sementara Sonia duduk di ujung lainnya. Meja makan yang super besar menciptakan jarak yang luas di antara mereka.
    “Hanya kita berdua?” tanya Sonia. Gadis itu mulai tergoda dengan ayam bakar yang ada di hadapannya.
    “Papa sedang ada rapat.”
    “Ibumu?” tanya Sonia lagi.
    “Tidak ada mama.” jawab Dion santai. Pemuda itu sepertinya sudah terbiasa dengan suasana sepi seperti ini.
    Sonia merasa sangat asing di rumah sebesar ini. Belum lagi suasananya yang sangat sepi membuatnya merasa seperti baru saja diasingkan ke pedalaman tak berpenghuni. Malam-malamnya di panti selalu ramai. Kicauan adik-adiknya tidak akan berhenti sebelum jam sembilan malam. Diam-diam Sonia melirik jam dinding, baru jam tujuh malam. Adik-adiknya pasti sedang sibuk mengomentari acara televisi. Atau mungkin Talita sedang sibuk mengganggu ibu menjahit, bertanya tentang berbagai macam hal. Talita selalu seperti itu. Sonia mendesah saat mengingat kehidupannya di panti. Dan ibu. Tapi bayangan ibu yang tidak mencegah kepergiannya tadi sore membuatnya sedih. Ibu jelas membencinya.
    “Kau tidak suka makanannya?” Pertanyaan itu membuyarkan lamunan Sonia.
    Sonia hanya menggeleng.
    “Tidak suka?” Dion mengulangi pertanyaannya.
    “Bukan. Aku hanya tidak ingin makan.”
    Setelah itu tidak ada yang bicara lagi. Hanya suara dentingan sendok yang beradu dengan piring sesekali terdengar. Sonia memperhatikan Dion sekilas. Pemuda itu terlihat berbeda dari yang biasa dilihatnya di televisi. Wajahnya terlihat lebih putih dan dia jelas lebih tampan. Jika biasanya rambut Dion ditata dengan gel rambut agar berdiri tegak, sekarang rambutnya terkulai lemas. Tapi justru tatanan rambutnya yang seperti itu yang membuatnya terlihat lebih kalem.
    Sonia langsung mengalihkan pandangannya ke lemari piring saat Dion selesai makan dan mendongak. Pemuda itu mendorong piringnya menjauh kemudian menyandarkan tubuhnya pada kursi. Dion memiringkan tubuhnya saat berusaha mengambil sesuatu dari saku celana pendeknya. Sebuah ponsel. Dion mendorong ponsel itu sampai meluncur di atas meja makan dan berhenti di depan Sonia.
    “Apa ini?” tanya Sonia malas.
    “Untukmu. Sudah ada nomorku dan nomor rumah ini. Kau bisa menghubungiku kapan pun.” Dion diam sebentar. “Tapi jangan sebarkan nomorku pada siapa pun. Aku bosan terlalu sering mengganti nomor.”
    Dasar tukang pamer, pikir Sonia kesal.
    “Aku punya ponsel.” kata Sonia datar sambil menunjukkan ponselnya yang masih monochrome.
    “Simpan saja. Itu hadiah dariku.”
    Sonia meraih ponsel barunya tanpa berkomentar lagi.
    “Sudah malam. Kau boleh kembali ke kamarmu.”
    Sonia hanya mendengus kesal sebelum bangkit dari kursinya. Dion lebih terkesan seperti seorang ayah tiri daripada saudara. Sonia kembali ke kamarnya tanpa mengatakan apa pun. Besok dia berniat pergi sekolah pagi-pagi sekali dan tidak kembali lagi. Dia akan tidur di rumah Rina untuk sementara waktu. Itu sepertinya rencana yang cukup bagus. Sonia hanya perlu merajuk pada Rina agar mengizinkannya tinggal di rumahnya selama beberapa hari.

  2. 0 komentar:

    Post a Comment