Rabu (lagi), 9 Februari
Ibu membenciku. Untuk
pertama kalinya aku melihat itu di mata ibu. Jika ibu tidak membenciku, ibu
tidak akan membiarkan Dion membawaku pergi. Ibu jelas membenciku. Sangat
membenciku.
Sonia menempati salah satu dari banyak sekali kamar kosong yang
ada di rumah Dion. Gadis itu sempat melongo selama beberapa detik saat baru sampai
di rumah Dion sore tadi. Rumahnya besar sekali. Sonia yakin Dion memang sudah
kaya meskipun tidak menjadi artis. Rumahnya sangat besar tapi sepi. Hanya ada
seorang wanita paruh baya, Sonia sangat yakin dia adalah pembantu di rumah ini,
yang menyambut kedatangan mereka. Wanita itu langsung mengantar Sonia ke kamar
barunya.
Sepertinya Dion benar-benar serius untuk mengadopsi Sonia. Dia
sudah menyiapkan kamar khusus untuk Sonia. Bukan hanya kamar kosong yang
dilengkapi kasur, tapi kamar tidur yang sudah dilengkapi perabotan khas
perempuan. Tirai jendela bermotif bunga, seprai bermotif polkadot warna pink, jam
dinding pink, satu set meja rias dan lemari plastik yang warnanya tidak jauh
dari pink dan biru muda. Semuanya sangat terkesan perempuan, sayangnya Sonia
bukan tipe perempuan yang menyukai warna-warna lembut seperti itu.
Sonia masih mengunci diri di kamar saat ada yang mengetuk pintu
kamarnya. Gadis itu bergeming. Dia tidak berniat untuk berkomunikasi dengan
siapa pun malam ini. Dia ingin cepat pagi. Baru sekali ini seumur hidup Sonia sangat
ingin pergi ke sekolah. Setidaknya di sekolah ada banyak orang-orang yang dia
kenal. Lingkungan yang akrab dengan dirinya. Suara ketukan itu masih terdengar.
“Sudah waktunya makan malam.” Itu suara Dion.
Sonia hanya diam.
“Kau tidak lapar?” tanya Dion lagi.
Sonia masih diam. Gadis itu menutupi kepalanya dengan bantal.
“Kau mau aku bawakan makananmu ke kamar?”
Sonia tidak yakin ada artis yang benar-benar peduli. Bahkan saat
mendengar pertanyaan Dion barusan, Sonia masih tidak yakin. Dion hanya
pura-pura baik agar Sonia tidak menceritakan sesuatu yang bisa menurunkan
pamornya sebagai artis idola para remaja.
Suara ketukan itu terdengar lagi, kali ini lebih keras.
“Kau bisa sakit.”
Sonia menghela nafas panjang sebelum menjawab, “Aku jarang makan
malam.”
Suara ketukan lagi. Dion benar-benar tidak mudah menyerah. Sonia
menyingkirkan bantalnya dan bangkit dari kasur. Gadis itu berjalan malas dan
membuka pintu kamarnya.
“Kau harus makan.” kata Dion begitu pintunya terbuka.
Sonia menutup pintu di belakangnya dan mengikuti Dion ke ruang
makan. Sonia belum sempat melihat-lihat bagian lain rumah mewah ini karena
langsung mengurung diri di kamar tadi sore. Rumah ini benar-benar seperti
istana. Ruang makannya sangat luas. Ada meja makan super besar di
tengah-tengahnya. Ruang makan ini diterangi oleh lampu kristal yang menggantung
dari langit-langit yang tinggi. Ada banyak sekali makanan di atas meja makan. Dion
langsung duduk di ujung meja makan, sementara Sonia duduk di ujung lainnya. Meja
makan yang super besar menciptakan jarak yang luas di antara mereka.
“Hanya kita berdua?” tanya Sonia. Gadis itu mulai tergoda dengan
ayam bakar yang ada di hadapannya.
“Papa sedang ada rapat.”
“Ibumu?” tanya Sonia lagi.
“Tidak ada mama.” jawab Dion santai. Pemuda itu sepertinya sudah
terbiasa dengan suasana sepi seperti ini.
Sonia merasa sangat asing di rumah sebesar ini. Belum lagi
suasananya yang sangat sepi membuatnya merasa seperti baru saja diasingkan ke
pedalaman tak berpenghuni. Malam-malamnya di panti selalu ramai. Kicauan
adik-adiknya tidak akan berhenti sebelum jam sembilan malam. Diam-diam Sonia
melirik jam dinding, baru jam tujuh malam. Adik-adiknya pasti sedang sibuk
mengomentari acara televisi. Atau mungkin Talita sedang sibuk mengganggu ibu
menjahit, bertanya tentang berbagai macam hal. Talita selalu seperti itu. Sonia
mendesah saat mengingat kehidupannya di panti. Dan ibu. Tapi bayangan ibu yang
tidak mencegah kepergiannya tadi sore membuatnya sedih. Ibu jelas membencinya.
“Kau tidak suka makanannya?” Pertanyaan itu membuyarkan lamunan Sonia.
Sonia hanya menggeleng.
“Tidak suka?” Dion mengulangi pertanyaannya.
“Bukan. Aku hanya tidak ingin makan.”
Setelah itu tidak ada yang bicara lagi. Hanya suara dentingan
sendok yang beradu dengan piring sesekali terdengar. Sonia memperhatikan Dion
sekilas. Pemuda itu terlihat berbeda dari yang biasa dilihatnya di televisi. Wajahnya
terlihat lebih putih dan dia jelas lebih tampan. Jika biasanya rambut Dion
ditata dengan gel rambut agar berdiri
tegak, sekarang rambutnya terkulai lemas. Tapi justru tatanan rambutnya yang
seperti itu yang membuatnya terlihat lebih kalem.
Sonia langsung mengalihkan pandangannya ke lemari piring saat Dion
selesai makan dan mendongak. Pemuda itu mendorong piringnya menjauh kemudian
menyandarkan tubuhnya pada kursi. Dion memiringkan tubuhnya saat berusaha
mengambil sesuatu dari saku celana pendeknya. Sebuah ponsel. Dion mendorong
ponsel itu sampai meluncur di atas meja makan dan berhenti di depan Sonia.
“Apa ini?” tanya Sonia malas.
“Untukmu. Sudah ada nomorku dan nomor rumah ini. Kau bisa
menghubungiku kapan pun.” Dion diam sebentar. “Tapi jangan sebarkan nomorku
pada siapa pun. Aku bosan terlalu sering mengganti nomor.”
Dasar tukang pamer, pikir Sonia kesal.
“Aku punya ponsel.” kata Sonia datar sambil menunjukkan ponselnya
yang masih monochrome.
“Simpan saja. Itu hadiah dariku.”
Sonia meraih ponsel barunya tanpa berkomentar lagi.
“Sudah malam. Kau boleh kembali ke kamarmu.”
Sonia hanya mendengus kesal sebelum bangkit dari kursinya. Dion
lebih terkesan seperti seorang ayah tiri daripada saudara. Sonia kembali ke
kamarnya tanpa mengatakan apa pun. Besok dia berniat pergi sekolah pagi-pagi sekali
dan tidak kembali lagi. Dia akan tidur di rumah Rina untuk sementara waktu. Itu
sepertinya rencana yang cukup bagus. Sonia hanya perlu merajuk pada Rina agar
mengizinkannya tinggal di rumahnya selama beberapa hari.
0 komentar:
Post a Comment