Rabu, 9 Februari
Aku tidak bisa tidur semalam.
Insomnia, seperti biasa. Kali ini insomnianya sudah mendekati gejala akut. Aku
harus berterima kasih pada Dion untuk itu! Pertanyaan konyolnya benar-benar membuatku
susah tidur. Dia bilang ingin mengadopsiku sebagai saudara angkatnya? Astaga! Apa
sih yang sebenarnya dia pikirkan? Dia pikir semudah itu mengadopsi seseorang
lalu mengembalikannya lagi saat sudah bosan? Aku tidak akan mau diadopsi! Terutama
oleh Dion!
Hidup Sonia berjalan lancar hari ini. Kurang lebih. Setidaknya
sebelum tadi siang Rio tergopoh-gopoh menghampirinya untuk mengingatkan ada
latihan band sepulang sekolah. Harinya mendadak suram. Dulu saat pertama kali
bergabung dengan band-nya, Sonia senang sekali latihan. Sejak ada Clarisa di
dalamnya, latihan band jadi terasa seperti ruangan sempit yang menyesakkan. Sebenarnya
tidak masalah bagi Sonia, dia cukup adil dalam hal pembagian vokal. Dan harus
Sonia akui, Clarisa memang memiliki suara yang luar biasa merdu. Tapi kebiasaan
Clarisa mengomentari setiap detail hal sepele yang membuat Sonia lama-lama muak
dengan kehadirannya. Terutama karena objek utama komentar Clarisa adalah
dirinya. Dia selalu saja menjalankan perannya sebagai gadis populer dengan sangat
baik: mengomentari penampilan semua orang. Tentu saja, Sonia yang jarang sekali
memperhatikan penampilannya selalu apes.
Sonia berjalan malas ke ruang musik. Suara dentingan keyboard dan dentuman bass drum langsung terdengar saat Sonia
membuka pintu. Sudah ada Rio dan Danar di dalam. Mereka sedang main-main dengan
alat musik yang ada. Clarisa belum datang. Selalu telambat.
“Lagu apa yang akan kita mainkan?” tanya Sonia sambil meraih microphone yang dipasang pada stand mic.
Alih-alih menjawab, Rio langsung memainkan sebuah melodi dengan keyboard-nya. Sonia selalu suka dentingan
piano. Entah bagaimana, dentingan setiap nadanya membuat hati Sonia merasa
lebih tenang.
Apa jadinya hati yang
terbagi...Sonia langsung mendendangkan lirik lagunya.
Cinta putih. Lagu lama milik Kerispatih yang sekarang sudah jarang sekali
terdengar.
Tepat saat Sonia membuka mulutnya untuk menyanyikan bagian
refrain, pintu terbuka. Sosok Clarisa muncul diikuti Dwika dan Brili. Sonia
mengurungkan niatnya untuk melanjutkan lagu itu. Lagi pula, Rio memang langsung berhenti begitu melihat
Clarisa masuk.
“Aku tidak suka lagu itu.” kata Clarisa sambil mengambil microphone lain.
Yang lain hanya diam. Termasuk Sonia.
“Kita akan tampil di acara lustrum sekolah. Kenapa tidak mainkan
lagu yang lebih ceria?” kata Clarisa dengan gaya control freak-nya.
“Lustrum?” tanya Sonia bingung. Dia sama sekali tidak diberitahu
tentang itu. Dia tidak tahu band-nya masuk daftar band yang dipertimbangkan
kepala sekolah untuk mengisi acara lustrum.
“Kita bisa mainkan lagu-lagu Lady Gaga.” kata Clarisa. Tidak ada
yang memedulikan Sonia.
“Tunggu dulu, lustrum?”
Semuanya langsung menoleh saat Sonia meninggikan suaranya.
“Tidak ada yang memberitahuku tentang lustrum. Aku pikir kita
hanya latihan reguler.”
“Clarisa yang meminta kepala sekolah untuk mempertimbangkan band
kita tampil di acara lustrum.” Rio yang menjawab.
Sonia langsung memasangkan microphone-nya
kembali pada stand mic dan meraih
ranselnya yang tergeletak di dekat rak sepatu.
“Kau mau ke mana?” tanya Danar saat Sonia memakai sepatunya.
“Kalian bahkan tidak memberitahuku band kita ikut acara lustrum. Aku rasa posisiku sangat tidak penting di
sini.”
Tanpa menunggu respon dari siapa pun yang berniat merespon, Sonia
langsung keluar dari ruang musik. Suara bedebum yang cukup keras terdengar saat
Sonia membanting pintunya. Dia tidak peduli jika ada guru yang menegurnya
karena hampir merusak fasilitas sekolah. Dia terlalu sakit hati.
***
Sonia hanya menendangi kerikil tidak berdosa di pinggir jalan
selama berjalan ke panti. Rina sudah pulang karena Sonia akan latihan band. Setidaknya
begitu rencana awalnya. Sebelum Sonia tahu dia benar-benar tidak dianggap sebagai
anggota band. Band-nya ikut acara lustrum! Acara seni terbesar yang diadakan
sekolahnya setiap sembilan tahun sekali! Sonia benar-benar kesal setiap kali
mengingat itu. Dia menendang kerikil semakin jauh. Kerikil itu menggelinding
jauh sampai akhirnya berhenti di dekat ban mobil sedan yang terparkir di
halaman depan panti.
“Mirip mobil yang kemarin,” gumam Sonia heran.
Sonia buru-buru masuk ke dalam panti. Keadaan di dalam ramai
sekali. Adik-adiknya sudah pulang sekolah. Mereka sedang sibuk mengerumuni
sesuatu...atau seseorang?
“Kak Sonia pulang!” kata Talita dengan suara cemprengnya yang
lucu.
Anak-anak lain langsung mendekati Sonia dan memeluk Sonia satu per
satu. Keributan itu membuat Sonia tidak menyadari keberadaan Dion yang sedari
tadi duduk di sofa, memperhatikannya.
“Kami pasti akan sangat merindukan Kak Sonia!” celetuk Niken saat
memeluk kaki Sonia.
“Ada apa sih?”
Sonia langsung menoleh saat mendengar ada yang berdehem di sampingnya.
Itu Dion. Pemuda itu sudah berdiri di sampingnya. Wajahnya membentuk cengiran
lebar saat memamerkan selembar kertas pada Sonia. Sonia merebut kertas itu dan
membacanya. Matanya yang belo bertambah lebar saat dia melotot melihat isi
kertas itu.
“Kau resmi jadi saudara kembarku.” kata Dion polos.
Kekesalan Sonia meningkat sampai level yang sudah tidak bisa dideteksi
dengan alat apa pun. Kepalanya terasa sangat panas karena dia kesal. Hari ini
dia baru saja mendapatkan kesialan yang berlipat ganda. Sonia langsung meremas
kertas itu dan membuangnya. Tepat saat gumpalan kertas itu menggelinding di
bawah kaki Dion, ibu muncul sambil menyeret satu koper besar.
Sonia hanya menatap nanar koper besar itu dan ibu secara
bergantian. Gadis itu menatap ibu lama sekali. Atau selama ini hanya Sonia yang
beranggapan Rahma adalah ibunya? Karena sekarang sepertinya wanita yang dia
anggap ibu itu sangat ingin Sonia pergi dari panti. Bagus sekali! Setelah tidak
dianggap di band-nya sendiri sekarang dia diusir dari tempat tinggalnya
sendiri.
“Kapan kita pergi?” tanya Sonia datar pada Dion, matanya masih
tertuju pada ibu.
“Sekarang?” Dion terdengar ragu dengan jawabannya.
Tanpa basa-basi Sonia langsung mengambil alih koper besar yang
diseret ibu tadi.
“Sonia pergi, Bu.” katanya pelan. Sonia masih menatap ibu, memohon
penjelasan atau setidaknya sepatah kata dari ibu yang akan menghentikan
tindakan konyol Dion. Tapi ibu hanya diam.
Ibu hanya mengangguk. Saat tangan ibu terangkat untuk membelai
rambut Sonia, gadis itu melengos dan langsung berjalan keluar panti. Untuk
pertama kalinya, Sonia merasa ibu tidak pernah menginginkan kehadirannya.
***
Sonia menatap lurus jalanan di depannya, sementara Dion sibuk
menyetir. Tidak ada yang bicara. Salah satu sifat Dion yang baru saja Sonia pelajari
dari perjalanan ini yang mungkin akan dia sukai: Dion cukup peka untuk tidak
mengganggu Sonia dengan banyak bicara. Dion hanya diam. Dan itu sangat
membantu.
Mobil yang mereka kendarai berjalan mulus di jalanan Bandung. Sore
ini cukup ramai, terutama di kawasan Braga. Sepertinya kawasan ini tidak pernah
sepi. Tubuh Sonia tersentak ke belakang saat Dion tiba-tiba mengerem mobilnya,
ada pengendara motor yang muncul entah dari mana. Setelah pengendara motor itu
meluncur pergi, Dion kembali menjalankan mobilnya.
“Kenapa kau melakukannya?” tanya Sonia. Diam-diam dia penasaran
juga dengan alasan Dion mengadopsinya.
“Jika aku tidak berhenti, orang itu bisa tertabrak.” jawab Dion
polos.
Sonia memutar bola matanya, “Kenapa kau mengadopsiku. Ya ampun!
Kau masih 16 tahun! Apa sih yang kau pikirkan?” Sonia tidak bisa menahan
emosinya jika mengingat hal itu. Dia baru saja diadopsi!
“Karena kau saudara kembarku. Aku sudah bilang.” Dion masih saja
bersikap santai seperti tidak terjadi apa pun.
“Aku serius!”
“Apa masalahnya sih? Aku mengadopsimu. Kau jadi saudaraku. Beres.”
“Keluargamu? Mereka setuju?”
Dion diam, tapi dia mengangguk.
“Kenapa mereka setuju begitu saja?” Tidak mungkin gangguan otak
bisa menyerang satu keluarga sekaligus.
Dion menyentuh bahu Sonia, “Kau tenang saja. Proses adopsi ini
tidak akan berhasil jika papa tidak setuju. Nyatanya dia setuju, kau tidak akan
dapat masalah. Kau sudah resmi jadi anaknya. Jadi adikku.” kata Dion ringan. Dia benar-benar gila!
“Kita lahir di hari yang sama. Kenapa bukan kau saja yang jadi
adikku?” tanya Sonia kesal.
Kekesalannya hanya dibalas senyuman lebar oleh Dion. Kali ini Sonia
sangat yakin sistem otak pemuda itu sudah terganggu.
“Akhirnya kau mau jadi saudaraku.” katanya ringan.
0 komentar:
Post a Comment