Rss Feed
  1. A Celebrity Twin #5

    Saturday, March 15, 2014


    Rabu, 9 Februari
    Aku tidak bisa tidur semalam. Insomnia, seperti biasa. Kali ini insomnianya sudah mendekati gejala akut. Aku harus berterima kasih pada Dion untuk itu! Pertanyaan konyolnya benar-benar membuatku susah tidur. Dia bilang ingin mengadopsiku sebagai saudara angkatnya? Astaga! Apa sih yang sebenarnya dia pikirkan? Dia pikir semudah itu mengadopsi seseorang lalu mengembalikannya lagi saat sudah bosan? Aku tidak akan mau diadopsi! Terutama oleh Dion!

    Hidup Sonia berjalan lancar hari ini. Kurang lebih. Setidaknya sebelum tadi siang Rio tergopoh-gopoh menghampirinya untuk mengingatkan ada latihan band sepulang sekolah. Harinya mendadak suram. Dulu saat pertama kali bergabung dengan band-nya, Sonia senang sekali latihan. Sejak ada Clarisa di dalamnya, latihan band jadi terasa seperti ruangan sempit yang menyesakkan. Sebenarnya tidak masalah bagi Sonia, dia cukup adil dalam hal pembagian vokal. Dan harus Sonia akui, Clarisa memang memiliki suara yang luar biasa merdu. Tapi kebiasaan Clarisa mengomentari setiap detail hal sepele yang membuat Sonia lama-lama muak dengan kehadirannya. Terutama karena objek utama komentar Clarisa adalah dirinya. Dia selalu saja menjalankan perannya sebagai gadis populer dengan sangat baik: mengomentari penampilan semua orang. Tentu saja, Sonia yang jarang sekali memperhatikan penampilannya selalu apes.
    Sonia berjalan malas ke ruang musik. Suara dentingan keyboard dan dentuman bass drum langsung terdengar saat Sonia membuka pintu. Sudah ada Rio dan Danar di dalam. Mereka sedang main-main dengan alat musik yang ada. Clarisa belum datang. Selalu telambat.
    “Lagu apa yang akan kita mainkan?” tanya Sonia sambil meraih microphone yang dipasang pada stand mic.
    Alih-alih menjawab, Rio langsung memainkan sebuah melodi dengan keyboard-nya. Sonia selalu suka dentingan piano. Entah bagaimana, dentingan setiap nadanya membuat hati Sonia merasa lebih tenang.
    Apa jadinya hati yang terbagi...Sonia langsung mendendangkan lirik lagunya. Cinta putih. Lagu lama milik Kerispatih yang sekarang sudah jarang sekali terdengar.
    Tepat saat Sonia membuka mulutnya untuk menyanyikan bagian refrain, pintu terbuka. Sosok Clarisa muncul diikuti Dwika dan Brili. Sonia mengurungkan niatnya untuk melanjutkan lagu itu. Lagi pula, Rio memang langsung berhenti begitu melihat Clarisa masuk.
    “Aku tidak suka lagu itu.” kata Clarisa sambil mengambil microphone lain.
    Yang lain hanya diam. Termasuk Sonia.
    “Kita akan tampil di acara lustrum sekolah. Kenapa tidak mainkan lagu yang lebih ceria?” kata Clarisa dengan gaya control freak-nya.
    “Lustrum?” tanya Sonia bingung. Dia sama sekali tidak diberitahu tentang itu. Dia tidak tahu band-nya masuk daftar band yang dipertimbangkan kepala sekolah untuk mengisi acara lustrum.
    “Kita bisa mainkan lagu-lagu Lady Gaga.” kata Clarisa. Tidak ada yang memedulikan Sonia.
    “Tunggu dulu, lustrum?”
    Semuanya langsung menoleh saat Sonia meninggikan suaranya.
    “Tidak ada yang memberitahuku tentang lustrum. Aku pikir kita hanya latihan reguler.”
    “Clarisa yang meminta kepala sekolah untuk mempertimbangkan band kita tampil di acara lustrum.” Rio yang menjawab.
    Sonia langsung memasangkan microphone-nya kembali pada stand mic dan meraih ranselnya yang tergeletak di dekat rak sepatu.
    “Kau mau ke mana?” tanya Danar saat Sonia memakai sepatunya.
    “Kalian bahkan tidak memberitahuku band kita ikut acara lustrum. Aku rasa posisiku sangat tidak penting di sini.”
    Tanpa menunggu respon dari siapa pun yang berniat merespon, Sonia langsung keluar dari ruang musik. Suara bedebum yang cukup keras terdengar saat Sonia membanting pintunya. Dia tidak peduli jika ada guru yang menegurnya karena hampir merusak fasilitas sekolah. Dia terlalu sakit hati.
    ***
    Sonia hanya menendangi kerikil tidak berdosa di pinggir jalan selama berjalan ke panti. Rina sudah pulang karena Sonia akan latihan band. Setidaknya begitu rencana awalnya. Sebelum Sonia tahu dia benar-benar tidak dianggap sebagai anggota band. Band-nya ikut acara lustrum! Acara seni terbesar yang diadakan sekolahnya setiap sembilan tahun sekali! Sonia benar-benar kesal setiap kali mengingat itu. Dia menendang kerikil semakin jauh. Kerikil itu menggelinding jauh sampai akhirnya berhenti di dekat ban mobil sedan yang terparkir di halaman depan panti.
    “Mirip mobil yang kemarin,” gumam Sonia heran.
    Sonia buru-buru masuk ke dalam panti. Keadaan di dalam ramai sekali. Adik-adiknya sudah pulang sekolah. Mereka sedang sibuk mengerumuni sesuatu...atau seseorang?
    “Kak Sonia pulang!” kata Talita dengan suara cemprengnya yang lucu.
    Anak-anak lain langsung mendekati Sonia dan memeluk Sonia satu per satu. Keributan itu membuat Sonia tidak menyadari keberadaan Dion yang sedari tadi duduk di sofa, memperhatikannya.
    “Kami pasti akan sangat merindukan Kak Sonia!” celetuk Niken saat memeluk kaki Sonia.
    “Ada apa sih?”
    Sonia langsung menoleh saat mendengar ada yang berdehem di sampingnya. Itu Dion. Pemuda itu sudah berdiri di sampingnya. Wajahnya membentuk cengiran lebar saat memamerkan selembar kertas pada Sonia. Sonia merebut kertas itu dan membacanya. Matanya yang belo bertambah lebar saat dia melotot melihat isi kertas itu.
    “Kau resmi jadi saudara kembarku.” kata Dion polos.
    Kekesalan Sonia meningkat sampai level yang sudah tidak bisa dideteksi dengan alat apa pun. Kepalanya terasa sangat panas karena dia kesal. Hari ini dia baru saja mendapatkan kesialan yang berlipat ganda. Sonia langsung meremas kertas itu dan membuangnya. Tepat saat gumpalan kertas itu menggelinding di bawah kaki Dion, ibu muncul sambil menyeret satu koper besar.
    Sonia hanya menatap nanar koper besar itu dan ibu secara bergantian. Gadis itu menatap ibu lama sekali. Atau selama ini hanya Sonia yang beranggapan Rahma adalah ibunya? Karena sekarang sepertinya wanita yang dia anggap ibu itu sangat ingin Sonia pergi dari panti. Bagus sekali! Setelah tidak dianggap di band-nya sendiri sekarang dia diusir dari tempat tinggalnya sendiri.
    “Kapan kita pergi?” tanya Sonia datar pada Dion, matanya masih tertuju pada ibu.
    “Sekarang?” Dion terdengar ragu dengan jawabannya.
    Tanpa basa-basi Sonia langsung mengambil alih koper besar yang diseret ibu tadi.
    “Sonia pergi, Bu.” katanya pelan. Sonia masih menatap ibu, memohon penjelasan atau setidaknya sepatah kata dari ibu yang akan menghentikan tindakan konyol Dion. Tapi ibu hanya diam.
    Ibu hanya mengangguk. Saat tangan ibu terangkat untuk membelai rambut Sonia, gadis itu melengos dan langsung berjalan keluar panti. Untuk pertama kalinya, Sonia merasa ibu tidak pernah menginginkan kehadirannya.
    ***
    Sonia menatap lurus jalanan di depannya, sementara Dion sibuk menyetir. Tidak ada yang bicara. Salah satu sifat Dion yang baru saja Sonia pelajari dari perjalanan ini yang mungkin akan dia sukai: Dion cukup peka untuk tidak mengganggu Sonia dengan banyak bicara. Dion hanya diam. Dan itu sangat membantu.
    Mobil yang mereka kendarai berjalan mulus di jalanan Bandung. Sore ini cukup ramai, terutama di kawasan Braga. Sepertinya kawasan ini tidak pernah sepi. Tubuh Sonia tersentak ke belakang saat Dion tiba-tiba mengerem mobilnya, ada pengendara motor yang muncul entah dari mana. Setelah pengendara motor itu meluncur pergi, Dion kembali menjalankan mobilnya.
    “Kenapa kau melakukannya?” tanya Sonia. Diam-diam dia penasaran juga dengan alasan Dion mengadopsinya.
    “Jika aku tidak berhenti, orang itu bisa tertabrak.” jawab Dion polos.
    Sonia memutar bola matanya, “Kenapa kau mengadopsiku. Ya ampun! Kau masih 16 tahun! Apa sih yang kau pikirkan?” Sonia tidak bisa menahan emosinya jika mengingat hal itu. Dia baru saja diadopsi!
    “Karena kau saudara kembarku. Aku sudah bilang.” Dion masih saja bersikap santai seperti tidak terjadi apa pun.
    “Aku serius!”
    “Apa masalahnya sih? Aku mengadopsimu. Kau jadi saudaraku. Beres.”
    “Keluargamu? Mereka setuju?”
    Dion diam, tapi dia mengangguk.
    “Kenapa mereka setuju begitu saja?” Tidak mungkin gangguan otak bisa menyerang satu keluarga sekaligus.
    Dion menyentuh bahu Sonia, “Kau tenang saja. Proses adopsi ini tidak akan berhasil jika papa tidak setuju. Nyatanya dia setuju, kau tidak akan dapat masalah. Kau sudah resmi jadi anaknya. Jadi adikku.” kata Dion ringan. Dia benar-benar gila!
    “Kita lahir di hari yang sama. Kenapa bukan kau saja yang jadi adikku?” tanya Sonia kesal.
    Kekesalannya hanya dibalas senyuman lebar oleh Dion. Kali ini Sonia sangat yakin sistem otak pemuda itu sudah terganggu.
    “Akhirnya kau mau jadi saudaraku.” katanya ringan.

  2. 0 komentar:

    Post a Comment