Rss Feed
  1. A Celebrity Twin #4

    Thursday, March 13, 2014


    Selasa, 8 Februari
    Ini hari ulang tahunku! Selamat ulang tahun yang ke-16 untukku! Entah apa yang akan terjadi dengan artis itu hari ini, yang jelas hari ini aku berencana untuk kabur sampai malam. Ya, sampai malam. Lagi pula Rina sudah janji akan mengajakku ke toko buku siang ini, sepulang sekolah. Aku bisa berdiam diri di toko buku selama berjam-jam! Semoga rencanaku lancar.

    Sonia sangat bersemangat mengisi jurnalnya hari ini. Gadis itu bahkan menggambar beberapa potong kue di sudut-sudut buku jurnalnya dan beberapa balon nitrogen di bagian yang kosong. Sonia masih tersenyum saat memasukkan jurnalnya ke dalam tas dan turun dari tempat tidur. Talita masih tidur nyenyak di kasurnya. Enak sekali jadi anak umur empat tahun seperti dia, tidak perlu bangun pagi-pagi sekali untuk sekolah. Beberapa anak lain yang sudah lebih besar wajib sekolah dan membantu ibu mengurus bisnis warung bakso sepulang sekolah. Tapi untuk anak sekecil Talita masih dibiarkan bersantai dan menikmati masa kecilnya.
    Sonia berhenti melangkah saat melewati ruang tengah. Meja kayu besar yang tadinya memenuhi ruangan sudah dipindahkan, digantikan oleh karpet beludru hijau. Dasar artis merepotkan, pikir Sonia kesal. Sonia meletakkan tas ranselnya di sudut ruangan untuk membantu ibu membentangkan karpet yang lain. Setelah semua keramiknya sudah dilapisi karpet, Sonia pamit pergi.
    Rina sudah menunggunya di luar. Kaus kaki putih Sonia terkena cipratan saat dia berlari melewati halaman yang baru disiram. Sial! umpat Sonia dalam hati. Gadis itu menghentak-hentakkan kakinya untuk menghilangkan tanah basah yang menempel pada sepatunya saat sudah berdiri di samping skuter Rina.
    “Selamat ulang tahun!”
    Rina sudah menyodorkan kotak besar yang dibungkus kertas metalik warna hijau saat Sonia mendongak.
    “Terima kasih.” kata Sonia sebelum memeluk sahabatnya itu.
    ***
    Sonia menundukkan kepalanya saat melewati Clarisa dan rombongannya. Langkahnya berhenti saat matanya menangkap sepasang kaki bersepatu pink yang menghalangi jalannya. Saat mendongak, wajah Clarisa yang selalu terlihat angkuh sudah menyambutnya.
    “Aku dengar kau ulang tahun hari ini?” tanya Clarisa datar.
    Sejak kapan dia peduli?
    Clarisa mengulurkan tangannya, “Selamat.”
    Sonia hanya menatap tangan itu tanpa bergerak. Rina yang sedari tadi diam di sampingnya sudah menyenggol lengan Sonia dengan tidak sabar.
    Sonia menjabat tangan Clarisa dengan malas.
    “Oh ayolah! Kita satu band! Kau tidak mungkin sebenci itu padaku hanya karena aku menggantikan posisimu sebagai vokalis utama.”
    Sonia memaksakan sudut-sudut bibirnya untuk membentuk sebuah senyuman. Clarisa baru saja mengingatkan Sonia pada alasan utama dia sangat tidak nyaman dengan keberadaan gadis itu. Clarisa tiba-tiba saja datang dengan suara merdunya. Tentu saja Rio langsung mengincarnya untuk mengisi posisi vokalis di band mereka. Hanya vokalis pendamping, itu yang dikatakan Rio waktu itu. Tapi lama kelamaan, kehadiran Clarisa mulai mendominasi. Dia jadi sosok pengatur yang selalu mengomentari semua hal. Sonia sudah berpikir untuk keluar saja dari band itu. Tapi mengingat musik adalah satu-satunya hal yang bisa membuatnya tenang selain buku, Sonia mengurungkan niatnya untuk mundur. Dia tidak boleh kalah dari Clarisa. Lagi pula Clarisa sebentar lagi lulus. Iya kan?
    “Tidak masalah.” jawab Sonia datar. “Aku sudah terlambat.”
    Sonia langsung berjalan cepat melewati Clarisa yang masih menatapnya bingung. Langkahnya super cepat. Sonia baru menyadari Rina yang sedari tadi berlari untuk menyamai langkahnya saat gadis itu terengah-engah di sampingnya.
    “Kau cepat sekali.” kata Rina saat mengeluarkan kunci skuternya.
    “Aku sudah tiak sabar ingin ke toko buku.” kata Sonia masih dengan nada kesal.
    “Maaf,”
    Sonia hanya menatap Rina dengan dahi berkerut.
    “Aku lupa soal itu. Mama mengajakku belanja sore ini.”
    Sonia merasa dua kali lipat lebih kesal dari sebelumnya, tapi gadis itu hanya tersenyum.
    “Tidak masalah.” Aku hanya perlu mencari cara lain untuk kabur dari panti siang ini.
    Rina langsung mengantar Sonia ke panti. Sonia mencengkeram seragam Rina untuk memintanya berhenti. Tubuh Sonia tersentak ke belakang saat Rina mengerem skuternya secara tiba-tiba karena kaget. Itu masih dua rumah jauhnya dari panti asuhan tempat Sonia tinggal.
    “Aku turun di sini.” kata Sonia sambil turun dari skuter Rina.
    Rina hanya menatap Sonia bingung, tapi mengangguk. Gadis berambut ikal itu langsung meluncur pergi setelah Sonia berterima kasih padanya.
    Ada tiga van dan satu mobil sedan yang diparkir di halaman panti. Sonia berjalan di seberang jalan agar tidak ada orang panti yang melihatnya. Gadis itu mengendap-endap lewat pagar belakang dan duduk di teras belakang. Sonia bisa mendengar suara berisik di dalam. Setelah yakin tidak ada yang akan mengganggunya di teras belakang, Sonia mengeluarkan hadiah pemberian Rina dari dalam tasnya. Rina memberinya tiga novel sastra. Sonia membuka salah satunya: Pride and Prejudice.
    Sonia menyandarkan tubuhnya pada salah satu pilar sebelum mulai membaca novel barunya. Sesekali dia menoleh ke arah pintu jika ada suara berisik. Sonia mencengkeram tasnya kuat-kuat, siap untuk lari jika ada yang keluar dari pintu belakang. Gadis itu kembali rileks saat suara berisik itu menjauh. Dia benar-benar merasa seperti maling di rumahnya sendiri. Tapi Sonia sangat tidak suka keramaian. Mengurung diri di kamar hanya akan membuat ibu menceramahinya semalaman. Lebih baik tidak ada yang tahu dia sudah pulang.
    Langit sudah bersemu jingga saat Sonia selesai membaca buku pertamanya. Gadis itu melirik jam tangan, sudah hampir jam lima sore. Gadis itu memasukkan bukunya ke dalam tas. Dia memutuskan untuk mengintip ke dalam. Sonia membuka pintu belakang sedikit, tidak ada siapa pun di dekat tempat cuci. Sonia masuk perlahan, berusaha meredam suara sekecil apa pun. Dia berjalan mengendap-endap melewati lorong tengah. Tidak ada suara sedikit pun dari kamar-kamar yang ada di sisi-sisi lorong itu. Mungkin acaranya sudah selesai sejak tadi.
    Sonia menghentikan langkahnya saat mendekati ruang utama. Ada suara orang-orang sedang berbicara di sana. Saat Sonia berbalik untuk kembali ke teras belakang, tubuhnya membeku.
    “Jadi kau saudara kembarku?”
    Sonia melirik ke belakang untuk memastikan tidak ada yang melihat adegan ini.
    “Tidak ada kamera, jika itu yang kau khawatirkan.” kata pemuda di hadapannya.
    Itu Dion. Ya, pianis terkenal itu. Yang lagu-lagunya selalu dinyanyikan Sonia. Yang permainan pianonya selalu membuat Sonia merasa tenang. Ya, dia orangnya. Sekarang Dion sedang berdiri di hadapannya. Tangan kanannya memegang gelas bening berisi sirup melon. Pasti dia ada di dapur tadi. Sonia menggerutu pelan karena tidak melihat Dion saat melewati dapur tadi.
    “Apa maksudmu?” tanya Sonia setelah berhasil melenturkan kembali otot-otot tubuhnya.
    Dion mengangkat bahunya sekilas kemudian berjalan mendekat, “Ibu Rahma bilang ada anak panti yang hari ini juga berulang tahun. Satu-satunya anak tertua di sini. Aku rasa itu kau.” kata Dion, matanya menelusuri pakaian seragam yang dipakai Sonia.
    “Lahir di hari yang sama bukan berarti kembar.”
    Dion memutar bola matanya, “Aku tahu. Kenapa kau mengendap-endap di sini?”
    Sonia mengangkat bahunya sekilas, “Aku tidak suka keramaian.”
    Dion menyesap sirup melonnya dengan santai. Dia menyandarkan sebelah bahunya pada dinding sebelum berkata, “Kau tidak suka mengobrol dengan orang-orang panti asuhan ini?” tanya Dion tidak percaya.
    “Aku tidak suka ada banyak wartawan.”
    Dion hampir tersedak minumannya sendiri karena tertawa. Sonia hanya mengangkat sebelah alisnya saat memandangi Dion yang sepertinya baru saja mendengar sebuah lelucon yang sangat lucu.
    “Apa kau sudah mengintip sedikit saja ke dalam sana?” tanya Dion setelah tawanya mereda. “Tidak ada wartawan.”
    “Mobil-mobil di luar?”
    Dion melepaskan bahunya dari dinding, kembali menyesap sirupnya sampai habis.
    “Mobil-mobil itu membawa banyak makanan dan pakaian.” jawab Dion datar.
    “Tukang pamer.” gerutu Sonia pelan.
    “Kau yang bertanya.” Dion meletakkan gelasnya yang sudah kosong di atas nakas yang ada di ujung lorong. “Ayo.” katanya.
    Sonia hanya diam saat Dion menggandeng tangannya dan menariknya ke ruang tengah. Matanya masih terpaku pada tangan Dion yang menggenggam erat pergelangan tangannya, tapi Sonia tidak bisa mengatakan apa pun. Mulutnya terkunci rapat. Saat sampai di ruang tengah, Dion melepaskan tangannya.
    “Apa aku boleh mengadopsinya?” tanya pemuda itu polos sambil menunjuk Sonia.
    Sonia hanya melotot mendengar pertanyaan Dion.

  2. 0 komentar:

    Post a Comment