Selasa, 8 Februari
Ini hari ulang tahunku!
Selamat ulang tahun yang ke-16 untukku! Entah apa yang akan terjadi dengan
artis itu hari ini, yang jelas hari ini aku berencana untuk kabur sampai malam.
Ya, sampai malam. Lagi pula Rina sudah janji akan mengajakku ke toko buku siang
ini, sepulang sekolah. Aku bisa berdiam diri di toko buku selama berjam-jam! Semoga
rencanaku lancar.
Sonia sangat bersemangat mengisi jurnalnya hari ini. Gadis itu
bahkan menggambar beberapa potong kue di sudut-sudut buku jurnalnya dan
beberapa balon nitrogen di bagian yang kosong. Sonia masih tersenyum saat
memasukkan jurnalnya ke dalam tas dan turun dari tempat tidur. Talita masih
tidur nyenyak di kasurnya. Enak sekali jadi anak umur empat tahun seperti dia,
tidak perlu bangun pagi-pagi sekali untuk sekolah. Beberapa anak lain yang
sudah lebih besar wajib sekolah dan membantu ibu mengurus bisnis warung bakso
sepulang sekolah. Tapi untuk anak sekecil Talita masih dibiarkan bersantai dan
menikmati masa kecilnya.
Sonia berhenti melangkah saat melewati ruang tengah. Meja kayu
besar yang tadinya memenuhi ruangan sudah dipindahkan, digantikan oleh karpet
beludru hijau. Dasar artis merepotkan,
pikir Sonia kesal. Sonia meletakkan tas ranselnya di sudut ruangan untuk
membantu ibu membentangkan karpet yang lain. Setelah semua keramiknya sudah
dilapisi karpet, Sonia pamit pergi.
Rina sudah menunggunya di luar. Kaus kaki putih Sonia terkena
cipratan saat dia berlari melewati halaman yang baru disiram. Sial! umpat Sonia dalam hati. Gadis itu
menghentak-hentakkan kakinya untuk menghilangkan tanah basah yang menempel pada
sepatunya saat sudah berdiri di samping skuter Rina.
“Selamat ulang tahun!”
Rina sudah menyodorkan kotak besar yang dibungkus kertas metalik
warna hijau saat Sonia mendongak.
“Terima kasih.” kata Sonia sebelum memeluk sahabatnya itu.
***
Sonia menundukkan kepalanya saat melewati Clarisa dan
rombongannya. Langkahnya berhenti saat matanya menangkap sepasang kaki
bersepatu pink yang menghalangi jalannya. Saat mendongak, wajah Clarisa yang
selalu terlihat angkuh sudah menyambutnya.
“Aku dengar kau ulang tahun hari ini?” tanya Clarisa datar.
Sejak kapan dia peduli?
Clarisa mengulurkan tangannya, “Selamat.”
Sonia hanya menatap tangan itu tanpa bergerak. Rina yang sedari tadi
diam di sampingnya sudah menyenggol lengan Sonia dengan tidak sabar.
Sonia menjabat tangan Clarisa dengan malas.
“Oh ayolah! Kita satu band! Kau tidak mungkin sebenci itu padaku
hanya karena aku menggantikan posisimu sebagai vokalis utama.”
Sonia memaksakan sudut-sudut bibirnya untuk membentuk sebuah
senyuman. Clarisa baru saja mengingatkan Sonia pada alasan utama dia sangat
tidak nyaman dengan keberadaan gadis itu. Clarisa tiba-tiba saja datang dengan
suara merdunya. Tentu saja Rio langsung mengincarnya untuk mengisi posisi
vokalis di band mereka. Hanya vokalis
pendamping, itu yang dikatakan Rio waktu itu. Tapi lama kelamaan, kehadiran
Clarisa mulai mendominasi. Dia jadi sosok pengatur yang selalu mengomentari
semua hal. Sonia sudah berpikir untuk keluar saja dari band itu. Tapi mengingat
musik adalah satu-satunya hal yang bisa membuatnya tenang selain buku, Sonia
mengurungkan niatnya untuk mundur. Dia tidak boleh kalah dari Clarisa. Lagi pula
Clarisa sebentar lagi lulus. Iya kan?
“Tidak masalah.” jawab Sonia datar. “Aku sudah terlambat.”
Sonia langsung berjalan cepat melewati Clarisa yang masih
menatapnya bingung. Langkahnya super cepat. Sonia baru menyadari Rina yang
sedari tadi berlari untuk menyamai langkahnya saat gadis itu terengah-engah di
sampingnya.
“Kau cepat sekali.” kata Rina saat mengeluarkan kunci skuternya.
“Aku sudah tiak sabar ingin ke toko buku.” kata Sonia masih dengan
nada kesal.
“Maaf,”
Sonia hanya menatap Rina dengan dahi berkerut.
“Aku lupa soal itu. Mama mengajakku belanja sore ini.”
Sonia merasa dua kali lipat lebih kesal dari sebelumnya, tapi gadis
itu hanya tersenyum.
“Tidak masalah.” Aku hanya
perlu mencari cara lain untuk kabur dari panti siang ini.
Rina langsung mengantar Sonia ke panti. Sonia mencengkeram seragam
Rina untuk memintanya berhenti. Tubuh Sonia tersentak ke belakang saat Rina
mengerem skuternya secara tiba-tiba karena kaget. Itu masih dua rumah jauhnya
dari panti asuhan tempat Sonia tinggal.
“Aku turun di sini.” kata Sonia sambil turun dari skuter Rina.
Rina hanya menatap Sonia bingung, tapi mengangguk. Gadis berambut ikal
itu langsung meluncur pergi setelah Sonia berterima kasih padanya.
Ada tiga van dan satu mobil sedan yang diparkir di halaman panti.
Sonia berjalan di seberang jalan agar tidak ada orang panti yang melihatnya. Gadis
itu mengendap-endap lewat pagar belakang dan duduk di teras belakang. Sonia
bisa mendengar suara berisik di dalam. Setelah yakin tidak ada yang akan
mengganggunya di teras belakang, Sonia mengeluarkan hadiah pemberian Rina dari
dalam tasnya. Rina memberinya tiga novel sastra. Sonia membuka salah satunya: Pride and Prejudice.
Sonia menyandarkan tubuhnya pada salah satu pilar sebelum mulai
membaca novel barunya. Sesekali dia menoleh ke arah pintu jika ada suara berisik.
Sonia mencengkeram tasnya kuat-kuat, siap untuk lari jika ada yang keluar dari
pintu belakang. Gadis itu kembali rileks saat suara berisik itu menjauh. Dia
benar-benar merasa seperti maling di rumahnya sendiri. Tapi Sonia sangat tidak
suka keramaian. Mengurung diri di kamar hanya akan membuat ibu menceramahinya
semalaman. Lebih baik tidak ada yang tahu dia sudah pulang.
Langit sudah bersemu jingga saat Sonia selesai membaca buku
pertamanya. Gadis itu melirik jam tangan, sudah hampir jam lima sore. Gadis itu
memasukkan bukunya ke dalam tas. Dia memutuskan untuk mengintip ke dalam. Sonia
membuka pintu belakang sedikit, tidak ada siapa pun di dekat tempat cuci. Sonia
masuk perlahan, berusaha meredam suara sekecil apa pun. Dia berjalan mengendap-endap
melewati lorong tengah. Tidak ada suara sedikit pun dari kamar-kamar yang ada
di sisi-sisi lorong itu. Mungkin acaranya sudah selesai sejak tadi.
Sonia menghentikan langkahnya saat mendekati ruang utama. Ada
suara orang-orang sedang berbicara di sana. Saat Sonia berbalik untuk kembali
ke teras belakang, tubuhnya membeku.
“Jadi kau saudara kembarku?”
Sonia melirik ke belakang untuk memastikan tidak ada yang melihat
adegan ini.
“Tidak ada kamera, jika itu yang kau khawatirkan.” kata pemuda di
hadapannya.
Itu Dion. Ya, pianis terkenal itu. Yang lagu-lagunya selalu
dinyanyikan Sonia. Yang permainan pianonya selalu membuat Sonia merasa tenang.
Ya, dia orangnya. Sekarang Dion sedang berdiri di hadapannya. Tangan kanannya
memegang gelas bening berisi sirup melon. Pasti dia ada di dapur tadi. Sonia
menggerutu pelan karena tidak melihat Dion saat melewati dapur tadi.
“Apa maksudmu?” tanya Sonia setelah berhasil melenturkan kembali
otot-otot tubuhnya.
Dion mengangkat bahunya sekilas kemudian berjalan mendekat, “Ibu
Rahma bilang ada anak panti yang hari ini juga berulang tahun. Satu-satunya
anak tertua di sini. Aku rasa itu kau.” kata Dion, matanya menelusuri pakaian
seragam yang dipakai Sonia.
“Lahir di hari yang sama bukan berarti kembar.”
Dion memutar bola matanya, “Aku tahu. Kenapa kau mengendap-endap
di sini?”
Sonia mengangkat bahunya sekilas, “Aku tidak suka keramaian.”
Dion menyesap sirup melonnya dengan santai. Dia menyandarkan
sebelah bahunya pada dinding sebelum berkata, “Kau tidak suka mengobrol dengan
orang-orang panti asuhan ini?” tanya Dion tidak percaya.
“Aku tidak suka ada banyak wartawan.”
Dion hampir tersedak minumannya sendiri karena tertawa. Sonia
hanya mengangkat sebelah alisnya saat memandangi Dion yang sepertinya baru saja
mendengar sebuah lelucon yang sangat lucu.
“Apa kau sudah mengintip sedikit saja ke dalam sana?” tanya Dion
setelah tawanya mereda. “Tidak ada wartawan.”
“Mobil-mobil di luar?”
Dion melepaskan bahunya dari dinding, kembali menyesap sirupnya
sampai habis.
“Mobil-mobil itu membawa banyak makanan dan pakaian.” jawab Dion
datar.
“Tukang pamer.” gerutu Sonia pelan.
“Kau yang bertanya.” Dion meletakkan gelasnya yang sudah kosong di
atas nakas yang ada di ujung lorong. “Ayo.” katanya.
Sonia hanya diam saat Dion menggandeng tangannya dan menariknya ke
ruang tengah. Matanya masih terpaku pada tangan Dion yang menggenggam erat
pergelangan tangannya, tapi Sonia tidak bisa mengatakan apa pun. Mulutnya terkunci
rapat. Saat sampai di ruang tengah, Dion melepaskan tangannya.
“Apa aku boleh mengadopsinya?” tanya pemuda itu polos sambil
menunjuk Sonia.
Sonia hanya melotot mendengar pertanyaan Dion.
0 komentar:
Post a Comment