Minggu, 6 Februari
Seperti apa rasanya
memiliki saudara kembar? Pertanyaan ini tiba-tiba saja berputar-putar di
pikiranku. Tepatnya setelah tadi sore kami beramai-ramai menonton sebuah acara talk
show di televisi yang ada Marcel dan Mischa Chandrawinata-nya. Seperti apa
rasanya, dihadapkan dengan seseorang yang wajahnya sama persis denganmu? Apa
itu seru? Menyenangkan? Atau malah menjengkelkan? Maksudku, bukankah itu
sedikit mengerikan, ketika seseorang jauh lebih menyukai saudara kembarmu! Padahal
kalian berwajah sama persis dan berpenampilan sangat mirip. Apa yang membuat
orang lain lebih menyukai saudaramu dibanding dirimu?
Sonia menutup jurnalnya dan menyelipkannya ke balik bantal. Tidak
ada yang aman di sini. Satu-satunya tempat yang dia anggap aman adalah di bawah
bantalnya sendiri. Meskipun saat siang, Sonia tetap harus membawa jurnalnya itu
ke sekolah agar tidak diambil adik-adiknya.
Kedua tangannya membentang, membuat tubuhnya menutupi kasur
sepenuhnya. Matanya tertuju tepat ke langit-langit kamarnya yang terasa sangat
dekat. Secara teknis langit-langit itu memang sangat dekat, hanya berjarak 20
senti dari puncak kepalanya saat Sonia duduk di atas kasur.
Sonia menghela nafas panjang. Pikirannya masih berputar-putar pada
topik saudara kembar. Dia sangat penasaran bagaimana rasanya memiliki saudara
kembar. Gadis itu mendesah lagi, jangankan saudara kembar, orang tua kandung
pun dia tidak punya. Dia tidak tahu sejak kapan terdampar di panti asuhan ini.
Sekarang umurnya sudah hampir enam belas tahun. Pasti sudah sangat lama sejak
orang tua kandungnya memutuskan untuk membuangnya ke panti asuhan. Dia tidak
pernah tahu kapan tepatnya peristiwa pembuangan itu terjadi. Ibu sempat akan
menceritakan hal itu pada Sonia, tapi gadis itu menolak. Dia tidak ingin tahu
dan dia tidak peduli. Untuk apa memedulikan orang yang tidak memedulikannya? Ya
ampun! Dia masih bayi! Kenapa ada orang yang tega membuangnya saat masih bayi?
Sonia berguling ke kiri, menatap lantai di bawahnya. Dia tidur di
kasur susun, di bagian atas. Di bawahnya, Talita sudah terlelap sambil
tersenyum. Diam-diam Sonia tersenyum saat matanya menatap Talita yang terlihat
sangat tenang. Gadis kecil itu baru berumur empat tahun. Sonia yang membantu
ibu merawat Talita saat gadis cilik itu pertama kali ditemukan. Untung saja
Talita mudah beradaptasi. Tubuhnya sekarang jauh lebih gemuk dari saat pertama
kali dia ditemukan dua tahun yang lalu.
Sonia berguling lagi. Dia tidak bisa tidur. Matanya terus
mengerjap-ngerjap dalam keremangan kamar. Dia benci saat-saat seperti ini. Saat
otaknya, entah bagaimana, terus memikirkan sesuatu yang seharusnya tidak dia
pikirkan. Banyak hal yang berputar-putar di kepalanya: matematika, keluarga,
hadiah ulang tahun, keluarga, tugas biologi, keluarga, kuis bahasa inggris,
keluarga.
Gadis itu mendesah lagi. Dia sudah tidak tahan terjaga dalam
kegelapan seperti ini. Sonia berguling ke kanan. Kakinya meraba-raba tangga
kayu yang ada di pinggir tempat tidur. Setelah mendapat pijakan, Sonia merayap
turun dari kasurnya. Gadis itu melangkah gontai ke arah pintu, tangannya
terangkat untuk mengikat rambutnya yang panjang sebelum memutar kenop pintu. Segaris
cahaya terang menyusup masuk ke dalam kamar saat daun pintunya terbuka. Sonia
buru-buru keluar dan kembali menutup pintu kamarnya sebelum adik-adiknya terbangun
karena silau.
Ibu ada di ruang tengah, menekuri kain panjang di atas mesin
jahit. Sonia berjalan mendekat, pelan tapi sengaja menimbulkan suara agar ibu
tidak kaget saat tiba-tiba Sonia berdiri di sampingnya. Ibu langsung mendongak
dan tersenyum.
“Kau belum tidur?” tanya ibu lembut. Sonia sering penasaran, apa
ibu kandungnya selembut ini? Tapi rasa penasaran itu langsung dilenyapkan oleh
kenyataan bahwa ibu kandungnya telah membuangnya.
Sonia menggeleng pelan, “Tidak bisa tidur. Ibu juga belum tidur. Ini
sudah larut.”
Ibu memandang Sonia dari balik kaca matanya, kemudian tersenyum
lagi. “Sedikit lagi selesai.”
Sonia tidak bertanya lagi. Ibu sangat keras kepala, tidak akan
mudah berubah pikiran jika sudah berniat sesuatu. Sonia hanya mengangguk pelan dan
duduk di sofa. Sudah hampir tengah malam, tidak ada acara televisi yang
menarik. Pilihannya berhenti pada channel musik. Khusus musik, tidak ada acara
lain di channel ini. Sonia bersyukur ada channel semacam ini, tidak menayangkan
sinetron tidak bermutu yang belakangan ini sedang sangat populer.
Sonia menyandarkan kepalanya pada lengan sofa, matanya tertuju
tepat pada layar televisi. Sesekali Sonia ikut mendendangkan lagu yang sedang
diputar. Kebanyakan lagu cinta. Lagu klasik tentang dua sejoli yang jatuh cinta
atau patah hati. Kecuali lagu yang selanjutnya muncul. Itu Dion, pianis yang
cukup terkenal. Sonia memandangi penyanyi yang satu itu tanpa berkedip. Bagaimana bisa Dion menyanyi sementara
tangannya bergerak lincah memainkan deretan nada indah dengan pianonya? Mata
Sonia sudah terpejam tepat saat dentingan nada terakhir.
0 komentar:
Post a Comment