Rss Feed
  1. A Celebrity Twin #1

    Sunday, March 9, 2014


    Minggu, 6 Februari
    Seperti apa rasanya memiliki saudara kembar? Pertanyaan ini tiba-tiba saja berputar-putar di pikiranku. Tepatnya setelah tadi sore kami beramai-ramai menonton sebuah acara talk show di televisi yang ada Marcel dan Mischa Chandrawinata-nya. Seperti apa rasanya, dihadapkan dengan seseorang yang wajahnya sama persis denganmu? Apa itu seru? Menyenangkan? Atau malah menjengkelkan? Maksudku, bukankah itu sedikit mengerikan, ketika seseorang jauh lebih menyukai saudara kembarmu! Padahal kalian berwajah sama persis dan berpenampilan sangat mirip. Apa yang membuat orang lain lebih menyukai saudaramu dibanding dirimu?

    Sonia menutup jurnalnya dan menyelipkannya ke balik bantal. Tidak ada yang aman di sini. Satu-satunya tempat yang dia anggap aman adalah di bawah bantalnya sendiri. Meskipun saat siang, Sonia tetap harus membawa jurnalnya itu ke sekolah agar tidak diambil adik-adiknya.
    Kedua tangannya membentang, membuat tubuhnya menutupi kasur sepenuhnya. Matanya tertuju tepat ke langit-langit kamarnya yang terasa sangat dekat. Secara teknis langit-langit itu memang sangat dekat, hanya berjarak 20 senti dari puncak kepalanya saat Sonia duduk di atas kasur.
    Sonia menghela nafas panjang. Pikirannya masih berputar-putar pada topik saudara kembar. Dia sangat penasaran bagaimana rasanya memiliki saudara kembar. Gadis itu mendesah lagi, jangankan saudara kembar, orang tua kandung pun dia tidak punya. Dia tidak tahu sejak kapan terdampar di panti asuhan ini. Sekarang umurnya sudah hampir enam belas tahun. Pasti sudah sangat lama sejak orang tua kandungnya memutuskan untuk membuangnya ke panti asuhan. Dia tidak pernah tahu kapan tepatnya peristiwa pembuangan itu terjadi. Ibu sempat akan menceritakan hal itu pada Sonia, tapi gadis itu menolak. Dia tidak ingin tahu dan dia tidak peduli. Untuk apa memedulikan orang yang tidak memedulikannya? Ya ampun! Dia masih bayi! Kenapa ada orang yang tega membuangnya saat masih bayi?
    Sonia berguling ke kiri, menatap lantai di bawahnya. Dia tidur di kasur susun, di bagian atas. Di bawahnya, Talita sudah terlelap sambil tersenyum. Diam-diam Sonia tersenyum saat matanya menatap Talita yang terlihat sangat tenang. Gadis kecil itu baru berumur empat tahun. Sonia yang membantu ibu merawat Talita saat gadis cilik itu pertama kali ditemukan. Untung saja Talita mudah beradaptasi. Tubuhnya sekarang jauh lebih gemuk dari saat pertama kali dia ditemukan dua tahun yang lalu.
    Sonia berguling lagi. Dia tidak bisa tidur. Matanya terus mengerjap-ngerjap dalam keremangan kamar. Dia benci saat-saat seperti ini. Saat otaknya, entah bagaimana, terus memikirkan sesuatu yang seharusnya tidak dia pikirkan. Banyak hal yang berputar-putar di kepalanya: matematika, keluarga, hadiah ulang tahun, keluarga, tugas biologi, keluarga, kuis bahasa inggris, keluarga.
    Gadis itu mendesah lagi. Dia sudah tidak tahan terjaga dalam kegelapan seperti ini. Sonia berguling ke kanan. Kakinya meraba-raba tangga kayu yang ada di pinggir tempat tidur. Setelah mendapat pijakan, Sonia merayap turun dari kasurnya. Gadis itu melangkah gontai ke arah pintu, tangannya terangkat untuk mengikat rambutnya yang panjang sebelum memutar kenop pintu. Segaris cahaya terang menyusup masuk ke dalam kamar saat daun pintunya terbuka. Sonia buru-buru keluar dan kembali menutup pintu kamarnya sebelum adik-adiknya terbangun karena silau.
    Ibu ada di ruang tengah, menekuri kain panjang di atas mesin jahit. Sonia berjalan mendekat, pelan tapi sengaja menimbulkan suara agar ibu tidak kaget saat tiba-tiba Sonia berdiri di sampingnya. Ibu langsung mendongak dan tersenyum.
    “Kau belum tidur?” tanya ibu lembut. Sonia sering penasaran, apa ibu kandungnya selembut ini? Tapi rasa penasaran itu langsung dilenyapkan oleh kenyataan bahwa ibu kandungnya telah membuangnya.
    Sonia menggeleng pelan, “Tidak bisa tidur. Ibu juga belum tidur. Ini sudah larut.”
    Ibu memandang Sonia dari balik kaca matanya, kemudian tersenyum lagi. “Sedikit lagi selesai.”
    Sonia tidak bertanya lagi. Ibu sangat keras kepala, tidak akan mudah berubah pikiran jika sudah berniat sesuatu. Sonia hanya mengangguk pelan dan duduk di sofa. Sudah hampir tengah malam, tidak ada acara televisi yang menarik. Pilihannya berhenti pada channel musik. Khusus musik, tidak ada acara lain di channel ini. Sonia bersyukur ada channel semacam ini, tidak menayangkan sinetron tidak bermutu yang belakangan ini sedang sangat populer.
    Sonia menyandarkan kepalanya pada lengan sofa, matanya tertuju tepat pada layar televisi. Sesekali Sonia ikut mendendangkan lagu yang sedang diputar. Kebanyakan lagu cinta. Lagu klasik tentang dua sejoli yang jatuh cinta atau patah hati. Kecuali lagu yang selanjutnya muncul. Itu Dion, pianis yang cukup terkenal. Sonia memandangi penyanyi yang satu itu tanpa berkedip. Bagaimana bisa Dion menyanyi sementara tangannya bergerak lincah memainkan deretan nada indah dengan pianonya? Mata Sonia sudah terpejam tepat saat dentingan nada terakhir.

  2. 0 komentar:

    Post a Comment