Senin, 7 Februari
Hari Senin! Aku benci
hari Senin! Alasan utamanya jelas, upacara! Bukannya aku tidak suka upacara,
hanya saja aku benci dijemur di bawah terik matahari dan mendengarkan
pengumuman panjang yang sebenarnya bisa disampaikan lewat speaker yang dipasang
di masing-masing kelas. Astaga! Apa sih gunanya speaker itu jika semua
informasi penting disampaikan saat upacara, saat semua murid menggelepar
kepanasan. Tidak akan ada satu pun informasi yang bisa direkam otak! Percaya
deh! Alasan kedua, ada pelajaran biologi. Aku tidak suka biologi. Aku benci
menghafal nama ilmiah semua benda. Lagi pula aku tidak berniat jadi dokter,
kenapa aku harus belajar biologi? Aku benci Senin!
Sonia hanya makan sepotong roti bakar untuk mengisi perutnya. Dia
tidak berminat makan macam-macam, terutama jika akan dijemur selama kurang
lebih satu jam penuh. Sonia bisa muntah jika perutnya diisi terlalu banyak
makanan berminyak. Setelah menggigit roti pertamanya, Sonia langsung pamit. Masih
dengan roti yang menggantung di mulutnya, Sonia memasang ransel ke punggung. Gadis
itu memasukkan semua potongan roti ke dalam mulut sebelum menyalami ibu. Dia
bisa mendengar suara cekikikan di meja makan. Itu adik-adiknya. Mereka
memandangi Sonia seperti badut sirkus. Sonia hanya memberikan tatapan galak.
Ibu langsung mengusap sudut-sudut bibir Sonia yang ternyata
dipenuhi remah-remah roti. Sekarang dia tahu kenapa adik-adiknya cekikian tidak
jelas.
“Kau sudah besar.” kata ibu pelan saat membersihkan remah-remah
itu.
Sonia hanya memamerkan cengirannya, kemudian menyalami ibu.
“Aku berangkat dulu.” teriak Sonia saat berjalan keluar.
Rina sudah menunggunya di luar, dengan skuternya. Gadis itu
melambai saat melihat Sonia keluar, seolah sudah sangat lama tidak bertemu.
Rina sudah menjadi sahabat Sonia sejak SMP. Dia orang yang baik. Sangat baik.
Rina tidak pernah sekalipun menghakimi Sonia atas statusnya sebagai anak panti
asuhan.
“Siap!” kata Sonia mantap setelah duduk nyaman di belakang skuter
Rina.
Tidak ada yang bicara selama perjalanan mereka ke sekolah. Rina
sudah hafal benar kebiasaan Sonia, menikmati terpaan angin pagi. Meskipun Rina
bicara, Sonia tidak akan menanggapi. Gadis itu terlalu menikmati hembusan angin
yang menerpa wajahnya, membuat rambut panjangnya berkibar menutupi wajah. Sesekali
Sonia menyelipkan rambutnya ke balik telinga, yang ternyata sia-sia karena
angin selalu menerbangkannya lagi ke depan wajahnya.
Sonia menunggui Rina memarkir skuternya. Gadis itu berdiri gelisah
di samping pagar tempat parkir. Dia tidak pernah suka tempat itu. Momen
canggung itu. Saat-saat di mana dia harus berdiri sendirian dan terpaksa
menunduk saat beberapa orang menatapnya dengan tatapan aneh. Oke, mungkin Sonia
yang terlalu berprasangka pada setiap orang. Tapi memang ada beberapa orang
yang menatapnya dengan tatapan menyebalkan. Clarisa salah satunya. Anak kelas
tiga. Anak senior itu. Anak populer itu. Dia selalu berkomentar tentang
penampilan Sonia. Apa pun. Bahkan lubang sekecil amoeba di pakaian seragam
Sonia pun bisa mendapat perhatian lebih dari Clarisa.
Kau tidak punya uang
untuk membeli seragam baru ya? Nada
suaranya biasa saja, tapi entah kenapa terasa sangat menyakitkan saat mendengar
pertanyaan itu dari Clarisa.
Saat melihat Rina tergopoh-gopoh mendekatinya, Sonia merasa luar
biasa lega. Gadis itu langsung menautkan tangannya pada lengan Rina dan
menariknya ke kelas. Rina menurut saja saat Sonia menyeretnya ke kelas.
***
Sonia sedang mengibas-ngibaskan topinya di depan wajah untuk
menghilangkan keringat akibat dijemur selama satu jam saat tiba-tiba Rina
mencondongkan tubuhnya dan nyengir lebar sekali. Benar-benar lebar sampai Rina
lebih terlihat seperti serigala kelaparan.
“Jadi, kau mau hadiah apa untuk ulang tahunmu?” Rina memang tidak
pernah basa-basi soal hadiah ulang tahun. Dia lebih memilih langsung bertanya
pada yang bersangkutan daripada menghabiskan banyak waktu untuk menyiapkan
kejutan yang sia-sia.
Sonia menatap langit-langit kelas, berusaha melihat daftar keinginan
imajiner yang tersimpan rapat di kepalanya. Sejauh ini sudah ada beberapa daftar
yang diberi tanda centang. Hanya untuk beberapa daftar teratas yang belum
diberi tanda apa pun, sebenarnya Sonia sedikit ragu akan pernah memberi tanda centang
ada daftar teratas itu. Keluarga. Sonia sangat ingin sebuah keluarga yang utuh.
Seperti teman-temannya.
“Kau tidak harus memberiku hadiah, kau tahu?” kata Sonia akhirnya.
Dia tidak mau ritual memberi hadiah ini menjadi suatu kewajiban bagi Rina.
Sonia bahkan jarang sekali memberi hadiah saat Rina ulang tahun. Hanya satu
kali. Saat Rina berulang tahun yang ketiga belas, Sonia memberinya hadiah
boneka beruang kecil yang sebenarnya adalah gantungan kunci. Sonia hanya mampu
membeli itu.
“Aku ini ibu perimu. Aku siap memberikan hadiah apa pun yang kau
inginkan.” kata Rina dengan bangga. Itu bukan julukan yang berlebihan. Rina
memang sudah seperti ibu peri bagi Sonia. Dia selalu ada kapan pun Sonia membutuhkan
sesuatu, atau seseorang. Rasanya Rina sudah seperti ibu peri, tujuh kurcaci,
dan pangeran berkuda putih yang digabung menjadi satu.
“Aku mau keluarga.” Sonia mengucapkannya dengan malu-malu,
setengah bercanda.
Rina melengos, “Ibu perimu tidak sehebat itu.”
Sonia tertawa ringan, “Kau adalah hadiah terhebat yang pernah aku
dapat. Kau tidak perlu memberiku hadiah apa pun lagi. Sungguh.”
Rina mengerutkan hidungnya, nyaris meringis. “Oke, itu manis
sekali. Tapi rasanya geli jika mendengarnya langsung darimu.” katanya sambil
tersenyum. “Aku serius. Kau mau apa?”
“Buku.” jawab Sonia cepat. “Beri saja aku buku.” Itu sudah cukup.
Lagi pula Sonia lebih senang menghabiskan lebih banyak waktunya untuk membaca
buku. Semua buku di panti asuhan sudah dia baca. Dan dia sudah bosan membaca
majalah kadaluwarsa.
0 komentar:
Post a Comment