Rss Feed
  1. A Celebrity Twin #2

    Monday, March 10, 2014


    Senin, 7 Februari
    Hari Senin! Aku benci hari Senin! Alasan utamanya jelas, upacara! Bukannya aku tidak suka upacara, hanya saja aku benci dijemur di bawah terik matahari dan mendengarkan pengumuman panjang yang sebenarnya bisa disampaikan lewat speaker yang dipasang di masing-masing kelas. Astaga! Apa sih gunanya speaker itu jika semua informasi penting disampaikan saat upacara, saat semua murid menggelepar kepanasan. Tidak akan ada satu pun informasi yang bisa direkam otak! Percaya deh! Alasan kedua, ada pelajaran biologi. Aku tidak suka biologi. Aku benci menghafal nama ilmiah semua benda. Lagi pula aku tidak berniat jadi dokter, kenapa aku harus belajar biologi? Aku benci Senin!

    Sonia hanya makan sepotong roti bakar untuk mengisi perutnya. Dia tidak berminat makan macam-macam, terutama jika akan dijemur selama kurang lebih satu jam penuh. Sonia bisa muntah jika perutnya diisi terlalu banyak makanan berminyak. Setelah menggigit roti pertamanya, Sonia langsung pamit. Masih dengan roti yang menggantung di mulutnya, Sonia memasang ransel ke punggung. Gadis itu memasukkan semua potongan roti ke dalam mulut sebelum menyalami ibu. Dia bisa mendengar suara cekikikan di meja makan. Itu adik-adiknya. Mereka memandangi Sonia seperti badut sirkus. Sonia hanya memberikan tatapan galak.
    Ibu langsung mengusap sudut-sudut bibir Sonia yang ternyata dipenuhi remah-remah roti. Sekarang dia tahu kenapa adik-adiknya cekikian tidak jelas.
    “Kau sudah besar.” kata ibu pelan saat membersihkan remah-remah itu.
    Sonia hanya memamerkan cengirannya, kemudian menyalami ibu.
    “Aku berangkat dulu.” teriak Sonia saat berjalan keluar.
    Rina sudah menunggunya di luar, dengan skuternya. Gadis itu melambai saat melihat Sonia keluar, seolah sudah sangat lama tidak bertemu. Rina sudah menjadi sahabat Sonia sejak SMP. Dia orang yang baik. Sangat baik. Rina tidak pernah sekalipun menghakimi Sonia atas statusnya sebagai anak panti asuhan.
    “Siap!” kata Sonia mantap setelah duduk nyaman di belakang skuter Rina.
    Tidak ada yang bicara selama perjalanan mereka ke sekolah. Rina sudah hafal benar kebiasaan Sonia, menikmati terpaan angin pagi. Meskipun Rina bicara, Sonia tidak akan menanggapi. Gadis itu terlalu menikmati hembusan angin yang menerpa wajahnya, membuat rambut panjangnya berkibar menutupi wajah. Sesekali Sonia menyelipkan rambutnya ke balik telinga, yang ternyata sia-sia karena angin selalu menerbangkannya lagi ke depan wajahnya.
    Sonia menunggui Rina memarkir skuternya. Gadis itu berdiri gelisah di samping pagar tempat parkir. Dia tidak pernah suka tempat itu. Momen canggung itu. Saat-saat di mana dia harus berdiri sendirian dan terpaksa menunduk saat beberapa orang menatapnya dengan tatapan aneh. Oke, mungkin Sonia yang terlalu berprasangka pada setiap orang. Tapi memang ada beberapa orang yang menatapnya dengan tatapan menyebalkan. Clarisa salah satunya. Anak kelas tiga. Anak senior itu. Anak populer itu. Dia selalu berkomentar tentang penampilan Sonia. Apa pun. Bahkan lubang sekecil amoeba di pakaian seragam Sonia pun bisa mendapat perhatian lebih dari Clarisa.
    Kau tidak punya uang untuk membeli seragam baru ya? Nada suaranya biasa saja, tapi entah kenapa terasa sangat menyakitkan saat mendengar pertanyaan itu dari Clarisa.
    Saat melihat Rina tergopoh-gopoh mendekatinya, Sonia merasa luar biasa lega. Gadis itu langsung menautkan tangannya pada lengan Rina dan menariknya ke kelas. Rina menurut saja saat Sonia menyeretnya ke kelas.
    ***
    Sonia sedang mengibas-ngibaskan topinya di depan wajah untuk menghilangkan keringat akibat dijemur selama satu jam saat tiba-tiba Rina mencondongkan tubuhnya dan nyengir lebar sekali. Benar-benar lebar sampai Rina lebih terlihat seperti serigala kelaparan.
    “Jadi, kau mau hadiah apa untuk ulang tahunmu?” Rina memang tidak pernah basa-basi soal hadiah ulang tahun. Dia lebih memilih langsung bertanya pada yang bersangkutan daripada menghabiskan banyak waktu untuk menyiapkan kejutan yang sia-sia.
    Sonia menatap langit-langit kelas, berusaha melihat daftar keinginan imajiner yang tersimpan rapat di kepalanya. Sejauh ini sudah ada beberapa daftar yang diberi tanda centang. Hanya untuk beberapa daftar teratas yang belum diberi tanda apa pun, sebenarnya Sonia sedikit ragu akan pernah memberi tanda centang ada daftar teratas itu. Keluarga. Sonia sangat ingin sebuah keluarga yang utuh. Seperti teman-temannya.
    “Kau tidak harus memberiku hadiah, kau tahu?” kata Sonia akhirnya. Dia tidak mau ritual memberi hadiah ini menjadi suatu kewajiban bagi Rina. Sonia bahkan jarang sekali memberi hadiah saat Rina ulang tahun. Hanya satu kali. Saat Rina berulang tahun yang ketiga belas, Sonia memberinya hadiah boneka beruang kecil yang sebenarnya adalah gantungan kunci. Sonia hanya mampu membeli itu.
    “Aku ini ibu perimu. Aku siap memberikan hadiah apa pun yang kau inginkan.” kata Rina dengan bangga. Itu bukan julukan yang berlebihan. Rina memang sudah seperti ibu peri bagi Sonia. Dia selalu ada kapan pun Sonia membutuhkan sesuatu, atau seseorang. Rasanya Rina sudah seperti ibu peri, tujuh kurcaci, dan pangeran berkuda putih yang digabung menjadi satu.
    “Aku mau keluarga.” Sonia mengucapkannya dengan malu-malu, setengah bercanda.
    Rina melengos, “Ibu perimu tidak sehebat itu.”
    Sonia tertawa ringan, “Kau adalah hadiah terhebat yang pernah aku dapat. Kau tidak perlu memberiku hadiah apa pun lagi. Sungguh.”
    Rina mengerutkan hidungnya, nyaris meringis. “Oke, itu manis sekali. Tapi rasanya geli jika mendengarnya langsung darimu.” katanya sambil tersenyum. “Aku serius. Kau mau apa?”
    “Buku.” jawab Sonia cepat. “Beri saja aku buku.” Itu sudah cukup. Lagi pula Sonia lebih senang menghabiskan lebih banyak waktunya untuk membaca buku. Semua buku di panti asuhan sudah dia baca. Dan dia sudah bosan membaca majalah kadaluwarsa.

  2. 0 komentar:

    Post a Comment