Lofa memandangi langit jingga dari balik kaca mobil. Agi
mengajaknya makan malam setelah selesai dengan semua urusan cafe. Mereka sudah
lelah seharian merapikan barang-barang dan bersih-bersih. Lofa menyangga dagunya
dengan sebelah tangan. Memperhatikan warna jingga di langit sore yang perlahan
mulai melahap seluruh warna biru muda.
“Kau mau makan apa?”
Lofa langsung menoleh saat mendengar pertanyaan Agi. Gadis itu
baru menyadari ke mana Agi membawanya. Kawasan 0 km Jogja. Rasanya sudah cukup
lama Lofa tidak menghabiskan waktu di tempat ini. Kawasan yang selalu ramai
dipadati pengunjung, apalagi di akhir pekan seperti ini. Agi memelankan laju
mobilnya, membiarkan Lofa memilih tempat makan yang berderet di sekitar hotel
Inna Garuda.
“Yang mana saja tidak masalah bagiku.”
Agi hanya mengangguk kemudian memarkir mobilnya. Dia memilih
sebuah tempat makan lesehan yang dulu sering dikunjungi Lofa saat masih
sekolah. Gadis itu ingat bagaimana Laufan sering merengek untuk diajak makan di
luar setiap akhir pekan dan ayah memilih tempat ini. Lofa senang makan di
tempat ini, selain makanannya yang murah, pengamen di tempat ini juga sangat kreatif.
Terkadang Lofa sendiri penasaran bagaimana para pengamen itu bisa menciptakan
lagu-lagu yang begitu menarik tentang Jogja. Satu lagu yang paling Lofa ingat
berisi tentang perjalanan hidup mereka selama di Jogja dan meskipun mereka
hanya menjadi pengamen, mereka tetap mengagumi keunikan budaya Jogja.
Lofa dan Agi memilih meja pendek yang ada di pinggir. Gadis itu
tidak perlu membuka buku menu untuk memesan makanan, dia sudah hampir hafal
semua makanan dan minuman yang ada di buku menu. Gadis itu hanya diam
memperhatikan pemuda di hadapannya yang terlihat sangat serius menekuri buku
menu dan membaliknya ke bagian menu minuman.
Agi mengangkat tangannya untuk memanggil seorang pramusaji,
seorang wanita paruh baya. Wanita itu langsung mencatat pesanan Lofa dan Agi
kemudian kembali untuk membuatkan pesanan mereka. Lofa mengeluarkan buku
catatannya saat teringat sesuatu. Gadis itu membuka halaman yang ingin dia
tunjukkan kemudian menyodorkan buku catatan itu pada Agi.
“Menurutmu ada yang kurang?”
Agi menekan buku catatan itu dengan satu tangan untuk menjaganya
tetap terbuka dan satu tangan lain menyangga dagunya. Matanya bergerak cepat
saat membaca catatan yang Lofa buat. Itu rancangan menu yang dibuat Lofa untuk
cafe-nya. Ada beberapa pilihan minuman dan makanan yang akan menjadi menu utama
di cafe-nya nanti.
“Minuman kebahagiaan?” Tanya Agi dengan dahi berkerut saat
membaca satu nama minuman.
Lofa mengangguk dengan antusias kemudian mulai menjelaskan, “Itu
menu spesial.”
“Apa bedanya dari minuman lain?”
“Itu minuman spesial. Semacam bonus untuk menghibur para
pengunjung yang terlihat sedih.” Lofa memaparkan idenya yang luar biasa
dermawan.
“Gratis?”
Lofa mengangguk dengan penuh kemenangan. Seolah-olah dia baru
saja memberitahukan Agi bahwa dialah yang membantu seorang nenek menyeberang
jalan.
“Kalau aku jadi pengunjung biasa, aku akan memasang tampang
sedih setiap kali masuk ke cafe-mu agar dapat minuman gratis.”
Sekarang Lofa baru diberitahu ternyata nenek itu tidak ingin
menyeberang. Jiwa dermawannya melayang entah kemana.
“Itu ide buruk ya?” Lofa memainkan jemarinya, menggambar
orang-orangan imajiner di mejanya. Gadis itu langsung mendongak saat teringat
sesuatu, “It’s just Valentina juga
membagikan puding gratis.”
“Ya, setelah kita membeli makanan atau minuman di sana. Lagipula
itu hanya hari Rabu dan Jumat.” Lagi-lagi Agi meruntuhkan semangat Lofa.
“Bagaimana pun kau sedang membuka usaha, Lofa. Kau tidak bisa membagi-bagikan
minuman spesialmu begitu saja.”
“Setiap hari Selasa,” kata Lofa pelan kemudian gadis itu
langsung mendongak saat mendapati ucapannya tadi bisa jadi ide yang sempurna.
“Aku hanya membagikan minuman itu setiap hari Selasa.”
Tepat saat Agi akan mengatakan sesuatu, pesanan mereka datang. Aroma
ayam goreng yang lezat langsung menyusup masuk tanpa izin ke dalam indera penciumannya.
Lofa hampir yakin dia akan meneteskan liur jika mulutnya terbuka saat ini. Tanpa
menunggu lama, gadis itu langsung mencuci tangannya dengan air yang ada di
dalam mangkuk aluminium kecil kemudian mulai mencabik-cabik ayam gorengnya. Asap
putih yang nyaris transparan langsung mengepul saat Lofa membelah ayam
gorengnya. Gadis itu langsung menghentikan kegiatannya membelah dan meniup saat
mendengar Agi menghela nafas panjang.
“Jadi aku rasa keputusanmu sudah bulat tentang minuman gratis
itu?”
Lofa hanya mengangguk sambil mengunyah makanannya. Agi
menggerakkan bahunya sekilas kemudian mulai memakan makanannya.
Lofa mendapat ceramah yang sama tentang untung rugi dari ayah
saat memaparkan rencananya tentang minuman gratis itu. Sejauh ini Lofa hanya
diam, berdebat dengan dirinya sendiri tentang keputusan yang diambilnya. Suara
ayah terdengar makin kabur saat suara-suara dalam pikiran Lofa mengambil alih.
“....jika hanya satu bulan.”
Ayah sudah mengakhiri ceramahnya saat Lofa mendapatkan kembali
kesadarannya. Gadis itu mendongak dan menatap ayah dengan linglung, seperti
orang amnesia yang baru saja diberitahu jati dirinya. Ayah menyandarkan
tubuhnya pada sandaran sofa, kemudian meminum tehnya.
“Satu bulan?” Lofa mencoba mengonfirmasi sisa-sisa ceramah ayah
yang berhasil menempel di ingatannya.
“Iya, hanya promo untuk satu bulan. Ayah rasa itu tidak
masalah.”
Lofa mengerti sekarang. Bonus minuman itu hanya berlaku selama
satu bulan, selama masa promo cafe baru. Boleh juga. Lofa hanya mengangguk
untuk menyetujui saran Ayah. Setelah berbasa-basi untuk menutup percakapan,
Lofa pamit untuk masuk ke kamar.
Keadaan kamarnya masih sama persis seperti saat Lofa
meninggalkannya tadi pagi. Ada beberapa buku yang berserakan di dekat kaki
tempat tidur karena gadis itu buru-buru memilah-milah buku untuk cafe-nya. Lofa
mengabaikan buku-buku itu. Gadis itu melemparkan tas slempangnya dan langsung menjatuhkan
diri ke atas kasur. Matanya tertuju pada langit-langit kamar yang bermotif
awan. Matanya menyipit saat cahaya lampu menyilaukan pandangannya. Perlahan
matanya mulai tertutup dan Lofa tertidur.
***
Lofa menuliskan menu-menu cafe-nya pada sebuah papan tulis hitam
dengan menggunakan kapur warna-warna. Lofa sengaja menuliskan menu-menu itu
agar bisa menggantinya kapan pun. Gadis itu memundurkan tubuhnya untuk melihat
hasil karyanya. Lofa bahkan menambahkan gambar panekuk dan gelas berisi minuman
di sudut-udut papan tulis. Setelah selesai, Lofa meletakkan papan itu di luar
cafe-nya. Hal terakhir yang dia lakukan adalah membalik tulisan OPEN yang
menggantung di pintu kaca cafe-nya.
Mobil Agi datang saat Lofa akan kembali ke dapur untuk
menyiapkan bahan-bahan makanan dan minuman. Pemuda itu sudah mulai memasang
pamflet sejak tadi pagi. Lofa hanya berdiri diam untuk menunggu Agi masuk.
Pemuda itu memakai kaus oblong dan celana pendek seperti biasa.
“Kau adalah pengunjung pertamaku!” Teriak Lofa penuh kemenangan
saat akhirnya Agi mendorong pintu kaca dan masuk ke dalam cafe.
Agi hanya menghela nafas panjang kemudian duduk di sebuah kursi
tinggi di dekat meja bar. Pemuda itu menyangga kepalanya dengan satu tangan.
Lofa langsung berjalan cepat ke balik meja bar dan menyiapkan minuman untuk
Agi.
“Kau mau kopi?”
Agi hanya mengangguk pelan. Wajahnya terlihat lelah dan lusuh. Tidak
heran jika Agi bertampang seperti itu, Lofa sudah mengganggunya sejak jam lima
pagi tadi. Memaksa pemuda itu bangun dan membantunya membawa bahan-bahan
makanan dan minuman dari rumah ke cafe. Tugasnya masih berlanjut dengan menyebarkan
pamflet ke seluruh penjuru Jogja. Lofa menuangkan kopi dari mesin pembuat kopi
milik ibu. Agi sedang berusaha mempertahankan kepalanya agar tidak jatuh
sementara matanya terpejam saat Lofa berbalik dengan secangkir kopi hangat. Pemuda
itu membelalak kaget saat Lofa menyentuhkan cangkir kopi itu ke sikunya.
“Kau terlihat kacau.” Kata Lofa saat memperhatikan Agi menyesap
kopinya.
“Kacau masih belum menggambarkan
keadaanku sekarang. Aku ngantuk.” Kata Agi dengan mata setengah terpejam.
Sepertinya secangkir kopi benar-benar tidak berpengaruh padanya.
Agi menjauhkan cangkir yang sudah kosong kemudian meletakkan kepalanya di atas
meja. Matanya semakin lama semakin terpejam. Agi langsung terbangun saat Lofa
menarik rambut ikalnya. Pemuda itu menggumamkan protes yang tidak bisa didengar
jelas oleh Lofa sambil mengusap-usap kepalanya.
“Pulang sana.” Kata Lofa singkat saat berbalik untuk meletakkan
cangkir kosong ke wastafel. “Mandi dan kembali ke sini setelah keadaanmu lebih
baik.”
“Aku mau tidur.” Kata Agi mantap saat turun dari kursi tinggi.
“Kau akan ke sini lagi kan?” Lofa ingin memastikan Agi tidak
akan tidur sampai besok pagi lagi.
Agi hanya menggerakkan bahunya sekilas. Lofa langsung menarik
lengan kaus Agi sebelum pemuda itu berjalan lebih jauh.
“Kau harus membantuku.” Kata Lofa tegas dan manja dalam waktu
yang bersamaan. Gadis itu hampir tidak mengenali suaranya sendiri. Dia
terdengar seperti control freak yang
menyebalkan. Lofa langsung melepaskan tangannya saat Agi menoleh dan menatap
lengan kausnya yang ditarik.
“Yah, kita lihat saja nanti.”
“Agi!”
Agi hanya melambaikan sebelah tangannya kemudian keluar dari
cafe. Lofa hanya berdiri di balik meja bar, melihat mobil Agi perlahan mulai
meluncur pergi. Dia akan kembali,
pikir Lofa dengan sangat yakin.
Lofa memakai sebuah apron polkadot berwarna merah muda yang
dirancang sendiri. Ada dua saku di kedua sisi apron. Lofa mengikatkan tali
apron ke belakang leher, membentuk sebuah pita besar. Gadis itu melirik jam
dinding yang dipasang di dekat meja bar. Masih jam 10 pagi. Awalnya Lofa
berdiri dengan posisi tegak di dekat meja bar. Beberapa waktu berlalu, Lofa
mulai menyandarkan tubuhnya dan menyangga kepalanya dengan dua tangan. Lofa
melirik jam dinding lagi. Sudah satu jam sejak cafenya resmi dibuka, belum ada
tanda-tanda akan ada pengunjung yang datang. Lofa menarik sebuah kursi tinggi
kemudian duduk. Gadis itu mengeluarkan ponselnya kemudian mulai memainkan sebuah
game untuk mengalihkan perhatiannya
dari jam dinding.
Lofa berhasil melewati level 10 sebelum akhirnya avatar yang dia
pilih jatuh ke jurang dan mati. Gadis itu menghela nafas panjang kemudian
kembali menatap jam dinding. Ternyata Lofa hanya membutuhkan waktu lima belas menit
untuk memainkan 10 level. Gadis itu menghembuskan nafas frustasi kemudian
meletakkan kepalanya di atas meja bar. Sensasi dingin merayapi wajahnya saat
pipinya bersentuhan dengan bagian atas meja bar yang terbuat dari logam.
Suara alunan piano yang keluar dari speaker tape-nya membuat kelopak mata Lofa terasa berat. Ryuichi Sakamoto.
Lofa sengaja memilih CD instrumental piano itu agar cafe-nya terasa lebih
romantis. Tapi sekarang pianis favorit Lofa itu malah menjadi pengkhianat dan membuatnya
mengantuk. Mata gadis itu perlahan mulai terpejam. Alunan piano itu sedang
memainkan lagu Forbidden Love. Lagu
itu terdengar semakin samar di telinganya.
“Aku mau panekuk.”
Lofa langsung membuka matanya lebar-lebar kemudian menegakkan
tubuhnya. Dia masih linglung. Sudah berapa lama dia tidur? Lofa menggelengkan
kepalanya beberapa kali untuk mengembalikan kesadarannya sebelum melihat orang
yang baru saja membangunkannya. Pengunjung pertamanya. Bahu Lofa melorot saat
melihat sosok yang berdiri di hadapannya. Itu Agi. Pemuda itu sudah lebih rapi
sekarang. Rambut ikalnya basah, tanda bahwa dia sudah mandi, dan menguarkan aroma
shampo yang disukai Lofa. Kaus oblongnya sudah digantikan polo shirt warna hitam yang terlihat pas di tubuhnya.
“Kau tahu di mana tempatnya.”
Lofa memiringkan kepalanya ke arah dapur sebelum meletakkan
kepalanya lagi di atas meja bar. Matanya sudah hampir terpejam saat pipinya
merasa tersengat. Lofa langsung mengangkat kepalanya lagi. Agi baru saja
mencubit pipinya dengan cukup keras.
“Kau tidak boleh begitu pada pengunjung pertamamu.” Kata Agi
sebelum Lofa sempat memprotes tindak kekerasan yang baru dialaminya itu.
“Bangun dan lakukan tugasmu dengan benar.” Agi menambahkan.
Lofa berjalan dengan malas menuju dapurnya. Dia menumpuk tiga
panekuk hangat kemudian menuangkan madu di atasnya. Cairan berwarna keemasan
itu meleleh dan bergerak menuruni tumpukan panekuk. Lofa menambahkan dua lembar
daun mint dan sebuah ceri merah segar di atasnya. Setelah siap Lofa membawa
tumpukan panekuk itu ke depan dan menyodorkannya pada Agi. Pemuda itu menutup
matanya saat berdoa, kemudian mulai memotong-motong panekuk itu dengan
garpunya.
“Tidak ada yang datang sejak tadi pagi,” Lofa mendongak untuk
melihat jam dinding. “Sudah hampir jam satu.”
Agi terlihat tidak peduli dengan kata-kata Lofa. Dia masih sibuk
memotong-motong panekuk dan melahap potongan besar itu.
“Mungkin...” kata Agi setelah berhasil memasukkan potongan
terakhir panekuk-nya, “ada banyak orang yang datang sejak tadi. Tapi begitu
melihatmu tidur dan mengiler seperti itu, mereka pergi lagi.”
Lofa langsung memukul lengan Agi secara spontan. Diam-diam Lofa
menyentuh sudut-sudut bibirnya untuk mengecek. Aku tidak mengiler, pikir Lofa yakin.
Agi dan Lofa langsung menoleh secara bersamaan saat pintu cafe
didorong sampai terbuka. Serombongan anak-anak SMP masuk ke dalam cafe, membawa
suara berisik dan obrolan-obrolan yang tidak Lofa mengerti. Anak-anak itu
langsung masuk dan menuju ke ruang baca. Lofa menghitung anak-anak yang masuk,
ada sekitar enam orang. Menyisakan satu anak yang masuk paling belakangan. Itu
Laufan. Seulas senyum terkembang di wajah Lofa. Melihat adiknya begitu
pengertian sampai mengajak teman-temannya untuk mengunjungi cafe kakaknya yang
baru dibuka dan sepi pengunjung. Meskipun Laufan kadang-kadang bisa jadi sangat
menyebalkan, tapi ada sisi yang mulia dalam dirinya.
Laufan langsung berjalan mendekati meja bar, berdiri di samping
Agi. Dia mencondongkan tubuhnya ke depan. Meja bar jadi terlihat lebih tinggi
saat Laufan menyandarkan tubuhnya. Lofa bisa mencium bau keringat saat Laufan
mendekat.
“Apa aku dapat minum gratis?” Tanya Laufan dengan suara pelan.
“Tentu saja. Kau dapat air putih gratis.”
Laufan langsung cemberut, “Pelit.”
Lofa hanya melotot mendengar adiknya baru saja mengatainya
pelit. Lofa menarik kembali semua pikiran tentang kebaikan Laufan. Adiknya
masih tetap menyebalkan.
Lofa langsung menghampiri gerombolan anak-anak SMP yang dibawa
Laufan ke cafe-nya. Mereka sedang sibuk memilih-milih komik yang akan mereka
baca. Mereka langsung menyebutkan pesanan mereka setelah mendapatkan komik yang
menarik perhatian.
Lofa menghentikan langkahnya saat akan kembali ke dapur untuk
membuatkan pesanan Laufan dan teman-temannya. Ada beberapa anak SMA yang sedang
memasuki cafe. Agi menoleh ke arah pintu saat mereka masuk. Lofa langsung
mempercepat langkahnya untuk menyambut pengunjung cafe yang bukan keluarga atau
temannya. Senyum lebar merekah di wajah gadis itu. Akhirnya ada pengunjung asli
yang datang ke cafe-nya. Lofa mempersilakan mereka memilih tempat duduk dengan
sangat ramah. Gadis itu hampir tidak bisa mengenali keramahan yang dimilikinya.
Lofa langsung mencatat pesanan mereka, tidak butuh waktu lama
untuk itu karena pengunjung cafe Lofa sudah bisa memilih pesanannya sebelum
masuk. Saat berbalik untuk kembali ke dapur, Agi sudah tidak ada di tempatnya.
Lofa melihat ke luar cafe dan mendapati mobil Agi masih terparkir di sana.
Gadis itu hanya mengangkat sebelah alisnya saat melihat Agi di dapur dan sudah
memakai apron polkadot warna biru tua.
“Apa yang kau lakukan di sini?” Tanya Lofa sambil menyiapkan
bahan-bahan.
“Membantumu,” Agi terlihat sangat cekatan saat menyerut es dan
menatanya dengan cantik di dalam gelas tinggi.
Lofa jadi ingat masa-masa kuliah dulu. Agi pernah menjadi rekan
satu kelompoknya. Anehnya, Agi jauh lebih cekatan saat memasak dibanding
teman-teman kelompoknya yang perempuan.
“Jangan harap dengan membantuku, kau bisa bebas dari tagihan
panekuk.” Lofa mengingatkan Agi untuk membayar panekuk-nya. Tangan gadis itu
bergerak cepat memotong-motong kue dan menatanya di atas piring.
Agi tersenyum sekilas, “Bayaranku lebih mahal dari panekuk.”
Lofa langsung membawa pesanan teman-teman Laufan. Rasanya sangat
memuaskan melihat wajah-wajah itu tersenyum ketika menikmati minuman dan
makanan buatan Lofa. Biasanya hasil kerjanya hanya dinilai oleh dosen-dosen
atau asisten praktikum, kali ini Lofa benar-benar merasa puas. Lofa kembali ke
dapur untuk mengambil pesanan pengunjung lainnya. Gadis itu diam-diam mengamati
ekspresi para pengunjungnya saat menyantap pesanan mereka. Meskipun belum ada
yang memuji hasil kerjanya secara langsung, setidaknya sejauh ini Lofa tidak
menemukan tanda-tanda mereka akan muntah.
“Aku bisa merektrutmu,” kata Lofa sambil meletakkan nampan di
atas meja.
Agi melipat kedua tangannya di depan dada kemudian menyandarkan
sebelah bahunya pada kusen pintu dapur, “Merekrutku?”
Lofa meletakkan tangannya di atas meja dan menyangga kepalanya.
Gadis itu memandangi para pengunjung yang mengisi cafe-nya. “Aku rasa aku akan
sedikit kerepotan jika menangani cafe ini sendirian.”
“Yah, aku punya pekerjaan tahu.”
Lofa menoleh dan mendapati Agi sedang mengamati kuku jarinya. Dia
tidak benar-benar sedang mengamati sesuatu dari jemarinya, hanya kebiasaan yang
selalu dia lakukan saat tidak ada objek menarik yang bisa dia pandangi. Lofa
berbalik dan bersandar pada meja bar, gadis itu menatap Agi tanpa berkedip.
Pemuda itu langsung mendongak saat Lofa tidak mengalihkan pandangannya.
“Aku sudah wawancara, ingat?” Agi menjelaskan tentang pekerjaan
yang dia maksud.
Lofa baru akan menjawab saat ada pengunjung lain yang masuk ke
cafe-nya. Tubuhnya menegang saat melihat sosok yang selalu berhasil
mengintimidasinya. Lofa merasa tubuhnya mengkerut dan menjadi super kecil saat
melihat gadis itu. Agi berjalan menghampirinya saat Lofa hanya berdiri diam di
tempat.
Adriana mematung untuk beberapa saat, ketika melihat Agi yang
memakai apron polkadot. Gadis itu melepas kacamata hitamnya untuk melihat sosok
Agi dengan lebih jelas. Lofa sudah berhasil melumerkan es yang membekukan
syaraf-syarafnya dan berjalan mendekati mereka saat Adriana mulai bicara.
“Kau...” Gadis itu hanya memandangi Agi dari ujung kepala sampai
ujung kaki tanpa melanjutkan kata-katanya.
“Kau mau pesan sesuatu?” Agi langsung mengalihkan perhatian
Adriana.
Lofa mulai menyesali keputusannya menghampiri mereka berdua. Mereka
jelas-jelas tidak merasakan aura kehadiran Lofa sama sekali. Gadis itu mendadak
memiliki kekuatan untuk menjadi tidak terlihat jika berada di dekat Agi dan
Adriana.
“Ya, tentu saja. Aku mau panekuk dan kopi.” Kata Adriana mantap.
Lofa langsung mengangguk dan menyingkir dari hadapan mereka.
Lofa menoleh ke belakang sekilas saat berjalan ke dapur. Agi sedang melepas
apronnya dan membimbing Adriana duduk di table
set yang ada di dekat jendela. Lofa masih memandangi mereka berdua dari
dapur. Lubang besar yang seharusnya digunakan untuk serah terima makanan antara
si koki dan pramusaji, malah menjadi tempat yang sangat sempurna untuk mengamati
Agi dan Adriana dari dapur.
Adriana sedang menunjuk ke arah lampu LED yang membentuk tulisan
Cafe Lofa saat Lofa datang untuk mengantarkan panekuk dan kopi. Agi terlihat
sangat bersemangat saat menjelaskan alasannya memilih lampu LED untuk nama cafe
dan kenapa nama cafe itu dipasang di kaca. Lofa meletakkan pesanan Adriana di
atas meja kemudian berbalik untuk kembali ke tempat seharusnya dia berada,
dapur. Lofa menghentikan langkahnya saat ada yang menyentuh tangannya. Itu
Adriana. Gadis itu menatap Lofa dengan pandangan berbinar-binar yang aneh.
“Kau memoles cafe ini dengan sempurna,” Adriana mengarahkan
tangannya pada barang-barang tambahan yang ada di cafe.
“Agi membantuku,” jawab Lofa dengan gaya casual yang asing baginya. Biasanya Lofa akan langsung membanggakan
dirinya sendiri jika sedang dipuji orang. Tapi kali ini, Lofa ingin terlihat
kalem dan rendah hati.
Lofa hanya memandangi mereka berdua dari balik meja bar. Gadis
itu pura-pura mengelap gelas-gelas kosong agar tidak ketahuan sedang memata-matai
mereka. Agi dan Adriana terlihat sangat akrab saat membicarakan sesuatu yang
tidak bisa Lofa dengar. Agi benar-benar terlihat seperti orang asing. Biasanya
dia akan mengajak Lofa bicara jika suasana sepi seperti ini. Kali ini Agi sudah
menemukan orang lain untuk diajak bicara. Lofa melirik jam dinding, sudah
hampir 30 menit sejak mereka mengobrol. Para pengunjung lain sudah pergi sejak
tadi.
Lofa langsung menghentikan kegiatannya mengelap gelas saat
melihat ada yang masuk. Seorang pemuda berpakaian rapi. Pemuda itu memakai
kemeja biru tua dengan celana kain hitam yang terlihat formal. Wajahnya yang terlihat
masih sangat muda membuat Lofa berasumsi pemuda itu masih lulusan baru. Pemuda
itu masuk dengan sedikit linglung kemudian duduk di salah satu kursi tinggi di
depan meja bar.
“Kau mau pesan sesuatu?” Tanya Lofa lembut dengan menunjukkan wajah
sumringah yang berlebihan. Gadis itu terlalu senang mendapat pengalih perhatian.
Setidaknya sekarang dia tidak akan terlihat terlalu menyedihkan karena hanya
memandangi Agi dan Adriana dari jauh.
Pemuda itu hanya diam. Dia terlihat sedang memikirkan sesuatu.
“Kau mau pesan sesuatu?” Lofa mengulangi pertanyaannya.
Pemuda itu langsung mendongak dan celingukan mencari sesuatu. Matanya
menyapu seluruh bagian cafe, dia jelas sedang mencari sesuatu.
“Tidak ada menu?” Akhirnya pemuda itu menyuarakan
kebingungannya.
“Menunya ada di luar,” Lofa menunjuk papan tulis yang berisi
menu cafe-nya.
“Oh..” pemuda itu terlihat bingung, tapi tidak berniat untuk
keluar dan melihat menunya sekarang juga.
“Aku bisa menyarankan menu spesial cafe ini,” Lofa menelengkan
kepalanya ke arah papan hitam yang menggantung di dekat meja bar, ada tulisan menu spesial, minuman kebahagiaan di
sana.
Dahi pemuda itu berkerut, “Minuman kebahagiaan? Menurutmu aku
terlihat sedih?”
Lofa tertawa ringan, “Siapa saja bisa memesan minuman itu.”
Pemuda itu terlihat memikirkan tawaran Lofa dengan serius,
kemudian mengangguk. “Aku tidak tahu menu apa pun di sini. Jadi ya, aku rasa
aku akan memesan yang itu.” Dia menunjuk papan hitam itu.
komen ah, ini nulis segini panjang kagak inget sanling toksik ato tpk apa is -___-
lha ini latihan buat bikin laporan sanling ris, hahaha
muncullah misteri guest nya...heheheheuu
iceee, kapan2 cafenya pasang wifi.. ntar tak mampir dehhh :p
hahaha, monggo monggo, ga. tiap hari selasa ajah biar dapet minuman gratis :D