Terinspirasi oleh salah salah satu tulisan M Aan Mansyur
Aku
sama sekali tidak memikirkannya sampai hari ini, saat gadis itu mengatakannya
dengan begitu santai seolah hal itu adalah sesuatu yang sudah diketahui seluruh
umat manusia. Yah, mungkin seharusnya pun aku tahu, hanya saja otakku yang
sedikit tumpul ini malas untuk memikirkan kebenaran pernyataan itu. Bentuk awan
tidak pernah sama setiap detiknya.
Kau
pernah memikirkannya? Jika tidak, kita berada di kubu yang sama. Sekarang, aku
sedang menatap gadis bertubuh mungil yang sedang sibuk menggoreskan pensil HB
nya di atas sebuah sketch book ukuran
A4. Hal pertama yang menarik perhatianku untuk duduk di samping gadis itu saat
ini sebenarnya bukanlah kegiatan menggambarnya, tapi kupluk rajut warna pelangi
yang menutupi rambut pirangnya. Ya, aku tidak salah, rambutnya benar-benar
pirang seperti Barbie. Aku tahu itu bukan warna asli karena wajah gadis itu
sangat Indonesia, tapi anehnya, warna itu pun tidak terlihat aneh. Seolah gadis
itu sudah mempertimbangkan jutaan warna sebelum akhirnya memilih warna blonde untuk membingkai wajah mungilnya.
“Kau
tahu, Om, aku sudah menggambar 255 bentuk awan selama sebulan ini.”
Baru
kali ini aku tidak tersinggung dipanggil “om” oleh seorang gadis yang aku yakin
umurnya tidak berbeda jauh denganku. Mungkin kisaran dua puluh tahun. Atau mungkin,
otakku sedang terlalu sibuk memerhatikan goresan-goresan lembut di sketch book gadis itu sampai lupa
memproses sinyal tersinggung yang dikirimkan telingaku?
“Benarkah?”
Hanya itu satu kata yang berhasil dibentuk oleh otakku sebagai respon. Menurutku,
itu jauh lebih baik dibanding sekadar “hemm”.
Aku
mendongak untuk memastikan ketepatan gambar gadis itu. Seperti sebuah permainan
untuk menemukan lima perbedaan pada gambar yang sama. Gambar gadis itu jauh
berbeda.
“Gumpalan
itu tidak ada.” Aku menunjuk segumpalan awan di sudut kanan atas buku
gambarnya.
Gadis
itu menghela napas kemudian mendongak untuk menatapku seolah aku ini orang
paling tolol yang pernah dia temui selama hidupnya.
“Bukankah
sudah kubilang? Bentuk awan berubah setiap detiknya, Om.” Sebutan itu lagi, aku
masih belum tersinggung. Mungkin mata bulatnya yang hitam pekat yang membuatku
bungkam. “Ini bentuk awan dua jam yang lalu.” katanya sambil menunjuk-nunjuk
gambar awannya. “Aku mengingat bentuk awan paling unik dan menggambarnya.”
“Ah.”
Aku mengutuki kemampuanku menemukan kata-kata yang tepat untuk saat-saat
seperti ini. “Bagaimana aku tahu kau tidak bohong?” Ah, akhirnya. Sebuah pertanyaan
cerdas. Terdengar skeptis, tapi cerdas.
Gadis
itu mengambil kamera hitam di sampingnya. Dari mana munculnya kamera itu? Aku
tidak melihatnya sejak tadi. Gadis itu menekan beberapa tombol kemudian
menunjukkan foto langit kepadaku. Bentuk awannya sama persis dengan sketsanya. Jangan
berharap gambarnya hanya berupa gumpalan-gumpalan tidak jelas. Bayangkan saja
foto langit berawan dalam moda warna hitam putih. Arsiran kelabu tipis sebagai
gumpalan awan dan warna putih bersih sebagai langitnya. Indah.
Aku
mengangguk, malas berdebat dengan orang asing. Aku ingin memanfaatkan sisa
waktu istirahat makan siangku untuk menikmati keindahan gambarnya, bukan
berdebat dengan si penggambarnya. “Kau seniman, ya?” tanyaku spontan.
Gadis
itu menggeleng. Bibir mungilnya membentuk senyuman tipis. “Gambarku sebelum ini
sangat jelek, Om. Seperti benang kusut. Latihan membuat gambarku jadi lebih
baik.”
Aku
mengangguk lagi. Itu nasehat yang sangat umum. Ibu sangat sering mengatakan
kalimat yang persis sama setiap kali aku hampir menyerah hampir dalam segala
hal. Aku sangat mudah menyerah. Seringnya, aku menyalahkan kecerdasanku yang
minim.
“Kau
pernah menggambar objek selain awan?” tanyaku lagi.
Gadis
itu membubuhkan sentuhan terakhir pada gambarnya. Dua huruf “AT” yang ditulis
dengan huruf tegak bersambung. Mungkin itu inisial namanya. Sial, sekarang aku
penasaran siapa nama gadis asing ini.
“Tidak.
Objek lain tidak pernah otentik. Tidak bisa aku jadikan acuan.”
“Acuan?”
Gadis
itu mengangguk, kemudian tersenyum lagi. Oh, sial, sekarang aku mulai berpikir
senyumannya sangat manis.
“Acuan
berapa lama Tuhan masih mengizinkanku melihat.” Suara gadis itu terdengar
seringan bulu.
Kali
ini otakku bekerja cukup cepat, menghentikan detak jantungku selama sepersekian
detik, yang membuat kekacauan di jalur utama aliran darahku. Hasilnya, aku
merasa luar biasa gugup saat mendengarnya. Apa maksudnya itu?
Gadis
itu menunjuk pelipisnya dengan jari telunjuk yang lentik. Aku baru memerhatikan
kuku jarinya yang dicat dengan warna berbeda di setiap jarinya. Di jari
telunjuk, dia memilih warna kuning terang.
“Aku
punya teman alien di sini.” katanya hampir berbisik, seolah apa yang akan
dikatakannya adalah sebuah rahasia yang tidak boleh didengar siapa pun selain
aku. Secara refleks aku mendekat untuk mendengar rahasianya. “Sekarang alien
itu masih anak-anak. Tapi para dokter bilang, alien itu sangat menyukaiku jadi mereka
tidak bisa memisahkannya dariku. Seiring dengan pertumbuhanku, alien itu ikut
tumbuh. Saat alien itu bertambah besar nanti, dia akan memakan penglihatanku.”
Gadis
itu menegakkan tubuhnya, membuatnya terlihat seperti anak kecil yang berusaha
terlihat dewasa. Atau, dia memang tidak setua perkiraanku?
“Aku
tidak keberatan. Masalahnya, aku tidak tahu kapan alien itu akan memakan
penglihatanku. Jadi, aku menggambar awan. Aku sudah menggambar 256 bentuk awan.
Jika nanti aku berpikir untuk mengeluh, aku akan meminta ibu memberitahuku
berapa banyak gambar awan yang berhasil kubuat. Dengan begitu, aku akan ingat
berapa lama Tuhan mengizinkanku melihat keindahan ciptaannya. Jadi, aku tidak
boleh mengeluh kan, Om?” Gadis itu menatapku. Matanya memancarkan ketulusan
seorang bocah yang ingin dikuatkan.
Aku
mengangguk cepat. Kali ini otakku sedang bersahabat. Aku tidak butuh waktu lama
untuk menyetujui pemikiran gadis itu. Aku masih tidak mengatakan apa pun sampai
terdengar bunyi beep beep cukup
nyaring. Gadis itu melirik jam tangan digitalnya sekilas, kemudian merapikan
barang-barangnya.
“Saatnya
minum obat. Aku harus kembali sebelum ibu mengomel.” katanya buru-buru. “Sampai
ketemu lagi, Om.” Gadis itu masih saja memamerkan senyumnya. “Jangan lupa
bersyukur, Om.” teriaknya seraya berlari menjauhiku.
Sepeninggalnya,
aku mendongak dan menatap langit. Bentuk awannya sudah berubah lagi. Gadis itu
benar, aku lupa bersyukur hari ini. Aku masih bisa melihat bentuk awan yang
berbeda hari ini.
***
0 komentar:
Post a Comment