Rss Feed
  1. GADIS PENGGAMBAR AWAN

    Friday, March 18, 2016

    Terinspirasi oleh salah salah satu tulisan M Aan Mansyur



    Aku sama sekali tidak memikirkannya sampai hari ini, saat gadis itu mengatakannya dengan begitu santai seolah hal itu adalah sesuatu yang sudah diketahui seluruh umat manusia. Yah, mungkin seharusnya pun aku tahu, hanya saja otakku yang sedikit tumpul ini malas untuk memikirkan kebenaran pernyataan itu. Bentuk awan tidak pernah sama setiap detiknya.

    Kau pernah memikirkannya? Jika tidak, kita berada di kubu yang sama. Sekarang, aku sedang menatap gadis bertubuh mungil yang sedang sibuk menggoreskan pensil HB nya di atas sebuah sketch book ukuran A4. Hal pertama yang menarik perhatianku untuk duduk di samping gadis itu saat ini sebenarnya bukanlah kegiatan menggambarnya, tapi kupluk rajut warna pelangi yang menutupi rambut pirangnya. Ya, aku tidak salah, rambutnya benar-benar pirang seperti Barbie. Aku tahu itu bukan warna asli karena wajah gadis itu sangat Indonesia, tapi anehnya, warna itu pun tidak terlihat aneh. Seolah gadis itu sudah mempertimbangkan jutaan warna sebelum akhirnya memilih warna blonde untuk membingkai wajah mungilnya.

    “Kau tahu, Om, aku sudah menggambar 255 bentuk awan selama sebulan ini.”

    Baru kali ini aku tidak tersinggung dipanggil “om” oleh seorang gadis yang aku yakin umurnya tidak berbeda jauh denganku. Mungkin kisaran dua puluh tahun. Atau mungkin, otakku sedang terlalu sibuk memerhatikan goresan-goresan lembut di sketch book gadis itu sampai lupa memproses sinyal tersinggung yang dikirimkan telingaku?

    “Benarkah?” Hanya itu satu kata yang berhasil dibentuk oleh otakku sebagai respon. Menurutku, itu jauh lebih baik dibanding sekadar “hemm”.

    Aku mendongak untuk memastikan ketepatan gambar gadis itu. Seperti sebuah permainan untuk menemukan lima perbedaan pada gambar yang sama. Gambar gadis itu jauh berbeda.

    “Gumpalan itu tidak ada.” Aku menunjuk segumpalan awan di sudut kanan atas buku gambarnya.
    Gadis itu menghela napas kemudian mendongak untuk menatapku seolah aku ini orang paling tolol yang pernah dia temui selama hidupnya.

    “Bukankah sudah kubilang? Bentuk awan berubah setiap detiknya, Om.” Sebutan itu lagi, aku masih belum tersinggung. Mungkin mata bulatnya yang hitam pekat yang membuatku bungkam. “Ini bentuk awan dua jam yang lalu.” katanya sambil menunjuk-nunjuk gambar awannya. “Aku mengingat bentuk awan paling unik dan menggambarnya.”

    “Ah.” Aku mengutuki kemampuanku menemukan kata-kata yang tepat untuk saat-saat seperti ini. “Bagaimana aku tahu kau tidak bohong?” Ah, akhirnya. Sebuah pertanyaan cerdas. Terdengar skeptis, tapi cerdas.

    Gadis itu mengambil kamera hitam di sampingnya. Dari mana munculnya kamera itu? Aku tidak melihatnya sejak tadi. Gadis itu menekan beberapa tombol kemudian menunjukkan foto langit kepadaku. Bentuk awannya sama persis dengan sketsanya. Jangan berharap gambarnya hanya berupa gumpalan-gumpalan tidak jelas. Bayangkan saja foto langit berawan dalam moda warna hitam putih. Arsiran kelabu tipis sebagai gumpalan awan dan warna putih bersih sebagai langitnya. Indah.

    Aku mengangguk, malas berdebat dengan orang asing. Aku ingin memanfaatkan sisa waktu istirahat makan siangku untuk menikmati keindahan gambarnya, bukan berdebat dengan si penggambarnya. “Kau seniman, ya?” tanyaku spontan.

    Gadis itu menggeleng. Bibir mungilnya membentuk senyuman tipis. “Gambarku sebelum ini sangat jelek, Om. Seperti benang kusut. Latihan membuat gambarku jadi lebih baik.”

    Aku mengangguk lagi. Itu nasehat yang sangat umum. Ibu sangat sering mengatakan kalimat yang persis sama setiap kali aku hampir menyerah hampir dalam segala hal. Aku sangat mudah menyerah. Seringnya, aku menyalahkan kecerdasanku yang minim.

    “Kau pernah menggambar objek selain awan?” tanyaku lagi.

    Gadis itu membubuhkan sentuhan terakhir pada gambarnya. Dua huruf “AT” yang ditulis dengan huruf tegak bersambung. Mungkin itu inisial namanya. Sial, sekarang aku penasaran siapa nama gadis asing ini.

    “Tidak. Objek lain tidak pernah otentik. Tidak bisa aku jadikan acuan.”

    “Acuan?”

    Gadis itu mengangguk, kemudian tersenyum lagi. Oh, sial, sekarang aku mulai berpikir senyumannya sangat manis.

    “Acuan berapa lama Tuhan masih mengizinkanku melihat.” Suara gadis itu terdengar seringan bulu.
    Kali ini otakku bekerja cukup cepat, menghentikan detak jantungku selama sepersekian detik, yang membuat kekacauan di jalur utama aliran darahku. Hasilnya, aku merasa luar biasa gugup saat mendengarnya. Apa maksudnya itu?

    Gadis itu menunjuk pelipisnya dengan jari telunjuk yang lentik. Aku baru memerhatikan kuku jarinya yang dicat dengan warna berbeda di setiap jarinya. Di jari telunjuk, dia memilih warna kuning terang.
    “Aku punya teman alien di sini.” katanya hampir berbisik, seolah apa yang akan dikatakannya adalah sebuah rahasia yang tidak boleh didengar siapa pun selain aku. Secara refleks aku mendekat untuk mendengar rahasianya. “Sekarang alien itu masih anak-anak. Tapi para dokter bilang, alien itu sangat menyukaiku jadi mereka tidak bisa memisahkannya dariku. Seiring dengan pertumbuhanku, alien itu ikut tumbuh. Saat alien itu bertambah besar nanti, dia akan memakan penglihatanku.”

    Gadis itu menegakkan tubuhnya, membuatnya terlihat seperti anak kecil yang berusaha terlihat dewasa. Atau, dia memang tidak setua perkiraanku?

    “Aku tidak keberatan. Masalahnya, aku tidak tahu kapan alien itu akan memakan penglihatanku. Jadi, aku menggambar awan. Aku sudah menggambar 256 bentuk awan. Jika nanti aku berpikir untuk mengeluh, aku akan meminta ibu memberitahuku berapa banyak gambar awan yang berhasil kubuat. Dengan begitu, aku akan ingat berapa lama Tuhan mengizinkanku melihat keindahan ciptaannya. Jadi, aku tidak boleh mengeluh kan, Om?” Gadis itu menatapku. Matanya memancarkan ketulusan seorang bocah yang ingin dikuatkan.

    Aku mengangguk cepat. Kali ini otakku sedang bersahabat. Aku tidak butuh waktu lama untuk menyetujui pemikiran gadis itu. Aku masih tidak mengatakan apa pun sampai terdengar bunyi beep beep cukup nyaring. Gadis itu melirik jam tangan digitalnya sekilas, kemudian merapikan barang-barangnya.

    “Saatnya minum obat. Aku harus kembali sebelum ibu mengomel.” katanya buru-buru. “Sampai ketemu lagi, Om.” Gadis itu masih saja memamerkan senyumnya. “Jangan lupa bersyukur, Om.” teriaknya seraya berlari menjauhiku.

    Sepeninggalnya, aku mendongak dan menatap langit. Bentuk awannya sudah berubah lagi. Gadis itu benar, aku lupa bersyukur hari ini. Aku masih bisa melihat bentuk awan yang berbeda hari ini.
    ***


  2. 0 komentar:

    Post a Comment