Bagus juga, katanya saat kami pertama kali bertemu. Ya, kata-kata pertamanya itu membuatku merah padam. Belum pernah ada yang memuji permainan pianoku.
Meskipun sekarang aku sudah hampir tiga minggu melatih kelihaianku bermain piano untuk resitalku minggu depan, tetap saja permainanku terdengar biasa-biasa saja. Sampai akhirnya dia datang dan mengucapkan dua kata itu.
Dia duduk di sampingku dan mulai meletakkan jemarinya yang putih di atas tuts piano. Aku menurunkan tanganku, membiarkan dia bermain. Dalam hitungan detik jemarinya sudah bermain lincah di atas tuts hitam putih yang sepertinya sudah berkomplot dengannya untuk membuatku terpukau. Dia hebat. Sangat hebat.
Bagus banget. Itu lagu apa? tanyaku penasaran setelah dia selesai bermain.
Itu buatanku sendiri. Hhmm...terinspirasi dari Mozart sebenernya. Dia hanya terenyum sekilas
Aku memejamkan mata untuk mengingat setiap detail perasaan yang dia tuangkan dalam lagu ini. Sesuatu yang tertunda. Ya, aku hanya ingin mereka mendengar lagunya. Tanganku masih terus menekan tuts piano dengan tempo yang semakin pelan, semakin dalam aku meresapi nada-nada ini, semakin jelas semua hal yang aku alami bersamanya.
Ini lagu buat resital kamu? tanyaku tiga hari sebelum resital berlangsung.
Iya. jawabnya singkat meskipun rona ceria yang tadi sempat mewarnai wajahnya sekarang lenyap.
Kenapa? Apa lagu yang sudah sangat sempurna ini masih belum cukup untuk membuatnya menjadi seorang pianis ternama?
Dia menggelengkan kepalanya sekali kemudian tersenyum, cuma takut mengecewakan.
Aku menghafal satu per satu nadanya hanya dengan memoriku. Ingatan bahwa aku memang pernah mendengar nada-nada itu. Kombinasi nada yang akan membuatmu menangis bahkan jika lagu ini dimainkan pada sebuah pesta yang sangat meriah. Ada sesuatu dalam lagu ini yang membuat jantung serasa berhenti berdegup. Aku merasakannya. Aku merasakan keinginannya yang sangat kuat. Aku bisa merasakan pikirannya. Dia bersamaku. Aku tahu itu.
Satu hari sebelum resital dan dia tak terlihat di tempat latihan. Kemana dia? mendadak hilang dan membiarkanku berlatih sendiri. Bukankah dia sudah berjanji akan menularkan ilmu masternya padaku agar aku bisa menyainginya pada resital nanti? Apa dia berubah pikiran dan memutuskan untuk berhenti mengajariku cara bermain piano secara profesional?
Aku pernah mengikutinya sekali saat pulang latihan, jadi aku rasa aku bisa memastikan kecurigaanku sekarang dengan mengunjungi rumahnya. Aneh memang. Kami baru kenal satu minggu dan tiba-tiba aku muncul di depan pintu rumahnya untuk meminta penjelasan kenapa dia tidak datang latihan hari ini.
Mengingat senyumnya yang lembut membuatku merasa lebih emosional lagi. Aku nyaris menangis saat mulai memainkan improvisasi yang baru-baru ini dia ajarkan padaku. Bahkan sebelumnya aku tidak tahu ada improvisasi semacam ini. Tapi itu berhasil membuat suasana semakin mengharu biru.
Rio ada, Tante? tanyaku tanpa basa-basi saat seorang wanita paruhbaya berwajah sayu membukakan pintu untukku.
Oh, Rio masih pergi. Sebentar lagi juga pulang. Ayo masuk dulu. Wanita itu membuka pintu rumahnya lebih lebar kemudian memberi isyarat padaku untuk masuk.
Aku mengikutinya. Rumahnya sangat sepi, hanya terdengar suara dentingan piano dari kaset tua yang mulai rusak. Musik klasik, aku rasa. Aku duduk di ruang tamu di dekat pintu masuk. Ada banyak sekali foto Rio sedang memeluk piala kejuaran di sini. Tidak heran dia bermain piano dengan sangat sempurna, dia sudah sangat berpengalaman.
Tante buatkan minum dulu ya. Wanita itu masuk dan meninggalkanku sendirian di ruang tamu.
Sudah hampir lima belas menit dan wanita itu tidak juga keluar. Aku hanya menghibur diri dengan menatap langit-langit rumah yang mulai penuh dengan bercak-bercak cokelat hasil karya rembesan air hujan.
Aku langsung menoleh ke arah pintu masuk saat mendengar ada suara seseorang yang berusaha membukanya. Aku harap itu Rio, karena aku masih harus menyelesaikan banyak tugas hari ini. Ditambah lagi, aku belum menyiapkan apa-apa untuk resital besok.
Seorang lelaki yang usianya tidak jauh berbeda dari wanita tadi, masuk dengan teburu-buru dan langsung melongo saat melihatku sedang menatapnya.
Maaf, ade siapa ya? tanya lelaki itu tanpa basa-basi.
Oh, saya temennya Rio, Om. Kata Tante saya suruh nunggu di sini aja, sebentar lagi Rio pulang.
Wajah lelaki itu langsung berubah drastis. Dia meletakkan kopernya di atas meja yang ada di ruang tamu kemudian berdiri tepat di sampingku.
Temen Rio?
Iya, hari ini dia nggak berangkat latihan buat resital besok, Om. Jadi saya mampir ke sini. Melihat wajah lelaki itu yang terlihat semakin bingung, aku langsung menambahkan, saya nggak salah rumah kan? Rio yang itu. Aku menunjuk salah satu foto Rio yang terpampang di ruang tamu.
Ade bisa ikut saya sebentar? Kita langsung ke tempat Rio aja, daripada ade nunggu lama.
Sebenarnya aku sedikit ragu. Terutama karena aku sudah berjanji pada wanita, yang sekarang aku yakin adalah mama Rio, untuk menunggunya di sini. Tapi papa Rio ada benarnya juga, aku tidak mau menunggu lebih lama.
Aku menyelesaikan deretan nada terakhir dan menutupnya dengan satu dentingan. Suara tepuk tangan yang menggema ke seluruh aula membuatku tersadar dari lamunan. Itu hanya imajinasi? Atau aku benar-benar melakukannya. Deretan nada-nada yang selama ini mengganggu pikiranku. Aku berhasil menguasainya.
Sudah dua tahun. Kata lelaki itu.
Aku hanya diam. Dia salah tempat atau apa?
MARIO TUNGGA PUTRA
LAHIR 12-04-1993
MENINGGAL 3-05-2010
Aku hanya diam menatap tulisan itu. Seolah-olah aku telah kehilangan kemampuanku membaca. Itu namanya. Ya, dia pernah memperkenalkan nama lengkapnya. Tapi itu dua tahun yang lalu. Dan aku baru saja melihatnya dua hari yang lalu. Apa dia punya saudara kembar?
Kecelakaan. Dia pamit untuk berangkat latihan waktu itu. Tapi dia nggak pernah pulang. Ibunya masih menunggu Rio untuk pulang.
Aku berusaha mengurutkan jalan ceritanya. Dia berlatih untuk resital dan tidak pernah pulang? Mama Rio masih tetap berharap sampai sekarang? Kenapa aku tidak menyadarinya? Kenapa aku tidak menyadari wajahnya yang selalu terlihat sepucat es?
Rio ingin sekali tampil di resitalnya sendiri. Dia sudah mempersiapkan lagunya sendiri. Berbulan-bulan dia menyiapkan lagu itu. Tapi yah, mau bagaimana lagi, takdir bekata lain.
Sesuatu yang tertunda. Sejak awal aku tahu makna itu yang ingin dia sampaikan dengan lagunya. Lagu itu harus menunggu selama dua tahun. Meskipun sampai detik ini aku belum menemukan alasan kenapa dia menghilang pada hari terakhir latihan. Apa dia ingin aku tahu yang sebenarnya? Bahwa dia sudah meninggal? Bahwa dia hanya ingin lagunya tersampaikan? Yang aku tahu aku sudah berhasil memainkan lagu itu di depan kedua orang tua Rio. Meskipun Rio hanya bisa menatap mereka dari sudut tergelap aula, aku tahu dia sudah bisa tenang sekarang.
#FIKSI
besar kecilnya huruf di perhatikan ya..
hehe
*tepuktangan*
hiii... ternyata latihannya bareng hantu -__-
hahahaha, iya gam...ini ngetik langsung jadi huruf kapitalnya nggak kesetting otomatis. males ngedit, hehehehe
latihannya bareng cindhy, hehehehe