tidak. aku sama sekali tidak menangis. aku hanya menatap punggungnya yang semakin menjauh. aku menatapnya hambar. bukankah itu sudah biasa? ketika aku merasa dekat dengan seseorang, dia akan pergi. dia tidak ada bedanya kan? dia hanya sebuah cerita di antara sekian banyak judul yang ada. dia bahkan tidak singgah lama. meskipun waktu yang singkat itu sudah cukup untuk menciptakan kenangan yang begitu indah. aku masih manatapnya. berharap dia mengurungkan niatnya dan kembali. tetapi tidak. dia terus berjalan. melangkah dengan mantap meninggalkanku. itu jawabannya. dia menyerah.
Nih, tutup lukanya biar nggak infeksi. dia menyerahkan sebuah sapu tangan kotak-kotak seperti milik ayahku.
aku hanya bengong menatapnya mengulurkan sapu tangan ke arahku. dia tidak kalah bingungnya menatapku. mungkin dia pikir aku ini cewek idiot yang neuronnya bekerja dengan sangat lambat dalam memproses informasi sampai dia harus mengulang kata-katanya.
luka kamu lumayan parah. bersihin pake air terus tutup pake ini biar nggak infeksi.
bukan itu yang membuatku bingung. sudah satu tahun aku tergabung dalam ekstrakurikuler PMR tentu saja aku tahu hal-hal semacam itu. yang membuatku terus diam sampai saat ini adalah, siapa orang ini? dia datang dari mana? cowok kurus tinggi yang memakai seragam OSIS yang masih terlihat baru.
aku rasa kesabarannya sudah habis karena dia langsung berjongkok di depanku kemudian meraih botol minum yang sedari tadi hanya aku genggam. Dia membuka tutupnya perlahan kemudian menyiram luka menganga di lututku. aku tidak melihat ada batu besar di tengah jalan, ban sepedaku melindasnya dan aku langsung terjungkal dan lututku menggesek aspal jalanan. dengan sangat cekatan dia mengikatkan saputangannya ke lututku.
Lain kali ati-ati kalau naik sepeda. dia berdiri, memungut batu besar sialan itu kemudian membuangnya ke selokan. dia mengambil sepedaku kemudian menuntunnya ke arahku.
aku masih menatapnya. sesekali dia membenarkan posisi ranselnya yang melorot saat dia berjalan cepat. apa dia begitu ingin meninggalkanku? aku masih menatapnya. berharap lebih tepatnya. bukankah dia yang selama ini memberiku penjelasan tentang sebuah harapan? sebuah harapan yang sudah selayaknya dipertahankan. karena sebuah harapan adalah keyakinan yang akan mengisi kehidupanmu. lalu kenapa sekarang dia memupuskan harapanku? harapan untuk bersamanya.
aku melihatnya lagi. tepat setelah pertengkaranku dengan Doni. ya, dia ada di sana. berdiri mematung, menatapku dengan tatapan kosong. aku langsung mengahpus air mataku dan bersiap menghindar saat tiba-tiba dia meraih tanganku.
nggak usah nangisin orang kayak dia. dia tahu apa?! ini hidupku! kenapa dia selalu muncul di saat seperti ini? memangnya siapa dia?
aku langsung menghentakkan tanganku sampai terlepas dari genggamannya. berlari menjauh dari orang aneh yang sok tahu.
dia yang mengajarkanku untuk tidak menangis. dia yang bilang kalau air mataku terlalu berharga untuk dibuang-buang. dia bahkan tidak pernah mengijinkanku menangis untuknya. untuk apa? karena dia selalu berusaha membuatku tersenyum. dan aku belum berterima kasih untuk semua hal yang sudah dia lakukan padaku.
mau? tiba-tiba ada yang menyodorkan es krim coklat ke arahku saat aku masih menunggu bus yang akan membawaku pulang ke rumah. aku masih belum terlalu yakin untuk bersepeda lagi ke sekolah. lututku masih sering terasa sakit untuk bergerak, apa lagi mengayuh sepeda.
aku menoleh, menatap pemilik tangan itu. tangan yang menyodorkan es krim itu. aku melihatnya lagi. sejak kapan dia tahu aku penggila es krim coklat? atau dia hanya asal?
masih suka kan? pertanyaannya membuatku melotot kaget. dia tahu?
beberapa detik kemudian dia menarik tangannya kemudian tersenyum tipis.
kamu lupa. kalau maksudnya dia yang menolongku saat jatuh dari sepeda, tentu saja aku ingat. aku bahkan masih menyimpan sapu tangannya. belum sempat mengembalikannya.
udah 10 tahun, huh? aku pikir kamu bakal inget kalau ketemu, ternyata nggak. maaf ya. aku memperhatikan wajahnya lagi. menatap setiap detail yang mungkin akan mengingatkanku padanya. siapa dia?
dia berhenti melangkah. saat itu. detik itu. jantungku berdegup semakin kencang. benar-benar berharap dia berbalik ke arahku. aku bisa melihatnya menarik nafas dalam dari sini. aku terlalu hafal gerak-geriknya untuk tidak menyadari itu. dia selalu melakukan itu jika gugup. aku masih menunggunya. tapi dia hanya diam.
kamu janji bakal jagain aku selamanya? aku teringat pertanyaan itu. pertanyaan yang terlontar dari seorang bocah berumur tujuh tahun. seorang bocah yang benar-benar ketakutan. tapi saat itu ada dia. dia yang dengan begitu gagah berani menyingkirkan sarang lebah yang membuatku ketakutan setengah mati.
aku bisa mengingat detail wajahnya. matanya yang telihat sipit, alisnya yang hitam tipis, hidungnya yang mancung. semuanya terlihat berbeda. aku rasa wajar jika jika aku tidak mengenalinya sekarang. dia terlihat lebih kurus, tapi dia masih memiliki tatapan teduh yang sama. tatapan yang meyakinkanku bahwa dia akan selalu bersamaku. menjagaku.
dia hanya mengangguk untuk menjawab pertanyaan polosku. tentu saja dia tidak benar-benar menepati janjinya, karena tiga hari setelah itu dia pindah ke Singapura bersama keluarganya. meninggalkanku sendiri. tanpa penjagaan.
aku masih menatapnya hambar. tanpa ekspresi. aku tidak tahu harus bagaimana. dia pernah pergi sebelum ini. pastinya tidak akan jauh berbeda keadaannya. aku ingin dia bahagia. aku tidak ingin dia berjuang terlalu keras hanya untukku.
aku udah janji bakal jagain kamu kan?
aku ingat tatapan mata itu. dia kembali. setelah 10 tahun dan dia kembali. dia menatapku lagi. tatapannya lebih tajam sekarang. wajahnya terlihat lebih tegas. entah sudah berapa banyak janji yang dia ucapkan, tapi dia masih mengingat janji yang itu. janji yang sebenarnya tidak aku maksudkan untuk jadi kenyataan. ternyata dia menepatinya.
maaf aku baru datang sekarang. aku hanya menatapnya tanpa suara. tersenyum menatapnya merasa sangat bersalah. wajah anak-anaknya sudah digantikan wajah dewasa yang sangat menakjubkan.
dia masih saja diam. tidak mengambil keputusan apa pun. ingin sekali aku berlari menghampirinya. memohon agar dia tidak pergi lagi. bukankah dia sudah berjanji? tapi egoku bukan satu-satunya hal yang harus dituruti. dia juga punya kewajiban. kewajiban untuk menuruti kata-kata orang tuanya.
dua tahun sejak pertemuan kami. meskipun awalnya terasa canggung untuk menerimanya sebagai teman masa kecilku, tapi akhirnya perasaan itu kembali muncul. perasaan yang sempat tertimbun lama. perasaan yang sempat tertutup kekecewaan atas kepergiannya dulu.
dia berdiri kaku di depan pintu rumahku. kemeja putih yang membalut tubuhnya terlihat sangat lusuh. sepertinya dia terburu-buru datang kemari sampai dia tidak sempat memilih pakaian yang lebih rapi. aku mempersilakannya masuk tapi dia hanya mematung. dia meraih tanganku saat aku berbalik untuk masuk.
kamu tahu aku nggak pernah berniat buat ingkar janji kan? dia terlihat sangat ketakutan.
sekarang kamu ada di sini kan? bagaimana bisa aku meragukannya. dia sudah berusaha menepati janjinya dengan kembali ke sini kan?
gimana kalau tiba-tiba aku ngecewain kamu?
kenapa sih?
dia hanya diam. ketakutan jelas terlukis di wajahnya. wajah yang biasanya tersenyum sekarang terlihat suram. hal buruk apa yang dia hadapi? apa yang membuatnya berpikir dia akan mengecewakanku?
dua hari setelah kedatangannya itu, aku tahu. aku tahu kenapa tiba-tiba dia seperti itu. dia dipaksa kembali ke Singapura. orang tuanya sudah mengatur perjodohannya dengan salah satu putri mitra kerjanya. aku tahu dia berusaha menolak. tapi pada akhirnya dia tetap harus mematuhi kata-kata orang tuanya. dia anak yang baik kan? hanya karena dia mengecewakanku bukan berarti dia bersalah sepenuhnya. dia hanya berusaha untuk membahagiakan dua pihak yang berlawanan.
di sinilah semuanya berakhir. aku menatapnya pergi. menatapnya berjalan mantap melewati bagian pengecekan tiket. dia akhirnya pergi. dia hanya kembali sekejap. terkadang aku pikir untuk apa dia kembali jika akhirnya dia hanya akan pergi lagi? tapi bukankah jika dia tidak kembali aku tidak akan tahu arti ketulusan? dia begitu tulus dengan kata-katanya. dia hanya ingin menjagaku. itu yang dia janjikan dulu. tidak seharusnya aku menuntut lebih sekarang. meskipun aku tetap berharap. berharap dia kembali. untukku. hanya untukku.
-
Janji
Monday, October 15, 2012
Diposkan oleh Istiana Fadilah di Monday, October 15, 2012 | Label: Sad story | Email This BlogThis! Share to X Share to Facebook |
0 komentar:
Post a Comment