Aku masih menatap satu per satu kelopak bunga sakura yang berjatuhan. Bunga yang rapuh, tapi indah saat musim mekarnya. Kelopak-kelopak kecil berwarna merah muda mulai memenuhi jalanan Tetsugaku no michi―Philosopher’s path― dan mengapung di permukaan sungai yang mengalir pelan.
Sudah awal bulan April rupanya. Hari ini akhirnya tiba. Aku di sini untuk memenuhi janjiku padamu, Julian.
***
Haruna sedang memamerkan gantungan ponselnya yang berbentuk lumba-lumba padaku saat tiba-tiba ada yang menabrakku dengan cukup keras. Kami berdua saling bersitatap untuk beberapa saat sebelum akhirnya lelaki itu membungkuk sambil meminta maaf.
Sumimasen, katanya berkali-kali.
Setelah dia menegakkan tubuhnya kembali, aku hanya tersenyum. Wajahnya terlihat asing bagiku. Matanya bulat dan alisnya tebal. Berbeda dengan orang Jepang pada umumnya yang bermata sipit.
Maaf, apa kau tahu alamat ini? Tanya lelaki itu dengan bahasa Jepang yang masih terdengar kaku. Ternyata benar dugaanku. Dia seorang pendatang.
Aku menerima kertas yang dia ulurkan dan melihat alamat yang tertulis di sana.
Ah, Seitokukan?―sekolah kedokteran?
Lelaki itu memiringkan kepalanya. Dia menatapku bingung. Apa dia tidak mengerti apa yang aku katakan?
Aku langsung menoleh ke arah Haruna saat dia menyenggol lenganku untuk melihat tulisan di kertas itu.
Nagasaki? Bisik Haruna padaku.
Aku hanya mengangguk mantap untuk menjawab pertanyaan Haruna. Lelaki itu terlihat semakin bingung melihat sikapku dan Haruna yang seperti sedang berkomplot untuk menyesatkannya.
Kau tahu tempat itu?
Aku mengangguk mantap, cukup jauh. Tapi kau akan lebih cepat sampai jika naik shinkansen.
Mata lelaki itu melebar. Dia terlihat kaget. Itu yang membuatku ragu menjawab sejak tadi. Apa yang lelaki ini lakukan di pusat kota Kyoto jika dia berencana pergi ke Nagasaki? Dia mahasiswa baru?
***
Aku tersenyum mengingat hal itu. Pagi itu akhirnya aku memutuskan untuk mengantarkan lelaki itu ke Nagasaki, sedangkan Haruna memutuskan untuk pulang. Belakangan aku tahu nama lelaki itu adalah Julian. Julian Hernanda.
“Suteki da ne?” aku mendengar wanita-wanita berpakaian kimono memuji bunga sakura yang bermekaran.
Iya, sangat indah. Jawabku dalam hati.
Aku masih duduk di bawah pohon sakura ini. Menunggu Julian untuk datang menemuiku. Dia sudah janji. Kami berjanji akan bertemu pada hari ini. Di tempat ini. Dia janji akan menemaniku melihat sakura mekar di sini. Tapi kenapa dia tidak juga datang?
***
Kau pernah mencoba ini?
Julian menggeleng saat aku menunjukkan tamago padanya. Dia menyipitkan matanya dan menatap bento yang aku buatkan khusus untuknya.
Itu apa?
Ini tamago. Telur. Aku menjelaskan.
Julian hanya mengangguk pelan kemudian mulai mengambil sumpitnya dan melahap tamago buatanku.
Hontouni oishii, katanya sambil tersenyum lebar.
Aku senang melihat senyumnya. Saat dia tersenyum, seakan waktu di sekitarku berhenti berdetak. Aku ingin mengabadikan senyumnya dalam memoriku. Aku ingin dia selalu tersenyum untukku.
Tentu saja. Masakanku memang selalu enak.
Julian mengangguk mantap. Sudah beberapa kali aku membuatkan bento untuknya. Dan sepertinya Julian sangat menikmati masakanku.
Kau tidak pernah memasak masakan Indonesia untukku? tanyaku.
Kalau begitu kau ikut saja ke Indonesia saat liburan nanti.
Aku buru-buru menggeleng. Ayah dan ibuku tidak akan mengijinkanku pergi jauh. Aku belum pernah pergi jauh tanpa ayah dan ibu. Aku masih harus memohon-mohon agar diijinkan pergi ke luar Kyoto. Mereka terlalu khawatir padaku. Nagasaki? Aku memutuskan untuk pergi diam-diam.
***
Aku mengulurkan tanganku untuk menangkap kelopak-kelopak bunga sakura yang berjatuhan. Orang bilang, jika kita berhasil menangkap tiga kelopak bunga sakura yang berjatuhan sebelum kelopak itu sampai ke tanah, keinginan kita akan terkabul. Aku berdiri dan menangkap beberapa kelopak.
Aku kembali duduk dan menangkupkan kedua tanganku di depan dada setelah yakin mendapat tiga kelopak bunga sakura.
Aku harap dia tidak melupakan janjinya. Aku harap dia benar-benar akan datang.
“Kawaii,” gumamku pelan saat melihat refleksi matahari senja di sungai.
Langit sore ini sudah mulai dihiasi warna jingga. Matahari sore berbentuk bulat sempurna, seperti jeruk terbakar. Suasana sore ini sangat indah. Kenapa Julian belum juga datang? Dia akan melewatkan keindahan ini.
***
Aiko,
Aku suka suaranya saat menyebut namaku. Aku senang mendapatinya saat menoleh. Aku senang bersamanya. Entah kenapa. Sebut saja jatuh cinta pada pandangan pertama. Itu bodoh, aku tahu. Tapi memang begitu. Aku merasa jatuh cinta bahkan sejak pertama kali dia menanyakan alamat padaku.
Aku semakin jatuh cinta padanya saat kami saling bertukar cerita selama perjalanan ke Nagasaki. Haruna tidak tahu. Ayah dan ibuku tidak tahu. Tapi pada hari itu, aku memutuskan untuk jatuh cinta. Aku memutuskan untuk melabuhkan hatiku pada seseorang yang sama sekali belum aku kenal.
Minggu depan aku pulang ke Indonesia.
Aku tidak suka kalimat itu. Sangat tidak suka. Bagaimana bisa dia pergi jauh saat aku sudah memutuskan untuk jatuh cinta padanya? Bukankah seharusnya dia tetap di sisiku?
Aku hanya diam. Aku tidak menjawab apa-apa karena memang aku tidak tahu apa yang harus aku katakan.
Berapa lama? Akhirnya pertanyaan itu yang keluar dari mulutku.
Dia tersenyum. Julian tersenyum. Tapi kali ini aku tidak begitu menyukai senyumnya. Karena dia akan meninggalkanku. Bagaimana aku bisa melihat senyumnya lagi jika dia pergi dari sini?
Masa penelitianku sudah selesai, katanya pelan.
Kau akan kembali ke sini?
Julian terdiam sebentar. Kemudian, aku akan kembali. Tiga April. Aku ingin melihat bunga sakura mekar bersamamu.
Aku bisa merasa pipiku mulai merona saat mendengarnya mengatakan itu. Dia ingin melihat bunga sakura mekar bersamaku. Aku tidak sabar untuk menunggunya datang saat itu. Saat kami hanya berdua di bawah bunga sakura yang bermekaran.
***
Sudah lima bulan sejak dia mengucapkan janji itu. Aku menunggunya cukup lama. Dan sekarang aku masih harus menunggunya lagi? Apa dia lupa janjinya? Apa dia menemukan orang lain di sana?
“Ah, sudah malam. Sebaiknya kita pulang sekarang.” Kata seorang perempuan pada kekasihnya.
Sudah malam. Dan Julian belum muncul juga. Dia benar-benar lupa.
***
Kau baik-baik saja? Aku mendengar suara Haruna di sampingku. Dia terlihat sangat khawatir.
Aku mengangguk pelan. Kepalaku terasa pusing. Pandanganku sedikit kabur. Tapi aku masih bisa mengenali ayah dan ibu yang berdiri di samping kasur tempat aku terbaring.
Ibu langsung meraih tanganku dan menggenggamnya. Senyum yang biasa menghiasi wajahnya sekarang tidak terlihat.
Kau akan baik-baik saja, katanya pelan.
Memangnya apa yang terjadi padaku? Yang aku ingat aku sedang pergi ke toko roti bersama Haruna. Kami memutuskan untuk membeli beberapa roti untuk bekal kuliah. Tapi saat sedang memilih roti yang dipajang di etalase toko, dadaku mendadak terasa sesak dan kepalaku sangat pusing. Gelap. Semuanya berubah menjadi gelap dan sunyi. Setelah itu, aku tidak ingat apa-apa lagi.
Kau pingsan, kata Haruna.
Aku mengangguk pelan untuk merespon kata-kata Haruna. Aku tahu aku pingsan. Tapi kenapa? Kelelahan?
Kami akan membawamu ke Tokyo, Aiko. Sekarang giliran ayah yang berbicara.
Tokyo? Bulan apa sekarang? Bagaimana jika Julian datang dan aku masih berada di Tokyo? Memangnya kenapa aku harus dibawa ke Tokyo.
Kau bisa mendapat penanganan yang lebih tepat di sana, kata ibu lembut.
Penanganan?
Aku...sakit? pertanyaan itu yang berhasil keluar dengan susah payah dari mulutku. Kerongkonganku terasa sangat kering untuk bersuara.
Ibu mendongak untuk menatap ayah sekilas kemudian mengangguk. Ibu menggenggam tanganku semakin erat.
Operasi bypass jantung akan lebih baik untukmu.
Jantung? Itu sebabnya dadaku sering sesak? Itu sebabnya dadaku sering merasa sakit?
***
Aku melihat Julian berjalan terburu-buru menuju ke arahku. Dia datang. Aku sudah menunggunya sejak tadi. Di dekat kuil Ginkakuji.
Julian terlihat lebih berantakan dari terakhir kali aku melihatnya. Wajah tampannya sekarang dihiasi berewok. Matanya terlihat sayu dan bibirnya tidak membentuk senyuman sama sekali. Apa dia tidak senang akan bertemu denganku?
Aku melambai ke arahnya. Dia hanya menatap lurus, tidak membalas lambaianku sama sekali.
“Aku senang kau datang,” kataku saat akhirnya Julian berdiri di sampingku.
Julian hanya diam. Dia tidak mengatakan apa pun. Julian hanya mengulurkan tangannya untuk menangkap kelopak bunga sakura yang berjatuhan.
“Indah ya?” katanya pelan.
Aku mengangguk mantap. Saat menyadari Julian tidak melihat anggukanku, aku menjawab, “iya. Indah sekali.”
“Aku datang,” katanya. “Aku datang untuk memenuhi janjiku.”
“Aku tahu,”
“Maaf,” katanya pelan.
“Untuk apa?”
“Maaf aku tidak berhasil menyelamatkanmu. Maaf karena aku tidak berhasil...”
“Aku...”
“Maafkan aku, Aiko. Semoga kau tenang di sana.”
Aku ingat. Terakhir kali aku melihat Julian bukanlah saat dia akan pulang ke Indonesia. Aku melihatnya di Tokyo. Ruang operasi.
iceee... ceritanya sedih :'( tp bagus kog..
ice, boleh request? hehehe
bikin cerita macam ini yg bau2 jepang gitu tp yg happy ending.. :)