Jemariku menyentuh
butiran-butiran debu yang ada di pinggiran kusen jendela saat aku menyusurinya.
Rasanya sudah sangat lama aku tidak melihat jendela besar ini. Jendela besar
bergaya arsitektur Belanda kuno dengan daun jendela bewarna abu-abu terang. Aku
menatap dua jendela yang berdampingan. Daun jendelanya terbuka lebar,
menunjukkan jajaran bangku kosong di dalam ruangan itu. Aku menghabiskan
sebagian besar waktuku di ruangan itu. Dulu.
***
“Aku sudah memilih tempat ini!”
kataku dengan nada suara yang meninggi.
“Kapan?” nada suaranya tetap
lembut, dengan mata bebinar-binar. Aku tahu dia hanya sedang menggodaku.
“Kemarin.” Jawabku singkat,
setengah malu-malu.
“Kau sudah duduk di sini kemarin.
Sekarang giliranku duduk di sini.” Dia masih saja memaksakan kehendaknya padaku
meskipun dia tahu aku tidak akan pernah mengalah.
Dia hanya menoleh menatap keluar
melalui jendela yang terbuka lebar, tidak mengacuhkanku sama sekali. Aku meletakkan
tas ransel hitamku di bangku kosong yang ada di sampingnya. Dia menoleh dan
mengangkat sebelah alisnya.
“Aku punya teman sebangku, kau
tahu?”
“Aku juga.” Aku masih saja keras
kepala dan memaksa untuk duduk di tempat itu.
“Aku datang duluan. Kenapa sih
kau tidak mau mengalah? Lain kali datanglah lebih pagi dariku.”
Oke, aku mendengar nada
peperangan sekarang. Dia menantangku untuk berangkat lebih pagi darinya? Baiklah
kalau itu yang dia mau.
Aku mengambil tas ranselku dan
memindahkannya ke bangku yang ada di sisi lain ruangan. Sama-sama dekat dengan
jendela, hanya saja berbeda jenis jendela dan berbeda pemandangan. Jendela di
sisi yang aku inginkan memiliki arsitektur belanda kuno dan sangat besar. Pemandangannya
mengarah ke laboratorium biologi. Tidak ada maksud khusus. Aku hanya senang
memandangi orang-orang yang sedang mengantuk di laboratorium itu saat jam
praktikum siang. Sedangkan jendela yang ada di sisiku sekarang adalah jendela
nako dengan beberapa kaca yang terbuka dan pemandangannya mengarah ke tempat
parkir motor. Sangat tidak menyenangkan. Tapi tenang saja. Besok aku akan
merebut tempatku kembali.
***
Sudah sangat lama aku tidak
mendengar kabar darinya. Hubungan kami baik-baik saja. Tidak ada yang aneh. Kami
bahkan masih sering merencanakan acara kumpul bersama teman-teman yang lain
saat liburan. Tapi akhir-akhir ini dia sangat sulit untuk dihubungi. Mungkin dia
sedang sibuk merencanakan gelar spesialisnya. Entahlah, aku hanya bisa
berasumsi.
***
Dia senang sekali duduk di dekat
jendela besar itu. Di tempatku. Sialnya sudah beberapa kali aku gagal berangkat
lebih pagi darinya. Aku mengalah saja. Lagipula, aku tahu jelas alasannya
memilih tempat itu. Dia ingin mengawasi kekasihnya. Dia selalu duduk di dekat
jendela setiap pagi. Membawa sebuah penggaris panjang yang terbuat dari kayu,
memainkannya seolah-olah penggaris itu adalah sebuah pedang. Setiap kali
kekasihnya datang, dia akan langsung mengikutinya seperti seorang pengawal
putri kerajaan.
Tapi akhir-akhir ini, meskipun
dia sudah merebut tempat faforitku, setiap jam istirahat dia selalu
menghampiriku. Duduk tepat di sebelahku. Ya, di sisi jendela nako itu. Memandangi
tempat parkir motor yang sepi.
“Jarang sekali aku melihatmu di
sini saat jam istirahat,” sindirku. Aku sendiri tidak terlalu tertarik
berkeliaran keluar saat jam istirahat pertama. Belum terlalu lapar.
Dia hanya tersenyum. Setiap kali
kami duduk bersama seperti itu, dia selalu berhasil menemukan topik obrolan
yang menarik. Kami terlalu larut dalam obrolan kami sampai lupa waktu. Dia terlihat
malas-malasan jika harus kembali ke tempatnya. Tempatku di samping jendela
besar.
***
Aku langsung menoleh saat terdengar suara petir. Langit sore ini mulai
menggelap. Warna abu-abu kelam menelan warna jingga yang seharusnya menguasai
langit sore ini. Perlahan tetesan-tetesan air mulai turun dan membasahi
dedaunan di depanku. Semakin lama tetesan air semakin besar dan rapat-rapat. Menciptakan
suara gemuruh yang memekakan telinga.
Tanpa sadar bibirku membentuk sebuah lengkungan di kedua sudutnya. Sudah cukup
lama aku berusaha menutup kenangan itu rapat-rapat. Tapi hujan selalu berhasil
membuka tutup bajanya dan memuntahkan kenangan itu seperti serbuk kopi pahit
yang menutupi seluruh permukaan otakku. Aku mengingatnya lagi.
***
“Siapa pasanganmu?” tanya salah
satu teman kami.
“Dia,” dia hanya mengarahkan
ujung dagunya padaku.
“Kalian terlihat cocok.”
Aku hanya menunduk malu. Tidak. Kami
bukan pasangan sebenarnya. Kami hanya memutuskan pergi bersama saat kelas kami
melakukan konvoi. Aku tidak punya pilihan lain. Aku sedang perang dingin dengan
sahabatku. Jadi aku memutuskan untuk pergi bersamanya, dan ternyata dia
menyetujui permintaanku dengan begitu cepat. Aku sempat khawatir kekasihnya
akan melarangnya, tapi dia bilang aku tidak perlu memikirkan hal itu. Jadi aku
menurut saja.
“Kau siap?” dia bertanya dengan
nada selembut sutra. Aku hampir lupa kapan terakhir kali seseorang berkata
selembut itu padaku.
Aku hanya mengangguk. Saat menyadari
dia tidak bisa melihat anggukanku, aku menjawab,“siap.”
Dia mulai memacu motornya dengan
kecepatan yang cukup tinggi. Angin siang itu langsung berhembus menerpanya. Membawa
wangi tubuhnya tepat ke arahku. Aku suka wanginya. Bukan wangi sampo atau sabun
seperti lelaki kebanyakan. Wanginya sangat khas.
“Kenapa diam saja?”
Tubuhku menegang saat mendengar
suaranya. Sepertinya wangi tubuhnya benar-benar berhasil menghipnotisku.
“Kau ingin aku bicara apa?”
Dia hanya diam untuk beberapa
saat. Kemudian dia mulai meceritakan sesuatu.
“Kau lihat itu?” tangan kirinya
menunjuk ke suatu arah. “Di sana pertama kali aku jatuh cinta padanya.”
Aku hanya diam. Dia sedang
menceritakan kisah cintanya padaku.
“Kau bisa membuat sebuah cerita
dari itu,” aku berusaha memaksakan suaraku agar terdengar ceria.
“Tentu saja. Kau yang harus
membuatkannya untukku.”
Apa dia tidak bisa merasakan
atmosfer yang sedang menguasaiku saat ini? Aku sendiri tidak tahu apa itu. Sudah
bertahun-tahun aku menolak untuk mengatakan aku menyukainya, meskipun sudah
banyak orang yang mengatakan perasaanku terlihat jelas di mataku saat
menatapnya. Aku tidak setuju dengan pendapat itu. Aku yang memiliki perasaan
ini. Dan perasaan ini masih belum bisa disebut cinta. Tapi saat mendengarnya
menceritakan hal itu, rasa sakit yang aneh langsung merayapiku. Mendekapku terlalu
erat sampai aku kesulitan untuk bernafas.
“Akan aku pikirkan nanti,”
jawabku pelan.
Suara gemuruh di langit
mendominasi perjalanan kami berikutnya. Hal selanjutnya yang terjadi adalah
jalanan di hadapan kami sudah basah karena hujan. Hujan yang turun semakin
deras dan hampir membuat kami basah kuyup.
“Kau kedinginan?”aku tidak pernah
menyangka dia akan menanyakan itu padaku.
“Tidak. Kau menghalangi air
hujannya.” Jawabku jujur. Aku memang belum
merasa kedinginan saat ini. Tapi aku bisa melihat jaket yang dia gunakan
sudah basah kuyup.
Kami berhneti di suatu tempat. Ada
beberapa teman kami yang membawa jas hujan lebih. Kami meminjamnya.
“Kau pakai ini, hanya ada satu.” Dia
menyerahkan jas hujan itu padaku meskipun sudah sangat jelas dia yang terkena
air hujan paling banyak.
“Kau saja yang memakainya. Kau menghalangi
air hujannya. Aku tidak akan basah.”
Aku mengulurkan jas hujan itu
padanya. Dia menatapku tajam sebelum meraih jas hujan itu dari tanganku. Dia masih
menatapku saat memakainya. Saat jas hujan itu sudah terpasang di tubuhnya,
tangannya terulur dan menyentuh jaket yang aku gunakan.
“Kain jaketmu tipis begini. Kau yakin
tidak akan kedinginan?”
Aku menggeleng kuat-kuat, “kau
tenang saja dan bekendaralah dengan baik.”
Kami melanjutkan perjalanan kami
siang itu meskipun hujan lebat mengguyur kami tanpa ampun. Sesekali dia menoleh
ke belakang dan menanyakan keadaanku.
“Kau kedinginan?”
Diam-diam aku selalu tersenyum setiap
dia menanyakan hal itu. Apa dia benar-benar peduli padaku?
***
Aku bersandar pada kusen jendela
dan menatap tetesan-tetesan air hujan itu dengan sabar. Begitu banyak cerita di
sini. Begitu banyak rahasia yang aku bisikkan diam-diam di sini. Ada begitu banyak
perasaan yang aku tinggalkan di sini. Untuknya. Untuk dia yang selalu memilih
tempat di belakangku jika aku berhasil menguasai tempatku. Dia yang selalu memberiku jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan bodoh yang aku ajukan. Dia yang selalu berbagi perasaannya
padaku. Dia yang selalu mendengar cerita-ceritaku.
Pandanganku semakin buram. Bukan karena
air hujan yang menetes dengan begitu cepat, tapi karena air mata yang berkomplot
untuk memenuhi pelupuk mataku. Aku selalu penasaran kenapa mengingatnya selalu
membuatku menangis. Padahal dia sama sekali tidak pernah menyakitiku. Dia hanya...tidak
menyadari perasaanku.
***
“Kalian cocok, tahu.”
Aku menoleh dan menatap sahabatku
itu dengan bingung.
“Kau dan sepupuku.”
Aku hanya tersenyum saat
mendengar pendapatnya.
“Aku hanya ingin kau yang menjadi
sepupu iparku.”
Pernyataan itu aku dengar saat
dia baru saja berpisah dengan kekasihnya. Aku tidak yakin apa sebabnya, tapi
ada sebagian kecil dalam diriku yang bahagia mendengar kabar itu. Dan saat ini,
sepupunya sedang mati-matian meyakinkanku untuk mengakui perasaanku. Tapi aku
masih saja menolak.
“Aku bukan tipenya, kau tahu?”
“Siapa bilang? Kalian terlihat
sangat cocok saat bersama. Aku tahu kalian ditakdirkan untuk bersama.”
Benarkah? Aku sudah sangat sering
mendengar kata-kata itu. Tapi sepertinya dia sama sekali tidak menghiraukan pendapat
orang lain tentang kami. Karena jika dia memang menghiraukan pendapat orang,
dia akan mempertimbangkanku sebagai seseorang yang lebih dari sekedar teman.
***
Mereka jelas salah. Hubungan kami memang baik-baik saja. Tapi tidak pernah
menjadi lebih dari sekedar baik. Dia berubah total. Dia dulu sangat sering
menyapaku dan menceritakan apa pun yang dia alami padaku. Sekarang? Dia bahkan
tidak pernah membalas pasanku.
Aku menoleh saat ada yang memanggil namaku. Senyum lebar terbentuk saat
melihat orang-orang itu mendekat.
“Sudah lama?” tanya salah satu dari mereka.
Aku menggeleng pelan. “Belum cukup lama untuk berlumut di sini.”
Mereka tertawa bersamaan mendengar leluconku yang sebenarnya biasa saja. Kami
berjanji untuk bertemu di sini sore ini. Hanya pertemuan kecil untuk mengingat
masa-masa sekolah dulu. Kami berkumpul lagi di sini, di tempat semuanya
berawal. Tapi dia tidak datang. Entah untuk keberapa kali aku merasa kecewa
saat dia memutuskan untuk melewatkan pertemuan kami.
“Apa besok kita akan pergi bersama?” tanya salah satu temanku.
“Pergi kamana?” tanyaku bingung.
Semuanya menoleh dan menatapku bingung.
“Ada di bumi belahan mana kau selama ini?”
Aku masih menatap mereka satu per satu. Berharap salah satu dari mereka mau
memberitahuku apa yang sedang terjadi di sini.
“Dia akan menikah besok. Kau tidak
mendapat undangannya?”
Suara retakan itu terdengar lebih nyaring dari derai air hujan saat ini. Dia
tidak hanya menghindariku. Dia bahkan tidak lagi menganggapku sebagai seorang
teman?