THEY ARE INNOCENT
Istiana Fadilah
TERINSPIRASI DARI SEBUAH ARTIKEL BERJUDUL “WHY DOES CHILD IN BEGGAR’S HAND ALWAYS SLEEP?”
“Dia
bukan pendiam, tapi sengaja dibuat diam.”
Aku masih
ingat betul kata-kata seorang lelaki penjual tahu sumedang yang aku temui di
pinggir jalan sore tadi. Sepertinya lelaki itu tahu banyak. Atau dia hanya asal
bicara?
***
Pagi itu
aku sedang berjalan terburu-buru menuju kampusku. Aku sudah telambat 15 menit.
Bisa diusir jika aku terlambat lebih lama lagi. Catatan akademikku sudah cukup
buruk, aku tidak butuh tambahan diusir
dosen untuk melengkapinya.
“Sedekah,
neng.” Dengan suara lirih yang nyaris terdengar seperti merintih, seorang
wanita paruh baya mengulurkan tangannya ke arahku.
Aku hanya
melirik wanita itu sekilas. Bukannya tidak mau berbagi, tapi aku sudah
benar-benar terlambat dan tidak ada uang sama sekali di kantong celanaku. Aku
melihat ada seorang anak laki-laki berusia sekitar dua tahunan di pangkuannya.
Anak itu tertidur lelap. Meskipun hanya menatapnya sekilas, aku bisa melihat
pakaian putih kotor yang dipakai anak itu.
Aku
buru-buru mempercepat langkahku dan tidak menghiraukan wanita itu lagi. Biarlah orang lain, pikirku.
Tepat
saat kakiku baru melangkah masuk ke dalam kelas, suara berat dosenku terdengar
lantang.
“Silakan
tutup pintunya dari luar.”
Sial! Aku
benar-benar diusir! Catatan hitamku sudah resmi bertambah. Saat berjalan ke
kantin―aku memilih untuk mengisi perutku daripada meratapi nasib terlalu lama―aku
bertemu dengan Reza, ternyata dia sudah lebih dulu diusir. Rasanya aneh membayangkan
sudah berapa kali dosen itu mengatakan “silakan tutup pintunya dari luar” hari
ini.
“Hei, Za!
Diusir juga lo?” tanyaku saat duduk di hadapannya.
Reza
hanya mengangguk sambil melahap nasi gorengnya. “Gue telat 5 menit aja langsung
diusir.”
Aku hanya
mengangguk tanpa menanggapi. Ini bukan topik yang menyenangkan. Dan aku sama
sekali tidak ingin membahasnya.
***
Jam 3
sore. Akhirnya semua kegiatan perkuliahan hari ini selesai juga. Aku sudah
membayangkan kasur empuk di kosan bahkan sebelum dosen meninggalkan kelas. Rasanya
ingin sekali merebahkan diri di atas kasur dan hibernasi.
Aku pulang
sendirian. Karena memang tidak ada yang satu arah denganku. Aku memilih tempat
kos yang lumayan jauh dari kampus dan jalan raya. Untuk meminimalisir kebisingan
akibat suara kendaraan bermotor yang lalu lalang.
Aku melewati
jalan yang sama setiap hari. Aku rasa aku bisa sampai ke kosan bahkan dengan
mata tertutup. Tepat saat melewati area pertokoan, tiba-tiba saja aku melihat
wanita kumuh yang tadi pagi. Posisinya masih sama, bahkan anak kecilnya pun
masih berada di pangkuannya. Aku langsung merogoh saku celanaku dan meraih
sebuah uang logam lima ratusan.
Saat membungkuk
untuk meletakkan uang ke dalam mangkok yang ada di samping wanita itu, aku
mempehatikan anak kecil yang ada di pengkuannya. Wajahnya terlihat damai. Anak itu
kuat sekali tidur? Aku ingat sepupuku, Abi, usianya hampir sama dengan anak
kecil itu. Abi tidak pernah bisa diam di siang hari. Ibunya sampai stres karena
anak itu sulit sekali untuk tidur. Tapi kenapa anak kecil ini selalu tertidur? Aku
menggeleng untuk menyingkirkan pikiran aneh yang sempat melintas di pikiranku.
Mencium aroma
tahu sumedang membuat perutku menuntut haknya untuk diisi.
“Berapaan,
Pak?” tanyaku sambil memilih-milih tahu yang besar dan berisi.
“Dua ribu
dapet 3, neng.” Kata bapak itu sambil menyiapkan kantong kertas untuk tempat
tahu yang akan aku beli.
“Bapak di
sini sejak tadi siang?” tanyaku sambil memilih-milih.
“Iya,
neng. Kadang-kadang dari pagi malah.”
Aku
menangguk pelan, “Bapak lihat anak itu lari-lari?” aku mengarahkan daguku pada
anak kecil yang ada di pangkuan wanita pengemis tadi.
Bapak penjual
tahu itu langsung menoleh kemudian menggeleng.
“Anak itu
pendiam sekali,” gumamku.
“Dia
bukan pendiam, tapi sengaja dibuat diam.” Katanya sambil membungkus tahu yang
sudah aku pilih. “Hal paling buruk yang sering tejadi, dia akan diam selamanya.”
***
Setelah semalaman
memikirkannya, akhirnya hari ini aku memutuskan untuk membuktikan kata-kata si
penjual tahu sumedang itu. Dengan bermodal nekat dan rasa penasaran yang cukup
tinggi, sepulang kuliah sore ini aku akan mengikuti wanita itu. Melihat apa
saja yang dilakukannya pada anak kecil yang selalu tertidur di pangkuannya itu.
Satu-satunya hal yang membuatku yakin anak kecil itu belum meninggal adalah
dadanya yang masih bergerak naik turun mengikuti tarikan nafasnya.
Wanita itu
memasukkan mangkuk yang biasa dijadikan tempat uang ke dalam selendang yang
tersampir di bahunya. Dia mengangkat anak kecil itu dan menggendongnya. Bahkan saat
langit malam mulai merayap turun, anak kecil itu masih betahan dengan
posisinya.
Aku mengikuti
wanita itu dari belakang. Berjalan mengendap-endap seperti maling yang sedang
mengamati mangsanya. Meskipun sempat ragu, tapi aku tetap mengikuti wanita itu.
Dia berhenti di dekat bangunan rusak bekas pos satpam. Ada seorang laki-laki di
sana. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Lelaki itu memakai topi
warna hijau dan pakaian serba hitam. Wanita itu merogoh selendangnya dan
mengeluarkan sejumlah uang dari sana. Dia membungkuk saat beberapa uang receh
terlepas dari genggamannya dan menggelinding di dekat kakinya.
Setelah menghitung
jumlah uangnya, lelaki itu menyodorkan kantong plastik warna hitam pada wanita
itu. Lelaki itu menunggu sampai si wanita selesai mengintip kantong plastiknya
kemudian pergi. Wanita itu kembali berjalan, entah kemana, mungkin ke rumahnya.
Aku masih
terus mengikutinya. Wanita itu masuk ke dalam rumah gubuk yang sudah reot tidak
jauh dari pos satpam tadi. Dari jarak ini aku bisa melihat ada beberapa wanita
lain di dalam rumah berpenarangan minim itu. Penampilan mereka sama. Lusuh,
berselendang dan menggendong anak.
Rasanya ingin
sekali aku masuk ke rumah itu dan melihat keadaan anak-anak tidak berdosa itu.
Tapi aku bisa apa? Mereka bisa saja langsung memukuliku jika aku tiba-tiba
muncul. Aku memutuskan untuk pulang. Tidak ada yang bisa aku lakukan lagi malam
ini.
***
Jam 6
pagi. Mungkin cahaya pagi bisa menunjukkan sesuatu yang tidak bisa aku lihat
tadi malam. Aku kembali ke rumah gubuk itu. Tetap menjaga jarak agar tidak
ketahuan, tapi cukup dekat untuk melihat apa yang mereka lakukan.
Aku melihat
salah satu anak merangkak keluar rumah. Tanpa sadar sebuah senyuman sudah
terbentuk di wajahku, anak-anak itu masih
hidup, pikirku lega.
Baru beberapa
langkah dari pintu, seorang wanita keluar kemudian menggendong anak kecil itu.
Dia mulai menyuapkan sesuatu pada anak kecil itu. Setelah yakin anak itu
menelan apa pun yang baru saja dia suapkan, wanita itu mulai menepuk-nepuk
puncak kepala anak itu. Dalam sekejap anak itu kembali diam. Tertidur lelap di
pelukan ibunya.
Makanan apa yang mereka berikan pada anak-anak itu? Aku mulai frustasi dengan apa yang aku lihat.
Apa mereka
memberikan obat-obatan penenang? Bukankah anak-anak tidak akan sanggup menahan
efeknya? Mereka bisa saja mati karena efek obat-obatan itu.
Hal paling buruk yang mungkin terjadi, dia akan diam selamanya.
Apa ini
yang dimaksud Bapak itu?
***
Terkadang memberi
bukanlah sebuah solusi. Memberi justru menimbulkan masalah yang lebih besar
dari sekedar kemiskinan. Mengorbankan nyawa anak tidak berdosa hanya untuk
menuntut belas kasihan? Entah dari mana asalnya, yang jelas hal ini terjadi di
seluruh dunia.