Sub
tema: Sumber inspirasi
KAMERA,
MAMAK
Aku masih menatapnya
dengan jelas. Dari tempatku berdiri sekarang. Lantai lima gedung pameran di
salah satu negeri adidaya, Amerika. Aku masih di sini. Menatap payung
berwarna-warni bergerak melindungi pembawanya dari tetesan-tetesan air hujan
sore ini.
Begitu cepat waktu
berlalu. Secepat aku mengedipkan mataku. Gedung-gedung tinggi di depanku
membuatku sedikit ragu. Apa aku bermimpi?
***
Aku masih memperhatikan
gerakannya yang terlihat sangat lincah. Mengabadikan berbagai momen yang dia
rasa penting. Dan hasilnya pun luar biasa indah. Aku bisa melihat gambar
teman-temanku yang sedang tertawa sampai menangis.
Bang,
aku juga mau punya gambar-gambar seperti itu. Aku merengek
pada Bang Dhika yang saat itu sedang sibuk melihat hasil jepretannya. Dia
adalah anak orang kaya di kampungku. Setahuku dia satu-satunya pemuda di
kampungku yang belajar di universitas.
Bang Dhika meletakkan
kameranya yang berwarna hitam mengkilat itu kemudian mengusap rambutku dengan
lembut. Alih-alih mengajariku menggunakan kameranya yang sepertinya sangat
mahal, dia malah menggandengku ke gudang rumahnya. Dia mengambil beberapa
kaleng dan barang-barang lain yang aku tidak tahu apa gunanya.
Kalau
kamu mau, kamu harus belajar dengan sesuatu yang lebih sederhana dulu.
Sepanjang siang aku
menghabiskan waktuku berjongkok di samping Bang Dhika yang sedang sibuk membuat
sesuatu. Aku tidak tahu apa itu. Tapi aku menurut saja dan manggut-manggut
sekenanya saat Bang Dhika menyebutkan langkah-langkah untuk membuat sesuatu itu.
***
Hujan sore ini masih
terus berlanjut. Beberapa orang di luar sana memutuskan untuk menyerah melawan
hujan dan berteduh di bawah atap kedai kopi atau toko buku yang berjajar di
pinggir jalan. Rambut-rambut pirang mereka membuatku merasa asing.
Aku langsung menoleh
saat merasa ada yang menepuk pundakku.
“These photos are great! You are really talented, Doni.”
“Thank you.” Aku hanya menjawab seadanya. Bahasa Inggrisku tidak
terlalu lancar, tapi paling tidak aku masih bisa memahami percakapan semacam
itu.
Mr.Josh adalah salah
satu penyumbang dana dalam acara pameran ini. Aku bersyukur bisa mengenalnya.
Dan aku bersyukur karena begitu banyak orang yang mau membantuku.
***
Kamera lubang jarum.
Kata Bang Dhika, itu nama sesuatu yang
dari tadi dia buat. Dia menunjukkan padaku bagaimana cara menggunakannya.
Bagaimana cara mengabadikan momen-momen yang penting dan berarti. Bagaimana membuat
sebuah gambar menjadi terasa hidup dan bernyawa. Dia mengajariku semua itu.
Meskipun aku tidak benar-benar tahu apa artinya. Tapi aku senang karena Bang
Dhika memberiku sebuah kamera sederhana itu.
Sana,
cari objek fotomu, kata Bang Dhika saat menyerahkan kamera
itu padaku.
Aku langsung berlari ke
rumah. Rumah gubuk tempat aku tinggal bersama Mamak. Aku langsung mengambil
gambar objek pertamaku. Mamak sedang mencuci pakaian lusuh yang hanya beberapa
potong sambil bersenandung. Aku senang saat Mamak bersenandung, jadi aku ingin
mengabadikannya dengan kameraku. Aku memotretnya sampai beberapa kali sampai akhirnya
Mamak menyadari keberadaanku.
Doni
sedang apa kamu di situ? Lebih baik bantu Mamak mencuci sini.
***
Aku melirik jam tangan Rolex yang melingkar di tangan kiriku.
Sudah pukul empat lewat. Aku memandang seisi ruangan. Sudah ada banyak orang
berdatangan untuk melihat foto-foto yang digantung sempurna pada dinding.
Lengkap dengan cahaya lampu mercuri yang
menambah kesan elegan pada masing-masing foto.
Aku kembali menatap
hujan di luar sana. Tetesan-tetesan airnya bertambah besar. Membuat beberapa
payung bergerak-gerak semakin cepat melewati jalanan di bawah sana. Aku
melewati jalanan itu tadi pagi. Jalanan yang dulu terasa sangat asing bagiku.
Jangankan membayangkan bisa melewatinya, mencari tahu namanya pun aku tidak
berani.
***
Bang
Dhika, aku juga mau punya gambar Mamak di kamarku.
Aku baru menyadari Bang
Dhika harus memiliki kesabaran ekstra untuk menghadapiku yang selalu merengek
dalam segala hal. Bukannya memarahiku karena mengganggu belajarnya, dia malah tersenyum
dan menggandengku ke sebuah kamar sempit dengan penerangan lampu warna merah.
Mana
kameramu. Kamu sudah memotret Mamakmu dengan kamera itu kan?
Beberapa hari yang lalu
aku memang bercerita pada Bang Dhika tentang objek pertamaku. Mamak yang sedang
mencuci sambil bersenandung.
Bang Dhika mengeluarkan
sesuatu dari dalam kameraku. Kamera sederhana yang terbuat dari kaleng susu
bekas. Aku sudah menandai kamera itu dengan namaku, jadi tidak boleh ada orang
lain yang memakainya. Selain Bang Dhika tentu saja, karena dia yang
memberikannya padaku.
Aku tidak bisa melihat
apa yang sedang dilakukan Bang Dhika karena mejanya terlalu tinggi. Aku yang
masih berumur tujuh tahun hanya bisa mencapai meja setinggi satu meter.
Sedangkan meja yang dipakai Bang Dhika sepertinya sangat-sangat-sangat tinggi.
Aku hanya bisa melihat Bang Dhika menjepitkan kertas-kertas bergambar Mamak
pada sebuah tali panjang di atas kepalanya.
Itu
gambar Mamak! Aku berteriak-teriak penuh semangat.
Akhirnya aku bisa melihat gambar Mamak saat sedang bersenandung.
***
Aku merogoh saku jas
yang aku pakai. Meraih selembar kertas yang tersimpan di dalamnya. Aku
menariknya keluar dan menatap gambarnya lekat-lekat. Aku masih menyimpan foto
pertamaku. Gambarnya sudah sedikit pudar karena waktu. Tapi sosok Mamak dalam
foto itu masih bisa aku lihat dengan jelas.
Mamak selalu bekerja
keras untukku. Apa lagi setelah bapak meninggal 15 tahun yang lalu. Mamak mulai
semakin repot bekerja untuk membiayai hidup kami. Aku memutuskan untuk berhenti
sekolah meskipun Mamak memaksaku untuk tetap sekolah agar menjadi orang pintar
seperti Bang Dhika. Beliau ingin aku kuliah. Balajar di universitas. Untuk apa?
Mamak selalu menjawab agar aku tidak hidup sepertinya. Selalu luntang-lantung tidak tahu arah. Tidak
tahu akan seperti apa hidupnya besok. Tapi aku ingin seperti Mamak. Bukan Mamak
yang hidup susah. Tapi Mamak yang menghadapi kesusahannya dengan keikhlasan.
Itu sebabnya aku sangat senang saat Mamak bersenandung kemudian tersenyum.
Karena itu membuatku melupakan kesusahan kami.
***
Sudah sepuluh tahun aku
berkutat dengan kemera. Bang Dhika masih setia mengajariku banyak hal meskipun
sekarang dia sibuk bekerja dan mengurus keluarganya. Anaknya lucu-lucu. Ada tiga
gadis cilik yang selalu menyambutku setiap kali aku berkunjung ke rumahnya.
Kamera Bang Dhika yang dulu dipakainya, sekarang diwariskan padaku. Aku sangat
senang saat Bang Dhika memberiku kamera itu. Kamera hitam kecil dengan lensa
yang cukup besar. Kamera pertama yang aku lihat dulu.
Aku mulai fokus pada
objek yang lebih luas. Meskipun Mamak masih tetap menjadi objek utamaku.
Garis-garis di wajahnya terlihat semakin jelas dengan kamera yang lebih canggih
ini.
Hari Minggu 12 Oktober
2008. Bang Dhika datang ke rumahku besama ketiga anaknya.
Wah,
ada apa, Bang? Tumben rame-rame ke sini?
Bang Dhika hanya
tersenyum sekilas kemudian mengeluarkan selembar kertas dari saku celananya.
Ini,
buat kamu. Foto kamu bagus-bagus lho, Don. Coba kirim foto-foto kamu.
Aku hanya mendongak
menatap wajah Bang Dhika yang terlihat sangat mantap. Aku membaca ulang brosur
yang diberikan Bang Dhika barusan. Lomba fotografi. Aku tidak pernah mengikuti
hal semacam itu. Aku hanya pernah membaca beberapa brosur-brosur lomba yang
ditempel di tiang-tiang listrik di jalanan kota.
Ikutlah.
Siapa tahu ini rejekimu.
Bagaimana
kalau kalah? Aku hanya anak gembel kampung yang
beruntung bisa mengenal Bang Dhika. Dia yang sudah mengajariku banyak hal. Aku
tidak cukup berani untuk berharap lebih.
Jadikan
itu pengalaman. Dalam setiap lomba memang harus ada yang menang dan ada yang
kalah kan? Yang penting bagaimana kita memanfaatkan kesempatan yang ada.
***
Aku kalah waktu itu.
Tapi Bang Dhika benar. Aku menjadi lebih tertantang saat melihat hasil karya
para pemenang. Aku juga bisa melakukan hal hebat seperti itu kan? Bukankah Bang
Dhika sudah menjadi perantara yang sangat luar biasa?
Aku menoleh ke arah
pintu utama. Pintunya yang besar bergerak mengayun ke dalam. Menciptakan celah
yang cukup lebar untuk dilewati dua orang. Aku langsung berjalan ke arah pintu.
Memeluk orang yang sedari tadi aku tunggu. Akhirnya!
Bang Dhika menuntun
Mamak memasuki ruang pameran. Aku ingin sekali menjemput mereka di bandara
tadi, tapi Mr.Josh melarangku untuk meninggalkan ruang pameran ini. Ada
beberapa tamu yang ingin menanyakan banyak hal padaku, katanya.
“Bagaimana perjalanan
ke sini, Mak?” Aku membimbing Mamak duduk di salah satu sofa yang ada di ujung
ruang pameran.
“Mamak pusing lihat ke
bawah, Don. Tinggi sekali pesawat itu. Untung ada Dhika yang ngajak Mamak ngobrol.
Kalau tidak Mamak pasti sudah pingsan.”
Mau tidak mau aku
tersenyum mendengar jawaban Mamak yang sangat polos. Mamak baru pertama kali
naik pesawat. Kabarnya Bang Dhika harus membujuknya selama satu jam penuh agar
mau naik pesawat. Bahkan beberapa pramugari sempat kerepotan saat Mamak
mendadak minta turun saat pesawat sudah mengudara. Tapi sepertinya Bang Dhika
berhasil meyakinkannya agar tetap duduk tenang sampai di sini.
“Tapi Mamak senang bisa
ke sini, Don. Melihatmu menjadi orang sukses seperti ini.” Aku hanya tersenyum
saat Mamak mengatakan itu. Mamak yang membuatku seperti ini.
Beberapa tamu mendekat
dan bersalaman dengan Mamak. Kebanyakan dari mereka langsung menyanjungnya
dalam bahasa Inggris. Mamak manggut-manggut saja meskipun tidak mengerti apa
yang mereka katakan.
“Anda adalah model yang
sangat luar biasa!” kata salah satu tamu yang berusaha keras mengucapkan
sanjungannya dalam bahasa Indonesia.
Wanita itu mengarahkan
tangannya pada seluruh foto yang tergantung pada dinding ruang pameran ini.
Seluruh foto yang berisi gambar Mamak. Dimulai dengan salah satu foto
pertamaku. Foto saat Mamak sedang bersenandung dan tersenyum.
End